Sunteți pe pagina 1din 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang
sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan
autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak
adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses
perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam
waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah.
(Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi
berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem
kekebalan yang pada mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh, kemudian
teman-teman sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti
terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut.
Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut.
Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu enzim
dalam sel yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini tidak
bekerja normal, sehingga DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih ada.
Tehadap sisa-sisa ini kemudian terbetuk zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu kesehatan,
maka penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga menyerang beberapa
organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa sampai kelainan jiwa (psikosis). Penyakit
ini terdiagnosis saat organ tubuh telah mengalami kerusakan parah.
Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering timbul.
Disamping itu mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia, gangguan fungsi
ginjal, nyeri kepala sampai kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga timbul sesak
napas. Gejala ini tidak semuanya timbul pada seorang penderita lupus. Penderita lupus mungkin
hanya mengalami beberapa gejala saja.
Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut rontok, sering demam,
sering sariawan, kencing mengandung protein, serta mengalami fotosensitif. Ini dikemukakan oleh
Prof. Handono Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar News,
2012).
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus adalah
sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.
Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus Erythematosus
saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu
ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu
imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada
Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu
banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri.
Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease(penyakit dengan kekebalan tubuh
berlebihan).
Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :
1. Penyakit Lupus Diskoid
Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang terbatas pada
kulit.Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan
ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal.
Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus
sistemik.
2. Penyakit Lupus Sistemik
Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan berkembang menjadi lupus
sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung.
Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi
(ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar akan
berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak pernah mengalami suar lain,
tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi berulang kali selama bertahun-tahun.
3. Drug Induced Lupus (DIL)
DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh reaksi
terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling
sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung
procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala
penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.
Ada juga Lupus neonatal yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir dan
bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena
serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam enam bulan pertama
kehidupan anak.
Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala akan ngelotok
sehingga rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun
sakit. Biasanya untuk menghilangkan sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan morfin
efeknya tidak baik, jadi sering kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika
menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke dan koma. Lupus itu
mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan tubuh penderita menurun drastis, sehingga
penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita.
Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak lanjuti
penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia
50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan bahwa
hormon wanita (hormon estrogen) mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit lupus
karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit lupus adalah wanita.
Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obat-obatan tertentu, infeksi, dan paparan
sinar matahari.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan
dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi
meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala
penyakit lupus. Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah
melahirkan.
Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang pernah terkena
sebelumnya, namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab yang jelas untuk penyakit ini.
Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya dalam
teori, tidak ada yang jelas dinyatakan sebagai fakta.
Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali
lupus yang disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan bahkan
masih berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari beberapa
penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus adalah perempuan, yang mengindikasikan
bahwa penyakit ini mungkin terkait hormon-hormon perempuan. Menstruasi, menopause dan
melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita penyakit ini di usia
antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.
Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat
penyakitnya kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu. ( sumber wikipedia indonesia)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit
lupus. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif yang mempertimbangkan
semua gejala dan riwayat penyakit.
Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American Rheumatism
Association (ARA) menetapkan Sebelas Kriteria Lupus untuk membantu dokter mendiagnosis
lupus dan yang diperbaharui tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa
SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11
kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi
dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence
atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu
ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi
pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan
pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah :
a) anemia hemolitik,
b) Leukosit < 4000/mm,
c) Limfosit<1500/mm, dan
d) Trombosit <100.000/mm
7. Salah satu Kelainan Ginjal :
a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih
maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
a) Pleuritis,
b) Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis :
a) Konvulsi / kejang,
b) Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi :
a) Sel LE+
b) Anti dsDNA diatas titer normal
c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal
d) Tes serologi sifilis positif palsu

B. Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal
Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam makalah
ini tim penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus secara herbal alami
dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :
1. XAMthone Plus
2. Madu Cerna
3. Teh Murbei
4. Kapsul MGL Super
Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang
sehingga nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk
menormalkan sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal yang
sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau lumpuh. Perlu
diketahui ginjal adalah benteng pertahanan pertama dari tubuh kita karena semua zat-zat yang masuk
ke dalam tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan memperbaiki sistem-sistem
secara keseluruhan.




BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi Penyakit Lupus
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh
pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri,
seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh
yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan
autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya
terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian
dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi
dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi
multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).

B. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal
belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan
tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum
wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau
bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini
masih dalam kajian.

C. Patofis (Patofisiologis)
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor
pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga
pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-
antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi
sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan
berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan
diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein
RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-
sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun
pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya
reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau
tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

D. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain,
dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang
akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.
Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
a) Artralgia
b) artritis (sinovitis)
c) pembengkakan sendi,
d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
e) rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi, dan
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
a) Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E. Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini
cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir
dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin
membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi awal
dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.
Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obatakan
menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

F. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita
dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik,
infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang
tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya
mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi
anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-
stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk
penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok
antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi
adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk
SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi
maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif
maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang
lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-
Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring
terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan,
Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-
Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis,
serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.

G. Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya
inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan
pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan
edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga
sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al.,
2000), sebagai berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan
antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya
menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan
yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente,
2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500
IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan
menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15)
dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi.
Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE
serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang
lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002).
NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat.
COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon,
serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi
homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,
dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan
saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan
inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian
perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang
timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1
sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan
menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek
samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat
digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang
muncul (Herfindal et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau
serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari
obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom,
mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan
leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang
baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi.
Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat
malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun
penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan
jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja
sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin,
prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya
inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke
tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan
dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk
antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang
abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima
kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon
terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang.
Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih
dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang
berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal
(serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu
pemberian glukokortikoid
Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu.
Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS
umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih
pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah
tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan
penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya
diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka
dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan
pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20
mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat
terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas
atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau
hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh
nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis
tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi
sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan
obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga
terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan
penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil
dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid
sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan
fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T,
dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan
secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis
tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan
infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet
count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi
pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan
siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang
refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis
steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia.
Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan
produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7. Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih
fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,
mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE
mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit
yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan
TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine.
Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh
mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan
Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus
asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 57 hari. Salmonella dapat
diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol
(Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak
digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE
(Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian
amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

H. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg
per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh,
bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.



BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan
gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia
dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi
di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung
jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP
lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Uraian Masalah Keperawatan
a) Nyeri
b) Kerusakan intergritas kulit
c) Isolasi sosial
d) Kerusakan mobilitas fisik
e) Keletihan/kelelahan
f) Perubahan Nutrisi
g) Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.
Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :

2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C. Intervensi (Rencana Tindakan)
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Gangguan nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :
1) Skala Nyeri : 1-10
c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi,
biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara
terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk
mencegah menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada
hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan
debridemen.
5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan
imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang
dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
Kolaborasi
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan
intervensi yang tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian mengeringkannya
dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm,
sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
Kombinasi :
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang
terdekat (bila tidak ada keluarga).
b) Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang diberikan
c) Rencana Tindakan dan Rasional
1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi
pasien/orang lain.
3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan
tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan
kemandirian.


























BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga
kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang
menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan
tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon
estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu untuk
ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B. Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :
1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak awal
untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.


SEKILAS INFO


Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar matahari. Bila terkena sinar
matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih, tubuh tidak nyaman dan tidak enak.
Estrogen (atau oestrogen) adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai
hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh
lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur.
Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria. Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya). Pria
memeliki kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita (terutama pada usia produktif yaitu wanita
usia subur)
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan
alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari
respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.





DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran
Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup Sehat
untuk Keluarga. Jakarta : Kompas
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara
Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran
Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8
volume 3. Jakarta : EGC

S-ar putea să vă placă și