Sunteți pe pagina 1din 37

Apr 11

TRAUMA KEPALA
A. Definisi Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001). B. Klisifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG): 1. 3. Minor SKG 13 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. SKG 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. Berat SKG 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2. Sedang

C. Etiologi Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. Cedera akibat kekerasan D. Patofisiolog Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan

karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya E. Tipe Trauma kepala : 1. Trauma kepala terbuka. 2. Trauma kepala tertutup. Trauma kepala terbuka : Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai : Merobek duramater LCS merembes. Saraf otak Jaringan otak. Gejala fraktur basis : Battle sign. Hemotympanum. Periorbital echymosis. Rhinorrhoe. Orthorrhoe. Brill hematom. Trauma Kepala Tertutup : 1. Komosio 2. Kontosio. 3. Hematom epidural. 4. Hematom subdural. 5. Hematom intrakranial. Komosio / gegar otak : Cidera kepala ringan Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali. Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit. Tanpa kerusakan otak permanen.

Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah. Disorientasi sementara. Tidak ada gejala sisa. MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital. Tidak ada terapi khusus. Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --- berdiri -- pulang. Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup. Kontosio Cerebri / memar otak : Ada memar otak. Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan. Gejala : Gangguan kesadaran lebih lama. Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi. Gejala TIK meningkat. Amnesia retrograd lebih nyata. Hematom Epidural : Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal dan frontal. Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus. Katagori talk and die. Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang). Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

Hematom Subdural :

Perdarahan antara duramater dan arachnoid. Biasanya Akut : Gejala 24 - 48 jam. Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata. PTIK meningkat. Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat. Sub Akut : Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat --- kesadaran menurun. Kronis : Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan. Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas. Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia. Hematom Intrakranial : Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh kontosio. Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak. Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal. F. Tanda dan gejala Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih Kebungungan Iritabel Pucat Mual dan muntah pecah vena --akut, sub akut, kronis.

Pusing kepala Terdapat hematoma

Kecemasan Sukar untuk dibangunkan

Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. G. Penatalaksaan medis Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT) Rotgen Foto CT Scan MRI H. Kemungkinan data fokus 1. Pemeriksaan fisik Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut : 1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll. 2. Riwayat Kesehatan : Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang. Riwayat penyakit dahulu : Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.

3. Pemeriksaan Fisik : Aspek Neurologis : Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tandatanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese. Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimabangan tubuh. Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor. Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah. Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial. Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu

sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan. Aspek Kardiovaskuler : Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki. Aspek sistem pernapasan : Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh. Aspek sistem eliminasi : Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.

Glasgow Coma Scale : I. Reaksi Membuka Mata. 4. Buka mata spontan. 3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara. 2. Buka mata bila dirangsang nyeri. 1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun. II. Reaksi Berbicara 4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.

3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person. 2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak membentuk kalimat. 1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun. III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai 6. Mengikuti perintah. 5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan. 4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan. 3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal. 2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal. 1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 4. Pengkajian Psikologis : Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya. Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman. 5. Data spiritual : Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran. 3. Pemeriksaan diagnostik Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut: a. Observasi 24 jam

b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi. d. Anak diistirahatkan atau tirah baring. e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi. f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi. g. Pemberian obat-obat analgetik. h. Pembedahan bila ada indikasi. No

Prioritas

Diagnosa

Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah karena adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma)

2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan kerusakan pusat pernapasan di medulla oblongata. 3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak. 4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus. 5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran. 6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring. 7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan sensoris. 8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak. 9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial. 10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.

Intervensi :

1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK. R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan. 2. Monitor GCS dan mencatatnya. R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan lokasi dari lesi. 3. Memonitor tanda-tanda vital. R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan perkembangan dari gangguan batang otak. 4. Evaluasi pupil. R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial. 5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski. R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek

dari gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak piramidal. 6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan. R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang peningkatan ICP. 7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa. R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH. 8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang banyak pada kepala. R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena cerebral dan meningkatkan ICP. 9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur. R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif. 10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh. R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah. 11. Bantu pasien jika batuk, muntah.

R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP. 12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari. R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatakan ICP. 13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi. R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.

Kolaborasi : 14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi. R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan edema/resiko 15. Berikan cairan pada intra pembuluh vena terjadi sesuai dengan yang darah ICP. dindikasikan. dan ICP. Oksigen. menaikkan contohnya : mannitol, dan methyl edema ICP. furoscide. ICP. prednisolone. jaringan.

R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan minimum 16. darah 17. dan 18. R/ Untuk Berikan obat dan Diuretik edema contohnya inflamasi : (radang) darah, Berikan tekanan

R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan volume

R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain cells, mengurangi Berikan Steroid menurunkan cerebral Dextamethason, dan mengurangi

19. tetapi 20. R/ 21.

Berikan dapat Berikan Mungkin

analgesik digunakan

dosis dengan mengontrol

tinggi sebab contoh

contoh untuk : istirahat :

Codein. mencegah. Benadryl. dan agitasi.

R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada ICP Sedatif untuk antipiretik,

digunakan

kurangnya

Berikan

contohnya

aseptaminophen.

R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan. DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.

Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak dipublikasikan. Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.

Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara. Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC. Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3. 4.

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001. Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

TRAUMA KEPALA
A. Definisi Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

B. Klisifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG): 1. Minor SKG 13 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2. Sedang SKG 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. 3. Dapat mengalami fraktur tengkorak. Berat SKG 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

C. Etiologi Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. Cedera akibat kekerasan

D. Patofisiolog Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan

akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya

E. Tipe Trauma kepala : 1. Trauma kepala terbuka. 2. Trauma kepala tertutup. Trauma kepala terbuka : Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai : Merobek duramater LCS merembes. Saraf otak Jaringan otak. Gejala fraktur basis : Battle sign.

Hemotympanum. Periorbital echymosis. Rhinorrhoe. Orthorrhoe. Brill hematom.

Trauma Kepala Tertutup : 1. Komosio 2. Kontosio. 3. Hematom epidural. 4. Hematom subdural. 5. Hematom intrakranial.

Komosio / gegar otak : Cidera kepala ringan Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali. Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.

Tanpa kerusakan otak permanen. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah. Disorientasi sementara.

Tidak ada gejala sisa. MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital. Tidak ada terapi khusus. Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --berdiri -- pulang. Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

Kontosio Cerebri / memar otak : Ada memar otak. Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan. Gejala : Gangguan kesadaran lebih lama. Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi. Gejala TIK meningkat. Amnesia retrograd lebih nyata. Hematom Epidural : Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal dan frontal. Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.

Katagori talk and die. Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang). Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

Hematom Subdural : Perdarahan antara duramater dan arachnoid. Biasanya Akut : Gejala 24 - 48 jam. Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata. PTIK meningkat. Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat. pecah vena --akut, sub akut, kronis.

Sub Akut : Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat --kesadaran menurun. Kronis :

Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan. Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas. Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

Hematom Intrakranial : Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh kontosio. Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak. Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.

F. Tanda dan gejala Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih Kebungungan Iritabel Pucat Mual dan muntah

Pusing kepala Terdapat hematoma

Kecemasan Sukar untuk dibangunkan Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

G. Penatalaksaan medis Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT) Rotgen Foto CT Scan MRI

H. Kemungkinan data fokus 1. Pemeriksaan fisik Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut : 1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll. 2. Riwayat Kesehatan : Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah,

dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang. Riwayat penyakit dahulu : Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.

3. Pemeriksaan Fisik : Aspek Neurologis : Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese. Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimabangan tubuh. Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang

pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor. Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah. Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial. Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan. Aspek Kardiovaskuler : Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki. Aspek sistem pernapasan : Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus.

Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.

Aspek sistem eliminasi : Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan. Glasgow Coma Scale : I. Reaksi Membuka Mata. 4. Buka mata spontan. 3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara. 2. Buka mata bila dirangsang nyeri. 1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun. II. Reaksi Berbicara 4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat. 3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person. 2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata tidak membentuk kalimat. 1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.

III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai 6. Mengikuti perintah. 5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan. 4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan. 3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal. 2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal. 1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

4. Pengkajian Psikologis : Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya. Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orangorang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.

5. Data spiritual : Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.

3. Pemeriksaan diagnostik Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut: a. Observasi 24 jam b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi. d. Anak diistirahatkan atau tirah baring. e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi. f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi. g. Pemberian obat-obat analgetik. h. Pembedahan bila ada indikasi. No

Prioritas

Diagnosa

Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah karena adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma)

2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan kerusakan pusat pernapasan di medulla oblongata.

3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.

4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.

5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan berhubungan dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran.

6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah sensoris. baring. 7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan

8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak.

9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.

10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.

Intervensi :

1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

R/

Deteksi

dini

untuk

memprioritaskan

intervensi,

mengkaji

status

neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.

2. Monitor GCS dan mencatatnya.

R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan lokasi dari lesi.

3. Memonitor tanda-tanda vital.

R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan perkembangan dari gangguan batang otak.

4. Evaluasi pupil.

R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari

gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial.

5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski. R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek dari gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak piramidal.

6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.

R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang peningkatan ICP.

7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa. R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH.

8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang banyak pada kepala.

R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena cerebral dan meningkatkan ICP.

9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.

R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif.

10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.

R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah. 11. Bantu pasien jika batuk, muntah.

R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.

12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.

R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatakan ICP.

13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.

R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP. Kolaborasi :

14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi. R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan 15. Berikan edema/resiko cairan intra vena sesuai terjadi dengan yang ICP. dindikasikan.

R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan ICP. 16. volume 17. cells, Berikan dan darah obat Diuretik Berikan dan contohnya edema menaikkan : mannitol, dan Oksigen. ICP. furoscide. ICP. R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan

R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain mengurangi cerebral 18. Berikan Steroid contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone. R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan. 19. pada 20. 21. Berikan ICP tetapi Berikan Berikan analgesik dapat dosis digunakan Sedatif antipiretik, tinggi dengan contoh contohnya : contoh sebab untuk : : Codein. mencegah. Benadryl. aseptaminophen. R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif

R/ Mungkin digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi. R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan. DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC. Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada

Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak dipublikasikan. Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung. Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara. Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC. Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.

2.

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.

3.

Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.

4.

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

S-ar putea să vă placă și