Sunteți pe pagina 1din 17

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama

: Nuria Iftitah Dedikasih Dachlan

NIM

: C111 10 829

Judul PKMRS :Ambigus genitalia


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar,

Pembimbing

November 2014

Co-Ass

dr. Noor Wahidah

Nuria Iftitah Dedikasih D

Supervisor

dr. Ratna Dewi, Sp. A

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................


LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................ 2
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 3
I.1 LATAR BELAKANG ....................................................................... 3
I.2 EPIDEMIOLOGI .............................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
II. 1 DEFINISI ....................................................................................... 4
II. 2 PATOGENESIS ............................................................................. 4
II. 3 DIAGNOSIS .................................................................................. 6
II. 4 PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................... 9
II. 5 PENATALAKSANAAN ............................................................... 11
II. 6 KOMPLIKASI ................................................................................ 14
II. 7 PENCEGAHAN ............................................................................. 14
BAB III.PENUTUP ...................................................................................... 15
III.1 KESIMPULAN .............................................................................. 15
III.2 SARAN .......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17
REFERENSI

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Secara umum, ambigus genitalia adalah keadaan tidak terdapatnya kesesuaian
karakteristik dalam menentukan jenis kelamin seseorang. Evaluasi bayi baru lahir dengan

ambigus genitalia merupakan sebuah tantangan diagnostik bagi dokter.Bentuk kelainan yang
ditemukan pada ambigus genitalia sangat banyak dari klitoris yang membesar (phalus) pada
wanita sampai dengan hipospadia pada anak laki-laki.Variasi bentuk dari ambigus genitalia
tergantung etiologi timbulnya ambigus genitalia. Diagnosis kelainan ini sangat tidak mudah
hingga dibutuhkan suatu tim multidisipliner yang terdiri dari urologi anak, endokrinologi,

genetik, dan psikiatri anak atau psikolog sehingga dapat menyelesaikan masalah ambigus
genitalia. Hal ini sangat penting sebab diagnosis definitif harus ditentukan secepat mungkin

sehingga rencana pengobatan yang tepat dapat dibentuk untuk meminimalkan komplikasi
medis, psikologis, dan sosial. Evaluasi efisien dan akurat diperlukan untuk memberikan
terapi medis yang sesuai dan untuk meredakan kecemasan orang tua. 1,2
Perhatian tenaga kesehatan terhadap ambigus genitalia sangatlah kurang, tak jarang
penderita yang datang ke klinik dengan usia yang sudah pubertas. Pemeriksaan yang dilakukan
sangatlah sederhana (seks kromatin/barr bodies) sehingga penentuan kelamin dari anak tidak
seperti yang diharapkan. Perhatian terhadap keluarga seharusnya sejak bayi dilahirkan, orang tua
diberikan penerangan yang terperinci bahwa perkembangan genitalia dari anak yang dilahirkan
tidak sempurna dan diperlukan beberapa tes diagnostik yang akan digunakan dalam penentuan
seks dan gender. 1,2

II. Epidemiologi
Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit ambigus genitalia sangat terbatas.
Meskipun tidak ada jumlah pasti prevalensi ambigus genitalia, pada akhir tahun 2006, di
Jerman telah ditemukan 2 kasus dari 10.000 kelahiran. Di Mesir, prevalensi ambigus
3

genitalia mencapai 1 dari 3000 kelahiran hidup. Kasus ambigus genitalia secara umum
dapat dialami baik laki-laki, maupun perempuan dan biasanya didiagnosis pada
kelahiran bayi dengan ambigus genitalia.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Ambigus genitalia adalah cacat lahir atau kelahiran variasi organ seks yaitu
sulit menentukan jenis kelamin seorang bayi. Dicurigai ambigus genitalia, apabila
alat kelamin kecil, disebut penis terlalu kecil dengan panjang kurang dari 2,5 cm atau
dengan keadaan mikropenis sedangkan klitoris terlalu besar dengan lebar klitoris
lebih dari 6 mm atau disebut sebagai klitoromegali. Dalam kondisi apapun, bila
ditemukan ambigus genitalia atau pertanyaan tentang penetapan jenis kelamin,
pemeriksaan kariotipe harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah melahirkan.
Orang tua harus dapat diberitahu kondisi yang terjadi; penetapan jenis kelamin harus
ditunda sampai terkumpul data yang memadai untuk membuat diagnosis yang akurat.
Keluarga dapat dinasihati menggunakan informasi dan sumber daya yang ada untuk
membuat keputusan terbaik3,4

Gambar 1. Pasien dengan Ambigus Genitalia

II. Patogenesis

Perkembangan bipotensial gonad di mulai pada usia kehamilan lima hingga enam
minggu. Faktor steroidogenik 1(SF 1) dan Wilms tumor 1(WT 1) berperan penting dalam
penentu gonad. Adanya mutasi (SF 1) dan (WT 1) dapat menganggu perkembangan gonad
yang menyebabkan 46,XYsex reversal atau ambigus genitalia. Terdapat tiga komponen
utama yang menentukan jenis kelamin janin yaitu kromosom seks, seks gonad, dan fenotip
seks. Kromosom seks menentukan seks gonad, akhirnya menentukan fenotip seks.3,4

Gen utama yang mempengaruh indiferensiasi gonad adalah gen Sex-determining


region of the Y (SRY),yang terletak pada kromosomY. Bila terdapat gen SRY, maka gonad
indeferen menjadi testis.3,4
Duktus genital dan genitalia eksternal berasal dari lapisan germ mesodermal kecuali
epitel sinus urogenital yang berasal dari endodermal. Testosteron diproduksi sel Laydig
testes, merangsang duktus wolfili menjadi epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis.
Struktur wolfili terletak paling dekat dengan sumber testosteron, duktus wolfii tidak
berkembang seperti yang diharapkan bila testes atau gonad disgenetik sehingga tidak
memproduksi testosteron. Kadar testosteron lokal yang tinggi penting untuk diferensiasi
duktus wolfii namun pada fetus perempuan androgen ibu saja yang tinggi tidak
menyebabkan diferensiasi duktus internal lak-laki, hal ini juga tidak terjadi pada bayi
perempuan dengan Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH).4
Substansi penghambat mulleri (MIS) diproduksi oleh sel sertoli testis, penting untuk
perkembangan duktus internal laki-laki normal, merupakan suatu protein dengan berat
molekul 15.000, yang disekresi mulai minggu ke delapan. Peran utamanya adalah represi
perkembangan pasif duktus mulleri (tuba fallopii, uterus, vagina atas). Testosteron dan
estrogen tidak mempengaruhi peran MIS.4
Genitalia eksterna kedua jenis kelamin masih identik sampai tujuh minggu pertama
masa gestasi. Tanpa hormone androgen (testosteron dan dihidrotestosteron-DHT), genitalia
5

eksterna secara fenotip perempuan. Bila ada gonad laki-laki, diferensiasi terjadi secara aktif
setelah minggu ke delapan menjadi fenotip laki-laki. Diferensiasi ini dipengaruhi oleh
testosteron, yang berubah menjadi DHT karena pengaruh enzim 5-alfa reduktase dalam
sitoplasma sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. DHT berikatan dengan reseptor
androgen dalam sitoplasma kemudian ditranspor ke nucleus, menyebabkan translasi dan
transkripsi material genetik, akhirnya menyebabkan perkembangan genetalia eksterna lakilaki normal, bagian primordial membentuk scrotum, dari pembengkakan genital membetuk
batang penis, dari lipatan tuberkel membentuk glans penis, dari sinus urogenital menjadi
prostat. Maskulinisasi tidak sempurna bila testosteron gagal berubah menjadi DHT atau
DHT gagal berkeja dalam sitoplasma atau nucleus sel genitalia eksterna dan sinus
urogenital. Kadar testosteron tetap tinggi sampai minggu ke 14. Setelah minggu ke 14, kadar
testosteron fetus menetap pada kadar yang lebih rendah dan dipertahankan oleh stimulasi
human chorionic gonadotrophin (hCG) maternal daripada oleh LH. Kemudian pada fase
gestasi selanjutnya testosteron bertanggung jawab terhadap pertumbuhan falus yang
responsive terhadaptestosteron dan DHT.4
III. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai:
1. Riwayat kehamilan : jumlah kehamilan sebelumnya, lama kehamilan, komplikasi
kehamilan, perdarahan abnormal, penyakit dan pajanan terhadap penyakit serta
adakah pemakaian obat-obatan seperti hormonal atau alkohol, terutama pada
trimester I kehamilan
2. Riwayat kelahiran : tanyakan tentang riwayat paritas ibu, berat badan lahir, lama
persalinan, adanya tidak persalinan induksi, anestesi dan penggunaan forceps atau
vacuum saat melahirkan.
3. Riwayat keluarga, adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.
4. Riwayat kematian neonatal dini.
5. Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua penderita.
6

6. Riwayat kebiasaan : riwayat perokok atau perokok berat, mengonsumsi alkohol atau
pemakaian obat-obat terlarang 4,5

Dengan pemeriksaan fisis khususnya genitalia eksternal pada neonatus perempuan


normal didapatkan4:
1. Celah vagina dengan lebar 3-4 mm atau terlihat orifisium stellata yang dipenuhi
dengan mukosa.
2. Lebar klitoris 2-6 mm
3. Tidak teraba testis pada labia mayor atau regio inguinal.
Pada neonatus laki-laki normal didapatkan4:
1. Urethra sampai ke depan penis
2. Panjang penis 2,5 - 5 cm dan diameter 0,9 - 1,3 cm.
3. Testis teraba dua buah di scrotum dengan ukuran 8 - 14 mm.

Gambar 2. Ambiguous genitalia, diantaranya adalah true hermaphrodite (A) dan


congenital virilizing adrenal hyperplasia (B-E)
7

Pada neonatus dengan ambigus genitalia terdapat ketidaksesuaian pada pemeriksaan


fisis genitalia eksternal.
Skala Prader adalah sistem penilaian untuk grading derajat maskulinisasi genital.
Skala Prader dimulai dari 0 yang merupakan bukan virilis dan berakhir pada skor 5 yang
merupakan virilisasi (penampilan fisik seperti perempuan namun memiliki genital eksternal
laki-laki dengan skrotum kosong karena tidak ada testis).

Prader 0 adalah Genitalia eksterna wanita normal

Prader 1 adalah Genitalia eksterna dengan klitoromegali

Prader 2 adalah Klitoromegali dengan fusi parsial labia yang membentuk sinus
urogenital berbentuk corong.

Prader 3 adalah peningkatan pembesaran phallus, fusi labioscrotal komplit membentuk


sinus urogenital dengan satu lubang.

Prader 4 adalah fusi scrotal komplit dengan pintu urogenital di dasar batang phallus.

Prader 5 adalah Genitalia eksterna laki-laki normal.6

Gambar 3. Skala Prader untuk menentukan derajat ambigus genitalia

Beberapa keadaan di bawah ini harus dipertimbangkan sebagai kasus genitalia ambigua
yang perlu mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut :
Tampak laki-laki

Kriptorkismus bilateral

Hipospadia dengan skrotum bifidum

Kriptorkismus dengan hipospadia

Inderteminate/meragukan

Genitalia ambigua

Tampak Perempuan

Clitoromegali

Vulva yang sempit

Kantong hernia inguinalis berisi gonad

IV. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a. Analisis kromosom : Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan
pemeriksaan

analisa

kromosom

dengan

cara

yang konvensional

atau

menggunakan teknik fluorescence in-situ hybridization (FISH) dengan tujuan


untuk melakukan analisis keberadaan kromosom X dan Y.

b. Skrining pada bayi baru lahir mencakup pengukuran 17-hydroxyprogesterone,


untuk menskrining enzim CAH 21-hidroksilase dalam upaya menurunkan angka
kematian yang berhubungan dengan insufisiensi adrenal akut. Defisiensi enzim
lainnya adalah 11 alphahydroxlyase yang bisa mengakibatkan hipertensi tanpa
salt-losing, dan defisiensi 3-beta-hidroksisteroid dehidrogenase.
c. Pemeriksaan biopsi gonad kadang juga diperlukan untuk membuktikan adanya
kelainan disgenesis gonad atau adanya kondisi ovotestis
2. Pencitraan
a. USG pelvis dapat menunjukkan uterus dan gonad. Tidak adanya system Mulleri
mengimplikasikan berfungsinya jaringan testicular di awal kehamilan dan skresi
MIS.
b. Genitografi; untuk menentukan apakah saluran genital interna perempuan ada
atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama
untuk menentukan ada atau tidaknya organ yang berasal dari saluran muller.2

10

V. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan di bidang endokrin5
Pemberian terapi hormon pada DSD didasari atas kebutuhan hormon seks untuk
menginisiasi maturasi pubertas. Terapi hormonal ini dapat dilakukan saat usia penyandang
DSD memasuki usia pubertas dimana lingkungan pergaulannya juga memasuki masa
tersebut.
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong
perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi
(membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi rambut dan massa tubuh) dengan
memberikan testosteron.
Bila pasien menjadi perempuan, maka tujuan pengobatan adalah mendorong secara
simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminism dan menekan perkembangan
maskulin (perkembangan payudara dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa
individu setelah pengobatan estrogen).
Pada

CAH

diberikan

glukokortikoid

dan

hormon

untuk

retensi

garam.

Glukokotrikoid dapat membantu pasien mempertahankan reaksi bila terjadi stress fisik dan
menekan perkembangan maskulinisasi pada pasien perempuan.
Glukokortikoid dapat diberikan lebih awal bila dibutuhkan, biasanya dimulai pada
saat diagnosis ditegakkan. Bilamana pasien diberikan hormon seks laki-laki, hormon seks
perempuan atau glukokotikoid, maka pengobatan harus dilanjutkan selama hidup. Misalnya,
hormon seks laki-laki dibutuhkan pada saat dewasa untuk mempertahankan karakteristik
maskulin, hormon seks perempuan untuk mencegah osteoporosis dan penyakit
kardiovaskuler, dan glukokortikoid untuk mencegah hipoglikemia dan penyakit-penyakit
yang menyebabkan stress.
Terapi sulih hormon meliputi:

Perempuan dengan menggunakan estrogen, etinil estradiol

Laki-laki dengan menggunakan testosterone


Hiperplasia adrenal kongenital:

11

Hidrokortison 15-20 mg/m2/ haridalamdosisbagi 2-3 kali/hari

Fludrokortison: 25-50 g/hari

2. Penatalaksanaan bedah5
Berdasarkan guidelines American Academy of Pediatrics, lingkup pembedahan
sudah termsuk dalam pemilihan terapi DSD.9 Tujuan pembedahan rekonstruksi pada
genitalia perempuan adalah agar mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapat mungin
seperti normal dan mengkoreksi agar fungsi seksualnya normal. Tahap pertama adalah
mengurangi ukuran klitoris yang membesar dengan tetap mempertahankan persarafan pada
klitoris dan menempatkannya tidak terlihat seperti posisi pada wanita normal. Tahap kedua
menempatkan vagina keluar agar berada di luar badan di daerah bawah klitoris.
Tahap pertama biasanya dilakukan pada awal kehidupan. Sedangkan tahap kedua
mungkin lebih berhasil bilamana dilakukan pada saar pasien mulai kehidupan seksual.
Pada laki-laki tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan
merubah letak urethra yang tidak berada di tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat
dilakukan dalam satu tahapan saja. Namun, demikian, pada banyak kasus, hal ini harus
dilakukan lebih dari satu tahapan, khususnya bilamana jaringan kulit yang digunakan
terbatas, lekukan pada penis terlalu berat dan semua keadaan-keadaan tersebut bersamaan
sehingga mempersulit teknik operasi.
Bilamana seks sudah jelas kearah laki-laki, maka dapat dilakukan operasi
rekonstruksi antara usia enam bulan sampai sebelas tahun. Secara umum, sebaiknya operasi
sudah selesai sebelum anak berusia dua tahun, jangan sampai ditunda sampai usia pubertas.
Bilamana seks sudah jelas ke arah perempuan, dan pembukaan vagina mudah
dilakukan dan klitoris tidak terlalu besar, maka rekonstruksi vagina dapat dilakukan pada
awal kehidupan tanpa koreksi klitoris. Bila maskulinisasi membuat klitoris sangat besar dan
vagina tertutup (atau lokasi vagina sangat tinggi dan sangat posterior), maka dianjurkan
untuk menunda rekonstruksi vagina sampai usia remaja. Namun, hal ini masih merupakan
perdebatan, beberapa ahli menganjurkan agar rekonstruksi dilakukan seawal mungkin atau
setidaknya sebelum usia dua tahun, namun ahli yang lain menganjurkan ditunda sampai usia
pubertas agar kadar estrogennya tinggi sehingga vagina dapat ditarik ke bawah lebih mudah.
12

3. Penatalaksanaan di bidang psikologis3


Manajemen psikososial pada DSD diantaranya adalah dengan melakukan gender
assignment & reassignment. Gender assignment (menentukan identitas kelamin) sebaiknya
telah mampu dilakukan pada masa neonatus. Semakin lama menunda penentuan jenis
kelamin oleh ahli yang berpengalaman, dapat menimbulkan risiko terjadinya penolakan
terhadap

eksistensi anak penderita DSD oleh kedua orangtua yang diperkirakan dapat

mengganggu aspek tumbuh kembang anak terutama pada perkembangan organ reproduksi
selanjutnya.
Semakin lama penentuan jenis kelamin akan berpengaruh pula pada prognosis dan
pemilihan terapi yang akan menentukan kapan dimulainya pemberian terapi hormonal, jenis
terapi hormonal yang dipilih serta lama pemberiannya, pemilihan waktu yang tepat untuk
pembedahan, hingga potensi seksualitas dan fertilitas pada DSD di usia dewasa yang
mempengaruhi kualitas hidupnya. Jika penentuan jenis kelamin masih sulit ditentukan,
sebaiknya para ahli yang menangani rutin memberikan penjelasan dan konseling terhadap
pihak orangtua sehingga dapat memulai adaptasi terhadap kondisi yang dihadapi.
Tidak memutup kemungkinan dalam penatalaksanaan DSD dilakukan gender
reassignment (menentukan kembali identitas kelamin). Saat ini, usia 18 bulan dianggap
sebagai batas atas dalam melakukan gender reassignment. Jika gender reassignment baru
dilakukan pada usia balita atau usia anak-anak, evaluasi psikososial sangat penting, karena
sudah terjadi perkembangan perilaku berdasarkan jenis kelamin sebelumnya. Upaya untuk
mengubah prilaku berdasarkan jenis kelamin yang baru, sulit dilakukan bila pemberian
informasi dan konseling tidak dilakukan secara mendalam dan rutin terhadap pihak orangtua
ataupun terhadap anak penderita DSD sendiri.
Manajemen informasi kepada anak penderita DSD oleh konselor yang terlatih,
adalah termasuk dalam hal yang penting untuk dipahami. Seorang konselor harus mampu
menceritakan secara jujur tentang kondisi atau riwayat perjalanan penyakit DSD kepada
penyandang DSD bila ia sudah mampu memahami kondisi kesehatan dirinya (umumnya
dilakukan pada usia tamat sekolah menengah pertama). Dengan melakukan manajemen
informasi yang baik, diharapkan penyandang DSD dapat menerima kondisinya saat ini,
13

mampu menjalankan terapi yang berkesinambungan, serta mendapat edukasi mengenai


perkembangan pubertas, seksualitas, dan kemungkinan potensi fertilitas di masa mendatang.
Manajemen informasi juga diberikan kepada pihak orangtua terkait dengan kondisi,
prognosis, dan pengetahuan orangtua tentang DSD.
Metode lain dalam lingkup psikososial yang dapat dilakukan adalah dengan
membentuk support groups. Terbukti dalam beberapa waktu belakangan ini, seiring dengan
perkembangan teknologi informasi, perkembangan support groups DSD sangat membantu
dalam penatalaksanaan DSD. Adanya support groups membantu menimbulkan rasa
kepercayaan diri, saling membantu antar sesama dan meningkatkan kualitas hidup, serta
mampu menimbulkan rasa dukungan dari pihak keluarga.
VII. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang sering didapatkan pada kasus ambigu genitalia adalah5 :
Krisis adrenal
Depresi
Gangguan orientasi seksual
Keganasan.
Infertilitas

VIII. Pencegahan
Untuk langkah pencegahan sebaiknya dimulai dari masa prenatal. Menurut suatu
penelitian oleh New York Presbyterian HospitalWeill Cornell Medical Center8, kandungan
yang beresiko tinggi terhadap ambigu genitalia dapat diberikan suntikan dexamethasone
pada masa kehamilan antara 9-11 minggu. Tujuannya adalah untuk membantu diferensiasi
dari genitalia externa dan sinus urogenital pada minggu ke-9 kehamilan. Penyuntikan
dexamethasone juga berfungsi untuk mencegah proses virilisasi pada bayi perempuan dan
dapat digunakan sebagai bahan diagnostik saat kehamilan trimester II untuk menilai kadar
17-OHP dalam cairan amniotik. Manfaatnya dibandingkan dengan hidrokortison sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan karena dexamethasone bisa melewati sawar

14

plasenta dan tidak berikatan dengan reseptor globulin-kortikosteroid yang merubah bentuk
dari semua kortikosteroid menjadi kortison yang bersifat inaktif.
Selain itu, penjagaan rutin atau antenatal care pada saat kehamilan sangat
dititikberatkan karena beberapa kasus ambigu genitalia adalah akibat dari kelainan yang
terjadi saat kehamilan sehingga pada saat ibu-ibu hamil tidak mendapat pelayanan antenatal
hampir semua kasus ambigu genitalia tidak dapat dideteksi. Pelayanan antenatal minimal
berkunjung 4 kali ke pusat penjagaan ibu dan anak untuk check-up rutin yaitu satu kali pada
trimester I, satu kali pada trimester II dan dua kali pada trimester III. Ibu-ibu hamil juga
sebaiknya diedukasi untuk tidak mengonsumsi obat-obatan yang bersifat teratogenik karena
bisa menyebabkan mutasi pada fetus dan menjaga pemakanan saat kehamilan dengan
memperbanyak minum susu, makan buah-buahan dan sayur-sayuran10.

BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Secara umum, bayi baru lahir dengan ambigus genitalia memerlukan input dari
sebuah tim multidisipliner yang terdiri dari urologi anak, endokrinologi, genetik, dan
psikiatri anak atau psikolog. Hal ini sangat penting sebab diagnosis definitif harus
ditentukan secepat mungkin sehingga rencana pengobatan yang tepat dapat dibentuk untuk
meminimalkan komplikasi medis, psikologis, dan sosial.1
Ambigus genitalia adalah cacat lahir atau kelahiran variasi organ seks yaitu sulit
menentukan jenis kelamin seorang bayi. Dicurigai ambigus genitalia, apabila alat kelamin
kecil, disebut penis terlalu kecil dengan panjang kurang dari 2,5 cm atau mikropenis
sedangkan klitoris terlalu besar dengan lebar klitoris lebih dari 6 mm atau klitoromegali.3,4
Pada pasien ambigus genitalia dapat diterapi. Bila pasien menjadi laki-laki, maka
tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong perkembangan maskulisasi dan menekan
berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi (membesarkan ukuran penis, menyempurnakan
distribusi rambut dan massa tubuh) dengan memberikan testosteron. 5

15

Bila pasien menjadi perempuan, maka tujuan pengobatan adalah mendorong secara
simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminism dan menekan perkembangan
maskulin (perkembangan payudara dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa
individu setelah pengobatan estrogen).5
Penatalaksanaan di bidang bedah dapat dilakukan tindakan pembedahan rekonstruksi
pada genitalia perempuan dengan tujuan memiliki genitalia eksterna feminine. Pada laki-laki
tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan merubah letak urethra yang
tidak berada di tempat normal ke ujung penis.5
Pentalaksanaan di bidang psikolog berupa konseling dapat diberikan oleh ahli
endokrin anak, psikolog, ahli psikiatri, ahli agama (ustadz, pastur, atau pendeta), konselor
genetik atau orang lain dimana anggota keluarga lebih dapat berbicara terbuka. 5
II. Saran
Apabila ditemukan pasien ambigus genitalia, segera bawa ke Puskesmas atau rumah
sakit terdekat untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut guna mengetahui jenis kelamin
pasien secara pasti.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Carolyn CH, Henry CL and Neely EK. Ambiguous Genitalia in the Newborn. American
Academy of Paediatrics, Neo Reviews, 2008
2. Lambert SM, Vilain EJN, Kolon TF. A Practical Approach to Ambiguous Genitalia in
the Newborn Period. Urol Clin N Am. 2010;37
3. Abusaad FE, Elmasri YM. Effect of Counseling Sessions on Coping Strategies and
Anxiety among Parents of Children with Ambiguous Genitalia. Journal of American
Science. 2011;7
4. Pudijiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Salamia NI. Pedoman Pelayanan Medis, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Edisi II, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2011:halaman 59-65
5. From Speiser and White; Congenital Adrenal Hyperplasia due to 21-Hydroxylase
Deficiency; Endocrine Reviews 21(3): 245-291; 2000
6. Coran GA, Polley ZT, Arbor JA. Surgical Management of Ambigous Genitalia in the
Infant and Child.Paediatric Surgery, University of Michigan Medical School, June 3-6,
1990.
7. http://growupclinic.com/2012/05/06/penanganan-terkini-genitalia-ambigus-danintersexuality
8. Pjakrt E, Chitty LS. Prenatal Gender Determination And The Diagnosis Of Genital
Anomalies, University College London Hospital and Institute of Child Health London,
2004;page 1- page 8
9. Fehersal Y, Putri FH, Sumapradja K. Disorders of Sexual Development, Divisi
Immunoendokrinologi Reproduksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI / RSCM
10. Ogilvy Stuart AL, Brain CE. Early Assessment Of Ambiguous Genitalia, British
Medical Journal Arch Dis Child 2004, 89;401-404
11. New MI, Prevention Of Ambiguous Genitalia By Prenatal

Treatment With

Dexamethasone In Pregnancies At Risk With Congenital Adrenal Hyperplasia, Pediatric


Endocrinology, New York Presbyterian HospitalWeill Cornell Medical Center,
2003;Vol.75, NOS 11-12;pp 2013-2022
17

S-ar putea să vă placă și