Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Dwi Khairani Hanica Relingga Dara A. Insani Sukandar Manuel Andi J. Maulana Muhammad
DEVALUATION AND THE J-CURVE SOME EVIDENCE FROM LDCs Mohsen Bahmani
The J-Curve term is used to describe the movement over time of the trade balance: it may deteriorate at first and improvement may come later
Trade Balance One might wonder why the US trade balance deteriorated so much in 1972 despite the devaluation of the dollar in 1971
time
500
400
300
200
100
1/1999
-100
2/1999
3/1999
4/1999
5/1999
6/1999
7/1999
8/1999
9/1999
10/1999
-200
-300
-400
-500
-200
The J curves Phenomenon has been explained by several factors Krueger (1983) currency contract period at the time that the exchange rate occurs, goods already in transit and under contract have been purchased and the completion of those transactions dominates the short term change in trade balance Magee (1973) pass through period The rapid increase in domestic demand due to devaluation may swamp any favorable effects that the devaluation might generate. Example: when a devaluation occurs the domestic currency price of imports increases but demand does not change, so imports value rise the foreign currency price of exports decreases but supply of exports does not change, so exports value fall Gandolfo (1989) quantity-adjustment period Quantities and prices can change.If the stability conditions of Laursen-Metzler model are satisfied the trade balance finally will improve. But from dynamic point of view it may happen that quantities dont adjust as quickly as prices do so the balance of trade initially deteriorates.
1973-1980 Greece India Korea Thailandia managed float with daily announcements of ER pegged to US dollar Fixed exchange rate to dollar with two devaluations pegged to US dollar
TB y yw M Mw (E / P)
n t 0 1 t 2 t 3 t 4 t
(+) (?)
(-)
(+)
i 0
t i
ut
(-)
Pada level mikro, keadaan alami barang atau industri diperhatikan. Dimana kecenderungan exporter untuk menyerap perubahan nilai tukar tergantung dari kompetisi yang dialaminya. Durasi dari perubahan nilai tukar. Hasil studi menunjukkan bahwa ERPT terjadi dengan lebih sempurna pada jangka panjang dengan perubahan nilai tukar yang cenderung tetap. Arah dari perubahan nilai tukar. Respon dari eksporter terhadap perubahan nilai tukar cenderung asimetris tergantung dari apa yang terjadi pada nilai tukar mata uangnya, apakah apresiasi atau depresiasi.
Ukuran perubahan nilai tukar. Perusahaan cenderung akan menyerap perubahan nilai tukar yang terjadi jika masih dirasa kecil dengan tidak merubah harga demi mempertahankan reputasi perusahaan. Derajat ERPT dalam agregat impor dapat dipengaruhi oleh berbagai macam variabel makroekonomi.
Secara umum diketahui bahwa ERPT lebih besar terjadi pada ekonomi dengan tingkat penghasilan rendah yang relative lebih kecil dan lebih terbuka dimana terdapat high share traded goods, kapasitas impor yang besar, limited domestic substitutes, dan high degree of integration with the global trading system.
Penelitian spesifik dilakukan oleh penulis pada negara-negara seperti Jepang, Korea, Hong Kong, Asia Tenggara, dan India. Untuk negara Jepang estimasi nilai ERPT untuk ekspor kepada mata uang negara tujuan nilainya 0.97, dimana ERPT untuk untuk impor Jepang hampir tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa importer asing memiliki kecenderungan menstabilkan harga dengan patokan yen sedangkan eksportir Jepang juga menstabilkan harga dengan patokan yen.
Untuk negara Korea ditemukan bahwa rata-rata elastisitas pass-through yang terjadi untuk sektor manufaktur sebesar 0.38. dimana juga ditemukan fakta bahwa semakin terkonsentrasi sebuah industry maka ERPT yang terjadi akan semakin kecil karena kompetisi yang terjadi.
Negara-negara Asia Tenggara yang diteliti adalah Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Hasil penelitoan menunjukkan bahwa tidak ditemukannya ERPT pada komoditas utama disemua negara. Dengan harga ekspor didenominasi dengan mata uang eksportir sendiri, membuktikan bahwa small open economy merupakan price taker pada pasar dunia.
Pada kasus India, nilai ERPT untuk ekspor pada masa sebelum liberalisasi adalah 0,20dan setelah liberalisasi ERPT yang terukur sebesar 0,65. Hal ini mengindikasikan India pada masa sebelum liberalisasi bertindak seperti small open economy yang berperan sebagai price taker dalam pasar dunia.
Hasil dari penelitian pada jurnal ini menunjukkan bahwa besar kecil ERPT bergantung pada periode analisa. Dengan basis country-by-country ditemukan bahwa ERPT paling tinggi terjadi di negara-negara Aisa yang sedang berkembang, dan nilai ERPT lebih kecil di negara-negara yang sudah lebih maju seperti Jepang.
Introduction
Peran PPP (asumsi) Perubahan echange rate memiliki hubungan yang positif dengan inflasi (Taylor, 2000) VAR dimana baseline casenya adalah output, exchange rate, harga impor, harga konsumen, dan harga minyak
Beberapa Literatur
Dornbusch (1987) Burnstein (2003)
Kesimpulan
ERPT tidak selalu lebih besar nilai dan efeknya pada negara berkembang dibandiingkan negara maju ERPT berkorelasi positif dengan inflasi Korelasi antara keterbukaan (degree of openness) dan ERPT lebih rendah dibandingkan korelasi antara inflasi dan ERPT, sehingga besar kemungkinan, magnitude dan arah perubahan ERPT akan positif dengan perubahan inflasi