Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
1. PENDAHULUAN
1.1 Pengkajian pasien merupakan langkah guna mengidentifikasi sejauh mana kebutuhan pasien
akan pelayanan kesehatan. Keputusan mengenai jenis pelayanan yang paling tepat untuk
pasien, bidang spesialisasi yang paling tepat, penggunaan pemeriksaan penunjang diagnostik
yang paling tepat, sampai penanganan perawatan, gizi, psikologis dan aspek lain dalam
penanganan pasien di rumah sakit merupakan keputusan yang diambil berdasarkan pengkajian
(assessment)
1.2 Untuk itu, RS Sehat Sejahtera (RSSS) membuat kebijakan mengenai proses pengkajian pasien
di RSSS sebagai acuan standar dalam proses pengkajian.
2. TUJUAN
Sebagai acuan bagi seluruh staf medik, keperawatan dan profesional kesehatan lain dalam
melakukan pengkajian terhadap pasien di RSSS.
3. RUANG LINGKUP
3.1. Pengkajian pasien berdasarkan waktu dilakukan pengkajian dibagi menjadi :
3.1.1.Pengkajian Awal (Initial Assessment)
Merupakan pengkajian yang dilakukan profesional kesehatan saat pertama kali bertemu
dengan pasien dalam suatu episode penyakit. Pengkajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kebutuhan pasien akan pelayanan kesehatan terkait di bidang masing-masing.
3.1.2.Pengkajian Lanjutan (Re-Assessment)
Merupakan pengkajian yang bertujuan untuk memonitor/mengevaluasi hasil dari pelaksanaan
rencana pelayanan / pengobatan dan membuat rencana pelayanan / pengobatan selanjutnya.
Bisa dilakukan dalam interval menit hingga hari, tergantung kondisi pasien saat pengkajian
awal.
4. KEBIJAKAN
4.1. KOMPETENSI PETUGAS KESEHATAN
4.1.1.Dalam UU Praktik Kedokteran yang dimaksud dengan Petugas Kesehatan adalah dokter,
dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis atau tenaga kesehatan lain yang
memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Di RSSS, petugas kesehatan yang
dimaksud adalah dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan tenaga keterapian fisik
4.1.2.Pengertian dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam UU Praktik Kedokteran
adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam mapun di luar negeri yang diakui Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4.1.3.Pengertian perawat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 17
tahun 2013 adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di
luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4.1.4.Pengertian bidan sebagaimana dimaksud dalam KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007 adalah seorang perempuan yang
lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara
Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan
atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.
4.1.5.Pengertian tenaga keterapian fisik sebagaimana dimaksud dalam KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 376/MENKES/SK/III/2007 adalah seseorang
yang telah lulus pendidikan formal fisioterapi dan kepadanya diberikan kewenangan tertulis
untuk melakukan tindakan fisioterapi berdasarkan atas dasar kemampuan dan keilmuan yang
dimilikinya sesuai
4.2. PENGKAJIAN AWAL
4.2.1.Seluruh pasien baik rawat inap maupun rawat jalan harus mendapat pengkajian awal sesuai
standar profesi medik, keperawatan dan profesi lain yang berlaku di RSSS.
4.2.2.Pengkajian awal minimal meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta terdokumentasi
dalam rekam medik.
4.2.3.Pengkajian awal harus menghasilkan pemahaman tentang penanganan yang sebelumnya
telah diterima pasien, serta kebutuhan pasien saat dilakukan pengkajian, keputusan tentang
pelayanan apa yang terbaik untuk pasien (best setting of care) serta adanya diagnosis awal.
4.3. PENGKAJIAN LANJUTAN
4.3.1.Pengkajian lanjutan dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi respon terhadap pengobatan
dan penanganan yang diberikan.
Hal. 1 dari 16
4.3.2.Interval Pengkajian lanjutan dilakukan tergantung kondisi pasien. Misalnya pada pasien
gawat, pengkajian lanjutan yang bertujuan melihat respon terapi dilakukan dalam hitungan
menit, sedangkan pengkajian lain dapat dalam hitungan hari (misal melihat respon dari
antibiotik), hal ini ditetapkan dalam standar profesi medik dan standar profesi keperawatan
RSSS.
4.3.3.Format pengkajian lanjut di RSSS meliputi : SOAP, di mana:
4.3.3.1.
S (Subjective) merupakan keluhan pasien. Ditulis di rekam medik keluhan yang
relevan
dengan terapi yang diberikan, serta sebisa mungkin guna kepentingan evaluasi terapi
harus menunjukkan kuantifikasi (misalkan skala nyeri, mual sampai tidak bisa makan,
atau bisa makan tapi sedikit)
4.3.3.2.
O (Objective) merupakan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik. Ditulis di
rekam
medik hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang relevan dalam diagnosis dan terapi
yang diberikan saja.
4.3.3.3.
A (Assessment) merupakan kesimpulan pengkajian. Dituliskan di rekam medik
hanya
kesimpulan pengkajian yang relevan dengan rencana perubahan terapi (penambahan
maupun pengurangan) atau yang merupakan tindak lanjut dari pengkajian sebelumnya.
Termasuk perubahan diagnosis harus dituliskan.
4.3.3.4.
P (Plan) merupakan kelanjutan rencana perawatan. Dituliskan di rekam medik
secara
lengkap setiap perubahan terapi / penanganan. Termasuk penambahan obat,
pengurangan obat, perubahan dosis obat, perubahan diit, konsultasi dengan spesialisasi
lain, rencana pemulangan, edukasi dan pelatihan pasien dan keluarga yang akan
dilakukan.
4.3.3.5.
Huruf SOAP tidak perlu dituliskan dalam rekam medik, namun komponenkomponen SOAP di atas harus dituliskan guna menjamin kontinuitas penanganan,
sekaligus justifikasi dari terapi yang diberikan sehingga pada proses audit informasi yang
diberikan lengkap, sekaligus memenuhi aspek hukum.
4.3.4.Penulisan pengkajian harus jelas tanggal dan jam dilakukan pengkajian dan tertulis /
terdokumentasikan di rekam medik secara kronologis waktu
5. TATA CARA PENGKAJIAN
5.1. PENGKAJIAN GAWAT DARURAT
5.1.1.Pengkajian Triase
5.1.1.1.
Saat masuk unit gawat darurat setiap pasien akan diberikan pengkajian awal oleh
seorang perawat. Pengkajian ini akan mencakup, tapi tidak terbatas untuk:
5.1.1.1.1. Review singkat mengenai keluhan utama dan riwayat terkait
5.1.1.1.2. Tanda-tanda vital (tidak dilakukan pemeriksaan BP untuk anak dibawah dua
tahun)
5.1.1.1.3. Nyeri
5.1.1.1.4. Berat badan, untuk pasien pediatric
5.1.1.1.5. Tinggi badan
5.1.1.1.6. Status alergi
5.1.1.1.7. Mobilitas
5.1.1.1.8. Trauma
5.1.1.1.9. Tingkat kesadaran (menggunakan skala AVPU)
5.1.1.2.
Data pengkajian awal (triase) digunakan untuk menentukan tingkat triase.
5.1.1.2.1. Kategori 1: Kondisi yang Langsung Mengancam Nyawa. Kondisi yang
Mengancam nyawa (atau beresiko memburuk secara drastis) dan membutuhkan
intervensi agresif segera.
5.1.1.2.2. Kategori 2: Dalam waktu dekat Mengancam Nyawa. Kondisi pasien cukup serius
atau memburuk dengan cepat sehingga berpotensi mengancam nyawa atau
mengalami gagal system organ apabila tidak ditangani dalam 10 menit dari
kedatangannya.
5.1.1.2.3. Kategori 3: Urgent. Kondisi pasien dapat berkembang dan mengancam nyawa
atau anggota tubuh atau menyebabkan morbiditas yang signifikan, apabila
Hal. 2 dari 16
Hal. 3 dari 16
tipe dan alasan kunjungannya, keluhan yang muncul, intervensi yang diberikan dan
didokumentasikan sesuai dengan itu.
5.2.1.9.
Apabila pasien sedang menerima prosedur rawat jalan (endoskopi, biopsy, dll)
maka
pengkajian awal diharuskan tidak lebih dari 30 hari. Apabila sudah lebih dari 30 hari,
maka riwayat kesehatan dan pemerikssan fisik harus diperbaharui.
5.2.2.Pengkajian medis ulang
5.2.2.1.
Berdasarkan pengkajian awal pasien dan rencana perawatan yang ditetapkan,
pengkajian ulang dilakukan dan didokumentasikan selama proses perawatan dan
pemeriksaan lanjutan.
5.2.2.2.
Pengkajian ulang dilakukan untuk perencanaan pengobatan lanjutan.
5.2.2.3.
Pengkajian ulang dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan bilamana terjadi
perubahan yang signifikan pada kondisi mereka, rencana asuhan, dan kebutuhan
individual.
5.2.2.4.
Pada setiap kunjungan lanjutan, keluhan utama, tanda-tanda vital, pengkajian
nyeri menjadi fokus pengkajian, evaluasi test diagnostik dan rencana penatalaksanaan
harus dilakukan dan didokumentasikan sesuai dengan jenis kunjungannya.
5.3 PENGKAJIAN AWAL DAN PENGKAJIAN ULANG PASIEN RAWAT INAP
5.3.1 Pengkajian pada saat menerima pasien rawat inap
Pada saat penerimaan untuk semua kondisi pasien rawat inap, individu berkualifikasi
(Spesialis dan/atau Dokter Umum dan perawat) akan mengkaji masing-masing pasien untuk
mengidentifikasi perawatan atau penatalaksanaan yang sesuai dan tepat waktu yang
dibutuhkan dan/atau kebutuhan untuk pengkajian dikemudian hari. Status fisik, psikologis dan
sosial masing-masing pasien akan dinilai.
5.3.2
5.3.6
5.3.7
Sebagai tambahan, pengkajian khusus perkembangan, sesuai dengan umur dan populasi
pasien akan dilengkapi sebagaimana ditentukan
Dokter umum dapat melakukan pengkajian awal tapi menjadi tanggung jawab Spesialis yang
Menerima untuk mereview dan memastikan pengkajian tersebut dan mendokumentasikannya
pada rekam medis sebagai catatan penerimaan dan menambahkan informasi tambahan
bilamana diperlukan.
Pengkajian awal menghasilkan diagnosis awal pasien.
Pengkajian yang sebagian atau sepenuhnya diselesaikan diluar rumah sakit (e.g.
pemindahan dari rumah sakit atau klinik lain) temuannya dibahas dan/atau dipastikan pada
Hal. 4 dari 16
saat penerimaan sebagai pasien rawat inap. Review ini akan didokumentasikan dalam rekam
medis.
5.3.8 Review tersebut mencakup:
5.3.8.1 Tingkat kritis dari temuan
5.3.8.2 Kompleksitas pasien
5.3.8.3 Rencana Perawatan dan Penatalaksanaan
Sebagai contoh: review mengkonfirmasikan kejelasan diagnosa dan setiap prosedur dan
penatalaksanaan yang direncanakan; keberadaan radiography yang dibutuhkan untuk
operasi; setiap perubahan kondis pasien, misalnya pengawasan gula darah, dan
mengidentifikasikan setiap hasil tes lab yang kritis yang mungkin harus diulang
5.3.9
Hal. 5 dari 16
Hal. 6 dari 16
pasien dengan kebutuhan yang kompleks, dilakukan pertemuan formal tim pengobatan dan
rapat kasus.
5.3.15 Kebutuhan pasien disusun skala prioritasnya berdasarkan hasil pengkajian. Pasien dan
keluarga diberi informasi tentang hasil dari proses pengkajian dan setiap diagnosis yang telah
ditetapkan apabila diperlukan. Pasien dan keluarganya juga diberi informasi tentang rencana
pelayanan dan pengobatan dan diikutsertakan dalam keputusan tentang prioritas kebutuhan
yang perlu dipenuhi.
5.4. PENGKAJIAN PRA OPERATIF
5.4.1. Pengkajian pra operatif dilakukan oleh dokter operator utama atau dokter lain dengan
kompetensi sama yang telah mendapat pelimpahan tertulis dari dokter operator utama.
5.4.2. Pengkajian pre-operatif menghasilkan diagnosis pre-operatif, dan dokumentasi di rekam
medik yang minimal meiputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (serta penunjang jika standar
profesi medik mengharuskan demikian) harus menunjukkan justifikasi dari tindakan operatif
yang akan dilakukan.
5.4.3. Pengkajian pasca operasi dilakukan sesuai dengan standar profesi masing-masing,dan
didokumentasikan dalam rekam medik. Diagnosis pasca operasi harus dituliskan, serta
rencana penanganan pasca operasi (lihat ketentuan pengkajian lanjutan)
5.4.4. Pasien tidak dilakukan tindakan pembedahan bilamana pengkajian pasien belum dilakukan
dan didokumentasikan di rekam medik, termasuk proses untuk mendapatkan persetujuan
tindakan medik (informed-consent), dan skrining dilakukan oleh unit kamar bedah.
5.5. PENGKAJIAN PRA ANESTESI
5.5.1. Pengkajian pra anaestesi meliputi :
5.5.1.1. Pengkajian pre anestesi (dilakukan pada hari sebelum anestesi), untuk operasi cito
dapat digabungkan dengan pengkajian pre induksi.
5.5.1.2. Pengkajian pre induksi (dilakukan saat pasien sudah di kamar operasi, sesaat sebelum
induksi dimulai)
5.5.1.3. Monitoring durante anestesi / sedasi
5.5.1.4. Pengkajian pasca anestesi / sedasi
5.5.2.
Pengkajian pra anestesi dilakukan oleh dokter yang memiliki kompetensi sesuai standar
Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI).
5.5.3. Pengkajian pre-sedasi dilakukan oleh dokter / perawat yang telah mendapat pelatihan
mengenai sedasi sesuai kebijakan pelayanan anestesi & sedasi RSSS
5.5.4. Pelatihan terhadap dokter / perawat pelaksana sedasi harus sedikitnya meliputi :
5.5.4.1. Jenis-jenis obat sedatif dan farmakologi singkatnya.
5.5.4.2. Pengenalan berbagai brand / variasi obat sedasi dan kemasannya.
5.5.4.3. Cara pemberian obat sedasi
5.5.4.4. Indikasi dan Kontra Indikasi obat sedasi.
5.5.4.5. Efek samping dan monitoring selama pemberian sedasi
5.5.4.6. Penanganan efek samping dan kegawatan sehubungan dengan obat sedasi
5.5.4.7. Reversal agent dari obat sedasi
5.5.5. Dokter / perawat yang perlu mendapat sertifikasi pelaksana sedasi adalah :
5.5.5.1. Dokter UGD
5.5.5.2. Dokter ICU
5.5.5.3. Dokter Ranap / Ruangan
5.5.5.4. Perawat UGD
5.5.5.5. Perawat ICU / HCU
5.5.5.6. Perawat Endoskopi
5.5.5.7. Perawat Anestesi
5.5.5.8. Perawat Unit lain yang bertugas memasukkan obat-obat sedatif intravena
5.5.6. Pengkajian pre, durante dan post anestesi / sedasi dilakukan dan didokumentasikan dalam
rekam medik secara lengkap.
5.5.7. Pasien tidak dilakukan tindakan anestesi & sedasi bilamana pengkajian pasien belum
dilakukan dan didokumentasikan di rekam medik, termasuk proses untuk mendapatkan
persetujuan tindakan medik (informed-consent), dan skrining dilakukan oleh unit kamar
bedah atau unit lain yang melakukan sedasi.
Hal. 7 dari 16
RAWAT INAP
Metode
Hal. 8 dari 16
RAWAT JALAN
Diagnosis sesuai list. Rujukan ke
rehab medik sesuai indikasi
Metode
Pelaksana
RAWAT INAP
Standar
Standar
Metode
Yang melakukan
Perawat
Perawat
2 menit
2 menit
Hasil pengkajian
Intervensi
Sesuai SOP
Sesuai SOP
Pediatri (0 14)
Metode
Standar
Standar
Yang melakukan
Perawat
Perawat
3 menit
2 menit
Hasil pengkajian
Intervensi
Sesuai SOP
Sesuai SOP
5.6.9.
Hal. 9 dari 16
5.6.9.1. Skrining nyeri dilakukan terhadap setiap pasien, baik rawat jalan, gawat darurat maupun
rawat inap
5.6.9.2. Skrining dilakukan dengan menanyakan apakah pasien merasakan nyeri / sakit.
5.6.9.3. Jika hasil skrining positif (pasien merasakan nyeri), maka perawat yang melakukan
skrining melaporkan kepada dokter penanggung jawab pasien.
5.6.9.4. Dokter akan melakukan pengkajian nyeri terhadap pasien, dan melakukan penanganan
nyeri sesuai standar profesi.
5.6.9.5. Skrining nyeri pasien rawat jalan dilakukan untuk setiap kunjungan pertama setiap
harinya. Kunjungan kedua dan seterusnya tidak perlu diulang. (Bila dalam sehari pasien
mengunjungi lebih dari satu dokter / klinik)
5.6.9.6. Skrining nyeri pasien rawat inap diulang sedikitnya setiap 24 jam dan didokumentasikan
dalam catatan keperawatan.
5.6.9.7. Bila pasien mengalami nyeri atau sedang dalam terapi nyeri, maka pengkajian dilakukan
setiap sebelum pemberian obat nyeri, atau sesuai instruksi dokter.
5.6.9.8. Pengkajian nyeri juga perlu diulang sebelum 24 jam bila :
5.6.9.8.1. Setelah menjalani tindakan pembedahan atau invasif lain
5.6.9.8.2. Jatuh
5.6.9.8.3. Mengeluh nyeri
5.6.9.9. Pada pasien dengan nyeri kronik dan berat, pengkajian nyeri dilakukan lebih sering dan
didokumentasikan dalam form MONITORING NYERI seperti pada SOP.
RAWAT INAP
RAWAT JALAN
Metode
FLACC**
Yang melakukan
Perawat
Perawat
2 3 menit
2 3 menit
Hasil pengkajian
0 10
0 10
Metode
Yang melakukan
Perawat
Perawat
1 menit
1 menit
Hasil pengkajian
0 10
0 10
Metode
Yang melakukan
Perawat UGD/ICU
Perawat UGD
2 3 menit
2 3 menit
Hasil pengkajian
A, B, C, D
A, B, C, D
Pediatri (0 8)
Tidak sadar
Hal. 10 dari 16
** FLACC Pediatric
Hal. 11 dari 16
0
Face muscles
relaxed
1
Facial muscle
tension, frown,
grimace
2
Frequent to
constant frown,
clenched jaw
Face Score:
RESTLESSNESS
0
Quiet, relaxed
appearance,
1
Occasional restless
movement shifting
position
2
Frequent restless
movement may
include extremities
or head
Restlessness
Score:
MUSCLE TONE*
0
Normal muscle tone,
relaxed
1
Increased tone,
flexion of fingers
and toes
2
Rigid tone
VOCALIZATION**
0
No abnormal sounds
1
Occasional moans,
cries, whimpers or
grunts
2
Frequent or
continuous moans,
cries, whimpers or
grunts
Vocalization Score:
CONSOLABILITY
0
Content, relaxed
1
Reassured by touch
or talk. Distractible
2
Difficult to comfort
by touch or talk
Consolability Score:
* Assess muscle tone in patients with spinal cord lesion or injury at a level above the lesion or injury
** This item cannot be measured in patients with artificial airways
HOW TO USE THE PAIN ASSESSMENT BEHAVIORAL SCALE:
1. Observe behaviors and mark appropriate number for each category
2. Total the numbers in the Pain Assessment Behavioral Score column
3. No evidence of pain = 0, Mild pain = 3, Moderate pain = 4 6, Severe uncontrolled pain is > 6
5.6.10. Skrining & Pengkajian Nutrisi
5.6.10.1. Skrining status nutrisi dilakukan oleh:
5.6.10.1.1. Perawat untuk pasien ambulatory
5.6.10.1.2. Ahli gizi untuk pasien rawat inap
Hal. 12 dari 16
5.6.10.2. Jika pada hasil skrining ditemukan pasien beresiko tinggi mengalami Protein Energy
Malnutrition (PEM), maka perawat atau ahli gizi yang melakukan skrining melaporkan
kepada dokter penanggung jawab pasien.
5.6.10.3. Dokter akan melakukan pengkajian nutrisi yang lebih lengkap, dan bilamana perlu
pasien akan dikonsultasikan ke dokter spesialis gizi klinik.
5.6.10.4. Hasil pengkajian status nutrisi dan aspek-aspek lain terkait pola makan pasien pasien
didokumentasikan dalam rekam medik.
5.6.10.5. Pendokumentasian juga meliputi diagnosis gizi serta rencana tindakan terapetik
berkaitan dengan status gizi pasien.
5.6.10.6. Terkait dengan kepercayaan atau budaya yang dimiliki pasien, untuk pasien rawat
inap perlu ditanyakan apakah ada pantangan atau pola makan khusus yang dimiliki
pasien sebagai bagian dari pengkajian.
5.6.11. Skrining Psikologis
5.6.11.1.
Screening psikologis dilakukan pada seluruh pasien rawat jalan sesuai format
yang ada di SOP
5.6.11.2.
Screening psikologis dilakukan pada seluruh pasien rawat inap sesuai format
yang ada di lembar PENGKAJIAN KEPERAWATAN
5.6.11.3.
Pengkajian lebih lanjut oleh psikolog dilakukan atas konsultasi jika pada
pengkajian awal
ditemukan indikasi untuk pengkajian lanjut.
5.6.11.4.
Pengkajian psikologi didokumentasikan dalam rekam medik.
5.6.12. Pengkajian untuk korban penganiayaan
5.6.12.1. Korban penganiayaan adalah pasien yang mengalami tindak kekerasan fisik diluar
kemauannya
5.6.12.2. Kelompok yang rentan menjadi korban penganiayaan dapat anak-anak, pasangan
hidup, orang lanjut usia, dan lain lain orang yang secara sosio-ekonomi budaya dan fisik
tergantung kepada orang lain. Jika menjumpai kelompok ini, petugasharus mewaspadai
kemungkinan terjadinya penganiayaan
5.6.12.3. Saat menerima kasus medik yang dicurigai merupakan korban penganiayaan, maka
di samping penanganan terhadap cederanya, maka korban harus mendapat pengkajian
lebih dalam dan penanganan khusus yang meliputi :
5.6.12.3.1. Privasi pasien dari orang yang mengantar agar mereka dapat bicara bebas.
5.6.12.3.2. Bila korban anak-anak, pengkajian mungkin perlu dilakukan terhadap orang
tuanya secara terpisah, atau keluarga lain di luar orang tuanya untuk mendapat
gambaran lebih lengkap mengenai kejadiannya
5.6.12.3.3. Untuk orang lanjut usia atau yang tidak mampu mengutarakan keinginannya
sendiri, pengkajian perlu dilakukan terhadap seluruh keluarga yang ada, termasuk
orang yang sehari-hari merawat korban.
5.6.12.3.4. Pengkajian terhadap kemungkinan fraktur multipel dilakukan, terutama pada
korban yang tidak dapat mengeluhkan nyeri untuk dirinya sendiri (anak kecil, bayi
maupun orang tua atau dengan kecacatan / keterbatasan)
5.6.12.3.5. Konsultasi psikologi dilakukan pada pasien dengan curiga korban kekerasan /
penganiayaan.
5.6.13. Pengkajian Sosio-ekonomi-budaya
5.6.13.1. Pengkajian sosio ekonomi budaya dilakukan oleh dokter perawat dan petugas
administrasi RSSS.
5.6.13.2. Pengkajian sosio-ekonomi-budaya oleh dokter dilakukan dengan cara :
5.6.13.2.1. Melihat data agama, pendidikan, pekerjaan yang tertulis di lembar Ringkasan
Masuk Keluar
5.6.13.2.2. Melakukan anamnesis langsung (Auto-anamnesis) maupun tidak langsung
(Alloanamnesis) untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kemampuan
& kemauan pasien untuk kelanjutan proses pengobatannya.
5.6.13.3.
Pengkajian oleh dokter bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai
latar belakang pasien secara holistik guna membuat rencana penanganan pasien yang
terbaik sesuai dengan keadaan sosio ekonomi budaya dari pasien tersebut.
5.6.13.4.
Pengkajian sosio-ekonomi-budaya oleh perawat dilakukan dengan cara :
Hal. 13 dari 16
mendokumentasikan
dalam
form
5.6.13.5.
Pengkajian oleh petugas administrasi dilakukan dengan tujuan memenuhi
kelengkapan administrasi dari pasien.
5.6.13.6.
Pada pengkajian sosio-ekonomi-budaya pasien rawat inap dan initial
assessment pasien rawat jalan perlu ditanyakan pula :
5.6.13.6.1. Apakah pasien perlu bantuan untuk memahami informasi mengenai pelayanan
kesehatan?
5.6.13.6.2. Tanyakan pula bagaimana pasien lebih suka menerima informasi? (membaca,
mendengar atau meihat?)
5.6.13.6.3. Bahasa apa yang paling dirasa nyaman bagi pasien untuk mengkomunikasikan
mengenai penyakitnya. Dalam hal penyedia layanan (dokter/perawat) tidak dapat
berbicara dalam bahasa yang paling nyaman untuk pasien tersebut, maka
diupayakan mencari keluarga pasien atau staf RSSS yang mempu menjembatani
komunikasi dengan baik kepada pasien atau walinya.
5.6.13.6.4. Dalam hal pasien diwakili oleh wali (surrogate), misalnya pasien anak-anak atau
kondisi secara fisik atau psikis terganggu, maka pertanyaan-pertanyaan di atas
perlu diajukan ke wali pasien tersebut.
5.6.13.6.5. Apakah ada hal-hal terkait dengan budaya / kepercayaan yang dianut yang
berhubungan dengan proses perawatannya? Termasuk menanyakan adanya obatobat alternatif yang dikonsumsi atau dilakukan selama perawatan.
5.6.14. Pengkajian pasien dengan kecurigaan ketergantungan alkohol atau obat
5.6.14.1.
Jenis zat yang perlu diwaspadai menimbulkan ketergantungan :
5.6.14.1.1. Alkohol
5.6.14.1.2. Nikotin
5.6.14.1.3. Golongan barbiturat (flunitrazepam, triazolam, temazepam, and nimetazepam)
5.6.14.1.4. Golongan opiat (kodein, morfin, fentanil, oxycodon)
5.6.14.1.5. Amfetamin& Metamfetamin
5.6.14.2.
Identifikasi populasi berresiko :
5.6.14.2.1. Pasien yang meminta obat secara spesifik (terutama obat tranquilizer atau opiat)
dengan frekuensi yang sering dari rekam medik (dokter/ perawat melihat rekam
medik untuk melihat riwayat obat-obatan pasien)
5.6.14.2.2. Dokter/perawat baik OPD/UGD/rawat inap perlu juga waspada bagi pasien yang
mengeluh nyeri kronik dan meminta pain killer yang kuat atau meminta
peningkatan dosis.
5.6.14.2.3. Keluhan keluarga yang mengantar (anak, istri, orang tua) tentang masalah obat,
alkohol maupun merokok.
5.6.14.2.4. Farmasi dapat mendeteksi riwayat pengobatan pasien. Bila hal ini terjadi, maka
petugas farmasi perlu melaporkan ke dokter penanggung jawab pasien yang
bersangkutan.
5.6.14.2.5. Memasukkan riwayat minum alkohol dan merokok sebagai bagian dari pertanyaan
rutin untuk Medical Check Up.
5.6.14.3.
Tergantung dari kondisi pasien, dokter yang mengidentifikasi (mencurigai
adanya masalah ketergantungan) dapat melakukan pengkajian awal berupa pertanyaanpertanyaan sebagai berikut:
5.6.14.3.1. Berapa banyak merokok? Minum alkohol?
5.6.14.3.2. Jika drug abuse : obat apa yang digunakan? Darimana didapatkan?
5.6.14.3.3. Sejak usia berapa?
5.6.14.3.4. Pernah mencoba berhenti atau mengurangi?
5.6.14.3.5. Apakah pasien sadar bahaya dan resiko dari merokok/konsumsi alkohol/obat?
5.6.14.4.
Bila ditemukan populasi berresiko, pasien dibuatkan rujukan ke psikiater untuk
pengkajian dan penanganan lebih lanjut.
5.6.14.5.
Penanganan meliputi :
5.6.14.5.1. Psikoterapi
5.6.14.5.2. Medikamentosa
Hal. 14 dari 16
5.6.14.5.3. Konseling untuk HIV oleh tim HIV bagi pengguna obat via injeksi (Injecting drug
users / IDUs)
5.6.14.6.
Seluruh proses penanganan ini didokumentasikan dalam rekam medik.
5.6.15. Pengkajian dan penanganan pasien dengan kondisi terminal
5.6.15.1. Identifikasi pasien dengan kondisi terminal (sesuai dengan SK Direktur tentang End of
Life Care). Identifikasi dilakukan diseluruh unit, baik oleh dokter maupun oleh perawat.
5.6.15.2. Pada pasien terminal perlu dilakukan secara khusus pengkajian mengenai kebutuhan
unik dari pasien maupun keluarga dengan mengkaji :
5.6.15.2.1. Metode penyampaian berita buruk yang paling sesuai untuk pasien. Dokter
berunding dengan keluarga terlebih dahulu mengenai bagaimana dan kapan
waktu yang sesuaiuntuk menyampaikan berita buruk.
5.6.15.2.2. Setelah pasien mengetahui kondisinya, perlu ditawarkan suatu bentuk
pendampingan psikologis / psikiatrik yang mungkin diperlukan untuk melalui fase
denial (penyangkalan), fase anger (kemarahan) hingga sampai fase acceptance
(menerima). Hal ini dapat dilakukan dalam outpatient / inpatient setting.
5.6.15.2.3. Hal-hal seputar pilihan yang dimiliki pasien seperti ingin meninggal di mana, serta
berbagai kehendak pasien terkait dengan akhir hidupnya (advanced directives)
yang terkait dengan penanganan pasien.
5.6.15.2.4. Kadang pasien tidak dalam kondisi sadar / mampu berkomunikasi, maka langkah
di atas mungkin pula diperlukan untuk keluarga pasien.
5.6.15.2.5. Kebutuhan akan Layanan spiritual, yang dapat disediakan oleh rumah sakit dan
dapat ditawarkan kepada pasien atau keluarga pasien, namun pasien / keluarga
dapat juga memilih untuk mengundang penasehat spiritual pilihannya sendiri
dengan menginformasikan kepada perawat ruangan (untuk inpatient)
5.6.15.2.6. Kelonggaran dalam berdoa dan jumlah pengunjung diberikan melihat kondisi
ruang perawatan dan diberikan oleh penanggung jawab ruang perawatan bagi
pasien terminal dengan catatan tidak mengganggu pasien lain.
5.6.15.2.7. Ke-adekuatan (adequacy) dari obat-obatan paliatif yang diberikan (terutama obat
nyeri), serta pengkajian nyeri dan gejala lain yang mungkin timbul pada pasien
terminal.
5.6.15.3.
Pasien terminal yang terpasang alat medik dan rencana akan dirawat di rumah
dengan alat medik tersebut (misalnya ventilator) perlu dikaji mengenai siapa yang akan
melakukan pengawasan terhadap pengoperasian alat medik tersebut. Edukasi dan
pelatihan terhadap pasien atau yang merawat selanjutnya perlu dilakukan hingga
dipastikan bahwa mereka mampu mengoperasikan alat medik tersebut dengan benar
5.6.16. Pengkajian pasien dengan gangguan komunikasi
5.6.16.1.
Selain bahasa, pasien dapat memiliki gangguan komunikasi yang dapat
berakibat pada tidak sesuainya penanganan pasien tersebut. Gangguan komunikasi
yang mungkin terjadi adalah :
5.6.16.1.1. Pasien dengan gangguan pendengaran (hearing loss), bisu, maupun buta
(blindness)
5.6.16.1.2. Pasien mengalami gangguan kognitif (bawaan maupun didapat), misalnya
retardasi, Cerebral Palsy, Stroke, dll)
5.6.16.2.
Dalam hal pasien memiliki gangguan komunikasi di atas, maka keluarga pasien
diminta memberi informasi mengenai bagaimana komunikasi sehari-hari di rumah yang
efektif dilakukan. Siapa keluarga atau orang di rumah yang mampu berkomunikasi
secara efektif dengan pasien.
5.6.16.3.
Dalam hal pasien buta, komunikasi verbal merupakan metode utama untuk
pengkajian, dan dalam hal pasien bisu/tuli, maka komunikasi tertulis merupakan salah
satu alternatif pertama untuk pengkajian.
5.6.16.4. Dalam hal gangguan pendengaran total dan pasien berkomunikasi dengan bahasa
isyarat untuk orang tuna rungu, dan keluarga yang ada pada saat itu tidak dapat
berkomunikasi, maka RSSS mengundang ahli bahasa isyarat untuk membantu proses
komunikasi atau menunggu hingga anggota keluarga yang mampu berkomunikasi hadir
di RSSS, kecuali dalam keadaan life saving.
Hal. 15 dari 16
5.6.16.5. Untuk pasien dengan gangguan kognitif, komunikasi dilakukan sebatas dokter
menganggap informasi dan komunikasi yang ada dapat dipercaya (reliable). Dan perlu
dilakukan konfirmasi dengan keluarga mengenai hasil pengkajian tersebut.
5.6.17. Pengkajian pasien dengan gangguan kejiwaan / psychiatric disorder
5.6.17.1. Identifikasi pasien dengan gangguan kejiwaan.
5.6.17.2. Pasien dengan gangguan kejiwaan dapat teridentifikasi baik di rawat jalan, rawat
inap, maupun Unit Gawat Darurat.
5.6.17.3. Pasien dengan percobaan bunuh diri perlu selalu dikonsulkan ke psikiater, disamping
penanganan kegawatdaruratannya (baik medical maupun surgical)
5.6.17.4. Pasien dengan depresi yang dicurigai berat yang ditemukan di setting apapun harus
dikonsulkan ke psikiater.
5.6.17.5. Pasien dengan gangguan cemas dan ringan yang belum dirasa mengganggu
aktivitas harian dapat diberi terapi oleh dokter penanggung jawabnya.
5.6.17.6. Pasien dengan kecurigaan gangguan psikotik, dengan atau tanpa organic underlying
disease perlu dikonsulkan ke psikiater.
5.6.17.7. Pasien dengan ketergantungan zat (obat, alkohol, rokok) lihat poin 5.6.14 di atas.
5.6.18. Penanganan pasien dengan gangguan kejiwaan
5.6.18.1.
Pasien dengan gangguan psikotik dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo atau RS
Jiwa
5.6.18.2.
Pasien dengan percobaan bunuh diri atau ancaman bunuh diri dirawat dengan
kewaspadaan tinggi dibawah tanggung jawab psikiater, atau dirujuk bila dinilai ancaman
bunuh dirinya tinggi, karena RSSS tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk
pencegahan bunuh diri.
5.6.18.3.
Pasien lain ditangani sesuai kondisi psikiatriknya.
5.6.18.4.
Pasien dengan kecanduan obat (lihat kebijakan 5.6.14 di atas)
5.6.19. Pengkajian terhadap pemahaman pasien
5.6.19.1.
Pengkajian terhadap pemahaman pasien akan penyakitnya dan proses
perawatan yang akan dan telah diberikan, serta tujuan dari penanganan atau
pengobatannya tersebut perlu dilakukan oleh seluruh profesi kesehatan yang melakukan
penanganan maupun pengobatan kepada pasien (baik dokter/perawat/ahli
gizi/fisioterapis/dll). Pengkajian dilakukan dengan cara :
5.6.19.1.1. Meminta pasien untuk secara singkat menjelaskan sejauh mana pasien
memahami kondisi / diagnosisnya, serta proses penanganan yang sudah maupun
akan diterimanya. (teach back method)
5.6.20. Privasi & Kerahasiaan dalam proses pengkajian pasien
5.6.20.1. Tempat pengkajian harus tertutup dan diskusi mengenai hasil pengkajian hanya
dilakukan antar tenaga kesehatan yang berhak atas informasi tersebut.
5.6.20.2. Tidak mendiskusikan pasien di tempat umum (lift, cafetaria, dll)
5.6.20.3. Pasien tidak perlu membuka pakaian lebih dari yang diperlukan untuk proses
pemeriksaan secara patut.
Hal. 16 dari 16