Sunteți pe pagina 1din 5

Memasuki era global seperti saat ini, dunia ekonomi dan perdagangan pada khususnya mengalami perubahan sistem

yang signifikan. Pasar bebas berarti masuknya komoditi barang dan jasa bebas tanpa ada lagi perlakuan istimewa yang bersifat nasional maupun regional. Karena Indonesia negara kepulauan maka memerlukan sarana angkutan laut yang lebih dibandingkan dengan sarana yang lainnya. Hal ini diperlukan guna menghubungkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, atau dengan negara lain, terutama yang belum terjangkau oleh sarana angkutan darat maupun sarana udara. Pengangkutan barang melalui laut skalanya lebih besar dibandingkan dengan pengangkutan barang melalui darat maupun udara. Dengan adanya hal tersebut berarti peluang terjadinya bahaya laut (Sea Perils) akan ada. Namun bahaya laut ini hanya dapat dikurangi intensitasnya atau diperkecil kemungkinannya, sebab bagaimanapun juga kemungkinan terjadinya kerugian karena adanya bahaya laut ini jauh lebih besar dari pada risiko akibat bahaya didarat dan diudara. Untuk keamanan, keselamatan dan kelancaran pengangkutan barang, baik eksportir maupun importir banyak menggunakan sistem container. Kemajuan bidang pengangkutan terutama yang digerakkan secara mekanik akan menunjang pembangunan diberbagai sektor, salah satunya sektor perdagangan, pengangkutan mempercepat penyebaran perdagangan, barang kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pembangunan sampai keseluruh pelosok tanah air. Negara Indonesia sebagai negara kepulauan dalam rangka mencapai tujuan cita-citanya seperti yang ditetapkan dalam konsep wawasan nusantara memerlukan sarana transportasi yang mantap. Salah satu sarana transportasi yang memegang peranan penting adalah angkutan laut. Era kontainerisasi di dalam pengangkutan laut telah banyak manfaat yang diberikan termasuk di dalamnya adalah meminimalisir kerusakan dan atau kerugian terhadap kargo yang diangkut di dalamnya. Akan tetapi seringkali terjadi kerugian (loss) yang berupa kehilangan barang (shortage claim). Sering kali consignee sebagai buyer tidak menerima barang dalam jumlah yang disepakati di dalam sales and purchase contract atau seperti yang dideklarasikan oleh seller sebagai shipper kepada pengangkut di dalam packing list. Dalam menyelenggarakan pengangkutan harus memperhatikan 4 azas hukum pengangkutan yaitu : 1. Azas Konsensual / timbal balik

Azas ini tidak mensyaratkan bentuk pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara para pihak. 2. Azas Koordinasi

Adalah azas yang mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan. 3. Azas Campuran

Adalah perjanjian pengangkutan yang merupakan campuran tiga jenis pengangkutan yaitu memberi kuasa dari pengirim kepada pengangkut, menyimpan barang oleh pengangkut dan melakukan pekerjaan kepada pengirim oleh pengangkutan. 4. Hak Retensi

Merupakan hak dalam pengangkutan yang tidak dibenarkan dan bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan.

1.

Perjanjian Pengangkutan

Defenisi perjanjian pengangkutan menurut Purwo Sucipto adalah sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain atau tujuan tertentu dengan selamat. Perjanjian pengangkutan niaga adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan.

Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang, dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggaraka pengangkutan barang kesuatu tempat tujuan tertentu, dan pihak-pihak pengirim barang mengikatkan dirinya pula untuk membayar ongkos angkutannya. Berdasarkan pengertian perjanjian pengangkutan diatas, didalam perjanjian pengangkutan terlibat dua pihak, yaitu : 1. 2. Pengangkut Pengirim barang

Penerima barang dalam kerangka perjanjian pengangkutan tidak menjadi para pihak. Penerima merupakan pihak ketiga yang berkepentingan atas penyerahan barang.

2.

Asuransi Laut

Asuransi pengangkutan laut ( Marine insurnace ) merupakan suatu perjanjian pertanggungan ( Contrac of indemnity ) antara penanggung ( insurer ) dan tertanggung ( assurer ) atas kepentingan yang berhubungan dengan kapal sebagai alat pengangkut dan barang sebagau muatan kapal dari kemungkinan resiko kerusakan / kerugian yang di akibatkan oleh bahaya-bahaya laut ( maritime perils ) atau bahaya lain yang berhubungan dengan bahaya laut. Dalam prakteknya selain terjalin antara hak dan kewajiban antara penanggung dan tertanggung maka tidak dapat diabaikan kemungkinan adanya kepentingan dan tanggung jawab pihak lain / pihak ketiga baik sebagai penyebab kejadian maupun sebagai korban kejadian yang menyebabkan kerugian. Jika terjadi kerugian maka pihak asuransi berkewajiban memberikan ganti rugi atas kerusakan /kerugian barang, tetapi pihak asuransi bukanlah pihak yang bertanggung jawab atas penyebab timbulnya permasalahan tersebut. Dalam penyelesaian klaim sering melibatkan banyak pihak seperti, surveyor, serta pihak yang bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut seperti, pelayaran, Perusahaan bongkar muat, perusahaan pengankutan, pengelola terminal pelabuhan serta pihak terkait lainnya. Di sisi lain pelabuhan sebagai tempat dimana kapal melakukan kegiatan dan sebagai tempat penanganan barang-barang dari ke kapal tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya resiko kerugian akibat bahaya-bahaya di pelabuhan 9 port perils, juga mejadi tempat bagi pelaksanaan penutupan asuransi maupun penyelesaian kasus / klaim. Berdasarkan hal tersebut diatas sangatlah penting bagi semua orang-orang yang bekerja pada perusahaan dan jasa kepelabuhanan untuk dapat memahami asuransi pengangkutan laut atau marine insurance and claim, dimana jika terjadi kasus-kasus maka ia dapat berperan sesuai dengan prinsip dan ketentuan yang ada dibidang tersebut.

3.

Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut

Dalam ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan setidak-tidaknya dikenal adanya 3 (tiga) prinsip tanggung jawab, yaitu : a. b. c. Prinsip tanggungjawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault); Prinsip tanggungjawab berdasarkan praduga (presumption of liability); Prinsip tanggungjawab Mutlak (no fault liability, atau absolute atau strict liability).

Cara membedakan prisnsip-prinsip tanggung jawab tersebut pada dasarnya diletakan pada masalah pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian diletakan dalam proses penuntutan. 4. Menentukan Pihak yang bertanggung jawab :

Untuk dapat menentukan pihak yang bertanggung jawab maka harus ditentukan:

1. 2. 3.

Pihak-pihak yang terlibat di dalam pengangkutan. Apakah kondisi seal kontainer dalam keadaan utuh (seal intact) Bagaimanakah perjanjian yang disepakati oleh pengirim barang dengan pihak pengangkut yang berkaitan dengan klaim kehilangan barang.

Dasar hukum Dasar Hukum yang digunakan dalam kasus kerugian yang berupa kehilangan barang adalah perjanjian pengangkutan Bill of Lading, Haque Rules 1924/1968, Sales and purchase contract jika kerugian yang berupa kekurangan barang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari penjual (seller).

Proses pengangkutan adalah sebagai berikut : 1. Pertama, Eksportir akan memuat (stuffing) kargonya ke dalam kontainer digudangnya/gudang CFS pihak yang terlibat disini adalah eksportir atau Warehousing, 2. Kargo dibawa dengan truk ke container yard pelabuhan muat (port of loading) pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking dan Pihak Pelabuhan muat, 3. Kargo dimuat ke atas kapal dan dibongkar di container yard pelabuhan bongkar (port of discharge) yang terlibat adalah perusahaan pelayaran (Shipping Line) dan Pihak Pelabuhan Bongkar, 4. Kargo dibawa ke Gudang dengan truk ke gudang Importir/ Gudang CFS pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking dan Importir/Warehousing. Untuk melaksanakan pengangkutan tsb maka pihak eksportir/importir biasanya akan mensubkontrakan ke satu pihak yaitu freight forwarder dan freight forwarder akan mensubkontrakan ke pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan seperti disebut dalam tahap pertama sampai dengan tahap keempat. Melihat dari proses tersebut maka potensi terjadinya kehilangan kargo ada pada setiap tahap tersebut dan pihak-pihak yg terlibat tersebut adalah pihak yang berpotensi untuk bertanggung jawab. Untuk memperjelas proses di atas maka sebagai contoh adalah sebagai berikut Eksportir pada saat stuffing ia mendeklarasikan jumlah yang dimuat adalah 15 bale dengan per bale 400pcs kemudian setelah dimuat didalam kontainer maka kontainer kemudian diseal dan diangkut dengan trucking ke container yard pelabuhan muat seterusnya sampai kontainer tersebut dibongkar di gudang consignee atau jika shipment dari shipper adalah LCL (muatan Less than container load) dimana konsolidasi di CFS (Container Freight Station) maka ada kemungkinan proses transhipment dimana kargo akan destuffing dan direstuffing lagi ke kontainer baru sesuai dengan tujuan/destination dari kargo tersebut sehingga potensi terjadinya kehilangan kargo ada pada proses destuffing dan restuffing tersebut. Apabila ketika dilakukan destuffing di gudang consignee atau CFS pelabuhan bongkar jumlah barang berkurang tidak seperti yang dideklarasikan misal hilang 3 bale maka timbullah hak tuntutan ganti rugi dari importer atau penerima barang. Terhadap contoh kasus diatas siapakah yang harus bertanggung jawab untuk menentukan hal tersebut harus diperoleh bukti dalam kondisi seperti apakah seal kontainer tersebut beralih dari satu pihak ke pihak lainnya. Apabila kondisi seal dalam penguasaan pihak trucking dalam keadaan sudah rusak kemudian diadakan survey ternyata jumlah barang berkurang maka tanggung jawab ada pada pihak trucking tersebut. Sehingga pada saat proses peralihan kargo adalah saat yang sangat penting untuk memeriksa kondisi seal, apabila kondisi seal rusak atau diganti dengan seal baru atau ada sesuatu yang tidak wajar segera dilakukan pemeriksaan dan atau survey sebelum beralih ke pihak berikutnya. Rusaknya seal bisa disebabkan karena rough handling terhadap kontainer dan biasanya kargo masih dalam jumlah yang utuh. Apabila rusaknya seal adalah karena tindak pencurian (pilferage) maka jumlah kargo akan berkurang. Terhadap kasus di atas bagaimanakah jika kondisi seal masih dalam keadaan utuh dari gudang shipper sampai gudang consignee akan tetapi ketika kargo dibongkar di gudang consignee atau CFS ternyata jumlah kargo berkurang. Terhadap hal tersebut adalah sulit untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab, akan tetapi terhadap hal tersebut ada kemungkinan bahwa jumlah barang yang tidak sesuai antara yang dideklarsasikan shipper dengan yang diterima oleh consignee adalah karena kesengajaan dan atau kelalaian dari shipper di dalam menghitung jumlah barang yang ia muat ke dalam kontainer.

Dalam contoh kasus di atas shipper sengaja dan atau lalai tidak memuat atau menstuffing 3 bale sehingga consignee hanya menerima 12 bale. Apabila shipment dari shipper adalah LCL dan terjadi proses transshipment dimana barang didestuffing kemudian direstuffing ke kontainer baru bersama kargo-kargo shipper lainnya untuk dikapalkan sesuai tujuannya (destinasinya) maka ada kemungkinan kargo hilang pada saat proses destuffing dan restuffing tersebut dengan kemungkinanan karena kesengajaan dan atau kelalaian pihak consolidator di transhipent port atau karena faktor diluar itu misal tindak pencurian (pilferage). Apabila terhadap hal tersebut bisa dibuktikan maka pihak shipper atau CFS ditranshipment port adalah pihak yang bertanggung jawab. Terhadap kasus seperti tersebut apakah tuntutan ganti rugi bisa diajukan ke pelayaran (shipping Line) sebagai carrier. Terhadap hal tersebut tentu harus mengacu pada clausul-clausul yang diatur di dalam bill of lading. Pada umumnya Pihak pelayaran menerapkan ketentuan Shipper load, count and seal yang menentukan bahwa pihak shipperlah yang memuat, menghitung dan memasang seal terhadap muataanya sehingga carrier tidak bertanggung jawab apabila jumlah yang dikirim berkurang karena yang melakukan pemuatan, penghitungan dan pemasangan seal adalah pihak shipper sendiri dan pihak pelayaran tidak mengetahui hal tersebut. Didalam clause shipper, load, count and seal maka Pelayaran membebaskan diri dari tanggung jawab tersebut termasuk didalamnya karena pihak pelayaran tidak mengetahui tentang tanda-tanda dan jumlah, jenis pengepakan, kualitas, kuantitas, ukuran, berat, sifat dst dari kargo tersebut. Pihak pelayaran sebagai pengangkut hanya mengetahui dan mengakui telah menerima sejumlah barang dari pengirim, dalam keadaan baik dilihat dari luar (in apperant good order and condition) sesuai jumlah partai kemasan barang yang dimuat ke atas kapal atau sejumlah kontanier yang ia terima seperti yang disebutkan di dalam bill of lading, dimana pengangkut secara nyata tidak mengetahui isi yang sebenarnya dari barang dalam kemasan (Prima Facie Evidence). Sehingga terhadap tuntutan ganti rugi hilangnya atau berkurangnya barang pihak pelayaran tidak bertanggung jawab kecuali dapat dibuktikan bahwa barang hilang atau berkurang jumlahnya karena kesengajaan dan atau kelalaian pihak pelayaran ketika barang tersebut dalam penguasaannya (Carriers care and custody).

Hal-hal yang harus dilakukan jika terjadi kehilangan atau jumlah kargo berkurang: a. mengadakan joint survey yang dihadiri para pihak terkait termasuk consignee dan atau insurancenya, pengangkut dan atau asuransinya. b. melakukan langkah investigasi ke belakang (trace back) untuk dapat menentukan pihak yang sebenarnya bertanggung jawab. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh para pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan seperti disebut diatas terutama mengenai kondisi seal dalam proses peralihan tersebut.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan setidak-tidaknya dikenal adanya 3 (tiga) prinsip tanggung jawab, yaitu : 1. 2. 3. Prinsip tanggungjawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault); Prinsip tanggungjawab berdasarkan praduga (presumption of liability); Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault liability, atau absolute atau strict liability).

Pada prinsipnya pengangkutan merupakan perjanjian yang tidak tertulis. Para pihak mempunyai kebebasan menentukan kewajiban dan hak yang harus dipenuhi dalam pengangkutan. Undang-undang hanya berlaku sepanjang pihak-pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian yang mereka buat dan sepanjang tidak merugikan kepentingan umum. Untuk memperbaiki keadaan tersebut maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah pertama, meningkatan kecermatan dan kehati-hatian pengecekan kargo di dalam proses peralihan dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga apabila ada kerusakan bisa segera diketahui dan ditentukan pihak yang sebenarnya harus bertanggung jawab. Kedua, Memperjelas hukum perjanjian yang disepakati oleh pihak pemilik barang dengan pengangkut yang berkaitan dengan klausul pengajuan klaim dan tuntutan ganti rugi yang memperjelas jenis-jenis kerusakan seperti apa yang bisa dituntut dan dipertanggungjawabkan oleh pemilik barang kepada pengangkut.

DAFTAR PUSTAKA

Radiks Purba. 1998. Asuransi Pengangkutan Laut. Jakarta: Rineka Cipta. http://hukumpengangkutan.blogspot.com/2005/06/klaim-kehilangan-barang-siapa-yang.html http://pelabuhantelukbayur.blogspot.com/

S-ar putea să vă placă și