BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Trauma adalah cedera / rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan / penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995). B. Etiologi Dan Klasifikasi Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu : 1. Paksaan /benda tumpul Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. 2. Trauma tembus Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. C. Patofisiologi Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan (Mansjoer, 2001). Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme : a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga. b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks. c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.
Terjadi perforasi lapisan abdomen (kontusio, laserasi, jejas, hematom)
Menekan saraf peritonitis
Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri
Motilitas usus
Disfungsi usus Resiko infeksi
Refluks usus output cairan berlebih
Gangguan cairan Nutrisi kurang dari dan eloktrolit kebutuhan tubuh Kelemahan fisik
Gangguan mobilitas fisik D. MANIFESTASI KLINIS Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dangejala trauma abdomen, yaitu : 1. Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul dibagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas. 2. Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairandirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi. 3. Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben. 4. Mual dan muntah 5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi. Tanda Dan Gejala menurut (FKUI, 1995) : 1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) : a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ b. Respon stres simpatis c. Perdarahan dan pembekuan darah d. Kontaminasi bakteri e. Kematian sel 2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium) a. Kehilangan darah b. Memar / jejas pada dinding perut c. Kerusakan organ-organ d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut. e. Iritasi cairan usus E. Komplikasi Komplikasi Trauma Abdomen menurut (Smeltzer, 2001) 1. Segera : hemoragi, syok, dan cedera 2. Lambat : infeksi F. Pemeriksaan Diagnostik 1. Foto thoraks Untuk melihat adanya trauma pada thorak. 2. Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-linedata bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000 /mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar. 3. Plain abdomen foto tegak Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retro perineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus. 4. Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. 5. VP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal. 6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL inihanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard). a. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut : Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya Trauma pada bagian bawah dari dada Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak) Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang) Patah tulang pelvis b. Kontra indikasi relatif melakukan DPLadalah sebagai berikut : Hamil Pernah operasi abdominal Operator tidak berpengalaman Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan 7. Ultrasonografi dan CT Scan Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retro peritoneum. Pemeriksaan khusus 1. Abdomonal Paracentesis Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari100.000 eritrosit /mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi. 2. Pemeriksaan Laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya. 3. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi. G. Penatalaksanaan 1. Pre Hospital Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi dilokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. a. Airway Dengan kontrol tulang belakang. Membukajalan napas menggunakan teknik head tilt chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya. b. Breathing Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara lihat dengar rasakan tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan). c. Circulation Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapatdilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas). Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) : a. Stop makanan dan minuman b. Imobilisasi c. Kirim kerumah sakit. Penetrasi (trauma tajam) a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis. b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka. c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril. d. Imobilisasi pasien. e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum. f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang. g. Kirim ke rumah sakit. B. Hospital 1. Trauma penetrasi Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. a. Skrinning pemeriksaan rontgen Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intra peritonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retro peritoneum. b. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada. c. Uretrografi. Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra. d. Sistografi Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada : Fraktur pelvis Traumanon penetrasi 2. Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit : a. Pengambilan contoh darah dan urine Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase. b. Pemeriksaan rontgen Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero posterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retro peritoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera. c. Study kontras urologi dan gastrointestinal Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur. Sumber : (Hudak & Gallo, 2001). PENATALAKSANAAN KEDARURATAN 1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi. 2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi pasif. a. Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf. b. Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan. c. Gunting baju dari luka. d. Hitung jumlah luka. e. Tentukan lokasi luka masuk dan keluar. 3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma. 4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan. a. Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada. b. Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi. c. Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal. d. Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan. 5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi. 6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah kekeringan visera. a. Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut. b. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah. 7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine. 8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik. 9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium. 10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk. a. Jahitan dilakukan disekeliling luka. b. Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka. c. Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan. 11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan. 12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial). 13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria. Asuhan Keperawatan A. PENGKAJIAN Dasar pemeriksaan fisik head to toe harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Pengkajian data dasar menurut Brunner & Suddart (2001), adalah : 1. Aktifitas / istirahat Data Subyektif : Pusing, sakit kepala,nyeri, mulas Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera (trauma). 2. Sirkulasi Data Obyektif : Kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi, hiperventilasi, dll). 3. Integritas ego Data Subyektif : Perubahan tingkah laku / kepribadian (tenang atau dramatis) Data Obyektif : Cemas, bingung, depresi. 4. Eliminasi Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami gangguan fungsi. 5. Makanan dan cairan Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan. Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen 6. Neurosensori Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara,vertigo Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan statusmental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh 7. Nyeri dan kenyamanan Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih. 8. Pernafasan Data Subyektif : Perubahan pola nafas 9. Keamanan Data Subyektif : Trauma baru / trauma karena kecelakaan. Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif, gangguan rentang gerak. B. Diagnosa keperawatan 1. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan 2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen. 3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan 4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk. 6. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit. infeksi tidak terjadi / terkontrol. C. Intervensi Keperawatan 1. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan Tujuan : Terjadi keseimbangan volume cairan. Intervensi : a. Kaji tanda-tanda vital R/ untuk mengidentifikasi defisit volume cairan b. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin R/ mengidentifikasi keadaan perdarahan c. Kaji tetesan infus R/ awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan cairan. d. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi. R/ cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh. e. Tranfusi darah R/ menggantikan darah yang keluar. 2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen. Tujuan : Nyeriteratasi Intervensi : a. Kaji karakteristik nyeri R/ mengetahui tingkat nyeri klien. b. Beri posisi semi fowler. R/ mengurngi kontraksi abdomen c. Anjurkan tehnik manajemen nyeri seperti distraksi R/ membantu mengurangi rasa nyeri dengan mengalihkan perhatian d. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. R/ analgetik membantu mengurangi rasa nyeri. e. Managemant lingkungan yang nyaman R/ lingkungan yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien 3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan Tujuan : Ansietas teratasi Intervensi : a. perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu R/ koping yang baik akan mengurangi ansietas klien. b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut dan berikan penanganan R/ mengetahui ansietas, rasa takut klien bisa mengidentifikasi masalah dan untuk memberikan penjelasan kepada klien. c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beripenguatan penjelasan mengenai penyakit R/ apabila klien tahu tentang prosedur dan tindakan yang akan dilakukan, klienmengerti dan diharapkan ansietas berkurang d. Pertahankan lingkungan yang tenang dantanpa stres R/ lingkungan yang nyaman dapat membuat klien nyaman dalam menghadapi situasi e. Dorong dan dukungan orang terdekat R/memotifasi klien 4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik Tujuan : Dapat bergerak bebas Intervensi : a. Kaji kemampuan pasien untuk bergerak R/ identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi b. Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien R/ meminimalisir pergerakan kien c. Berikan latihan gerak aktif pasif R/ melatih otot-otot klien d. Bantu kebutuhan pasien R/ membantu dalam mengatasi kebutuhan dasarklien e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi. R/ terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien 5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk. Tujuan: Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai. Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. luka bersih tidak lembab dan tidak kotor. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi. Intervensi a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka c. Pantau peningkatan suhu tubuh. d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas. e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement. f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan. g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. Rasional : a. mengetahui tingkat kerusakan kulit klien b. mengkaji resiko terjadinya infeksi c. mengontrol tanda-tanda infeksi d. membantu proses penyembuhan luka dan menjaha agar luka kering dan bersih e. memperbaiki keutuhan integritas kulit secara cepat f. menjaga luka agar tidak terpapar mikroorganisme g. membunuh mikroba penyebab infeksi 6. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit. Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol. Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi. Intervensi : a. Pantau tanda-tanda vital. b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit. e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. Rasional : a. mengetahui keadaan umum klien b. menjaga agar luka bersih dan kering c. mencegah terjadi infeksi lebih lanjut d. memberikan data penunjang tentang resiko infeksi e. membunuh mikroorganisme penyebab infeksi
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008). Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan komplet atau inkomplet. Beberapa istilah yang berhubungan dengan cedera medula spinalis seperti : Quadriplegia adalah keadaan paralisis atau kelumpuhan pada semua ekstrimitas dan terjadi akibat trauma pada segmen thorakal 1 (T1) ke atas. Kerusakan pada level ini akan merusak fungsi sistem saraf otonom khususnya saraf simpatis misalnya gangguan pernafasan. Komplit Quadriplegi adalah gambaran dari hilangnya fungsi medula karena kerusakan segmen di atas cervical (C6). Respiratori Quadriplegi adalah kerusakan yang terjadi pada cervikal bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan pernafasan. Paraplegi adalah paralisis ekstrimitas bagian bawah, terjadi akibat kerusakan pada segmen thorakal 2 (T2) ke bawah.
B. Etiologi Etiologi cedera spinal adalah: Trauma misalnya kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kegiatan olah raga, luka tusuk atau luka tembak. Non trauma seperti spondilitis servikal dengan myelopati, myelitis, osteoporosis, tumor. C. Patofisiologi Columna vertebralis berfungsi menyokong tulang belakang dan melindungi medula spinalis dan saraf sarafnya. Cedera medula spinalis dapat terjadi akibat trauma columna vertebra atau ligamen. Umumnya tempat terjadinya cedera adalah pada segmen C1-2, C4-6 dan T11- L2, karena segmen ini paling mobile sehinggga mudah terjadi cedera. Cedera medula spinalis mengakibatkan perdarahan pada gray matter medula, edema pada jam jam pertama paska trauma. Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba tiba. Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang, herniasi disk, hematoma, edema, regangan jaringa saraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi vaskuler dan menurunkan kadar oksigen dan menyebabkan iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengakibatkan edema sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali menjadi normal kurang lenih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen secara cepat 30 enit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi norephineprine. Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia, ruptur vaskuler atau nekrosis jaringan saraf. Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock) yaitu terjadi jika kerusakan secara tranversal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan. Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen di bawah garis kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberpa minggu sampai beberapa bulan (3 6 minggu). D. Tanda dan Gejala 1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan proprioseption, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom. Batas Cedera Fungsi yang Hilang C1 4 Hilangnya fungsi motorik dan sensorik leher ke bawah. Paralisis pernafasan, tidak terkontrolnya bowel dan bladder. C5 Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah. Hilangnya sensasi di bawah klavikula. Tidak terkontrolnya bowel dan blader. C6 Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan jempol. C7 Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu, siku, pergelangan dan bagian dari lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan tangan dibandingkan pada C6. Yang lain mengalami fungsi yang sama dnegan C5. C8 Mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari lengan mengalami kelemahan. Hilangnya sensai di bawah dada. T1-T6 Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik di bawah dada tengah. Kemungkinan beberapa otot interkosta mengalami kerusakan. Hilangnya kontrol bowel dan blader. T6 T12 Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di bawah pinggang. Fungsi pernafasan sempurna tetapi hilangnya fngsi bowel dan blader. L1 L3 Hilannya fungsi motorik dari plevis dan tungkai. Hilangnya sensasi dari abdomen bagian bawah dan tungkai. Tidak terkontrolnya bowel dan blader. L4 S1 Hilangnya bebrapa fungsi motorik pada pangkal paha, lutut dan kaki. Tidak terkontrolnya bowel dan blader. S2 S4 Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor. Hilangnya sensai pada tungkai dan perineum. Pada keadaan awal terjadi gangguan bowel dan blader. 2. Perubahan refleks Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis sehingga stimulus refleks juga terganggu misalnya rfeleks p[ada blader, refleks ejakulasi dan aktivitas viseral. 3. Spasme otot Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana pasien trejadi ketidakmampuan melakukan pergerakan. 4. Spinal shock Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi feses. 5. Autonomik dysrefleksia Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal, distensi bladder. 6. Gangguan fungsi seksual. Banyak kasus memperlihatkan pada laki laki adanya impotensi, menurunnya sensai dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi. E. Komplikasi 1. Neurogenic shock 2. Hipoksia 3. Gangguan paru paru 4. Instabilitas spinal 5. Orthostatic hipotensi 6. Ileus paralitik 7. ISK 8. Batu saluran kemih 9. Kontraktur 10. Dekubitus 11. Inkontinensia blader 12. Konstipasi F. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Rotgent, adanya fraktur vertebra. 2. CT Scan, adanya edema medula spinalis. 3. MRI, adanya kemungkinan kompresi, edema medula spinalis. 4. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt. 5. Urodinamik, proses pengosongan bladder. G. Pengkajian Keperawatan 1. Sistem pernafasan kapasitas, menggunakan otot otot bantu pernafasan. Gangguan pernafasan, menurunnya vit 2. Sistem kardiovaskuler Bradikardia, hipotensi, disritnia, hipotensi ortostatik. 3. Sistem neurologi Nilai GCS 4. Fungsi motorik Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik di bawah garis kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia. 5. Refleks tendon Adanya shock spinal seperti hilangnya refleks di bawah garis kerusakan. 6. Fungsi sensorik Hilangnya sebagian atau seluruh sensasi di bagian bawah garis kerusakan. 7. Fungsi otonom Hilangya tonus vasomotor, kerusakan termoregulator. 8. Autonomik refleksia Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung tersumbat, pucat di bawah garis kerusakan, cemas, dan gangguan penglihatan. 9. Sitem gastrointestinal. Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stres ulcer, feses keras atau inkontinensia. 10. Sistem urinaria Retensi urine, inkontinensia urine. 11. Sistem muskuloskletal Atropi otot, kontraktur, menurunnya ROM. 12. Kulit Adanya kemerahan pda daerah yang tertekan. 13. Fungsi seksual Impotensi, gangguan ejalukasi, gangguan ereksi, menstruasi tidak teratur. 14. Psikososial Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan masyarakat
JUL 25
ASKEP TRAUMA MEDULA SPINALIS
BAB I PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH TRAUMA MEDULLA SPINALIS
A. LATAR BELAKANG Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter. Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 Trauma baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh Trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk Trauma medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).klien yang mengalami Trauma medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi Trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic.Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Trauma medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul Trauma medulla spinalis dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan. BAB II PEMBAHASAN
KONSEP DASAR A. ANATOMI FISIOLOGI. Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut : a. Vetebrata Thoracalis (atlas). Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. b. Vertebrata Thoracalis. Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax. c. Vertebrata Lumbalis. Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi. d. Os. Sacrum. Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi. e. Os. Coccygis. Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter. Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit. Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis.
Fungsi sumsum tulang belakang : 1). Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit. 2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis. 3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis. 4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik. 5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik. 6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
B. PENGERTIAN. Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Trauma medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai : - komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) - tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik) Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
C. ETIOLOGI. Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu : a. kecelakaan otomobil, industri b. terjatuh, olah-raga, menyelam c. luka tusuk, tembak d. tumor.
D. PATOFISIOLOGI. Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur.
Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi. Trauma medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5 - Lesi L1 : Kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong. - Lesi L2 : Ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha. - Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah. - Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha. - Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
E. MANIFESTASI KLINIS. a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena b. paraplegia c. tingkat neurologik d. paralisis sensorik motorik total e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih) f. penurunan keringat dan tonus vasomoto g. penurunan fungsi pernafasan h. gagal nafas
F. PEMERIKSAN DIAGNOSTIK. a. Sinar X spinal Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi b. Skan ct Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural c. MRI Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi d. Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi). e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis) f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal). g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
G. KOMPLIKASI. a. Neurogenik shock. b. Hipoksia. c. Gangguan paru-paru d. Instabilitas spinal e. Orthostatic Hipotensi f. Ileus Paralitik g. Infeksi saluran kemih h. Kontraktur i. Dekubitus j. Inkontinensia blader k. Konstipasi
H. PENATALAKSANAAN. a. Penatalaksanaan Kedaruratan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , Trauma olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. 1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit. 2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala. 3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang. 4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit. Sebaiknya pasien dirujuk keTrauma spinal regional atau pusat trauma karena personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah Trauma.Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal.Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk. Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan Trauma medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak benar.Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur dibawahnya. b. Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis ( Fase Akut) Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
I.FARMAKOTERAPY. Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla. Tindakan Respiratori 1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi. 2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal. 3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi. Reduksi dan Fraksi skeletal 1) Trauma medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata. 2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest. 3) Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi Intervensi bedah = Laminektomi Dilakukan Bila : 1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi 2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal 3) Trauma terjadi pada region lumbar atau torakal 4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.
J. PENCEGAHAN. Faktor faktor resiko dominan untuk Trauma medula spinalis meliputi usia dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan Trauma medula spinalisbertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini , langkah- langkah berikut perlu dilakukan : 1) Menurunkan kecepatan berkendara. 2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu. 3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda. 4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk. 5) Mengajarkan penggunaan air yang aman. 6) Mencegah jatuh. 7) Menggunakan alat- alat pelindung dan tekhnik latihan. Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian kedaruratan rumah sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medula spinalis.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS
A. Pengkajian a.1. Pengkajian Primer 1). Airway. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. 2). Breathing. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.1,3,5,6,7,8. 3). Circulation. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. 4). Disability. Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien. 5). Exprosure, Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology a) Dilakukan rawat luka b) Pemeriksaan radiology c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit
a.2. Pengkajian Skunder. 1). Aktifitas /Istirahat. Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum / kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf). 2). Sirkulasi. Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat. 3). Eliminasi. Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis. 4). Integritas Ego. 5). Takut, cemas, gelisah, menarik diri. 6). Makanan /cairan. Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik) 7). Higiene. Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi) 8). Neurosensori. Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal. 9). Nyeri /kenyamanan. Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral. 10). Pernapasan. Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis. 11). Keamanan. Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar). 12). Seksualitas. Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
B. Diagnosa Keperawatan. a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi. b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik. c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik. d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan. e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik. f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, Trauma psikis dan alt traksi
C. Perencanaan dan Implementasi. Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan, perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.
D. Intervensi. a. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 7,45
E. Rencana Tindakan 1. 1). Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk. 2). Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret) R/ Menutup jalan nafas. 3). Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia. 4). Lakukan suction bila perlu R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi. 5). Auskultasi bunyi napas R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru. 6). Lakukan latihan nafas R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret. 7). Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi R/ Mengencerkan sekret 8). Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah. 9). Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi. b. Tujuan : Memperbaiki mobilitas Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
F. Rencana Tindakan 2. 1). Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam. R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam. 2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien. R/ Mencegah terjadinya dekubitus. 3). Beri papan penahan pada kaki R/ Mencegah terjadinya foodrop 4). Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits R/ Mencegah terjadinya kontraktur. 5). Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah Trauma 4-5 kali /hari R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur. 6). Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien. R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan. 7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints R/ Memberikan pancingan yang sesuai. c. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang tertekan.
G. Rencana Tindakan 3. 1). Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel. 2). Kaji keadaan pasien setiap 8 jam R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus. 3). Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa) R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas 4). Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah. 5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien. R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit 6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar. R/ Meningkatkan sirkulasi darah 7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan 8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari R/ Mempercepat proses penyembuhan d. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
H. Rencana tindakan 4. 1). Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih 2). Kaji intake dan output cairan R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder. 3). Lakukan pemasangan kateter sesuai program R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine 4). Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya .. 5). Cek bladder pasien setiap 2 jam R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia 6).Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas R/ Mengetahui adanya infeksi 7). Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi. e. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
I. Rencana tindakan 5. 1). kaji pola eliminasi bowel R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi 2). Berikan diet tinggi serat R/ Serat meningkatkan konsistensi feses 3). Berikan minum 1800 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi R/ Mencegah konstipasi 4). Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik 5). Hindari penggunaan laktasif oral R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan 6). Lakukan mobilisasi jika memungkinkan R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik 7). Berikan suppositoria sesuai program R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi 8). Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria f. Tujuan : Memberikan rasa nyaman Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.
J. Rencana tindakan 6. 1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 1- R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat Trauma misalnya dada / punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer 2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin sesuai indikasi. R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan. 3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam. R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping 4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium) R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan- ansietas dan meningkatkan istrirahat.
K. Evalusi. a. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat b. Klien dapat memperbaiki mobilitas c. Klien dapat mempertahankan integritas kulit d. klien mengalami peningkatan eliminasi urine e. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi f. Klien menyatakan rasa nyaman
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam ,luka tusuk, tembak dan tumor. Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi. Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan. Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan Trauma semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian.
B. SARAN. Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini
Selasa, 08 November 2011 ASKEP EMPYEMA A. Pengertian Adalah kondisi dimana terdapatnya udara dan nanah dalam rongga pleura dengan yang dapati timbul sebagai akibat traumatik maupun proses penyakit lainnya B. Etiologi 1. Berasal dari Paru Pneumonia Abses Paru Adanya Fistel pada paru Bronchiektasis TB Infeksi fungidal paru 2. Infeksi Diluar Paru Trauma dari tumor Pembedahan otak Thorakocentesis Subdfrenic abces Abses hati karena amuba 3. Bakteriologi Staphilococcus Pyogenes,. Terjadi pada semua umur, sering pada anak Streptococcus Pyogenes Bakteri gram negatif Bakteri anaerob
C. Patofisiologi Akibat invasi kuman progekin ke pleura timbul keradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan makin banyaknya sel-sel PMN baik yang hidup atau yang mati serta peningkatan kadar cairan menjadi keruh dan kental serta adanya endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisir nanah tersebut. D. Gejala Klinis Dibagi menjadi dua stadium yaitu : 1. Empiema akut Gejala mirip dengan pneumonia yaitu panas tinggi, nyeri pleuritik, apabila stadium ini dibiarkan dalam beberapa minggu akan timbul toksemia, anemia, pada jaringan tubuh. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronchopleura dan empiema neccesitasis. 2. Empiema kronik Batasan yang tegas antara akut dan kronis sukar ditentukan disebut kronis apabila terjadi lebih dari 3 bulan. Penderita mengelub badannya lemah, kesehatan penderita tampak mundur, pucat pada jari tubuh. E. Diagnosis Pemeriksaan Fisik Adanya tanda cairan disertai pergerakan hemithoraks yang sakit berkurang. Terdengar suara redup pada perkusi. Pada auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang disisi hemithorak yang sakit. Foto Dada Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang menunjukkan adanya cairan dengan atau tanpa kelainan paru. Bila terjadi fibrothoraks, trakea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga tampak adanya penebalan. Diagnosa pasti Aspirasi pleura akan menunjukkan adanya nanah didalam rongga dada (pleura). Nanah dipakai sebagi bahan pemeriksaan : Citologi, Bakteriologi, Jamur, Amoeba dan dilakukan pembiakan terhadap kepekaan antibiotik. Penatalaksanaan Prinsip pengobatan pada empiema : a. Pengosongan ronga pleura dari nanah Aspirasi Sederhana Dilakukan berulangkali dengan memakai jarum lubang besar. Cara ini cukup baik untuk mengeluarkan sebagian besar pus dari empiema akut atau cairan masih encer. Kerugian teknik seperti ini sering menimbulkan pocketed empiema. USG dapat dipakai untuk menentukan lokasi dari pocket empiema. Drainase Tertutup Pemasangan Tube Thoracostomy = Closed Drainage (WSD) Indikasi pemasangan darin ini apabila nanah sangat kental, nanh berbentuk sudah dua minggu dan telah terjadi pyopneumathoraks. Pemasangan selang jangan terlalu rendah, biasanya diafagma terangkat karena empiema. Pilihlah selang yang cukup besar. Apabila tiga sampai 4 mingu tidak ada kemajuan harus ditempuh dengan cara lain seperti pada empiema kronis. Drainase Terbuka (open drainage) Tindakan ini dikerjakan pada empiema kronis dengan memotong sepenggal iga untuk membuat jendela. Cara ini dipilih bila dekortikasi tidak dimungnkinkan dan harus dikerjakan dalam kondisi betul-betul steril. b. Pemberian antibiotika Mengingat sebab kematian umumnya karena sepsis, maka pemberian antibiotik memegang peranan yang penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosa diegakkan dan dosisnya harus adekuat. Pilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram dari hapusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan tes kepekaan obat. Bila kuman penyebab belum jelas dapat dipakai Benzil Penicillin dosis tinggi. c. Penutupan rongga pleura Empiema kronis gagal menunjukkan respon terhadap drainase selang, maka dilakukan dekortikasi atau thorakoplasti. Jika tidak ditangani dengan baik akan menambah lama rawat inap. d. Pengobatan kausal Tergantung penyebabnya misalnya amobiasis, TB, aktinomeicosis, diobati dengan memberikan obat spesifik untuk masing-masing penyakit. e. Pengobatan tambahan dan Fisioterapi Dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum Komplikasi Yang sering timbul adalah vistula Bronchopleura dan komplikasi lainnya. Yang mungkin timbul misalnya syock, sepsis, kegagalan jantung, kongestif, dan otitis media. F. Penatalaksanaan Keperawatan 1. Pengkajian Data Dasar Riwayat/adanya faktor-faktor penunjang Merokok, terpapar polusi udara yang berat, riwayat alergi pada keluarga Riwayat yang dapat mencetuskan Eksaserbasi seperti : Alergen (debu, serbuk kulit, serbuk sari, jamur) Stress emosional, aktivitas fisik berlebihan Infeksi saluran nafas Drop out pengobatan Pemeriksaan Fisik Manifestasi klasik dari PPOM Peningkatan dispnea Retraksi otot-ot\ot abdominal, menganngkat bahu saat inspirasi, pernafasan cuping hidung (penggunaan otot aksesories pernafasan) Penurunan bunyi nafas Tachipnea, orthopnea Gejala-gejala menetap pada proses penyakit dasar ASMA Batuk (produktif/non produktif) Dada terasa seperti terikat Mengi saat inspirasi dan ekspirasi (terdengar tanpa stetoskop) Pernafasan cuping hidumng Ketakutan dan diaphoresis BRONCHITIS Batuk produktif dan sputum warna putih, terjadi pada pagi hari (disebut batuk perokok)
Makanan/Cairan - Mual, muntah, anorkesia, penurunan BB menetap (empisema) - Peningkatan BB menetap (oedema) pada bronchitis - Turgor menurun - Penurunan massa otot/lemak sub kutan (emfisema) - Hepatomegali (bronchitis)
Higiene Penurunan kemampuan ADL Pernafasan - Nafas pendek (disepnea sebagai keluhan menonjol pada emphisema) - Episode sukar bernafas (asma) - Rasa dada tertekan - Batuk menetap dan produksi sputum daat banun tidur tiap hari, minimum selama tiga bulan berturut-turut sedikitnya selama dua tahun - Sputum banyak sekali (pada bronchitis kronis) - Riwayat pneumonia berulang, terpajan polusi pernafasan/zat kimia (rokok, debu/asap, asbes, kain katun, serbuk gergaji) - Defisiensi alfa antitripsin (emphisema) - Penggunaan otot bantu pernafasan - Buny naffas : redup denga ekspirasi mengi (emfisema) - Perkusi : Hipersonan (jebakan udara pada emfisema) Bunyi pekak (konsolidasi, cairan) - Kesulitan bicara kalimat / lebih dari 4 5 kata - Pink buffer (warna kulit normal kalau frekuensi nafas cepat) Seksualitas Penuruan Libido 2. Diagnosa Keperawatan A. Tidak efektif Bersihan Jalan nafas b.d bronchospasme, sekret kental Tujuan : Bersihan Jalan nafas efektif Secara verbal menyatakan kesulitan bernafas Penggunaan otot bantu penafasan Mengi, ronchi, cracles Batuk (menetap) dengan/tanpa produksi sputum Kriteria Hasil - Bunyi nafas bersih - Batuk efektif - Mengi (-), Ronchii (-) Cracles (-) INTERVENSI RASIONAL Auskultasi bunyi nafas Derajad spasme broncus (dengan / tanpa obstruksi saluran nafas) : ekspirasi mengi, tidak ada bunyi nafas, bunyi nafas redup Kaji frekuensi pernafasan Prose infeksi akut (tachipnea) Catat : Keluhan Dispnea, keluhan lapar udara : Gelisah, distres nafas, penggunaan otot bantu pernafasan Klien denga distres berat akan mencari posisi yang paling mudah untuk bernafas Pertahankan lingkungan bebas polusi Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentriger episode akut
B. Gangguan Pertukaran Gas b.d Obstruksi Jalan Nafas sekunder terhadap penumpukan sekret, Bronchospasme Tujuan : Pertukaran gas dapat dipertahankan Data : Dispnea, gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sekret, GDA (hipoksia), Perubahan tanda vital, penurunan toleransi aktivitas Kriteria Hasil : - Perbaikan sirkulasi dan oksigenasi - GDA dalam batas normal - Tanda distress pernafasan tidak ada
INTERVENSI RASIONAL Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot bantu pernafasan dan ketidakmampuan bicara karena sesak Evaluasi derajad distress nafas dan kronis atau tidaknya proses penyakit. Bantu klien untuk mencari posisi yang nenudahkan bernafas, dengan kepala lebih tinggi Suplai O 2 dapat diperbarui dalam latihan nafas agar paru tidak kolaps. Bantu klien untuk batuk efektif Batuk efektif membantu mengeluarkan sputum sebagai sumber utama gangguan pertukaran gas. Auskultasi suara nafas Suara nafas redup oleh karena adanya penurunan penurunan aliran udara/ konsolidasi. Mengni menunjukkan adanya bronkospasme dan kracles menunjukkan adanya cairan
C. Perubahan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d Sesak nafas,anoreksia, mual, muntah, efek obat, kelemahan. Tujuan : Status nutrisi dapat dipertahankan Data : Penurunan B, Intke makanan dan minuman menurun, mengatakan tidak nafsu makan Kriteria : - BB tidak mengalami penurunan - Intake makanan dan cairan adekuat - Nafsu makan meningkat/baik
INTERVENSI RASIONAL Obserasi intake dan output/8 jam. Jumlah makanan dikonsumsi tiap hari dan timbang BB tiap hari Mengidentifikasi adanya kemajuan/ penyimpanan dari tujuan yang diharapkan Ciptakan suasana yang menyenangkan, lingkungan yang bebas dari bau selama waktu makan : - Lakukan perawatan mulut sebelum dan setelah makan
- Bersihkan lingkungan tempat penyajian makanan - Hindari pengunaan pengharum berbau menyengat - Lakukan chest fisioterapi dan nebulizer selambat- lambatnya satu jam sebelum makan - Sediakan tempat yang tepat untuk membuang tissue/sekret batuk
ARITMIA 1. PENGERTIAN
Beberapa tipe malfungsi jantung yang paling mengganggu tidak terjadi sebagai akibat dari otot jantung yang abnormal tetapi karena irama jantung yang abnormal. Sebagai contoh, kadang-kadang denyut atrium tidak terkoordinasi dengan denyut dari ventrikel, sehingga atrium tidak lagi berfungsi sebagai pendahulu bagi ventrikel. Aritmia adalah kelainan elektrofisiologi jantung dan terutama kelainan system konduksi jantung. Aritmia adalah gangguan pembentukan dan/atau penghantaran impuls. Terminology dan pemakaian istilah untuk aritmia sangat bervariasi dan jauh dari keseragaman di antara para ahli. Beberapa sifat system konduksi jantung dan istilah-istilah yang penting untuk pemahaman aritmia :
* Periode refrakter
Dari awal depolarisasi hingga awal repolarisasi sel-sel miokard tidak dapat menjawab stimulus baru yang kuat sekalipun. Periode ini disebut periode refrakter mutlak. Fase selanjutnya hingga hamper akhir repolarisasi, sel-sel miokard dapat menjawab stimulus yang lebih kuat. Fase ini disebut fase refrakter relative.
* Blok
Yang dimaksud dengan blok ialah perlambatan atau penghentian penghantaran impuls. Pemacu ektopik atau focus ektopik Ialah suatu pemacu atau focus di luar sinus. Kompleks QRS yang dipacu dari sinus disebut kompleks sinus. Kompleks QRS yang dipacu dari focus ektopik disebut kompleks ektopik, yang bias kompleks atrial, kompleks penghubung AV atau kompleks ventricular.
* Konduksi tersembunyi
Hal ini terutama berhubungan dengan simpul AV yaitu suatu impuls yang melaluinya tak berhasil menembusnya hingga ujung yang lain, tetapi perubahan-[erubahan akibat konduksi ini tetap terjadi, yaitu terutama mengenai periode refrakter.
* Konduksi aberan.
Konduksi aberan ialah konduksi yang menyimpang dari jalur normal. Hal ini disebabkan terutama karena perbedaan periode refrakter berbagai bagian jalur konduksi. Konduksi aberan bias terjadi di atria maupun ventrikel, tetapi yang terpenting ialah konduksi ventricular aberan, yang ditandai dengan kompleks QRS yang melebar dan konfigurasi yang berbeda. Konduksi atrial aberan diandai dengan P yang melebar dan konfigurasi yang berbeda.
* Re-entri.
Re-entri ialah suatu keadaan dimana suatu impulas yang sudah keluar dari suatu jalur konduksi, melalui suatu jalan lingkar masuk kembali ke jalur semula. Dengan demikian bagian miokard yang bersangkutan mengalami depolarisasi berulang.
* Mekanisme lolos.
Suatu kompleks lolos ialah kompleks ektopik yang timbul karena terlambatnya impuls yang datang dari arah atas. Kompleks lolos paling sering timbul di daerah penghubung AV dan ventrikel, jarang di atria. Jelas bahwa mekanisme lolos ialah suatu mekanisme penyelamatan system konduksi jantung agar jantung tetap berdenyut meskipun ada gangguan datangnya impuls dari atas.
2. KLASIFIKASI
Pada umumnya aritmia dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu : 1) Gangguan pembentukan impuls. a. Gangguan pembentukan impuls di sinus
* a. Blok sino atrial * b. Blok atrio-ventrikular * c. Blok intraventrikular.
3. PENYEBAB
Penyebab dari aritmia jantung biasanya satu atau gabungan dari kelainan berikut ini dalam sistem irama-konduksi jantung :
* v Irama abnormal dari pacu jantung. * v Pergeseran pacu jantung dari nodus sinus ke bagian lain dari jantung. * v Blok pada tempat-tempat yang berbeda sewktu menghantarkan impuls melalui jantung. * v Jalur hantaran impuls yang abnormal melalui jantung. * v Pembentukan yang spontan dari impuls abnormal pada hamper semua bagian jantung.
Beberapa kondisi atau penyakit yang dapata menyebabkan aritmia adalah :
* Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard (miokarditis karena infeksi). * Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard. * Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin, dan obat-obat anti aritmia lainnya. * Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia). * Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama jantung. * Gangguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat. * Gangguan metabolic (asidosis, alkalosis). * Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme). * Gangguan irama jantung akibat gagal jantung. * Gangguan irama jantung karena karmiopati atau tumor jantung. * Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis system konduksi jantung).
4. TANDA/GEJALA
DISRITMIA NODUS SINUS
* Bradikardia sinus
Bradikardi sinus bisa terjadi karena stimulasi vagal, intoksikasi digitalis, peningkatan tekanan intrakanial, atau infark miokard (MI). Bradikardi sinus juga dijumpai pada olahragawan berat, orang yang sangat kesakitan, atau orang yang mendapat pengobatan (propanolol, reserpin, metildopa), pada keadaan hipoendokrin (miksedema, penyakit adison, panhipopituitarisme), pada anoreksia nervosa, pada hipotermia, dan setelah kerusakan bedah nodus SA. Berikut adalah karakteristik disritmia
* Frekuensi: 40 sampai 60 denyut per menit * Gelombang P: mendahului setiap kompleks QRS; interval PR normal * Kompleks QRS: biasanya normal * Hantaran: biasanya normal * Irama: reguler
Semua karakteristik bradikardi sinus sama dengan irama sinus normal, kecuali frekuensinya. Bila frekuensi jantung yang lambat mengakibatkan perubahan hemodinamika yang bermakna, sehingga menimbulkan sinkop (pingsan), angina, atau disritmia ektopik, maka penatalaksanaan ditujukan untuk meningkatkan frekuensi jantung. Bila penurunan frekuensi jantung diakibatkan oleh stimulasi vagal (stimulasi saraf vagul) seperti jongkok saat buang air besar atau buang air kecil, penatalaksanaan harus diusahakan untuk mencegah stimulasi vagal lebih lanjut. Bila pasien mengalami intoksikasi digitalis, maka digitalis harus dihentikan. Obat pilihan untuk menangani bradikardia adalah atropine. Atropine akan menghambat stimulasi vagal, sehingga memungkinkan untuk terjadinya frekuensi normal.
* Takikardia sinus
Takiakrdia sinus (denyut jantung cepat) dapat disebabkan oleh demam, kehilangan darah akut, anemia, syok, latihan, gagal jantung kongestif, nyeri, keadaan hipermetabolisme, kecemasan, simpatomimetika atau pengobatan parasimpatolitik. Pola EKG takikardia sinus adalah sebagai berikut :
* Frekuensi : 100 sampai 180 denyut permenit. * Gelombang P : Mendahului setiap kompleks QRS, dapat tenggelam dalam gelombang T yang mendahuluinya; interval PR normal. * Kompleks QRS : Biasanya mempunyai durasi normal. * Hantaran : Biasanya normal. * Irama : Reguler.
Semua aspek takikardia sinus sama dengan irama sinus normal kecuali frekeunsinya. Tekanan sinus karotis, yang dilakukan pada salah satu sisi leher, mungkin efektif memperlambat frekuensi untuk sementara, sehingga dapat membantu menyingkirkan disritmia lainnya. Begitu frekuensi jantung meningkat, maka waktu pengisian diastolic menurun, mengakibatkan penurunan curah jantung dan kemudian timbul gejala sinkop dan tekanan darah rendah. Bila frekwensi tetap tinggi dan jantung tidak mampu mengkompensasi dengan menurunkan pengisian ventrikel, pasien dapat mengalami edema paru akut. Penanganan takikardia sinus biasanya diarahkan untuk menghilangkan penyebabknya. Propranolol dapat dipakai untuk menurunkan frekwensi jantung secara cepat. Propranolol menyekat efek serat adrenergic, sehingga memperlambat frekwensi.
DISRITMIA ATRIUM
* Kontraksi premature atrium
Penyebab :
* Iritabilitas otot atrium karena kafein, alcohol, nikotin. * Miokardium teregang seperti pada gagal jantung kongestif * Stress atau kecemasan * Hipokalemia * Cedera * Infark * Keadaaan hipermetabolik.
Karakteristik :
* Frekwensi : 60 sampai 100 denyut per menit. * Gelombang P : Biasanya mempunyai konfigurasi yang berbeda dengan gelombang P yang berasal dari nodus SA. * Kompleks QRS : Bisa normal, menyimpang atai tidak ada. * Hantaran : Biasanya normal. * Irama : Reguler, kecuali bila terjadi PAC. Gelombang P akan terjadi lebih awal dalam siklus dan baisanya tidak akan mempunyai jeda kompensasi yang lengkap.
Kontraksi atrium premature sering terlihat pada jantung normal. Pasien biasanya mengatakan berdebar-debar. Berkurangnya denyut nadi (perbedaan antara frekwensi denyut nadi dan denyut apeksi) bisa terjadi. Bila PAC jarang terjadi, tidak diperlukan penatalaksanaan. Bila terjadi PAC sering (lebih dari 6 per menit) atau terjadi selama repolarisasi atrium, dapat mengakibatkan disritmia serius seperti fibrilasi atrium. Sekali lagi, pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
* Takikardia Atrium Paroksimal
Adalah takikardia atrium yang ditandai dengan awitan mendadak dan penghentian mendadak. Dapat dicetuskan oleh emosi, tembakau, kafein, kelelahan, pengobatan simpatomimetik atau alcohol. Takikardia atrium paroksimal biasanya tidak berhubungan dengan penyakit jantung organic. Frekwensi yang sangat tinggi dapat menyebabkan angina akibat penurunan pengisian arteri koroner. Curah jantung akan menurun dan dapat terjadi gagal jantung. Karakteristik :
* Frekwensi : 150 sampai 250 denyut per menit. * Gelombang P : Ektopik dan mengalami distorsi dibanding gelombang P normal; dapat ditemukan pada awal gelombang T; interval PR memendek (Kurang dari 0, 12 detik). * Kompleks QR : Biasanya normal, tetapi dapat mengalami distorsi apabila terjadi penyimpangan hantaran. * Hantaran : Biasanya normal. * Irama : Reguler.
Pasien biasanya tidak merasakan adanya PAT. Penanganan diarahkan untuk menghilangkan penyebab dan menurunkan frekwensi jantung. Morfin dapat memperlambat frekwensi tanpa penatalaksanaan lebih lanjut. Tekanan sinus karotis yang dilakukan pada satu sisi, akan memperlambat atau menghentikan serangan dan biasanya lebih efektif setelah pemberian digitalis atau vasopresor, yang dapat menekan frekwensi jantung. Penggunaan vasopresor mempunyai efek refleks pada sinus karotis dengan meningkatkan tekanan darah dan sehingga memperlambat frekwensi jantung. Sediaan digitalis aktivitas singkat dapat digunakan. Propranolol dapat dicoba bila digitalis tidak berhasil. Quinidin mungkin efektif, atau penyekat kalsium verapamil dapat digunakan. Kardioversion mungkin diperlukan bila pasien tak dapat mentoleransi meningkatnya frekwensi jantung.
* Fluter atrium
Terjadi bila ada titik focus di atrium yang menangkap irama jantung dan membuat impuls antara 250 sampai 400 kali permenit. Karakter penting pada disritmia ini adalah terjadinya penyekat tetapi terhadap nodus AV, yang mencegah penghantaran beberapa impuls. Penghantaran impuls melalui jantung sebenarnya masih normal, sehingga kompleks QRS tak terpengaruh. Inilah tanda penting dari disritmia tipe ini, karena hantaran 1:1 impuls atrium yang dilepaskan 250 400 kali permenit akan mengakibatkan fibrilasi ventrikel, suatu disritmia yang mengancam nyawa. Karakteristik :
* Frekwensi : frekwensi atrium antara 250 sampai 400 kali denyut per menit. * Irama : Reguler atau ireguler, tergantung jenis penyekatnya (misalnya 2:1, 3:1 atua kombinasinya). * Gelombang P : Tidak ada, melainkan diganti oleh pola gigi gergaji yang dihasilkan oleh focus di atrium yang melepaskan impuls dengan cepat. Gelombang ini disebut sebagai gelombang F. * Kompleks QRS : Konfigurasinya normal dan waktu hantarannya juga normal. * Gelombang T : Ada namun bisa tertutup oleh gelombang flutter.
Penanganan yang sesuai sampai saat ini untuk flutter atriuma dalah sediaan digitalis. Obat ini akan menguatkan penyekat nodus AV, sehingga memperlambat frekwensinya. Quinidin juga dapat diberikan untuk menekan tempat atrium ektopik.penggunaan digitalis bersama dengan quinidin biasanya bisa merubah disritmia ini menjadi irama sinus. Terapi medis lain yang berguna adalah penyekat kanal kalsium dan penyekat beta adrenergic. Bila terapi medis tidak berhasil, fluter atrium sering berespons terhadap kardioversi listrik.
* Fibrilasi atrium
Fibrilasi atrium (kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan tidak terkoordinasi) biasanya berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit katup jantung, gagal jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit jantung congenital. Karakteristik :
* Frekwensi : frekwensi atrium antara 350 sampai 600 denyut permenit; respons ventrikuler biasanya 120 sampai 200 denyut per menit. * Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak indulasi yang iereguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang F, interval PR tidak dapat diukur. * Kompleks QRS : Biasanya normal . * Hantaran : Biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respons ventrikuler ireguler, karena nodus AV tidak berespon terhadap frekwensi atrium yang cepat, maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespon ireguler. * Irama : ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Ireguleritas irama diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.
Penanganan diarahkan untuk mengurangi iritabilitas atrium dan mengurangi frekwensi respons ventrikel. Pasien dengan fibrilasi atrium kronik, perlu diberikan terapi antikoagulan untuk mencegah tromboemboli yang dapat terbentuk di atrium. Obat pilihan untuk menangani fibrilasi atrium sama dengan yang digunakan pada penatalaksanaan PAT, preparat digitalis digunakan untuk memperlambat frekwensi jantung dan antidisritmia seperti quinidin digunakan untuk menekan disritmia tersebut.
DISRITMIA VENTRIKEL
* Kontraksi Prematur Ventrikel
Kontraksi ventrikel premature (PVC) terjadi akibat peningkatan otomatisasi sel otot ventrikel. PVC bisa disebabkan oleh toksisitas digitalis, hipoksia, hipokalemia, demam, asidosis, latihan, atau peningkatan sirkulasi katekolamin. PVC jarang terjadi dan tidak serius. Biasanya pasien merasa berdebar-debar teapi tidak ada keluhan lain. Namun, demikian perhatian terletak pada kenyataan bahwa kontraksi premature ini dapat menyebabkan disritmia ventrikel yang lebih serius. Pada pasien dengan miokard infark akut, PVC bisa menjadi precursor serius terjadinya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel bila :
* Jumlahnya meningkat lebih dari 6 per menit * Multi focus atau berasal dari berbagai area di jantung. * Terjadi berpasangan atau triplet * Terjadi pada fase hantaran yang peka.
Gelombang T memeprlihatkan periode di mana jantung lebih berespons terhadap setiap denyut adan tereksitasi secara disritmik. Fase hantaran gelombang T ini dikatakan sebagai fase yang peka. Karakteristik :
* Frekwensi : 60 sampai 100 denyut per menit. * Gelombang P : Tidak akan muncul karena impuls berasal dari ventrikel. * Kompleks QRS : Biasanya lebar dan aneh, berdurasi lebih dari 0, 10 detik. Mungkin berasal dari satu focus yang sama dalam ventrikel; atau mungkin memiliki berbagai bentuk konfigurasi bila terjadi dari multi focus di ventrikel. * Hantaran : Terkadang retrograde melalui jaringan penyambung dan atrium. * Irama : Ireguler bila terjadi denyut premature.
Untuk mengurangi iritabilitas ventrikel, harus ditentukan penyebabnya dan bila mungkin, dikoreksi. Obat anti disritmia dapat dipergunakan untuk pengoabtan segera atau jangka panjang. Obat yang biasanya dipakai pada penatalaksanaan akut adalah lidokain, prokainamid, atau quinidin mungkin efektif untuk terapi jangka panjang.
* Bigemini Ventrikel
Bigemini ventrikel biasanya diakibatkan oleh intoksikasi digitalis, penyakit artei koroner, MI akut, dan CHF. Istilah bigemini mengacu pada kondisi dimana setiap denyut adalah prematur. Karakteristik :
* Frekwensi : Dapat terjadi pada frekwensi jantung berapapun, tetapi biasanya kurang dari 90 denyut per menit. * Gelombang P : Seperti yang diterangkan pada PVC; dapat tersembunyi dalam kompleks QRS. * Kompleks QRS : Setiap denyut adalah PVC dengan kompleks QRS yang lebar dan aneh dan terdapat jeda kompensasi lengkap. * Hantaran : Denyut sinus dihantarkan dari nodus sinus secara normal, namun PVC yang mulai berselang seling pada ventrikel akan mengakibatkan hantaran retrograde ke jaringan penyambung dan atrium. * Irama : Ireguler.
Bila terjadi denyut ektopik pada setiap denyut ketiga maka disebut trigemini, tiap denyut keempat, quadrigemini. Penanganan bigemini ventrikel adalah sama dengan PVC karena penyebab yang sering mendasari adalah intoksikasi digitalis, sehingga penyebab ini harus disingkirkan atau diobati bila ada. Bigemini ventrikel akibat intoksikasi digitalis diobati dengan fenitoin (dilantin).
* Takikardia Ventrikel
Disritmia ini disebabkan oleh peningkatan iritabilitas miokard, seperti PVC. Penyakit ini biasanya berhubungan dengan penyakit arteri koroner dan terjadi sebelum fibrilasi ventrikel. Takikardia ventrikel sangat berbahaya dan harus dianggap sebagai keadaan gawat darurat. Pasien biasanya sadar akan adanya irama cepat ini dan sangat cemas. Irama ventrikuler yang dipercepat dan takikardia ventrikel mempunyai karakteristik sebagai berikut :
* Frekwensi : 150 sampai 200 denyut per menit. * Gelombang P : Biasanya tenggelam dalam kompleks QRS; bila terlihat, tidak slealu mempunyai pola yang sesuai dengan QRS. Kontraksi ventrikel tidak berhubungan dengan kontraksi atrium. * Kompleks QRS : Mempunyai konfigurasi yang sama dengan PVC- lebar dan anerh, dengan gelombang T terbalik. Denyut ventrikel dapat bergabung dengan QRS normal, menghasilkan denyut gabungan. * Hantaran : Berasal dari ventrikel, dengan kemungkinan hantaran retrograde ke jaringan penyambung dan atrium. * Irama : Biasanya regular, tetapi dapat juga terjadi takiakrdia ventrikel ireguler.
Terapi yang akan diberikan dtentukan oleh dapat atau tidaknya pasien bertoleransi terhadap irama yang cepat ini. Penyebab iritabilitas miokard harus dicari dan dikoreksi segera. Obat antidisritmia dapat digunakan. Kardioversi perlu dilakukan bila terdapat tanda-tanda penurunan curah jantung.
* Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel adalah denyutan ventrikel yang cepat dan tak efektif. Pada disritmia ini denyut jatung tidak terdengar dan tidak teraba, dan tidak ada respirasi. Polanya sangat ireguler dan dapat dibedakan dengan disritmia tipe lainnya. Karena tidak ada koordinasi antivitas jantung, maka dapat terjadi henti jantung dan kematian bila fibrilasi ventrikel tidak segera dikoreksi. Karateristik :
* Frekwensi : Cepat, tak terkoordinasi dan tak efektif. * Gelombang P : Tidak terlihat. * Kompleks QRS : CEpat, undulasi iregulertanpa pola yang khas (multifokal). Ventrikel hanya memiliki gerakan yang bergetar. * Hantaran : Banyak focus di ventrikel yang melepaskan impuls pada saat yang sama mengakibatkan hantaran tidak terjadi; tidak terjadi kontraksi ventrikel. * Irama : Sangat ireguler dan tidak terkordinasi, tanpa pola yang khusus. * Penanganan segera adalah melalui defibrilasi.
ABNORMALITAS HANTARAN
* Penyekat AV Derajat Satu
Penyekat AV derajat satu biasanya berhubungan dengan penyakit jantung organic atau mungkin disebabkan oleh efek digitalis. Hal ini biasanya terlihat pad apasien dengan infark miokard dinding inferior jantung. Karakteristik :
* Frekwensi : Bervariasi, biasanya 60 sampai 100 denyut per menit. * Gelombang P : Mendahului setiap kompleks QRS. Interval PR berdurasi lebih besar dari 0, 20 detik. * Kompleks QRS : Mengikuti setiap gelombang P, biasanya normal. * Hantaran : Hantaran menjadi lambat, biasanya di setiap tempat antara jaringan penyambung dan jaringan purkinje, menghasilkan interval PR yang panjang. Hantaran ventrikel biasanya normal. * Irama : Biasanya regular.
Disritmia ini penting karena dapat mengakibatkan hambatan jantung yang lebih serius. Merupakan tanda bahaya. Maka pasien harus dipantau ketat untuk setiap tahap lanjut penyekat jantung.
* Penyekat AV Derajat Dua
Penyekat AV derajat dua juga disebabkan oleh penyakit jantung organic, infark miokard atau intoksikasi digitalis. Bentuk penyekat ini menghasilkan penurunan frekwensi jantung dan biasanya penurunan curah jantung. Karakteristik :
* Frekwensi : 30 sampai 55 denyut per menit. Frekwensi atrium dapat lebih cepat dua , tiga atau empat kali disbanding frekwensi ventrikel. * Gelombang P : Terdapat dua, tiga atau empat gelombang untuk setiap kompleks QRS. Interval PR yang dihantarkan biasanya berdurasi normal. * Kompleks QRS : Biasanya normal. * Hantaran : Satu atau dua impuls tidak dihantarkan ke ventrikel.
Irama : Biasanya lambat dan regular. Bila terjadi irama ireguler, hal ini dapat diebabkan oleh kenyataan adanya penyekat yang bervariasi antara 2:1 sampai 3:1 atau kombinasi lainnya. Penanganan diarahkan untuk meningkatkan frekwensi jantung guna mempertahankan curah jantung normal. Intoksikasi digitalis harus ditangani dan seitap pengoabtan dengan fungsi depresi aktivitas miokard harus ditunda.
* Penyekat AV Derajat Tiga
Penyekat AV derajat tiga (penyekat jantung lengkap) juga berhubungan dengan penyakit jantung organic, intoksikasi digitalis dan MI. frekwensi jantung berkurang drastic, mengakibatkan penurunan perfusi ke organ vital, seprti otak, jantung, ginjal, paru dan kulit. Karakteristik :
* Asal : Impuls berasal dari nodus SA, tetapi tidak dihantarkan ke serat purkinje. Mereka disekat secara lengkap. Maka setiap irama yang lolos dari daerah penyambung atau ventrikel akan mengambil alih pacemaker. * Frekwensi : frekwensi atrium 60 sampai 100 denyut per menit, frekwensi ventrikel 40 sampai 60 denyut per menit bila irama yang lolos berasal dari daerah penyambung, 20 sampai 40 denyut permenit bila irama yang lolos berasal dari ventrikel. * Gelombang P : Gelombang P yang berasal dari nodus SA terlihat regular sepanjang irama, namun tidak ada hubungan dengan kompleks QRS. * Kompleks QRS : Bila lolosnya irama berasal dari daerah penyambung , maka kompleks QRS mempunyai konfigurasi supraventrikuler yang normal, tetapi tidak berhubungan dengan gelombang P. kompleks QRS terjadi secara regular. Bila irama yang lolos berasal dari ventrikel, kompleks QRS berdurasi 0, 10 detik lebih lama dan baisanya lebar dan landai. Kompleks QRS tersebut mempunyai konfigurasi seperti kompleks QRS pada PVC. * Hantaran : Nodus SA melepaskan impuls dan gelombang P dapat dilihat. Namun mereka disekat dan tidak dihantarkan ke ventrikel. Irama yang lolos dari daerah penyambung biasnaya dihantarkan secara normal ke ventrikel. Irama yang lolos dari ventrikel bersifat ektopik dengan konfigurasi yang menyimpang. * Irama : Biasanya lambat tetapi regular. * Penanganan diarahkan untuk meningkatkan perfusi ke organ vital. Penggunaan pace maker temporer sangat dianjurkan. Mungkin perlu dipasang pace maker permanent bila penyekat bersifat menetap.
* Asistole Ventrikel
Pada asistole ventrikel tidak akan terjadi kompleks QRS. Tidak ada denyut jantung, denyut nadi dan pernapasan. Tanpa penatalaksanaan segera, asistole ventrikel sangat fatal. Karakteristik :
* Frekwensi : tidak ada. * Gelombang P : Mungkin ada, tetapi tidak dapat dihantarkan ke nodus AV dan ventrikel. * Kompleks QRS : Tidak ada. * Hantaran : Kemungkinan, hanya melalui atrium. * Irama : Tidak ada.
Resusitasi jantung paru (CPR) perlu dilakukan agar pasien tetap hidup. Untuk menurunkan stimulasi vagal, berikan atropine secara intravena. Efinefrin (intrakardiak) harus diberikan secara berulang dengan interval setiap lima menit. Natrium bikarbonat diberikan secara intravena. Diperlukan pemasangan pacemaker secara intratoraks, transvena atau eksternal.
5. KOMPLIKASI 6. PROSEDUR DIAGNOSTIK
EKG : Menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan oabt jantung. Monitor Holter : gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia. Foto dada : Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup. Skan pencitraan miokardia : Dapat menunjukkan area iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa. Tes stress latihan : Dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan disritmia. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat menyebabkan disritmia. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat, contoh digitalis, quinidin dan lain-lain. Pemeriksaan Tiroid : Peningkatan atau penurunan kadar tiroid serum dapat menyebabkan /meningkatnya disritmia. laju Sedimentasi : Peninggian dapat menunjukkan proses inflamasi akut/aktif, contoh endokarditis sebagai faktor pencetus untuk disritmia. GDA/Nadi Oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia.
7. MANAJEMEN MEDIK
Pada prinsipnya tujuan terapi aritmia adalah (1) mengembalikan irama jantung yang normal (rhythm control), (2) menurunkan frekuensi denyut jantung (rate control), dan (3) mencegah terbentuknya bekuan darah. Terapi sangat tergantung pada jenis aritmia. Sebagian gangguan ini tidak perlu diterapi. Sebagian lagi dapat diterapi dengan obat-obatan. Jika kausa aritmia berhasil dideteksi, maka tak ada yang lebih baik daripada menyembuhkan atau memperbaiki penyebabnya secara spesifik. Aritmia sendiri, dapat diterapi dengan beberapa hal di bawah ini; Disritmia umumnya ditangani dengan terapi medis. Pada situasi dimana obat saja tidak memcukupi, disediakan berbagai terapi mekanis tambahan. Terapi yang paling sering adalah kardioversi elektif, defibrilasi dan pacemaker. Penatalaksanaan bedah, meskipun jarang, juga dapat dilakukan.
OBAT-OBATAN Obat-obatan. Ada beberapa jenis obat yang tersedia untuk mengendalikan aritmia. Pemilihan obat harus dilakukan dengan hati-hati karena mereka pun memiliki efek samping. Beberapa di antaranya justru menyebabkan aritimia bertambah parah. Evaluasi terhadap efektivitas obat dapat dikerjkan melalui pemeriksaan EKG (pemeriksaan listrik jantung).
KARDIOVERSI Kardioversi mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia yang memiliki kompleks QRS, biasanya merupakan prosedur elektif. Pasien dalam keadaan sadar dan diminta persetujuannya.
DEFIBRILASI Defibrilasi adalah kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat darurat. Biasanya terbatas penatalaksanaan fibrilasi ventrikel apabila tidak ada irama jantung yang terorganisasi. Defibrilasi akan mendepolarisasi secara lengkap semua sel miokard sekaligus, sehingga memungkinkan nodus sinus memperoleh kembali fungsinya sebagai pacemaker.
DEFIBRILATOR KARDIOVERTER IMPLANTABEL Adalah suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takiakrdia ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami fibrilasi ventrikel.
TERAPI PACEMAKER Pacemaker adalah alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekwensi jantung. Alat ini memulai dan memeprtahankan frekwensi jantung kerika pacemaker alamiah jantung tak mampu lagi memenuhi fungsinya. Pacemaker biasanya digunakan bila pasien mengalami gangguan hantaran atau loncatan gangguan hantaran yang mengakibatkan kegagalan curah jantung.
PEMBEDAHAN HANTARAN JANTUNG Takikardian atrium dan ventrikel yang tidak berespons terhadap pengobatan dan tidak sesuai untuk cetusan anti takikardia dapat ditangani dengan metode selain obat dan pacemaker. Metode tersebut mencakup isolasi endokardial, reseksi endokardial, krioablasi, ablasi listrik dan ablasi frekwensi radio. Isolasi endokardial dilakukan dengan membuat irisan ke dalam endokardium, memisahkannya dari area endokardium tempat dimana terjadi disritmia. Batas irisan kemudian dijahit kembali. Irisan dan jaringan parut yang ditimbulkan akan mencegah disritmia mempengaruhi seluruh jantung. Pada reseksi endokardial, sumber disritmia diidentifikasi dan daerah endokardium tersebut dikelupas. Tidak perlu dilakukan rekonstruksi atau perbaikan. Krioablasi dilakukan dengan meletakkkan alat khusus, yang didinginkan sampai suhu -60C (-76F), pada endokardium di tempat asal disritmia selama 2 menit. Daerah yang membeku akan menjadi jaringan parut kecil dan sumber disritmia dapat dihilangkan. Pada ablasi listrik sebuah kateter dimasukkan pada atau dekat sumber disritmia dan satu sampai lima syok sebesar 100 sampai 300 joule diberikan melalui kateter langsung ke endokardium dan jaringan sekitarnya. Jaringan jantung menjadi terbakar dan menjadi parut, sehingga menghilangkan sumber disritmia. Ablasi frekwensi radio dilakukan dengan memasang kateter khusus pada atau dekat asal disritmia. Gelombang suara frekwensi tinggi kemudian disalurkan melalui kateter tersebut, untuk menghancurkan jaringan disritmik. Kerusakan jaringan yang ditimbulkan lebih spesifik yaitu hanya pada jaringan disritmik saja disertai trauma kecil pada jaringan sekitarnya dan bukan trauma luas seperti pada krioablasi atau ablasi listrik.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN DATA DASAR AKTIVITAS /ISTIRAHAT Gejala : 1) Kelemahan, kelelahan umum dan karena kerja. Tanda : 2) Perubahan frekwensi jantung/TD dengan aktivitas/olahraga.
SIRKULASI Gejala : 3) Riwatar IM sebelumnya/akut 90%-95% mengalami disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung, hipertensi. Tanda : 4) Perubahan TD, contoh hipertensi atau hipotensi selama periode disritmia. 5) Nadi : mungkin tidak teratur, contoh denyut kuat, pulsus altenan (denyut kuat teratur/denyut lemah), nadi bigeminal (denyut kuat tak teratur/denyut lemah). 6) Deficit nadi (perbedaan antara nadi apical dan nadi radial). 7) Bunyi jantung : irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun. 8) Kulit : warna dan kelembaban berubah, contoh pucat, sianosis, berkeringat (gagal jantung, syok). 9) Edema : dependen, umum, DVJ (pada adanya gagal jantung). 10) Haluaran urine : menurun bila curah jantung menurun berat.
MAKANAN/CAIRAN Gejala : Hilang nafsu makan, anoreksia. Tidak toleran terhadap makanan (karena adanya obat). Mual/muntah. Perubahan berat badan. Tanda : Perubahan berat badan. Edema Perubahan pada kelembaban kulit/turgor. Pernapasan krekels.
NEURO SENSORI Gejala : Pusing, berdenyut, sakit kepala. Tanda : Status mental/sensori berubah, contoh disorientasi, bingung, kehilangan memori, perubahan pola bicara/kesadaran, pingsan, koma. Perubahan perilaku, contoh menyerang, letargi, halusinasi. Perubahan pupil (kesamaan dan reaksi terhadap sinar). Kehilangan refleks tendon dalam dengan disritmia yang mengancam hidup (takikardia ventrikel , bradikardia berat).
NYERI/KETIDAKNYAMANAN Gejala : Nyeri dada, ringan sampai berat, dimana dapat atau tidak bias hilang oleh obat anti angina. Tanda : Perilaku distraksi, contoh gelisah.
PERNAPASAN Gejala : Penyakit paru kronis. Riwayat atau penggunaan tembakau berulang. Napas pendek. Batuk (dengan /tanpa produksi sputum). Tanda : Perubahan kecepatan/kedalaman pernapasan selama episode disritmia. Bunyi napas : bunyi tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernapasan, seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal.
PENYULUHAN Gejala : Faktor risiko keluarga contoh, penyakit jantung, stroke. Penggunaan/tak menggunakan obat yang disresepkan, contoh obat jantung (digitalis); anti koagulan (coumadin) atau obat lain yang dijual bebas, contoh sirup batuk dan analgesik berisi ASA. Adanya kegagalan untuk memeprbaiki, contoh disritmia berulang/tak dapat sembuh yang mengancam hidup. Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama di rawat : 3,2 hari. Rencana pemulangan : Perubahan penggunaan obat.
2. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1) RISIKO TINGGI TERHADAP PENURUNAN CURAH JANTUNG. Faktor risiko meliputi : v Gangguan konduksi elektrikal. v Penurunan kontraktilitas miokardia. Kemungkinan dibuktikan oleh : v Tidak dapat diterapkan , adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa actual. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi : v Mempertahankan /meningkatkan curah jantung adekuat yang dibuktikan oleh TD/nadi dalam rentang normal, haluaran urine adekuat, nadi teraba sama, status mental biasa. v Menunjukkan penurunan frekwensi/tak adanya disritmia. v Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan kerja miokardia. INTERVENSI RASIONAL
* Raba nadi (radial, carotid, femoral, dorsalis pedis) catat frekwensi, keteraturan, amplitude (penuh/kuat) dan simetris. Catat adanya pulsus alternan, nadi bigeminal atau defisit nadi. * Auskultasi bunyi jantung, catat frekwensi, irama. Catat adanya denyut jantung ekstra, penurunan nadi. * Pantau tanda vital dan kaji keadekuatan curah jantung/perfusi jaringan. Laporkan variasi penting pada TD/frekwensi nadi, kesamaan, pernapasan, perubahan pada warna kulit/suhu, tingkat kesadaran/sensori, dan haluaran urine selama episode disritmia. * Tentukan tipe disritmia dan catat irama (bila pantau jantung /telemetri tersedia). * Takikardia * Bradikardia * Disritmia atrial * Disritmia ventrikel * Blok jantung * Berikan lingkungan tenang. Kaji alasan untuk membatasi aktivitas selama fase akut. * Demonstrasikan /dorong penggunaan perilaku pengaturan stress, contoh tehnik relaksasi , bimbingan imajinasi, napas lambat/dalam. * Selidiki laporan nyeri dada, catat lokasi, lamanya, intensitas, dan faktor penghilang/pemberat. Catat petunjuk nyeri non-verbal, contoh wajah mengkerut, menangis, perubahan TD/frekwensi jantung. * Siapkan /lakukan resusitasi jantung paru sesuai indikasi. * Kolaborasi * Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh elektrolit. * Kadar obat. * Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. * Berikan obat sesuai indikasi. * Kalium, * Antidisritmia : * Kelompok Ia, contoh disopiramid (norpace), prokainamid (pronestly), quinidin (quinagulate). * Kelompok Ib contoh lidokain, fenitoin, tokainidin, meksiletine. * Kelompok Ic, contoh enkainid, flekainid, propafenon. * Kelompok II, contoh propranolol, nadolol, asebutolol, esmolol. * Kelompok III, contoh bretilium toslat, aminodaron. * Kelompok IV, contoh verapamil, nifedipin, diltiazem. * Lain-lain, contoh atropine sulfat, isoproterenol, glkosid jantung , digitalis. * Siapkan untuk/Bantu kardioversi elektif. * Bantu pemasangan/mempertahankan fungsi pacu jantung. * Masukan/pertahankan masukan IV * Siapkan untuk prosedur diagnostic invasive/bedah sesuai indikasi. * Siapkan untuk/Bantu penanaman otomatik kardioversi atau defibrilator (AICD) bila diindikasikan
2) KURANG PENGETAHUAN TENTANG PENYEBAB/KONDISI PENGOBATAN. Dapat dihubungkan dengan : v Kurang informasi/salah pengertian kondisi medis/kebutuhan terapi. v Tidak mengenal sumber informasi. v Kurang mengingat. Kemungkinan dibuktikan oleh : v Pertanyaan v Pernyataan salah konsepsi. v Gagal memperbaiki program sebelumnya. v Terjadi komplikasi yang dapat dicegah. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi : v Menyatakan pemahaman tentang kondisi, program pengobatan dan fungsi pacu jantung (bila menggunakan). v Menyatakan tindakan yang diperlukan dan kemungkinan efek samping merugikan dari obat. v Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alas an tindakan. v Menghubungkan dengan benar prosedur tanda gagal pacu jantung.
INTERVENSI RASIONAL
* Kaji ulang fungsi jantung normal/konduksi elektrikal. * Jelaskan/tekankan masalah disritmia khusus dan tindakan terapeutik pada pasien/orang terdekat. * Identifikasi efek merugikan/komplikasi disritmia khusus, contoh kelemahan, edema dependen, perubahan mental lanjut, vertigo. * Anjurkan /catat pendidikan tentang obat. Termasuk mengapa obat diperlukan (tindakan yang dibutuhkan), bagaimana dan kapan minum obat, apa yang dilakukan bila dosis terlupakan (informasi dosis dan penggunaan), efek samping yang diharapkan atau kemungkinan reaksi merugikan, interaksi dengan obat lain/obat yang dijual bebas atau substansi (alcohol, tembakau), sesuai dengan apa dan kapan melaporkan ke dokter. * Dorong pengembangan latihan rutin, menghindari latihan berlebihan. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan aktivitas cepat, contoh pusing, silau, dispnea, nyeri dada. * Kaji ulang kebutuhan diet individu/pembatasan, contoh kalium dan kafein. * Memberikan informasi dalam bentuk tulisan bagi pasien/orang terdekat untuk dibawa pulang. * Anjurkan pasien melakukan pengukuran nadi dengan tepat. Dorong pencatatan nadi harian sebelum minum obat/latihan. Identifikasi situasi yang memerlukan intervensi medis cepat. * Kaji ulang kewaspadaan keamanan, tehnik untuk mengevaluasi/mempertahankan pacu jantung atau fungsi AICD dan gejala yang memerlukan intervensi medis. * Kaji ulang prosedur untuk menghilangkan PAT contoh pijatan karotis/sinus maneuver. Valsalva bila perlu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Emergency Cardiovascular Care Program, Advanced Cardiac Life Support, 1997-1999, American Heart Association. 2. Noer Sjaifoellah, M.H. Dr. Prof, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, Edisi ketiga, 1996, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 3. http://www.rnceus.com/course_frame.asp?exam_id=16&directory=ekg 4. http://www.ce5.com/ekg101.htm 5. http://www.kompas.com/kesehatan/news/0305/07/112208.htm 6. http://www.rnceus.com/course_frame.asp?exam_id=16&directory=ekg 7. Smeltzer Bare, 2002, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner & Studdarth, edisi 8 , EGC, Jakarta. 8. Guyton & Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Cetakan I, EGC, Jakarta. 9. http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2004/3/7/ink1.html 10. Ganong F. William, 2003, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, EGC, Jakarta. 11. Price & Wilson, 2006, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Volume I, EGC, Jakarta. Baca Juga Artikel Berikut Ini Asuhan Keperawatan ASKEP IBU HAMIL DENGAN TBC ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIDROSEFALUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK (PJR) ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TETANUS ASKEP OSTEOMALASIA PEMERIKSAAN OBSTETRI DAN ASUHAN ANTENATAL ASKEP LEUKIMIA Asuhan Keperawatan pada Klien Anak dengan DIARE ASKEP LABIOPALATOSKISIS CA NASOFARING
Created By: Nurlita Novikasari Label: Asuhan Keperawatan