Sunteți pe pagina 1din 11

Sejarah Tionghua

Masa-masa awal
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jnabhadra. Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasastiprasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok. Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu. Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang". Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.

Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.

Era Kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta. Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Peran Sosial Budaya dan Pendidikan


Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu.

Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia. Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolahsekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928. Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang. Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.

Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 milyar rupiah.

Istilah Tionghua
Istilah Tiongkok dan Tionghoa di Indonesia diperkirakan pertama kali digunakan sekitar akhir abad ke-19 dan merupakan transliterasi Chung Kuo dan Chung Hwa. Pada tahun 1901 di Indonesia didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Koan terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Cina. Organisasi internasional ini dipimpin oleh Kang Youwei dan Liang Qichao, dan di Indonesia dipimpin oleh Phoa Keng Hek di Jakarta dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Dr. Sun Yatsen untuk meruntuhkan Dinasti Qing dan menggantinya dengan "Chung Hwa Min Kuo" atau "Republik Tiongkok". Sejak saat itu orang Tionghoa-Indonesia menyebut dirinya orang Tionghoa, yang diserap dari bahasa Tionghoa, dialek Hokkian, dan menolak disebut "Cina" (pada waktu itu ditulis "Tjina") yang sudah digunakan terlebih dahulu dan berkonotasi negatif, yang diserap dari bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Jepang. Tahun 1928, Soekarno yang merasa berutang budi kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan Soekarno, sepakat mengganti sebutan "Cina" dengan Tionghoa.Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan "Hindia Belanda" dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.

Tahun 1945 di dalam teks penjelasan UUD 1945 Bab X Tentang Warganegara tercantum istilah Tionghoa, bukan "Cina". Tahun 1948 di masa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Meletusnya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis Cina, beberapa orang TionghoaIndonesia pun mendukungnya, meskipun dalam jumlah yang kecil. Karena adanya benturan politik antara kaum nasionalis dan komunis, akibatnya secara umum orang Tionghoa-Indonesia dijadikan kambing hitam dan dikait-kaitkan dengan kegiatan komunisme. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru .

Nama Tionghua
Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan dengan karakter Han (Hanzi). Nama ini digunakan secara luas oleh warga negara Republik Rakyat Cina, Republik Cina, Hong Kong, Makau dan keturunan Tionghoa di negara-negara lainnya. Nama Tionghoa biasanya terdiri dari 2 karakter sampai 4 karakter, walaupun ada yang lebih dari 4 karakter, namun umumnya nama seperti itu adalah mengambil terjemahan dari bahasa lain sehingga tidak dianggap sebagai nama Tionghoa. Nama Tionghoa mengandung marga dan nama. Marga Tionghoa diletakkan di depan nama, biasanya 1 sampai 2 karakter; nama mengikuti marga.

Mitologi Cina
Mitologi Cina adalah kumpulan sejarah, cerita rakyat, ritual, fabel dan kepercayaan yang diturunkan secara turun-temurun dalam tradisi orang Cina. Mitologi ini kemudian berkembang menjadi Kepercayaan tradisional Tionghoa setelah mendapat pengaruh Taoisme, Agama Buddha dan ajaran Konfusius. Seperti halnya Mitologi Yunani atau Mitologi Nordik yang kaya akan mitos, sebagian orang percaya isi Mitologi Cina adalah catatan sejarah yang nyata karena memiliki mitos dan legenda pembentukkan tradisi atau sejarah Cina. Para sejarawan menduga mitologi Cina sudah ada pada abad ke-12 sebelum masehi. Mitos dan legenda disampaikan turun-temurun dengan cara lisan lebih dari ribuan tahun, sebelum banyak dicatat dalam buku pada Dinasti Wei Utara and

Dinasti Jin (220-420),[1] Shui Jing Zhu, Shan Hai Jing adalah beberapa buku yang lebih condong ke arah geografi Cina kuno, sedangkan Catatan Sejarah Agung dan Catatan Musim Semi Tuan Lu lebih mengarah pada bidang sejarah. Selain itu mitos juga diceritakan melalui teater dan lagu secara turun-temurun, sebelum ditulis dalam bentuk novel seperti Fengshen Yanyi, Perjalanan ke Barat, Legenda Siluman Ular Putih, dan Kisah aneh Liaozhai.

Kalender Tionghua
Imlek (lafal Hokkian dari , pinyin: yin li, yang artinya kalender bulan) atau Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender Matahari. Kalender Tionghoa sekarang masih digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional Tionghoa dan memilih hari yang paling menguntungkan untuk perkawinan atau pembukaan usaha. Kalender Tionghoa dikenal juga dengan sebutan lain seperti "Kalender Agrikultur" (nngl /), "Kalender Yin /" (karena berhubungan dengan aspek bulan), "Kalender Lama" (jul / ) setelah "Kalender Baru" (xnl /) yaitu Kalender Masehi, diadopsi sebagai kalender resmi, dan "Kalender Xi /" yang pada hakikatnya tidak sama dengan kalender saat ini.

Cara perhitungan
Kalender Tionghoa memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan kalender umum, seperti: perhitungan bulan adalah rotasi bulan pada bumi. Berarti hari pertama setiap bulan dimulai pada tengah malam hari bulan muda astronomi. (Catatan, "hari" dalam Kalender Tionghoa dimulai dari pukul 23:00 dan bukan pukul 00:00 tengah malam). Satu tahun ada 12 bulan, tetapi setiap 2 atau 3 tahun sekali terdapat bulan ganda (rnyu, 19 tahun 7 kali). Berselang satu kali jiq (musim) tahun Matahari Cina adalah setara dengan satu pemulaan Matahari ke dalam tanda zodiak tropis. Matahari selalu melewati titik balik Matahari musim dingin (masuk Capricorn) selama bulan 11.

Hari-hari libur
Berikut adalah hari-hari perayaan Tionghoa. Tanggal-tanggal berdasarkan penanggalan Tionghoa.

Tanggal

Nama Bahasa Indonesia

Nama Mandarin

Keterangan

bulan 1 Tahun Baru Imlek hari 1 atau Festival Musim Semi

chnji

Pertemuan keluarga dan perayaan besar selama tiga hari; secara tradisional selama 15 hari

bulan 1 Festival Lampion, hari 15 sebuah hari kasih sayang

yunxioji

Memakan Yuanxiao dan pemasangan lampion

4 atau 5 Apr

Festival Membersihkan Makam, atau Ching Ming/Cheng Beng qngmngji

Pertemuan keluarga,ziarah ke makam keluarga/leluhur

bulan 5 Festival Perahu Naga, hari 5 atau Peh Cun

dunwji

Lomba perahu naga dan memakan zhongzi

bulan 7 Festival Meminta Ketrampilan, hari 7 sebuah hari kasih sayang

qqioji

Para gadis mempelajari ketrampilan rumah tangga dan 'meminta' perkawinan yang baik

bulan 7 Festival Hantu, hari 15 atau Festival Para Roh

zhngyunji

bulan 8 Festival Pertengahan Musim hari 15 Gugur

zhngqiji

Pertemuan keluarga dan memakan kue bulan

bulan 9 Festival Yang Ganda hari 9

Mendaki gunung chngyngji dan pertunjukan bunga

bulan 10 Festival Xia Yuan hari 15

xiyunji

Doa untuk tahun perdamaian kepada tuhan air

21 atau Festival Titik Balik Matahari 22 Des Musim Dingin

dngji

Pertemuan keluarga

bulan 12 Festival Masakan Arwah hari 23

xizo

Bekerja untuk memasak agar arwah terhormat

Budaya teh Tionghoa


Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Cina, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Bahkan, berlanjut di Jepang sejak masa Kamakaru (1192 1333) oleh pengikut Zen. Tujuan minum teh, agar mereka mendapatkan kesegaran tubuh selama meditasi yang bisa memakan waktu berjam-jam. Pada akhirnya, tradisi minum teh menjadi bagian dari upacara ritual Zen. Selama abad ke-15 hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk mendiskusikan berbagai hal.

Meski saat itu belum bisa dibuktikan khasiat teh secara ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah, setelah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung lemak. Mereka juga percaya, minum teh dapat melancarkan buang air seni, menghambat diare, dan sederet kegunaan lainnya.

Masakan Tionghoa-Indonesia
Masakan Tionghoa-Indonesia mempunyai ciri khas campuran antara masakan Tionghoa dengan masakan tradisional Indonesia. Masakan ini biasanya mirip dengan masakan Tionghoa yang dimodifikasi dengan cabai, santan dan bumbubumbu dari masakan Indonesia. Beberapa masakan dan kue menyerupai masakan di Malaysia. Masakan Tionghoa-Indonesia juga dapat bervariasi tergantung dari tempat. Sebagai contoh di berbagai tempat di pulau Jawa, masakan ini menjadi bagian dari budaya setempat. Di Jawa masakan ini cenderung agak manis. Di Medan, Sumatera Utara masakan tradisional Tionghoa masih lebih mudah ditemukan. Ada beberapa jenis gaya masakan Tionghoa di Indonesia:

Masakan Tionghoa gaya baru dengan koki dari Republik Rakyat Cina, Hongkong atau Taiwan. Masakan Tionghoa tradisional seperti masakan Tiochiu, Hokkian dan Hakka. Masakan Tionghoa-Indonesia dengan pengaruh barat (Belanda). Masakan Tionghoa yang diadaptasi ke budaya setempat, seperti menggantikan babi dengan ayam atau sapi untuk membuatnya halal.

Pengobatan tradisional Tionghoa


Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi: ) adalah praktik pengobatan tradisional yang dilakukan di Cina dan telah berkembang selama beberapa ribu

tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea. Pengobatan Tradisional Tionghoa percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit. Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Cina tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.

Kepercayaan tradisional Tionghoa

Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu. Secara umum, kepercayaan penghormatan yaitu:

tradisional

Tionghoa

mementingkan

ritual

Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang

dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup.

S-ar putea să vă placă și