Sunteți pe pagina 1din 7

Hari masih pagi ketika suara tembakan terdengar dari arah Pelabuhan Sape di Bima, Nusa Tenggara Barat

hari Sabtu lalu (24/12). Ada kerusuhan, ada pukulan membabi-buta, ada teriakan dan makian, ada darah yang tertumpah. Setelah genap enam hari massa yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang memboikot aktivitas pelabuhan, akhirnya mereka bubar juga oleh peluru-peluru yang ditembakkan dari senjata aparat. Dua nyawa terrenggut, puluhan lainnya birulebam oleh hantaman senjata tumpul. Namun lebih dari itu, hak mereka juga teraniaya. Tidak butuh waktu lama bagi seluruh warga Indonesia untuk mengetahui kekerasan yang terjadi di salah satu sudut negeri ini. Beberapa bahkan tak hanya menaruh simpati, namun juga menggalang massa untuk mengadakan aksi solidaritas. Hari Minggu (25/12), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam ikatan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melakukan orasi lanjutan dari hari sebelumnya yang menuntut ditegakkannya keadilan bagi warga Bima. Tak cukup hanya membawa spanduk dan menyerukan keadilan, mereka pun berusaha membajak mobil dinas yang melintas. Keesokan harinya (27/12), mereka kembali mempertegas maksudnya dengan membakar ban sambil meneriakkan tuntutan. Tak puas, mereka juga menutup jalan sekitar dan lagi-lagi sempat menahan mobil berplat merah. Hari Rabu (28/12), aksi mereka ditutup dengan merusak pos polisi yang terletak di seberang kampus sebagai simbol kekesalan mereka terhadap aparat. Serpihan kaca yang pecah dari bangunan pos polisi menjadi saksi bisu aksi mereka. Situasi yang mirip juga terjadi di beberapa tempat lainnya. Di Jakarta misalnya, massa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Sape-Lambu Jakarta (FKM-Salaja) membakar foto Bupati Bima dan Kapolda NTB dalam demonstrasi yang kemudian berakhir dengan aksi saling dorong dengan aparat keamanan di depan Mabes Polri. Merasa kurang puas dengan terhentikannya aksi mereka, massa FKM-Salaja lalu memindahkan aksinya di depan Bundaran Hotel Indonesia serta melanjutkan protes dengan membakar ban bekas. Sehari sebelumnya (27/12) di Mataram, sekitar 300 orang dari berbagai organisasi menutup ruas jaan di perempatan Bank Indonesia untuk menggelar demonstrasi yang menuntut agar Kapoda NTB mundur dari jabatannya. Di Makassar, Senin kemarin (26/12), massa yang kurang lebih berjumlah sebanyak 500 orang ini melakukan pengerusakan terhadap tiga pos polisi lalu lintas dan traffic light. Di Surabaya, Tuban, dan beberapa tempat lain juga digelar unjuk rasa serupa. Hanya sedikit aksi solidaritas yang berlangsung damai, kebanyakan malah memperpanjang lingkaran kekerasan yang semula dipicu oleh tragedi Bima. Solidaritas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata solidaritas diartikan sebagai sifat atau perasaan solider, sifat satu rasa, senasib serta perasaan setia kawan. Dengan kata lain, seseorang yang solider terhadap kawannya, akan turut merasakan apapun yang kawannya rasakan. Jika satu orang menderita, lainnya ikut menderita. Berbeda tipis dengan tenggang rasa, solidaritas acapkali dibarengi dengan tindakan yang mengusahakan agar kawannya itu tidak lagi merasa kesusahan. Aksi solidaritas tragedi Bima yang dilancarkan oleh massa di berbagai tempat sejatinya merupakan salah satu upaya mendukung para korban, namun rasanya salah jika dukungan tersebut diartikan sebagai upaya balas dendam terhadap aparat. Esensi solidaritas itu sendiri tampak berkurang saat masyarakat terlalu sibuk merusak pos aparat dan bukannya memberi dukungan secara langsung, yang notabene adalah inti dari rasa kesetia-kawanan.

Tragedi Bima yang mereka perjuangkan keadilannya memang dimulai dari kekerasan, tapi apa lantas kekerasan atas nama solidaritas sebagai bentuk protes terhadap kekerasan sanggup dibenarkan? Apakah kata solidaritas harus selalu diidentikkan dengan balas dendam? Lingkaran Setan Urutannya begini. Aparat melakukan kekerasan terhadap warga Bima, massa di berbagai tempat bergejolak lalu melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk protes, terjadi kerusuhan, aparat terpaksa membubarkan dengan kekerasan, dan begitu seterusnya. Pendek kata, kekerasan akan membuahkan kekerasan yang kemudian menelurkan kekerasan lagi, melahirkan kekerasan lainnya, dan pada akhirnya hanya akan melanjutkan lingkaran setan kekerasan. Padahal, cobalah pikir baik-baik, apakah dengan melakukan aksi anarkis, sisa masyarakat yang tidak ikut terlibat akan menjadi simpati dengan tindakan mereka? Atau jangan-jangan aksi mereka akan membuat masyarakat luas berpikir bahwa wajar saja jika aparat membubarkan protes semacam itu secara paksa, lha wong mereka sendiri juga lebih dulu bersikap anarkis. Apalagi protes mereka juga dibarengi dengan tindakan dekstruktif seperti merusak fasilitas umum, membakar ban, serta membajak mobil dinas. Tindakan yang bukan hanya kurang penting, tapi juga dapat mengganggu kestabilan sosial. Bukan tidak mungkin anarkisme mereka akan membuat orang awam mendapat gambaran yang salah akan kasus ini dan cenderung lebih pro terhadap aparat. Kalau sudah begitu, siapa yang mau disalahkan? Lebih dari itu, yang menjadi pertanyaan terbesar adalah apakah tindakan anarkis yang lahir dari tindakan anarkis ini lantas membuat pemerintah bergegas bertindak menanggulangi, atau malah menimbulkan kecenderungan bagi aparat untuk berlaku makin represif terhadap demonstran? Salah-salah, aksi solidaritas mereka bukannya menyelesaikan masalah, namun menimbulkan permasalahan baru. Apalagi dalam situasi seperti ini, siapa yang bisa menjamin bahwa mereka tidak disisipi orang-orang oportunis yang memanfaatkan keadaan ini untuk membuat kerusuhan demi keuntungan mereka sendiri? Violence is Never the Answer Solider atau setia kawan tidak melulu harus merupakan aksi membalas dendam terhadap pihak yang dianggap merugikan. Mewujudkan analogi mata ganti mata dan gigi ganti gigi hanya akan membuat semua orang buta dan ompong pada akhirnya. Tidak ada yang diuntungkan dari lingkaran setan bernama kekerasan ini. Padahal bukankah lebih baik jika alih-alih menunjukkan rasa setia kawan itu dengan protes yang berujung anarkis, mereka memberikan bantuan-bantuan suportif yang efeknya bisa langsung terasa? Seperti misalnya menggalang sumbangan bagi pengobatan dan perawatan korban tragedi Bima, menyediakan bantuan hukum untuk menggugat aparat dan petinggi-petinggi Bima jika pemerintah tidak kunjung menangani masalah ini, mengadakan aksi protes damai, dan masih banyak lagi. Sayangnya kenyataannya tidak begitu. Seakan-akan darah yang tertumpah dari tragedi Bima tidak cukup, aksi solidaritas yang pada mulanya dimaksudkan untuk membantu mempercepat penyelesaian kasus, malah justru mencipratkan lebih banyak darah ke wajah demokrasi negeri ini. Saya rasa, atas nama solidaritas atau tidak, kekerasan tidak pernah menjadi jawaban atas apapun. Kehadirannya justru membuka pertanyaan baru, akankah tragedi ini menjadi pemicu tragedi-tragedi berdarah lainnya?

Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/solidaritas#ixzz1iMwKADQD (diakses tanggal 3/1/2012)


http://www.hefamily.org/10606/aksi-solidaritas-bima-muncul-di-berbagai-kota (diakses tanggal

3/1/2012) http://www.detiknews.com/read/2011/12/28/183145/1801786/10/mahasiswa-ums-kembali-aksipos-polisi-dirusak (diakses tanggal 3/1/2012)

Mahasiswa UMS Kembali Aksi, Pos Polisi Dirusak


Muchus Budi R. - detikNews Rabu, 28/12/2011 18:31 WIB

Solo - Sekitar 100 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali turun ke jalan, Rabu (28/12/2011) sore. Mereka mengecam serangkaian perilaku polisi yang kemudian dilampiaskan dengan merusak pos polisi di depan kampus UMS. Aksi gabungan sejumlah organisasi mahasiswa tersebut digelar di pertigaan Jalan Ahmad Yani di depan kampus UMS di Pabelan, Kartosuro, Sukoharjo. Mereka mengecam perilaku polisi dalam kasus Mesuji, Bima, hingga penangakapan dan pemukulan polisi terhadap belasan anggota IMM yang menggelar aksi di tempat yang sama pada Selasa siang kemarin. Tidak seperti kemarin, aksi kali ini sama sekali tidak dihadapi oleh polisi. Memang terlihat ada sejumlah anggota polisi berpakaian bebas di sekitar lokasi aksi, tetapi tidak ada satu pun polisi berseragam yang terlihat siaga untuk pengamanan aksi. Karena itulah para mahasiswa semakin leluasa menumpahkan kekesalannya kepada polisi. Di ujung aksinya, para mahasiswa melampiaskan kekesalannya dengan melempari pos polisi yang berada tepat di sisi pertigaan. Karuan saja, kaca bagunan pos jaga polisi tersebut hancur berantakan. Usai melampiaskan kejengkelannya, massa mahasiswa kembali ke kampus untuk membubarkan diri. Sementara itu, dari siang hingga sore, polisi mengalihkan arus lalu-lintas dari kedua arah sehingga jalan depan kampus UMS benar-benar lengang. Dari arah Solo menuju Kartosuro kendaraan dialihkan ke Jalan Slamet Riyadi Makamhaji mulai dari pertigaan Papagan, sedangkan dari arak Kartosuro menuju Solo, kendaraan juga dialihkan masuk Jalan Slamet Riyadi mulai dari pertigaan Gembongan. Karuan saja Jalan Slamet Riyadi Kartosuro mengalami kepadatan dan sempat macet total. (mbr/anw)

Aksi Solidaritas Bima Muncul di Berbagai Kota


December 27, 2011 |

Mereka umumnya mengecam polisi dan meminta Kapolda NTB dicopot dari jabatannya

Aksi solidaritas menyusul tewasnya dua aktivis akibat kekerasan polisi di Bima pada 24 Desember 2011 memunculkan gerakan solidaritas di berbagai kota. Hari ini, muncul demonstrasi di Mataram, Surabaya dan Tuban. Di Mataram, sekitar 300 orang dari berbagai organisasi menggelar demonstrasi dengan cara menutup ruas jalan di perempatan Bank Indonesia, Mataram. Dalam aksi yang dipimpin Ali Usman Alkhairi, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, menuntut agar Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Brigadir Jenderal Arief Wachyunadi mundur dari jabatannya. Ratusan mahasiswa tersebut menggelar long march dari Universtias Mataram dan berkumpul di Bundaran Bank Indonesia. Mereka menggelar spanduk dan poster bertuliskan kecaman terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian saat membubarkan masa di Pelabuhan Sape,Bima. Dalam orasinya, Ali mengatakan tindakan represif aparat kepolisian di Sape Bima sebagai tindakan tak berperikemanusiaan. Pendudukan Pelabuhan Sape Bima, oleh warga Kecamatan Lambu menurutnya adalah bentuk kepedulian terhadap kepentingan umum. Bagaimana mungkin aparat penegak hukum malah menembaki rakyatnya dengan membabi buta. Itu bentuk korporasi yang menghancurkan rakyat Indonesia, kata Ali Alhairi di Mataram, Senin 26 Desember 2011.

Tidak hanya itu, kekerasan terhadap warga Lambu yang menuntut penghentian tambang emas di area seluas 24.000 hektar menurut Ali merupakan tuntutan yang wajar. Terlebih kawasan itu merupakan kawasan sumber air dan menjadi harapan warga Lambu. Ali juga mengaku curiga dengan data yang dirilis polisi terkait jumlah korban tewas dan lukaluka dalam insiden berdarah Sabtu pagi itu. Malah dia menyebut lebih dari lima orang tewas dan jenazahnya dimakamkan oleh pihak keluarga. Informasi yang kami peroleh korban tewas lebih dari dua orang. Korban tewas langsung dikebumikan oleh keluarganya. Itu merupakan adat ketimuran yang dilakukan masyarakat, ujarnya. Surabaya dan Tuban Di Surabaya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Timur menggelar aksi demo di depan Mapolda Jatim Jalan A Yani Surabaya. Puluhan massa dengan membentangkan spanduk berisi kecaman, di antaranya mengecam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disebut bukan pemimpin rakyat. Selanjutnya, massa IMM menyebut polisi bukan pelindung rakyat, tetapi juga centeng pemodal. Terbukti, lanjut orator itu, gampang mengobral tembakan dan rakyat menjadi korban. Berharap, pemerintah tegas menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dengan pendekatan humanis, IMM membeber sejumlah peristiwa kekejaman polisi. Mulai Pembantaian Mesuji di Lampung, berlanjut tragedi penembakan warga dan mahasiswa Front Rakyat Anti Tambang di Pelabuhan Sape, Bima, NTB. Kemudian, DPD IMM Jatim juga menyampaikan sikap, diantaranya mengutuk keras aksi penembakan oleh polisi terhadap warga sipil di Bima, NTB. SBY harus bertanggung jawab dengan peristiwa tersebut. Kapolri, Kapolda NTB, Kapolres Bima dan aparat yang terlibat ditindak tegas dan dipecat. IMM mendesak moratorium dan pencabutan izin seluruh penambangan, emas, batu bara dan lainnya yang merusak lingkungan dan tidak menguntungkan rakyat. Termasuk, usut keterlibatan Gubernur NTB dan Bupati Bima terkait keluarnya izin tambang di daerah tersebut. Di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, sedikitnya belasan mahasiswa yang terdiri dari Ikatan Mahasiswa Mohammadiyah (IMM) Cabang Tuban menggeruduk Markas Polres Tuban. Dalam aksinya, mereka telah memblokade jalan yang ada di depan Mapolres Tuban sehingga arus lalu lintas sempat macet. Selama aksi, suasana sempat terjadi aksi saling dorong antara demonstran dengan petugas kepolisian. Kasus Bima yang terjadi itu karena kecerobohan Polisi. Maka, kami meminta kepada Polisi untuk menuntaskan kasus tersebut, kata koordinator lapangan aksi, Saiful. Setelah meninggalkan markas Mapolres Tuban, mereka kembali menggelar aksi lagi di tengah jalan namun akhirnya, mereka langsung membubarkan diri.

S-ar putea să vă placă și