Sunteți pe pagina 1din 22

JOURNAL READING

ASCITES

Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Penyakit Dalam di RST Bhakti Wira Tamtama Semarang





Disusun oleh :
Afifatul Hakimah
01.209.5822


Pembimbing :
dr. Nurul Aisyah, Sp. Pd.


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Afifatul Hakimah
NIM : 01.209.5822
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Judul : Ascites





Semarang, Juli 2014
Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RST Bhakti Wira Tamtama Semarang






Pembimbing



dr. Nurul Aisyah., Sp. Pd


ASCITES

Definisi
Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam rongga perut. Kata "ascites" itu
berasal dari kata Yunani "askos," berarti yang tas atau karung.

Etiologi
Liver Disease:
Cirrhosis
Fulminant Hepatic Failure
Fatty liver of pregnancy
Neoplasms:
Hepatoma
Liver, peritoneal or lymphatic metastases
Lymphoma with Lymph Obstruction
Pseudomyxoma peritonei
Meigs Syndrome (Ovarian Fibroid)
Heart Failure:
Cor pulmonal heart disease & COPD
ASHD or VHD with biventricular CHF
Constrictive Pericarditis
Infections:
Tuberculosis
Spontaneous Bacterial Peritonitis
Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia)
HIV
Venous occlusion:
Supradiaphragmatic IVC Occlusion
Budd-Chiari Syndrome
Veno-occlusive disease \\
80-85%



10%





3%




1%




<1%


Dialysis Related
Nephrotic Syndrome
Inflammatory:
Pancreatitis
Bile Peritonitis
Chronic lymphatic inflammation/fibrosis
Connective Tissue Disease
Trauma:
Ruptured Viscus
Trauma to the abdominal cysterna chyli
Nutritional:
Marasmus
Kwashiokor
Endocrine:
Myxedema
Endometriosis


<1%




<1%


<1%


<1%

Klasifikasi Ascites:
Menurut EASL 2010:
1. Uncomplicated ascites
Kira-kira 75% pasien ascites di Eropa Barat atau AS mengalami sirosis sebagai
penyebabnya. Pada pasien lain, ascites disebabkan oleh keganasan, gagal jantung,
tuberculosis, penyakit pancreas, atau penyebab lain yang tidak diketahui.
Sehingga evaluasi inisial pada pasien dengan ascites meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, USG abdominal, pemeriksaan laboratorium fungsi hepar,
fungsi renal, elektrolit serum dan urine, kemudian analisis cairan ascites.
Tabel grading ascites dan terapi yang sesuai
Grade
ascites
Definisi Terapi
1 Ascites ringan, hanya terdeteksi Tidak ada terapi
dengan USG
2 Ascites moderat diketahui
dengan adanya distensi abdomen
simetris
Restriksi intake natrium dan
diuretik
3 Ascites besar atau gross dengan
distensi abdomen terbatas
Paracentesis volume besar
dengan restriksi ntake natrium
dan diuretik (kecuali pada
pasien refractory ascites)

2. Refractory ascites
Berdasarkan kriteria the International Ascites Club, refractory ascites
didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali
secara dini dimana (contoh: setelah LVP) tidak dapat dicegah secara memuaskan
dengan terapi medis. Sekali ascites tidak mempan terhadap pengobatan, rata-rata
ketahanan pasien kira-kira 6 bulan. Konsekuensinya, pasien dengan ascites
refrakter harus dipertimbangkan transplantasi hepar.
Tabel Definisi dan kriteria diagnostik untuk ascites refrakter pada sirosis
Ascites resisten diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul
kembali secara dini yang tidak dapat dicegah
karena kekurangan respon terhadap restriksi
natrium dan terapi diuretic
Ascites sulit diatasi diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul
kembali secara dini yang tidak dapat dicegah
karena perkembangan komplikasi akibat diuretic
yang mengganggu penggunaan dosis efektif
diuretic
Syarat
1. Durasi terapi Pasien harus mendapatkan terapi diuretic intensif
(spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160
mg/hari) setidaknya 1 minggu dan pada diet rendah
garam kurang dari 90 mmol/hari
2. Kurangnya respon Penurunan berat badan rata-rata <0.8 kg lebih dari
4 hari dan natrium urine kurang dari intake
3. Rekurensi ascites
dini
Kemunculan kembali ascites grade 2 atau 3 antara
4 minggu pertama mobilisasi
4. Komplikasi akibat
diuretic
Hepatic ensefalopati akibat diuretic adalah
timbulnya ensefalopati tanpa factor presipitasi lain
Kerusakan renal akibat diuretic adalah peningkatan
kreatinin serum >100% hingga nilai >2 mg/dL
(177mol/L) pada pasien ascites yang respon
terhadap terapi
Hiponatremia akibat diuretic didefinisikan sebagai
penurunan serum natrium >10 mmol/L hingga
natrium serum <125 mmol/L
Hipo atau hiperkalemia akibat diuretic
didefinisikan sebagai perubahan kalium serum
<3mmol/L atau >6mmol/L menggunakan
pengukuran yang tepat


3. Spontaneous bacterial peritonitis
SBP merupakan infeksi bakteri yang paling umum pada pasien dengan sirosis dan
asites. Saat pertama kali dideskripsikan, angka mortalitasnya lebih dari 90% tapi
turun hingga sekitar 20% dengan diagnosis dan terapi dini. Diagnosis SBP
berdasarkan diagnosis paracentesis. Semua pasien dengan sirosis dan ascites
beresiko SBP dan prevalensi SBP pada pasien rawat jalan adalah 1.5-3.5% dan
sekitar 10% pada pasien rawat.

4. Hiponatremia
Hiponatremia umum pada pasin dengan sirosis dekompensata dan
berkaitan dengan ketidakseimbangan solution air bebas sekunder terhadap
hipersekresi vasopressin non-osmotik (anti diuretic hormone), yang
mengakibatkan ketidakproporsionalan retensi air relative terhadap retensi natrium.
Hiponatremia pada sirosis secara sepihak didefinisikan ketika konsentrasi natrium
serum menurun hingga di bawah 130 mmol/L, namun reduksi di bawah 135
mmol/L juga dikatakan sebagai hiponatremia, tergantung panduan hiponatremia
pada populasi umum pasien yang ada.
Pasien dengan sirosis dapat mengembangkan 2 tipe hiponatremia:
hipovolemik dan hipervolemik. Hipervolemik hiponatremia adalah yang paling
umum dan dikarakteristikkan dengan rendahnya level natrium serum dengan
ekspansi volume cairan ekstraseluler, dengan ascites dan edema. Kondisi ini dapat
muncul secara spontan atau sebagai konsekuensi kelebihan cairan hipotonik
(contoh: dextrose 5% ) atau komplikasi sekunder sirosis, sebagian akibat infeksi
bakteri. Hipovolemik hiponatremia jarang terjadi dan dikarakteristikkan dengan
rendahnya level natrium serum dan tidak adanya ascites dan edema, dan paling
sering terjadi sekunder dari terapi diuretic berlebih.
Konsentrasi natrium serum adalah penanda penting prognosis sirosis dan
adanya hiponatremia dikaitkan dengan ketidakmampuan bertahan hidup. Lebih
jauh lagi, hiponatremia juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, sebagian
komplikasi neurologis, dan penurunan kemungkinan hidup setelah transplantasi,
meskipun hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian dengan harapan hidup.

5. Hepatorenal syndrome
Hepatorenal syndrome (HRS) didefinisikan sebagai kemunculan gagal
ginjal pada pasien dengan penyakit hepar berat dengan tidak adanya penyebab
gagal ginjal yang dapat diidentifikasi. Diagnosis ditegakkan dengan
menyingkirkan penyebab gagal ginjal lain.
Pada kondisi ini, vasodilatasi terutama terjadi pada arteri splanchnicus, sehingga
cardiac output pasien HRS dapat rendah atau normal (sedikit meningkat), namun
tidak mencukupi kebutuhan pasien, dimana pemicu paling penting perkembangan
HRS tipe 1 adalah infeksi bakteri, dan fungsi renal dapat ditingkatkan dengan
terapi obat.

Table criteria diagnosis hepatorenal syndrome pada sirosis
Sirosis dengan ascites
Serum kreatinin >1.5 mg/dL (133mol/L)
Tidak ada shock
Tidak ada hipovolemia yang didefinisikan dengan tidak adanya perkembangan
berkelanjutan fungsi renal (penurunan kreatinin hingga <133mol/L) diikuti
setidaknya 2 hari withdrawal diuretic (jika menggunakan diuretic), dan ekspansi
volume dengan albumin 1 g/kg/hari hingga maksimum 100g/hari
Tidak ada terapi dengan obat nephrotoxic
Tidak ada penyakit parenkim ginjal yang didefinisikan dengan proteinuria <0.5
g/hari, tidak mikrohematuria (<50 sel darah merah/ LPB), dan USG ginjal normal

Tabel Penyebab Ascites
Penyebab %
Penyakit Hepar:
Sirosis
Gagal hepar fulminan
Perlemakan hati pada kehamilan
80-85%
Neoplasma:
Hepatoma
Metastase ke hepar, peritoneal atau limfatik
Limfoma dengan obstruksi limfe
Pseudomyxoma peritonei
Meigs syndrome (fibroid ovarium)
10%
Gagal jantung:
Cor pulmonale & PPOK
ASHD atau VHD dengan biventricular CHF
3%
Perikarditis konstriktif
Infeksi:
Tuberkulosis
Peritonitis bakterialis spontan
PID (Chlamydia)
HIV
<1%
Oklusi vena:
Oklusi Supradiafragmatika IVC
Sindroma Budd-Chiari
Veno-occlusive disease 2
o
to toxin (seneciosis)
<1%
Renal:
Kaitan dengan dialysis
Sindroma nefrotik
<1%
Inflamasi:
Pancreatitis
Peritonitis bilier
Inflamasi limfatik kronik/fibrosis
Penyakit jaringan ikat
<1%
Trauma:
Viscus yang rupture
Trauma abdomen sisterna chili
<1%
Nutrisi:
Marasmus
Kwashiorkor
<1%
Endokrin:
Myxedema
Endometriosis
<1%

Patofisiologi
Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling,
overflow, dan vasodilatasi arteri perifer.
Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah penyerapan
cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik karena hipertensi porta
dan penurunan volume darah yang beredar efektif. Ini mengaktivasi plasma renin,
aldosteron, dan sistem saraf simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan air
pada ginjal.
Teori overflow menunjukkan bahwa kelainan utama adalah terjadinya
retensi natrium dan air pada ginjal padahal tidak terdapat penurunan volume
vaskular. Teori ini dikembangkan karena pada pengamatan pasien dengan sirosis
memiliki hipervolemia intravaskular daripada hipovolemia.
Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer. Sirosis
(pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan
fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang
berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan
vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat adanya vasodilator
endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan
adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan
peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi
semakin menetap. Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan
transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan
terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.
Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan
mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan
penurunan volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons
terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik
dan sumbu sistem renin-angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin.
Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan
diikuti dengan reabsorpsi air (H
2
0) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan
yang terkumpul di rongga tubuh.


Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi
yaitu spontaneus bacterial peritonitis (mengancam nyawa), sindrom hepatorenal
(vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam dan cairan dari ginjal),
malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain yang dikaitkan dengan
penyakit penyebab asites.

Dasar Diagnosis
Anamnesis
Ascites bisa timbul mendadak atau perlahan lahan tergantung pada
penyebabnya. Ascites ringan mungkin tidak bergejala, moderate ascites mungkin
memberi gejala peningkatan berat badan dan rasa berat di perut, ascites dalam
jumlah besar juga memberi gejala rasa tidak nyaman di perut, dapat menimbulkan
hernia umbilicalis, serta menyebabkan elevasi dari diafragma yang akan
menimbulkan gejala sesak napas.
Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor risiko dari
penyakit yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites. Pada penyakit
hati, harus ditanyakan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, penggunaan jarum
suntik bergantian, riwayat transfusi, serta riwayat hepatitis. Untuk cardiac ascites
harus ditanyakan riwayat penyakit jantung atau penyakit pericardial. Riwayat
keganasan mengarah ke malignant ascites, terutama keganasan payudara, saluran
pencernaan, ovarium, atau lymphoma. Untuk negara berkembang, harus juga
dipikirkan kemungkinan tuberculosis, harus disertai demam dan gejala konstitusi
dari tuberculosis. Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada pasien dengan
riwayat pancreatitis kronis. Harus diingat bahwa pada seorang pasien mungkin
ditemukan lebih dari satu faktor predisposisi.

Pemeriksaan Fisik
Ascites harus dibedakan dengan pembesaran perut lainya, misalnya obesitas,
dispepsia, obstruksi usus, serta massa atau kista abdomen. Pada ascites dalam
jumlah besar, ascites mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, untuk ascites
dalam jumlah sedang atau kecil, ketepatan pemeriksaan fisik hanya mencapai
50%. Pemeriksaan fisik untuk ascites berupa, flank dullness (90% positif pada
pasien dengan ascites), sifting dullness, fluid wave, serta puddle sign, bila jumlah
cairan ascites < 120 ml. fluid wave dapat juga positif untuk kista ovarium yang
besar dan kehamilan dengan polihidramnion.
Pemeriksaan fisik juga dapat digunakan sebagai petunjuk etiologi ascites.
Pada penyakit hati kronis mungkin ada palmar eritem, spider naevi, jaundice, dll.
Splenomegaly dan pelebaran vena merupakan tanda hipertensi porta. Pada pasien
dengan cardiac ascites akan ditemukan peningkatan JVP. Perbesaran KGB
mengarah ke tuberculosis atau lymphoma.


Pemeriksaan Penunjang
Parasintesis abdomen
Dulu, parasintesis dilakukan diantara pubis dan umbilicus, karena merupakan
daerah avascular. Saat ini, karena parasintesis juga ditujukan untuk pengambilan
cairan dalam jumlah besar, dan peningkatan persentase orang orang dengan
obesitas, yang menyebabkan penebalan dinding abdomen, kuadran kiri bawah
lebih direkomendasikan, karena dinding abdomen pada kuadran kiri bawah, 2 jari
caudal dan 2 jari medial SIAS lebih tipis, serta cairan lebih terakumulasi di daerah
tersebut dibanding di daerah umbilicus. Kuadran kanan bawah kurang optimal
karena sering kali ada scar post appendectomy, lokasi antara pubis dan SIAS
harus dihindari karena ada arteri epigastric inferior. Bila lokasi ascites sulit
ditentukan karena obesitas atau jumlah yang kecil, dapat digunakan bantuan USG.

Fig. 1. Diagram of the abdomen showing the three usual sites for abdominal
paracentesis. The author prefers the left lower quadrant site. Reproduced from
Thomsen TW, Shaffer RW, White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med
2006;355:e21, with permission from the Massachusetts Medical Society(2006)
Massachusetts Medical Society.


Analisis Cairan Ascites



Penatalaksanaan
Penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan pada ascites menurut
European Association for the Study of the Liver (EASL) dibagi berdasarkan
penyakit yang menyertai timbulnya ascites, antara lain :

1. Ascites tanpa komplikasi
Pasien dengan cirrhosis dan ascites merupakan resiko tinggi untuk komplikasi
lain dari penyakit liver, termasuk ascites berulang, peritonis bakterialis spontan
(spontaneous bacterial peritonitis, SBP), hiponatremia, maupun sindroma
hepatorenal (HRS). Ascites tanpa komplikasi didefinisikan sebagai ascites
yang bukan disebabkan komplikasi tersebut di atas.
a. Penatalaksanaan
Grade 1. Ascites hanya terdiagnosis dengan USG. Untuk grade ini, tidak
dilakukan terapi apapun.
Grade 2. Ascites sedang yang ditandai dengan distensi abdomen yang
simetris. Pasien seperti ini dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan
tidak dilakukan opname kecuali pada pasien tersebut ditemukan komplikasi
lain dari cirrhosis. Terapi yang diberikan bertujuan untuk meniadakan
retensi natrium dan menghasilkan keseimbangan natrium negatif. Hal ini
dilakukan dengan mengurangi asupan natrium dan meningkatkan ekskresi
natrium dengan diuretik.
- Pembatasan natrium, rekomendasi untuk asupan natrium adalah 80-120
mmol/hari atau setara dengan 4,6-6,9 gram garam / hari.
- Diuretik yang dapat diberikan antara lain Furosemid (dimulai dengan dosis
40 mg/hari dinaikkan setiap 7 hari sampai dengan 160 mg/hari), maupun
Spironolakton (100 mg/hari, dimana jika tidak responsif dapat dinaikkan
setiap 7 hari sampai mencapai 400 mg/hari). Pemberian diuretik ini
diberikan hingga didapatkan penurunan berat badan harian tidak lebih dari
0,5 kg/hari pada pasien tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada pasien
dengan oedem perifer, hal ini untuk menghindari gagal ginjal terkait
pemberian diuretik dan/atau hiponatremia.
Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi
abdomen. Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP)
merupakan pilihan terapi dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang
dikombinasi dengan albumin lebih efektif ketimbang diuretik dan secara
nyata mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2) LVP dengan albumin
lebih aman ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian hiponatremia,
gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang
menjamin rawat ulang maupun angka keberhasilan antara keduanya. (4)
LVP adalah prosedur yang aman dengan resiko komplikasi lokal seperti
perdarahan atau perforasi usus yang rendah.
Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun
polygeline setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin
lebih bermakna pada penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah
LVP.
b. Prognosis
Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang
buruk. Angka kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan
50% pada tahun kedua. Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk,
antara lain : hiponatremia, tekanan arterial yang rendah, peningkatan serum
kreatinin, dan kadar natrium yang rendah dalam urine.
Pada pasien dengan ascites grade 2 dan 3, transplantasi liver dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang potesial.

2. Ascites Refrakter
Ascites refrakter didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi
ataupun berulang dengan segera setelah LVP yang tidak dapat dicegah dengan
pengobatan.
a. Penatalaksanaan
Large-volume Paracentesis. Merupakan pilihan terapi yang efektif dan
aman. Pemberian albumin mencegah disfungsi sirkulasi yang terkait LVP.
Diuretik. Pada sekitar 90% pasien, pemberian diuretik tidak cukup efektif
untuk mencegah maupun memperlambat rekurensi ascites setelah LVP.
Diuretik harus dihentikan secara permanen pada pasien dengan komplikasi
terkait permberian diuretik (ensefalopati hepatik, gagal ginjal, maupun
kelainan elektrolit).
Transjugular I ntrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS). TIPS terbukti
efektif dalam mengendalikan ascites berulang. Efek jangka pendek dari
TIPS adalah meningkatkan cardiac output, tekanan atrial kanan, dan
tekanan arteri pulmonal yang mengurangi resistensi pembuluh darah
sistemik dan volume darah arteri menjadi efektif. Efek yang
menguntungkan pada fungsi ginjal termasuk meningkatkan ekskresi natrium
dan GFR. TIPS juga memiliki keuntungan dalam menjaga keseimbangan
nitrogen dan berat badan.

3. Peritonitis Bakterialis Spontan (SBP)
SBP sering ditemukan pada pasien dengan cirrosis dan ascites, dimana
terjadi peningkatan angka kematian mencapai 90% yang dapat ditekan hingga
20% dengan diagnosis dan terapi dini.
a. Penatalaksanaan
Terapi antibiotik empiris.Terapi dengan antibiotik empiris perlu segera
diberikan setelah SBP didiagnosis, tanpa menunggu hasil kultur cairan
ascites. Antibiotik yang berpotensi nefrotoksik (seperti aminoglikosida)
tidak boleh diberikan sebagai terapi empiris. Cefotaxime yang merupakan
generasi ketiga dari cephalosporin, diberikan secara luas pada pasien dengan
SBP karena dapat mengatasi kebanyakan organisme yang menjadi
penyebab. Angka kesembuhan ditemukan pada 77-98% pasien dengan dosis
4 mg/hari sama efektif dengan dosis 8 mg/hari dan terapi selama 5 hari sama
efektifnya dengan terapi selama 10 hari.
Alternatif lain, Amoxicillin / asam Clavulanat yang pertama-tama diberikan
secara IV kemudian per oral memberi hasil serupa dengan angka
kesembuhan dan angka kematian dibandingkan dengan cefotaxime dan
tentu dengan harga yang lebih murah. Ciprofloxacin diberikan selama 7 hari
IV; ataupun 2 hari IV dan diikuti 5 hari per oral memberi hasil serupa dalam
angka kesembuhan dibanding cefotaxime, tetapi dengan harga yang lebih
mahal.
Jika pada hitung jenis neutrofil yang didapat dari cairan ascites tidak
berkurang kurang dari 25% dibanding nilai sebelum terapi setelah
pemberian terapi antibiotik selama 2 hari, kemungkinan besar terapi gagal
dan diperkirakan infeksi yang terjadi disebabkan bakteri yang resisten
terhadap terapi antibiotik.
Albumin IV pada pasien SBP tanpa syok septik.Hepatorenal Syndrome
(HRS) terjadi pada sekitar 30% pasien dengan SBP yang menerima terapi
antibiotik tunggal memiliki prognosis yang buruk. Pemberian albumin (1,5
g/kg pada saat didiagnosis dan 1 g/kg pada hari ketiga) menurunkan
frekuensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.
b. Pencegahan
Agen profilaksis yang ideal harus aman, terjangkau, dan efektif dalam
menurunkan jumlah organisme ini di usus. Tiga populasi pasien beresiko
tinggi yang perlu dikenali, antara lain : (1) pasien dengan perdarahan GIT
akut, (2) pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah
dan tidak memiliki riwayat SBP sebelumnya, (3) pasien dengan riwayat
SBP sebelumnya.
(1) Pasien dengan perdarahan GIT akut. Infeksi bakterial termasuk SBP
merupakan masalah serius pada pasien cirrhosis dan perdarahan GIT akut
yang terjadi antara 25% dan 65% pada pasien dengan perdarahan GIT. Pada
hasil meta-analisis didapatkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis
terbukti menurunkan insidensi perburukan infeksi dan angka kematian.
Pada pasien dengan perdarahan GIT dan penyakit liver yang berat
ceftriaxone merupakan pilihan antibiotik profilaksis. Namun, apabila pasien
dengan penyakit liver yang tidak terlalu berat dapat diberikan norfloxacin
per oral maupun kuinolon untuk mencegah perburukan dari SBP.
(2) pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan
tidak memiliki riwayat SBP sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit liver
sedang dengan konsentrasi protein dalam cairan ascites kurang dari 15
g/liter dan tanpa riwayat SBP sebelumnya, efektivitas kuinolon dalam
mencegah SBP atau membuktikan angka keberhasilan profilaksis tidak
terlalu terbukti.
(3) pasien dengan riwayat SBP sebelumnya. Pasien yang dalam masa
pemulihan dari SBP memiliki resiko tinggi terjadinya SBP berulang.
Pemberian antibiotik profilaksis mengurangi resiko terjadinya SBP
berulang. Norfloxacin (400 mg/hari, per oral) merupakan pilihan terapi.
Pilihan lainnya termasuk Ciprofoxacine (750 mg sekali seminggu, per oral)
atau Co-trimoxazole (800 mg Sulfamethoxazole dan 160 mg Trimethroprim
per hari, per oral) tetapi efek yang didapatkan tidak sebaik Norfloxacin.

4. Hiponatremia
Hiponatremia pada pasien cirrhosis didefinisikan ketika konsentrasi
natrium serum dibawah 130 mmol/L, tetapi reduksi di bawah 135 mmol/L
perlu disadari sebagai hiponatremia pada populasi pasien secara umum.
a. Penatalaksanaan
Terapi untuk hiponatremi hipovolemik adalah dengan pemberian natrium
bersamaan dengan identifikasifaktor penyebabnya (biasanya disebabkan
karena pemberian diuretik berlebih). Kunci dari terapinya adalah membuat
balance air negatif dengan meningkatkan total cairan tubuh, dimana hasil
yang diharapkan untuk mengembalikan keadaan natrium.
Pemberian natrium klorida yang hipertonis sering digunakan untuk keadaan
hiponatremia hipervolemik yang berat. Efektivitasnya partial, seringkali
bertahan sementara, dan meningkatkan jumlah ascites dan oedem.
Pemberian albumin nampaknya lebih terbukti memperbaiki konsentrasi
natrium serum, tetapi masih dibutuhkan lebih banyak bukti penunjang.
Pengunaan obat-obatan secara dini seperti demeclocycline atau -opioid
antagonist kurang berhasil dikarenakan efek samping yang ditimbulkannya.
Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan penelitian mengenenai
vaptans, obat yang diberikan secara aktif per oral dan menyebabkan blok
selektif terhadap reseptor-V2 dari AVP pada sel prinsipal dari ductus
coligens. Obat ini terbukti efektif dalam memperbaiki konsentrasi natrium
serum pada kondisi dengan level vasopresin yang tinggi, seperti syndrome
of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH), gagal jantung,
atau cirrhosis. Hasil penelitian dengan pemberian vaptan untuk periode
singkat (1 minggu sampai 1 bulan) menunjukkan peningkatan volume urine
dan ekskresi cairan bebas, serta memperbaiki level natrium serum yang
rendah pada 45-82% pasien. Vaptan tidak boleh diberikan pada pasien
dengan gangguan kesadaran (seperti ensefalopati) yang tidak dapat
meminum cukup cairan karena beresiko terjadinya dehidrasi dan
hipernatremia. Vaptan dimetabolisme oleh nzim CYP3A di liver, tetapi
pemberian obat-obatan kuat CYP3A-inhibitor seperti ketoconazole, jus
anggur, dan clarithromycin yang diberikan secara bersamaan dapat
meningkatkan efek dari vaptan dalam meningkatkan konsentrasi natrium
serum dalam jumlah yang besar. Namun, obat-obatan seperti rifampin,
barbiturat, dan phenytoin dapat mengurangi efektivitas dari vaptan.
Di Amerika pemberian tolvaptan telah diakui sebagai terapi untuk
hiponatremi hipervolemik berat (<125 mmol/L) yan terkait dengan cirrhosis,
ascites, gagal jantung, dan SIADH. Conivaptan juga diterima di Amerika
untuk terapi singkat (5 hari) dengan pemberian secara IV. Pemberian
tolvaptan dimulai dengan dosis 15 mg/hari dan di titrasi sampai 30 dan 60
mg/hari. Pada penelitian berbeda dilaporkan meningkatkan kejadian
perdarahan GIT dengan pemberian tolvaptan.

5. Sindroma hepatorenal (HRS)
HRS didefinisikan sebagai kejadian gagal ginjal pada pasien dengan penyakit
liver dimana penyebab gagal ginjalnya tidak diketahui.
a. Penatalaksanaan
Terapi suportif termasuk pengawasan ketat terhadap tanda-tanda vital,
fungsi liver dan ginjal, dan evaluasi tanda klinis dari komplikasi cirrhosis.
Pemberian cairan berlebihan harus dihindari untuk mencegah overload
cairan dan progresivitas dari hiponatremia. Diuretik rendah kalium tidak
boleh diberikan karena beresiko terjadinya hiperkalemia berat.
Terapi spesifik dapat diberikan obat-obatan dengan efek vasokonstriktor.
Penggunaan vasokonstriktor secara luas diberikan obat dengan sifat
vasopresin analog seperti terlipressin. Terapi ini cukup efektif 40-50%
pasien. Umumnya, terlipressin dimulai dengan dosis 1 mg/4-6 jam dan
dinaikkan sampai dosis maksimum 2 mg/4-6jam jika tidak didapatkan
penurunan kadar kreatinin serum setidaknya sebanyak 25% terhadap nilai
awal pada hari ketiga terapi. Terapi dipertahankan sampai kreatinin serum
turun di bawah 1,5 mg/dL (133 mol/L), biasanya sekitar 1-1,2 mg/dL (88-
106 mol/L).
TIPS. TIPS juga memperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal dan
mengontrol ascites pada pasien HRS.
Terapi transplantasi ginjal. Terapi sebaiknya segera dilakukan pada
keadaan hiperkalemia berat, asidosis metabolik, dan overload cairan pada
pasien HRS stadium dini.
Transplantasi liver. Merupakan terapi pilihan yang dapat meningkatkan
angka keberhasilan sampai 65% pada pasien HRS
b. Pencegahan
Pasien dengan SBP perlu diterapi dengan albumin IV menunjukkan
penurunan insidensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.







Daftar Pustaka

1. Clinical Practice Guideline, EASL clinical practice guideline on the
management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal
syndrome in cirrhosis. Journal of Hepatology, 2010, Vol. 53, p 397-417.
2. Runyon, Bruce A. Management of Adult Patients with Ascites Due to
Cirrhosis: An Update from AASLD PRACTICE GUIDELINES,
hepatology, Vol. 49, No. 6 on
http://www.aasld.org/practiceguidelines/Documents/Bookmarked%20Prac
tice%20Guidelines/Ascites%20Update6-2009.pdf

S-ar putea să vă placă și