Sunteți pe pagina 1din 18

LAPORAN PRAKTIKUM PEMERIKSAAN FESES

PARASITOLOGI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Parasitologi










Disusun Oleh :

Irwan Nur Rizqi (G1B012028)
Wilda Intan Sari (G1B012029)
Muhammad Fahrian A. M. (G1B012031)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam
bidang kedokteran hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada
hewan dan manusia yang merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terjadinya urbanisasi yang tidak
diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah banyaknya dearah kumuh di
perkotaan. Makin berkurangnya air bersih, pencemaran air dan tanah menciptakan
kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan vektor dan sumber
infeksi termasuk oleh penyakit parasitik.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya
terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan
masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan
Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban
yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara
penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam
membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga
memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang
mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan
bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan
yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya,
untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja
atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit
maupun imunologis.
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita
makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi
100 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris,
celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik
mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi
normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium
yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu
penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium
yang modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan
tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai
macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel
yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan
ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa
fesesnya (Gandahusada.dkk, 2000). Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan
metode kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif,
metode apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan
untuk mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan
dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat
dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk
mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara
melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejalaklinik kurang
dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris
lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada anak-anak yangsering
bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka lebih
mudahterinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada daerah
di mana penduduknya sering membuang tinja sembarangan sehingga lebih mudah
terjadi penularan. Pengalaman dalam hal membedakan sifat berbagai spesies
parasit, kista, telur, larva, dan juga pengetahuan tentang bentuk pseudoparasit dan
artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan dalam pengidentifikasian suatu
parasit.
B. Tujuan
1. Mengetahui pemeriksaan feses kualitatif dengan metode apung.
2. Mengetahui adanya telur parasit dalam sampel feses


BAB II
METODE PENGAMATAN
A. Macam-macam
Pemeriksaan telur cacing pada feses, terdapat dua macam cara
pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
1. Pemeriksaan secara Kualitatif
I.1. Metode Natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk
infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara
pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur
cacing dengan kotoran disekitarnya.
I.2. Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan
gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses
yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan
yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk
memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus,
telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun
telur Ascaris yang infertil.
I.3. Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva
cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris
dan Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini
memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan
didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
I.4. Metode Selotip
Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya telur cacing Enterobius
vermicularis pada anak yang berumur 1 10 tahun.
2. Pemeriksaan secara Kuantitatif
2.1. Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau
disebut teknik Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong
cellahane tape. Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab
digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara
massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas
untuk membuat diagnosa.
B. Maksud dan Tujuan
1. Metode Natif
Maksud : Menemukan telur cacing parasit pada feses yang diperiksa.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang
diperiksa fesesnya.
2. Metode Apung (Floatation method)
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang
yang diperiksa fesesnya.
3. Metode Harada Mori
Maksud : Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator
Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus spatau mencari larva
cacing-cacing parasit usus yang menetas diluar tubuh hospes.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing tambang.
4. Metode Selotip (Cellotape method)
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing Enterobius vermicularis pada
anak yang berumur 1 10 tahun.
Tujuan : Mengetahui presentase anak yang terinfeksi E. vermicularis.
5. Metode Kato
Maksud : Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah
telur.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui
berat ringannya infeksi cacing parasit usus
C. Dasar Teori
Kecacingan merupakan salah satu mikroorgisme penyebab penyakit dari
kelompok helminth (cacing), membesar dan hidup dalam usus halus manusia,
Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang
beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk. Terutamanya pada anak-
anak. Cacing-cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing cambuk dan cacing
tambang dan cacing pita.
D. Alat dan Bahan
Alat:
1. Penyaring teh
2. Tabung reaksi
3. Rak tabung
4. Gelas ukur
5. Batang pengaduk (Lidi)
6. Object glass
7. Cover glass
8. Mikroskop
9. Beaker glass

Bahan:
1. Sampel tinja sebanyak 10 gram atau sebesar biji kacang
2. NaCl jenuh 33%
E. Cara Kerja
Praktikum kali ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode apung
tanpa sentrifugasi, adapun cara kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Siapkan alat dan bahan
2. Tuangkan NaCl 33% jenuh kedalam beaker glass sebanyak 100 ml.
3. Campurkan 100 ml NaCl jenuh dengan 10 gram tinja kemudian
diaduk sehingga larut.
4. Selanjutnya disaring dengan menggunakan penyaring teh.
5. Masukkan campuran tinja dan larutan NaCl yang telah disaring
tersebut ke dalam tabung reaksi hingga penuh dan terlihat cembung.
6. Didiamkan selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass,
lalu letakkan cover glass pada obyek glass.
7. Selanjutnya letakkan preparat pada meja spesimen kemudian amati
menggunakan mikroskop.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

No. Nama Umur Alamat Hasil Keterangan
1. Diok
8,5
tahun
Desa Ciberem
Rt 01/02,
Sumbang
Positif
Ditemukan telur
cacing Ascaris
lumbricoides
2. Nesa 8 tahun
Desa Ciberem,
Kec. Sumbang
Negatif
Tidak ditemukan
telur, kista dan larva
pada tinja
3. Nurdin 9 tahun
Desa Ciberem,
Kec. Sumbang
Negatif
Tidak ditemukan
telur, kista dan larva
pada tinja

B. Pembahasan
B.1. Percobaan 1
Dari percobaan yang kami lakukan dengan menggunakan metode Apung
seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa telur Ascaris lumbricoides
diperoleh hasil pemeriksaan positif, sedangkan pada telur selain Ascaris
lumbricoides diperoleh hasil negatif sehingga anak tersebut menderita Ascariasis.


Gambar Telur Ascaris lumbricoides
Berdasarkan pemeriksaan feses dengan metode apung yang telah
dilakukan, ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides fertil pada feses anak SD
kelas 2 bernama Diok. Telur tersebut memiliki ciri-ciri berbentuk oval, memiliki
dinding ysng terdiri dari tiga lapis. Lapisan terluar telur memiliki permukaan yang
tidak rata, bergerigi, warnanya kecoklat-coklatan karena pigmen empedu, lapisan
ini dinamakan lapisan albuminoid. Lapisan tengah berupa lapisan kitin sedangkan
lapisan dalam berupa membran vitelin. Ciri-ciri yang telah disebutkan sesuai
dengan ciri-ciri telur Ascaris lumbricoides yang fertil, sehingga Diok dinyatakan
positif terinfeksi parasit Ascaris lumbricoides.
Ascaris lumbricoides adalah cacing parasit usus yang ukurannya paling
besar. Biasa disebut dengan cacing gelang yang hidup di vili duodenum dan
jejunum. Jika di dalam telur cacing dalam feses, berarti ada cacing dewasa yang
hidup di usus Diok. Jumlah telur yang ditemuakan pada spesimen didapatkan
sekitar 8 butir dalam beberapa lapang pandang, berarti Diok berada pada stadium
infeksi sangat ringan. Menurut pemaparan ibu dari Diok, gejala yang dirasakan
Diok diantaranya yaitu kurang nafsu makan, sehingga jarang buang air besar.
Walaupun masih dalam tahap ringan Diok harus segera mendapatkan pengobatan
yang tepat agar infeksi tidak berlanjut pada tahap sedang.
Pengobatan yang bisa diberikan untuk penderita yaitu dengan obat
piperasin, pirantel pamoat, albendazol dan mebendazol. Pengobatan dari Ascaris
lumbricoides ini termasuk pada obat yang mudah diterima masyarakat karena
pemakaiannya sederhana, efek sampingnya minim dan harganya termasuk murah.
Jika tidak segera diobati cacing bisa lebih banyak bereproduksi dan telur cacing
pada feses dapat mencemari lingkungan.
Infeksi cacing Ascaris lumbricoides pada Diok ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, meliputi kebersihan rumah, lantai yang masih terbuat dari tanah
dapat menjadi tempat transmisi dari telur cacing tersebut. Tanahnya lembab dan
sedikit basah sehingga memungkinkan telur dapat tumbuh dengan baik.
Kurangnya frekuensi cuci tangan sebelum dan sesudah makan atau buang air
besar. Diok juga suka bermain tanah di sekitar rumah semisal saat bermain
kelereng, sehingga sangat memungkinkan telur cacing tertelan saat makan
makanan ringan tanpa mencuci tangan
Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala
ringan. Diagnosis yang berdasarkan gejala klinik saja kurang dapat dipastikkan,
segingga harus dengan bantuan pemeriksaan labolatorium. Bahan yang akan
diperiksa tergantung dari jenis parasit, untuk cacing atau protozoa usus maka
bahan yang diperiksa adalah tinja. Identifikasi terhadap kebanyakkan telur cacing
dapat dilakukan dalam bebrapa hari setelah tinja dikeluarkan.
Oleh karena itu Untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka
upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam
memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala
setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri (Ian lingkungan
serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari usaha pencegahan
untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat,
terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini merupakan usia yang
sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru.
Kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti :
Budayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga
untuk mencuci tangan sebelum makan. Kebiasaan akan terpupuk dengan
baik apabila orangtua meneladani. Dengan mencuci tangan makan akan
mengeliminir masuknya telur cacing ke mulut sebagai jalan masuk
pertama ke tempat berkembang biak cacing di perut kita.
Pakailah alas kaki jika menginjak tanah. Jenis cacing ada macamnya. Cara
masuknya pun beragam macam, salah satunya adalah cacing tambang
(Necator americanus ataupun Ancylostoma duodenale). Kedua jenis
cacing ini masuk melalui larva cacing yang menembus kulit di kaki, yang
kemudian jalan-jalan sampai ke usus melalui trayek saluran getah bening.
Kejadian ini sering disebut sebagai Cutaneus Larva Migran.
Gunting dan bersihkan kuku secara teratur. Kadang telur cacing yang
terselip di antara kuku Anda dan selamat masuk ke usus Anda dan
mendirikan koloni di sana.
Jangan buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.
Setiap kotoran baiknya dikelola dengan baik, termasuk kotoran manusia.
Di negara kita masih banyak warga yang memanfaatkan sungai untuk
buang hajat. Dengan perilaku ini maka kotoran-kotoran ini akan liar tidak
terjaga, sehingga mencemari lingkungannya. Dan, jika lingkungan sudah
cemar, penularan sering tidak pandang bulu. Orang yang sudah menjaga
diri sebersih mungkin sekalipun masih dapat dihinggapi parasit cacing ini.
Bertanam atau Berkebunlah dengan baik. Ambillah air yang masih baik
untuk menyiram tanaman. Agar air ini senantiasa baik maka usahakan
lingkungan sebaik mungkin. Menjaga alam ini termasuk bagian dalam
merawat kesehatan.
Pedulilah dengan lingkungan, maka akan dapat memanfaatkan hasil yang
baik. Jika air yang digunakan terkontaminasi dengan tinja manusia, bukan
tidak mungkin telur cacing bertahan pada kelopak-kelopak tanaman yang
ditanam dan terbawa hingga ke meja makan.
Cucilah sayur dengan baik sebelum diolah. Cucilah sayur di bawah air
yang mengalir.
Hati-hatilah makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di
daerah yang sanitasinya buruk.
Buanglah kotoran hewan hewan peliharaan kesayangan Anda seperti
kucing atau anjing pada tempat pembuangan khusus.
Pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama
bagi Anda yang risiko tinggi terkena infestasi cacing ini, seperti petani,
anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang
(orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.
Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan
pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-
obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing Golongan Pirantel
Pamoat (Combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang efektif untuk
mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing. Intervensi
berupa pemberian obat cacing ( obat pirantel pamoat 10 mg / kg BB dan
albendazole 10 mg/kg BB ) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk
mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah .Paduan yang serasi
antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang
memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara
maksimal, tuntas dan paripurna.
B.2. Percobaan 2
Percobaan kedua ini setelah diamati dari berbagai lapang pandang, pada
sampel feses tidak ditemukan adanya telur cacing, atau dapat dikatakan bahwa
Nesa tidak terinfeksi cacing parasit atau adanya kemungkinan terjadi kesalahan
dalam Praktikum Pemeriksaan Feses ini.
Kesalahan yang mungkin terjadi dalam Praktikum kali ini adalah :
Kesalahan Praktikan, yaitu kesalahan pada saat melakukan praktikum.
Kesalahan-kesalahan tersebut dapat berupa kesalahan dalam
melakukan langkah-langkah atau cara kerja Praktikum, kesalahan
menggunakan alat-alat atau ketidakcermatan praktikan dalam
mengamati preparat feses sehingga tidak dapat menemukan adanya
yelur cacing dalam preparat tersebut.
Kesalahan pada pengambuilan sampel feses, yaitu kesalahan
manusia/hospes, apakah diambil pada tempat pembuangan/kloset atau
tidak langsung dari perianal, apakah tercampur dengan urin atau yang
lainnya.
Kesalahan penyimpanan feses, yaitu kesalahan pada tempat yang
digunakan sebagai tempat penyimpanan feses. Baik dari faktor suhu
maupun kondisi ruangan yang tidak steril. Selain itu juga waktu antara
pengambilan sampel feses dengan waktu dilakukannya Pemeriksaan
yang terlalu lama juga dapat mempengaruhi hasil dari Pemeriksaan
atau Praktikum ini.
Adapun hambatan-hambatan yang ditemui selama melakukan Praktikum
Pemeriksaan feses kali ini adalah :
1. Keterbatasan alat-alat praktikum, yaitu jumlah alat yang digunakan untuk
praktikum yang kurang memadai, sehingga kelompok kami hanya
melakukan Pemeriksaan dengan satu metode yaitu metode apung tanpa
sentrifugasi sedangkan kelompok yang lain melakukan dengan dua metode
yaitu metode apung dengan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi.
2. Karena bahan yang digunakan pada Praktikum adalah feses, maka
Praktikan harus menahan bau yang menyengat yang ditimbulkan dari feses
tersebut.
B.3. Percobaan 3
Percobaan ketiga setelah diamati dari berbagai lapang pandang, diperoleh
hasil negatif (tidak ditemukan telur cacing). Hasil negatif pada metode yang
dilaksanakan dapat disebabkan antara lain :
1. Sampel tinja yang diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing
parasit).
2. Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.
Misalnya pada metode apung, saat larutan feses didiamkan pada tabung
reaksi, tabung reaksi goyang sehingga telur yang sudah terapung
mengendap lagi.
3. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur maupun
larva cacing parasit.
4. Praktikan kurang paham tentang urutan kerja pada masing-masing metode.
5. Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak
ditemukan telur pada feses.
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk
memeriksa dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan
yang telah dipulas. Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira
ukuran dari bermacam-macam parasit tetapi perbedaan individual tidak
memungkinkan membedakan spesies hanya dengan melihat besarnya. Tinja
sebagai bahan pemeriksa harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih
dan kering bebas dari urine. Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat
dilakukan dalam beberapa hari setelah tinja dikeluarkan (Kurt, 1999).


IV. PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Percobaan pertama yaitu sampel feses dari Diok positif terinfeksi cacing
parasit usus Ascaris lumbricoides berdasarkan pengamatan morfologi telur cacing
dari sampel feses segar. Pemeriksaan tersbut dilakukan dengan cara metode
apung (flotation metodhe).
Percobaan kedua dan ketiga yaitu masing-masing dari sampel feses Nesa
dan Nurdin diperoleh hasil negatif terinfeksi cacing.
Metode apung (Floating method) adalah metode dengan menggunakan
larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas
BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur.
Kelebihan dari metode ini adalah baik untuk semua jenis telur baik untuk
infeksi berat dan ringan. Telur yang ditemukan terpisah dari kotoran.
Kekurangan dari metode ini adalah penggunaan feses banyak dan
memerlukan waktu yang lama sehingga perlu ketelitian tinggi agar telur di
permukaan larutan tidak turun lagi.
B. Saran
Semua anggota keluarga hendaknya menerapkan perilaku hidup bersih dan
sehat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, diantaranya sebagai berikut :
Membuat jamban keluarga, meningkatkan higiene perseorangan, tidak buang air
besar di sembarang tempat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk, perbaiki
sanitasi lingkungan dan rajin mencuci tangan.
Bagi para praktikan supaya lebih memperhatikan prosedur penelitian yang
telah ditetapkan. Selain itu, para praktikan di tekankan untuk menjaga kebersihan
agar tak ada penularan lanjutan dari telur yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. W. 1969. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia, Jakarta.
Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Menengah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Heryy. 2000. Parasitologi Kedokteran.
Fakultas kedokteran UI, Jakarta.
Hardidjaja, Pinardi & TM. 1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi
Kedokteran. FKUI, Jakarta.
Kadarsan, S. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.
Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume . Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Neva, F.A. and H.W.Brown. 1994. Basic Clinical Parasitology, Appleton and
Lange, New York,
Noble, R.N. 1961. An Illustrated Laboratory Manual of parasitology, Burgess
Publishing, Minnesota.
Soejoto dan Soebari. 1996. Parasitologi Medik Jilid 3 Protozoologi dan
Helmintologi. EGC, Solo.
Tierney, L. M., S. J. McPhee, M. A. Papadakis. 2002. Current Medical Diagnosis
and Treatment,Mc Graw Hill Company, New York.


LAMPIRAN

S-ar putea să vă placă și