Sunteți pe pagina 1din 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Cedera Kepala Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.10,11

2.2. Anatomi Kepala 2.2.1. Kulit Kepala (scalp)12 Kulit kepala menutupi cranium/tengkorak yang terdiri dari lima lapis jaringan yaitu kulit (skin), jaringan ikat (connective tissue), galea aponeurotica (aponeurosis epicranialis), jaringan ikat jarang (loose connective tissue), dan pericranium. 2.2.2. Tengkorak Otak13 Terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi yang disebut sutura banyaknya delapan buah dan terdiri dari tiga bagian, yaitu : a. Gubah tengkorak, terdiri dari: 1. Tulang dahi (os frontal) 2. Tulang ubun-ubun (os parietal) 3. Tulang kepala belakang (os occipital)

Universitas Sumatera Utara

b. Dasar tengkorak, terdiri dari : 1. Tulang baji (os spheinoidale) 2. Tulang tapis (os ethmoidale) c. Samping tengkorak, dibentuk dari tulang pelipis (os temporal) dan sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun, dan tulang baji. Fraktur tengkorak dianggap mempunyai kepentingan primer sebagai penanda dari tempat dan keparahan cidera.

Gambar 2.1 Anatomi tengkorak12

2.2.3. Selaput Otak (Meningen)13 Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan

Universitas Sumatera Utara

cairan sekresi (cairan serebrospinal), memperkecil benturan atu getaran. Terdiri dari tiga lapisan yaitu: a. Lapisan Dura mater (selaput otak keras) Lapisan dura mater terdapat di bawah tulang tengkorak dan diantaranya terdapat ruangan yang disebut Epidural/Extradural space. Pembuluh arteri meningen media berjalan pada ruangan ini dan mempunyai peranan penting untuk terjadinya Epidural Hemorrhagi. b. Lapisan Arachnoidea (selaput otak lunak) Lapisan arachnoidea terdapat di bawah dura mater dan mengelilingi otak serta berhubungan dengan sumsum tulang belakang. Ruangan diantara dura mater dan arachnoidea disebut subdural space. Pada ruangan ini berjalan pembuluh-pembuluh bridging vein yang menghubungkan system vena otak dan meningen. Gerakan kepala dapat membuat vena-vena ini trauma dan menimbulkan subdural hemorrhagi, karena vena-vena ini sangat luas. c. Pia mater Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arachnoidea dan pia mater disebut subarachnoidea. Cairan cerebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang berjalan pada ruangan ini.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Selaput Otak

2.2.4. Otak14 Otak adalah pusat pengendali tubuh. Otak terletak dalam rongga tengkorak yang terdiri dari 3 bagian, yaitu : a. Otak besar (cerebrum) Bagian terluas dan terbesar dari otak. Bertanggung jawab atas berkembangnya inteligensi pada manusia. Otak besar dibelah dua dari depan ke belakang. Belahan kanan otak mengendalikan otot dari sisi kiri tubuh dan belahan kiri otak mengendalikan otot dari sisi kanan tubuh. Lapisan luar otak besar disebut korteks serebri yang terdiri dari bahan-bahan sel interneuron yang berwarna kelabu (substantia grisea) dan lapisan cerebrum di bawah korteks disebut substantia alba (berwarna putih). Di sebelah dalam otak besar terdapat thalamus (menyampaikan rangsangan sensoris ke korteks serebri) dan hipotalamus (mengatur kebutuhan dasar tubuh, seperti suhu badan, tidur, pencernaan, dan pelepasan hormon).

Universitas Sumatera Utara

b. Batang Otak (truncus cerebri) Struktur yang menghubungkan cerebrum dengan medulla spinalis, terdiri dari medulla oblongata, pons, dan otak tengah. Medula oblongata adalah pusat pengendali beberapa fungsi kehidupan seperti bernafas, tekanan darah, denyut jantung, dan menelan. Pons adalah berkas serat saraf yang menghubungkan cerebrum dengan cerebellum dan belahan kanan otak dengan belahan kiri otak, membantu mengendalikan gerak mata dan mengatur pernafasan. Otak tengah adalah kelompok saraf yang mengendalikan gerak involunter seperti ukuran pupil dan gerak mata. Semua saraf cranial kecuali saraf I (olfactorius) dan II (opicus) muncul dari batang otak. c. Otak kecil (cerebellum) Bagian otak yang mengkoordinasikan otot yang digerakkan, seperti berlari dan berjalan. Terdapat di bawah dan di belakang cerebrum dan mengkoordinasikan arus rangsangan saraf dari tubuh dan cerebrum. Mengatur gerak otot menurut kehendak, mengendalikan keseimbangan badan, dan mempertahankan sikap tubuh.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Anatomi otak12

2.3. Penyebab Cedera Kepala Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan

Universitas Sumatera Utara

pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.5,15 Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul.16 Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi standar. Pada saat penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah, akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah dan melukai kepala.15,17

2.4. Epidemiologi Cedera Kepala 2.4.1. Distribusi Cedera Kepala Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.17 Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera kepala (Packard, 1999). Menurut penelitian

Universitas Sumatera Utara

Evans (1996), distribusi kasus cidera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.16 Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta, menunjukkan

bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu golongan umur yang paling aktif dan produktif. Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh (25%), 11% adalah pelajar dan mahasiswa.18 Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD RS Panti nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur 29,60 tahun. Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan pelajar/mahasiswa (77%).19 Menurut penelitian Amandus (2005) di RSUP Adam Malik Medan, terdapat 370 penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan proporsi tertinggi pada kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh laki-laki (68,2%).8 Menurut penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat Darurat RSUP. Fatmawati Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari, namun kecelakaan pada malam hari mempunyai proporsi yang lebih tinggi keparahan cederanya (59%) dibandingkan kecelakaan pada siang hari. Waktu malam hari suasananya lebih gelap dan sudah mulai sepi. Kondisi tersebut menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya dengan kecepatan tinggi (>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya

Universitas Sumatera Utara

kematian

dan

cidera

meningkat

seiring

dengan

kenaikan

kecepatan

mengemudi.4 Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina (2005) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta didapatkan jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cidera parah 41,9% dan meninggal 7,04%. Cidera utama adalah cidera kepala 53,4% dengan comosio cerebri 10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka 58,35% dan patah tulang 31.29%.20

2.4.2. Determinan Cedera Kepala6 Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, mulai dari manusia sampai sarana jalan yang tersedia. Secara garis besar ada 4 faktor yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas , yaitu faktor manusia, kenderaan, fasilitas jalan, dan lingkungan. a. Faktor manusia, menyangkut masalah disiplin berlalu lintas. 1. Faktor pengemudi dianggap salah satu faktor utama terjadinya kecelakaan dengan kontribusi 75-80%. Faktor yang berkaitan adalah perilaku (mengebut, tidak disipilin/melanggar rambu), kecakapan mengemudi, dan gangguan kesehatan (mabuk, mengantuk, letih) saat mengemudi. 2. Faktor penunjang (jumlah penumpang dan barang yang berlebihan).

Universitas Sumatera Utara

3. Faktor pemakai jalan, yakni pejalan kaki, pengendara sepeda, pedagang kaki lima dan peminta-minta serta tempat pemarkiran kenderaan yang tidak pada tempatnya sehingga keadaan jalan raya semakin kacau. b. Faktor kenderaan. Jalan raya penuh dengan berbagai kenderaan berupa kenderaan tidak bermotor dan kenderaan bermotor. Kondisi kenderaan yang tidak baik atau rusak akan mengganggu laju lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan bahkan kecelakaan. Saat ini jumlah dan penggunaan kenderaan bermotor bertambah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor (73% dari jumlah kenderaan pada tahun 2002-2003 dan

pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah sepeda motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir tahun 2005. c. Faktor jalan, dilihat dari ketersediaan rambu-rambu lalu lintas, panjang dan lebar jalan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah kenderaan yang melintasinya, serta keadaan jalan yang tidak baik misalnya berlobanglobang dapat menjadi memacu terjadinya kecelakaan. d. Faktor lingkungan yaitu adanya kabut, hujan, jalan licin akan membawa risiko kejadian kecelakaan yang lebih besar.

Universitas Sumatera Utara

2.5. Klasifikasi Cedera Kepala 2.5.1. Komosio Serebri (geger otak)5 Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.

2.5.2. Kontusio serebri (memar otak)5,23 Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi: a. Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kematian. b. Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal

Universitas Sumatera Utara

(kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi) c. Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).

2.5.3. Hematoma epidural21,22 Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

2.5.4. Hematoma subdural22,23 Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan

Universitas Sumatera Utara

psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil. Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :22 a. Hematoma Subdural Akut Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas. b. Hematoma Subdural Sub-Akut Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya. c. Hematoma Subdural Kronik Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.

2.5.5. Hematoma intraserebral15,22 Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.

Universitas Sumatera Utara

Gejala-gejala yang ditemukan adalah : a. Hemiplegi b. Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat. c. Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

2.5.6. Fraktura basis kranii22 Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya : a. Fraktur fossa anterior Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia. b. Fraktur fossa media Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

Universitas Sumatera Utara

c. Fraktur fossa posterior Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.

Gambar 2.4 Klasifikasi Cedera Kepala24

2.6. Tingkat Keparahan Cedera Kepala 24,25 Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang

Universitas Sumatera Utara

dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah : a. Membuka mata (Eye Open) Membuka mata spontan Membuka mata terhadap perintah Membuka mata terhadap nyeri Tidak membuka mata b. Respon Verbal (Verbal Response) Orientasi baik dan mampu berkomunikasi Bingung (mampu membentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan kacau) Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning) Tidak ada suara c. Respon motorik (Motoric Response) Menurut perintah Mengetahui lokasi nyeri Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) Ekstensi spontan Tidak ada gerakan 6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 Nilai 4 3 2 1

Universitas Sumatera Utara

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi: a. Cedera kepala ringan, bila GCS 13-15 b. Cedera kepala sedang, bila GCS 10-12 c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-9

2.7. Akibat Jangka Panjang Cedera Kepala26 2.7.1. Kerusakan saraf cranial a. Anosmia Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia. b. Gangguan penglihatan Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.

Universitas Sumatera Utara

c. Oftalmoplegi Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini. d. Paresis fasialis Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan. e. Gangguan pendengaran Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.

2.7.2. Disfasia Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,

rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

Universitas Sumatera Utara

2.7.3. Hemiparesis Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial. 2.7.4. Sindrom pasca trauma kepala Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.

2.7.5. Fistula karotiko-kavernosus Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.

Universitas Sumatera Utara

2.7.6. Epilepsi Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam

minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

2.8. Pencegahan dan Penatalaksanaan Cedera Kepala Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu : a. Pencegahan Primer Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.6 b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu : 23 1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway). Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut

Universitas Sumatera Utara

penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway. 2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing) Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan. dan Keterlambatan dalam mengenali akan dapat

gangguan

pernafasan

membantu

pernafasan

menimbulkan kematian. 3. Menghentikan perdarahan (Circulations). Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

Universitas Sumatera Utara

c. Pencegahan Tertier27 Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial. 1. Rehabilitasi Fisik a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh. b. Perlengkapan splint dan kaliper c. Transplantasi tendon 2. Rehabilitasi Psikologis Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya

memerlukan semangat hidup.

Universitas Sumatera Utara

3. Rehabilitasi Sosial a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain. b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

Universitas Sumatera Utara

S-ar putea să vă placă și