Sunteți pe pagina 1din 14

LAPORAN PENDAHULUAN SPONDILITIS TUBERKULOSA

A. Definisi Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

B. Etiologi Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies

Mycobacterium yang lain pun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi polaresistensi obat.

C. Patofisiologi Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif
1

tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007). Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu: 1. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. 4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu: i. Derajat I Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
2

ii. Derajat II Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. iii. Derajat III Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia. iv. Derajat IV Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. 5. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan (Savant, 2007).

D. PATHWAY

E. Manifestasi Klinis Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu: a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun. b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal. d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal e. Deformitas pada punggung (gibbus) f. Pembengkakan setempat (abses) g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005). Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang

menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.


b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas

defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).

F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu: 1. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat. b. Uji mantoux positif tuberkulosis. c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium. d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel. f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah. g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein). h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
5

i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi. j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel. 2. Pemeriksaan radiologis a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle. b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras. c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral. d. Pemeriksaan mielografi. e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi

irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang. f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006).

G. Penatalaksanaan Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu: 1. Pemberian obat antituberkulosis.

2. Dekompresi medula spinalis. 3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi. 4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:


1. Terapi konservatif

a. Tirah baring (bed rest).


6

b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra. c. Memperbaiki keadaan umum penderita. d. Pengobatan antituberkulosa. Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu: i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+). a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4 bulan (54 kali). ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh. 1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali). 2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif

a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik. b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft. c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
7

a. Cold absces Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. b. Lesi tuberkulosa 1) Debrideman fokal. 2) Kosto-transveresektomi. 3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan. c. Kifosis 1) Pengobatan dengan kemoterapi. 2) Laminektomi. 3) Kosto-transveresektomi. 4) Operasi radikal. 5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang. Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007). H. Komplikasi Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu: 1. Potts paraplegia a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf. b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. 2. Ruptur abses paravertebra a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis. b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
8

3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

I. Asuhan Keperawatan 1. PENGKAJIAN a. Aktivitas/istirahat Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin

segera, fraktur itu sendiri/terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri). b. Sirkulasi Tanda : Hipertensi (kadipotensang-kadang terlihat sebagai respon terhadap

nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah). Takikardia (respon stress, hipovolemia) Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan/massa. c. Integritas ego Gejala Tanda : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah. : taku, cemas, gelisah, menarik diri.

d. Makanan/cairan Tanda e. Hygiene Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. : mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang (ileus paralitik)

f. Neurosensori Gejala : Hilang gerakan/sensasi, spasme otot.

Kebas/kesemutan (parestesis). Tanda : deformitas local, angulasi abnormal, pemendekan rotasi, krepitasi.

Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma haji. g. Nyeri/kenyamanan Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera ((mungkin terlokalisasi pada area

jaringan/kerusakan tulang dapat berkurang pada imobilisasi; tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. h. Keamanan Tanda : Pembengkakan local, laserasi kulit, perubahan warna

10

i. Penyuluhan/pembelajaran Gejala : lingkungan cedera : memerlukan bantuan dengan transportasi,

Pertimbangan rencana pemulangan

aktivitas perawatan diri, dan tugas pemeliharaan/perawatan rumah. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa nyaman nyeri 2. Mobilitas fisik, kerusakan 3. Pertukaran gas, kerusakan 4. Disfungsi neurovascular perifer, resiko tinggi 5. Integritas kulit/jaringan, kerusakan 6. Kurang pengetahuan

3. INTERVENSI KEPERAWATAN a. Diagnose keperawatan Criteria hasil Menyatakan nyeri hilang Menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam aktivitas tidur/istirahat dengan cepat. Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual. 1) Pertahankan mobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat, traksi (menghilangakan nyeri, dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera) 2) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena (meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan menurunkan nyeri) 3) Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik termasuk intensitas (skala 0-10), perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan pada TTV dan emosi/perilaku). (memengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi, tingakat ansietas dapat memengaruhi persepsi/reaksi terhadap nyeri)
11

: gangguan rasa nyaman nyeri :

4) Berikan alternative tindakan kenyamanan. Contoh pijatan-pijatan punggung, perubahan posisi. (meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan local dan kelelahan otot.) 5) Dorong menggunakan teknik manajemen stress. Contoh relaksasi napas dalam. (memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa control, dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri yang mungkin menetap untuk periode lebih lama. 6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi. (diberikan untuk membantu menurunkan nyeri/spasme otot)

b. Diagnose keperawatan Criteria hasil

: gangguan mobilitas fisik :

menurunkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin mempertahankan posisi fungsional mempertahankan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagia tubuh, menunjukkan teknik yang memampukan melakukan aktivitas. 1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera / pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi (pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri tentang keterbatasan fisik actual, memerlukan informasi/intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan). 2) Dorong penggunaan latihan isometric mulai dengan tungkai yang sakit. (kontraksi otot isometric tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu memertahankan kekuatan dan massa otot). 3) Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodic bila mungkin bila traksi digunakan untuk menstabilkan tungkai bawah. (menurunkan risiko kontraksi fleksi panggul). 4) Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan diri. (meningkatkan otot dan sirkulasi 5) Awasi tekanan darah dengan melakukan aktivitas, perhatikan keluhan pusing. (hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama).
12

c. Diagnose keperawatan Criteria hasil

: Kurang pengetahuan :

Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan. 1) Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang (memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi) 2) Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dan di bawah fraktur 3) Informasikan pasien bahwa otot dapat tampak lembek dan atrofi (massa otot kurang), anjurkan untuk member sokongan pada sendi di atas dan di bawah bagian yang sakit dan gunakan alat bantu mobilitas, contoh verban elastic, pebahan, kruk, walker atau tongkat. 4) Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terafis fisik bila diindikasikan.

13

DAFTAR PUSTAKA

Doenges dkk. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. http://anakkomik.blogspot.com/2008/10/askep-spondilitis.html http://id.scribd.com/doc/43259295/SPONDILITIS-TUBERKULOSA

14

S-ar putea să vă placă și