Sunteți pe pagina 1din 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia jumlah lanjut usia (usila) terus meningkat dari tahun
ke tahun tentunya akan menimbulkan persoalan-persoalan baru, tidak
saja di bidang sosial-ekonomi, tetapi juga di bidang kesehatan, baik
tingkat negara, masyarakat, maupun individu. Perubahan-perubahan
yang terjadi dapat mengakibatkan kemunduran fungsi sehingga
kemampuan fisik menurun (disability) atau kekacauan koordinasi
(disorder) sehingga dapat menimbulkan hambatan atau rintangan
(handicap), bahkan sampai dapat mengarah pada suatu penyakit
(disease). Perubahan-perubahan itu akan berjalan terus, dan akan
semakin cepat (progressive), setelah umur melampaui dekade ke-enam.
Dari sekian banyak Geriatric Giant (problem yang banyak diderita usila)
pada pria adalah inkontinentia urine (ketidak mampuan mengendalikan
diri dalam kencing) yang pada lanjut usia salah satu penyebabnya adalah
Pembesaran Prostat Jinak (PPJ).
2
Pembesaran Prostat Jinak menurut kejadiannya disebabkan oleh
dua faktor penting yaitu ketidak seimbangan hormon estrogentestosteron,
serta faktor umur/ proses menua.
Secara umum kira-kira 50% pada usia 60 tahun, dan meningkat
menjadi 70% pada usia 70 tahun dan 90% pada usia 90 tahun, namun
hanya 50% yang mengalami gejala/ keluhan yang jelas. Di Indonesia
prevalensinya belum diketahui dengan pasti.
B. Rumusan Masalah.
Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan Post OP
BPH hari ke-7 di Ruang Edelweis RS Tentara Dr. Soedjono Magelang.
C. Tujuan Penulisan.
1. Tujuan Umum.
Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah memberikan
gambaran nyata tentang Asuhan Keperawatan pada Tn S dengan
post OP BPH hari ke-7 di Ruang Edelweis RS tentara Dr. Soedjono
Magelang.
3
2. Tujuan khusus.
a. Melakukan pengkajian pada klien dengan post prostatektomi.
b. Membuat diagnosa keperawatan pada klien dengan post
prostatektomi.
c. Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan post
prostatektomi.
d. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada klien dengan
post prostatektomi.
e. Pendokumentasian Asuhan keperawatan pada klien dengan

prostatektomi.
D. Manfaat.
1. Memberikan wawasan dan informasi pada mahasiswa tentang
penyakit benigna prostat hipertropi (BPH).
2. Bagi institusi pendidikan dapat dijadikan bahan referensi .
3. Bagi profesi keperawatan sebagai masukan atau saran dalam
memberikan pelayanan pada pasien dengan benigna prostat
hipertropi (BPH).
4. Bagi penulis sebagai tambahan pengetahuan tentang penyakit
benigna prostat hipertropi (BPH).
4
E. Metode Penulisan.
Metode yang digunakan untuk menulis laporan kasus ini adalah
metode deskriptif secara studi kasus di lapangan yang menggambarkan
suatu perencanaan masalah melalui pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi, dan evaluasi.
F. Tinjauan Teori.
1. Pengertian.
a. Pembesaran kelenjar prostat, memanjang keatas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi
orifisium uretra. (Smeltzer, 2001).
b. Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doenges,
2000).
c. Hiperplasia kelenjar periuretral yang asli ke perifer dan menjadi
simpai bedah. (Syamsuhidayat, 2004).
d. Prostatectomy yaitu operasi pengangkatan kelenjar prostat yang
menjangkau prostat lewat insisi abdomen bagian bawah
(suprapubik). (christine hancock, 2000)
5
2. Etiologi.
Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran kelenjar
prostat, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai
hal tersebut. Ada beberapa teori yang mengemukakan mengapa
kelenjar periuretral dapat mengalami hiperplasia, yaitu:
a. Teori Sel Stem (Isaacs 2000).
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa
berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati,
keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat terdapat
sel stem yang dapat berproliterasi lebih cepat, sehingga terjadi
hiperplasia kelenjar periuretral.
b. Teori MC. Neal (2000).
Menurut MC. Neal pembesaran prostat jinak dimulai dari

zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dari spincter


eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona periuretral.
c. Teori DiHidro Testorenon (DHT).
Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel
leyding. Testosterone sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis,
sehingga timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis
yang normal. Jumlah testosterone yang dihasilkan oleh testis kira6
kira 90% dari seluruh produksi testosteron. Sedangkan 10%
sisanya dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Sebagian besar testosterone dalam tubuh berada dalam
keadaan terikat dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon
(SBH). Sekitar 2% testosterone berada dalam keadaan bebas.
Hormone yang bebas inilah yang memegang peranan penting dalam
proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Testosterone bebas
dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membrane sel
ke dalam sito plasma sel prostat, sehingga membentuk DHT-reseptor
komplek yang akan mempengaruhi Ribo Nukleat (RNa) yang dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein, sehingga dapat terjadi
poliferasi sel (mc. Connel 2001). Perubahan keseimbangan
testosterone dan esterogen dapat terjadi dengan bertambahnya usia,
50 tahun keatas.
3. Manifestasi Klinis.
a. Grade 1 (congestic).
1) Mula- mula pasien berbulan atau bertahun-tahun mulai susah
berkemih dan mulai mengejan.
2) Kalau miksi merasa puas.
7
3) Urin keluar menetes dan pancaran lemah.
4) Nokturia.
5) Urine keluar malam hari lebih dari normal.
6) Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
7) Pada cytoscopi kelihatan hyperemia dari orifisium uretra
interna, lambat laun terjadi varises akhirnya bisa terjadi
perdarahan (blooding).
b. Grade 2 (residual).
1) Bila miksi terasa panas.
2) Disuria nocturia bertambah berat.
3) Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
4) Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
5) Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
6) Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).
c. Grade 3 (retensi urin).
Incontinensia.
d. Grade 4.

1) Kandung kemih penuh.


2) Penderita merasa kesakitan.
8
3) Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow
incontinesia.
4) Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk
meraba ada tumor, karena bendungan yang hebat.
5) Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas
tinggi 40-41C.
6) Selanjutnya penderita bisa koma.
4. Patofisiologi.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahanlahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi
pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul difertikel. Fase penebalan
detrusor disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine yang
selanjutnya menyebabkan disfungsi saluran kemih atas, adapun
patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu a). Penurunan kekuatan
9
dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran
awal dan menetap dari BPH, b). Hesitancy terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk resistensi uretra, c).
Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi
uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas
sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam
buli-buli, d). Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang
tidak lengkap pada tiap miksi interval antar miksi lebih pendek.
(mansjoer, 2000)
5. Pemeriksaan Penunjang.
a) Pemeriksaan fisik.
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan rectal toucher,
dimana pada pembesaran prostat jinak akan teraba adanya massa
pada dinding depan rectum yang konsistensinya kenyal, yang
kalau belum terlalu besar masih dapat dicapai batas atasnya
dengan ujung jari, sedang apabila batas atasnya sudah tidak
teraba biasanya jaringan prostat sudah lebih dari 60 gr.
10
b) Pemeriksaan sisa kemih.
c) Pemeriksaan ultra sonografi (USG) .
Dapat dilakukan dari supra pubic atau transrectal (Trans
Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk keperluan klinik supra pubic

cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi prostat,


sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi
keganasan.
d) Pemeriksaan endoscopy.
Bila pada pemeriksaan rectal toucher, tidak terlalu menonjol
tetapi gejala prostatismus sangat jelas atau untuk mengetahui
besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.
e) Pemeriksaan radiology.
Dengan pemeriksaan radiology seperti foto polos perut dan
pyelografi intra vena yang sering disebut IVP (Intra Venous
Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada pemeriksaan lain
pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras
pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke
atas berbentuk seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).
11
f) Pemeriksaan CT- Scan dan MRI.
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat
memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran
prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai
bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena
mahal biayanya.
6. Penatalaksanaan.
Pengobatan untuk hipertropy prostat ada 2 macam :
a. Konservatif.
b. Operatif.
Dalam pengobatan ini dilakukan berdasarkan pembagian
besarnya prostat, yaitu derajat 1 4.
1) Derajat I : Dilakukan pengobatan koservatif, misalnya dengan
fazosin, prazoin dan terazoin (untuk relaksasi otot polos).
2) Derajat II : Indikasi untuk pembedahan. Biasanya dianjurkan
resekesi endoskopik melalui urethra.
12
3) Derajat III : Diperkirakan prostat cukup besar dan untuk tindakan
yang dilakukan yaitu pembedahan terbuka melalui transvesical,
retropubic atau perianal.
4) Derajat IV : Membebaskan penderita dari retensi urine total
dengan memasang catheter, untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam
pelaksanaan rencana pembedahan.
a. Konservatif.
Pengobatan konservatif ini bertujuan untuk memperlambat
pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi
operasi tidak dapat dilakukan, misalnya: menolak operasi atau
adanya kontra indikasi untuk operasi.

Tindakan terapi konservatif yaitu :


1) Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena
adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
2) Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.
b. Operatif.
Pembedahan merupakan pengobatan utama pada
hipertropi prostat benigna (BPH), pada waktu pembedahan
kelenjar prostat diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang
13
mengalami pembesaran diangkat melalui 4 cara yaitu (a)
transurethral (b) suprapubic (c) retropubic dan (d) perineal.
1) Transurethral.
Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial
yang langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi
hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu
pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan
dengan arus listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung
kemih di bilas terus menerus selama prosedur berjalan.Pasien
mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan
lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah
paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan
tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter.
Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran
yang di lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di
kembangkan, catheter di tarik ke bawah sehingga balon berada
pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.Ukuran
catheter yang besar di pasang untuk memperlancar
pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih.
14
Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga
jalur dengan garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh
ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk
membebaskan kandung kemih dari ekuan darah yang
menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di
hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung
kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali
sampai catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah
operasi.Setelah catheter di angkat pasien harus mengukur
jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih.
2) Suprapubic Prostatectomy.
Metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar
prostat diangkat dari urethra lewat kandung kemih.
3) Retropubic Prostatectomy.
Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada

abdominal bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.


4) Perianal prostatectomy.
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat
diantara scrotum dan rectum.
15
7. Pathways
Etiologi pasti belum
diketahui
Aktivitas (sering mengangkat
beban berat)
Beberapa hipotesis
menyebutkan pertumbuhan
usia dan ketidak seimbangan
hormon
BPH
Pembesaran postat resistensi pada leher buli-buli
daerahpostat meningkat
Dekompresi otot detrusor
Otot detrusor menebal dan menegang
Ketidakstabilan otot detrutor
Kontraksi involunter
PROSTATECTOMY
Luka operasi
Trauma jaringan
Diskontinuitas jaringan
Pelepasan mediator kimia
(bradikinin, histamine,
serotonin prostaglandin)
Merangsang ujung syaraf
nyeri
Jalan masuknya
kuman
Penurunan daya
tahan tubuh
Mempermudah
masuknya
kuman/bakteri
Terpasang irigasi
Katerisasi
MK : kerusakan
mobilitas fisik
Proses
penyembuhan
Kebutuhan nutrisi

Intake yang
kurang
Proses
metabolisme
menurun
Pembentukan
energi menurun
ATP menurun
mansjoer (2000)
16
8. Fokus intervensi
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan diskontinuitas jaringan sekunder
akibat pembedahan.
Kriteria hasil :
- Klien tidak melaporkan adanya nyeri
- Ekspresi wajah tampak rileks dan tidak menyeringai
Intervensi
1. Mengkaji karakreristik nyeri, catat lokasi, faktor pencetus nyeri,
minta klien untuk menetapkan skala nyeri 1-10.
Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan
memberikan dasar untuk perbandingan evaluasi
2. Memonitor tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tekanan darah, nadi dapat
mengindikasikan
3. Mengajarkan tehnik distraksi relaksasi dengan nafas dalam
Rasional : membantu menurunkan tegangan otot sehingga
dapat menghilangkan stress.
4. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : merelaksasi otot dan menurunkan nyeri
17
b. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
peningkatan metabolisme.
Kriteria hasil :
- Klien menunjukkan peningkatan nafsu makan
- Tidak ada penurunan nafsu makan
Intervensi
1. Mengkaji intake makanan
Rasional : nutrisi yang kuat dapat membantu mempercepat
penyembuhan luka
2. Menganjurkan untuk makan sedikit tapi sering
Rasional :
3. Memberikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Rasional : nutrisi yang adekuat dapat membantu mempercepat
penyembuhan luka

4. Kolaborasi dengan ahli gizi


Rasional : nutrisi dengan nilai gizi yang seimbang dapat
mempengaruhi penyembuhan luka
18
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan
pertahanan primer.
Kriteria hasil :
- Tidak terjadi infeksi
- Mencapai penyembuhan luka sesuai batas waktu
Intervensi
1. Mengkaji tanda-tanda vital
Rasional : peningkatan suhu tubuh diatas normal (37,5oC) dan
takikardi dapat mengindikasikan adanya infeksi
2. Melakukan perawatan luka dan aseptik
Rasional : melakukan perawatan luka aseptik dan antiseptik
dapat mencegah kontak langsung dengan mikro
organisme penyebab infeksi
3. Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor dan
kolor
Rasional : mengatasi adanya tanda-tanda infeksi
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas
Kriteria hasil :
- Klien mampu memenuhi kebutuhan personal higiene secara
mandiri
19
- Klien merasa nyaman
Intervensi
1. Kaji kemampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari
Rasional : membantu dalam mengantisipasi ata merencanakan
pemenuhaan kebutuhan
2. Bantu pemenuhan personal higiene klien
Rasional : menjaga kebersihan diri klien
3. Motivasi keluarga dam pemenuhan personal higiene
Rasional : meningkatkan kenyamanan psikologis dengan
melibatkan keluarga
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan katerisasi irigasi
Intervensi
1. Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cidera atau
pengobatan
Rasional : mengetahui derajat imobilitas klien
2. Latih klien melakukan rentang gerak aktif pada ekstremitas
yang sakit dan yang tidak sakit
Rasional : melatih mobilisasi dini dapat meminimalkan
kontraktur pada ekstremitas dan meningkatkan

aliran darah
20
3. Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan
Rasional: menghindari terjadinya dekubitus pada sisi yang
sering tertekan dan untuk mempercepat proses
pemulihan mobilisasi
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot sekunder
akibat pembedahan
Kriteria hasil :
- ADL dapat terpenuhi
- Dapat beraktifitas secara mandiri
Intervensi
1. Kaji tingkat ketergantungan
Rasional : mengetahui kemampuan klien dalam setiap
intervensi yang di berikan
2. Kaji tingkat kemampuan otot klien
Rasional : memberikan intervensi sesuai toleran
3. Anjurkan untuk tirah baring
Rasional : mencegah munculnya dekubitus
4. Lakukan ROM eksercise sesua kemampuan secara bertahap
Rasional : meningkatkan kekuatan otot dam memperlancar
aliran darah
21
BAB II
RESUME KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 18
Januari 2010 jam 07.30 WIB didapatkan data pasien secara umum
adalah sebagai berikut :
Pasien bernama Tn. S, umur klien adalah 87 tahun. Klien
beragama islam bertempat tinggal di Kajoran Kab. Magelang. Klien
dibawa RS Tentara Dr. Soedjono Magelang pada tanggal 09 Januari
2010 jam 08.45 WIB. Dan didiagnosa suspek BPH.,dan diagnosa medis
saat pengkajian adalah post op BPH hari ke-7.
Sedangkan penanggung jawab adalah anak klien yang bernama
Ny.P berumur sekitar 36 tahun. Ny.P bertempat tinggal di Kedungan Kab.
Magelang.
Data anamnesa klien diperoleh pada saat dilakukan pengkajian
pasca operasi hari ke tujuh, dan keluhan utama klien adalah nyeri pada
daerah luka operasi. Riwayat penyakit sekarang klien kurang lebih 3 hari
BAK sakit, sebelumnya klien periksa ke puskesmas dan di pasang kateter
kurang lebih 2 hari kateter dilepas,kemudian kurang lebih 5 hari
22
mengeluh BAK sakit tidak lancer dan mengeluarkan darah. Akhirnya pada

tanggal 09 Januari 2010 klien harus opname dan harus menjalani


operasi. Riwayat penyakit dahulu klien dan keluarga mengatakan kurang
lebih setengah tahun yang lalu pernah dirawat di RSU Tidar dengan
riwayat paru karena kebanyakan merokok dan klien mengatakan belum
pernah di operasi. Riwayat penyakit keluarga klien dan keluarga
mengatakan tidak ada yang yang mempunyai penyakit menular dan
menurun.
Pengkajian pola fungsional Gordon, didapatkan klien mengatakan
selama sakit setelah operasi susah tidur, klien belum bisa beraktivitas
secara maksimal dan masih dibantu keluarga karena klien merasakan
nyeri dan terpasang selang kateter threeway serta selang drain. Klien
BAK 5-6x/hari warna kuning dan selama sakit klien BAK dengan kateter
kurang lebih 1500cc/hari warna kuning, terdapat gumpalan darah pda
selang.
Untuk pengkajian sirkulasi klien tidak ada gangguan, tekanan
darah klien 160/90mmHg, nadi klien 88 x/menit dan suhu tubuh klien
36,4oC, pernafasan 24 x/menit.
23
Satu hari ini menurut keluarga klien, klien sudah mulai makan
banyak, habis 1 porsi yang disediakan RS dengan diit bubur kasar tinggi
kalori tinggi protein. Namun klien masih kurang dalam pemenuhan
cairannya, klien mengatakan hanya minum 3 gelas kecil saja setiap hari.
Pada cairan parenteral klien terpasang infuse RL 500cc 20 tetes/menit
dan sudah masuk 300cc.
Sesuai dengan keluhan yang paling dirasakan klien yaitu nyeri,
klien mengatakan nyeri karena luka bekas operasi. Rasanya seperti
tertusuk-tusuk dan panas seperti terbakar. Nyeri dirasakan pada daerah
perut dan genetalia(dari vesika urinaria). Skala nyeri yang disebutkan
oleh klien saat pengkajian adalah 5 dan nyeri dirasakan hilang timbul.
Klien nampak meringis menahan sakit.
Pengkajian tentang keamanan didapatkan hasil sebagai berikut:
tidak terjadi perdarahan hebat pasca operasi, drain klien kurang produktif,
cairan irigasi klien berwarna jenuh keruh coklat sedikit kemerahan.
Klien berjenis kelamin laki-laki sudah beristri dan mempunyai 5
orang anak yang semuanya sudah menikah.
Dalam kehidupan bermasyarakat klien termasuk orang yang
mudah berinteraksi. Hubungan klien dengan keluarga, masyarakat terjalin
dengan baik, hal ini dibuktikan dengan semua anak klien secara tertib
24
membagi jadwal untuk menunggui ayahnya selama dirawat di RS, serta
banyak tetangga yang membesuk klien selama klien dirawat di RS. Selain
itu hubungan klien dengan dokter, perawat, ataupun tenaga medis lain
juga terjalin dengan baik.
Untuk integritas ego, saat pengkajian klien mengatakan ingin

segera pulih kembali agar bisa beraktifitas seperti biasa. Kesadaran klien
compos mentis.
Klien dan keluarga selalu menanyakan tentang perkembangan
kesehatan klien. Pada saat akan dilakukan tindakan klien selalu
kooperatif dan keluarga mendukung untuk kebaikan klien.
Pada pemeriksaan fisik didapatakan pada pemeriksaan kepala,
rambut beruban, tidak mudah dicabut, bentuk kepala mesocepal, tidak
ada lesi, konjungtiva tidak anemis, pupil isokor, sklera tidak ikterik,
simetris, tidak ada gangguan penglihatan, hidung simetris, tidak ada polip
dan secret. Telinga simetris, tidak ada serumen, tidak ada gangguan
pendengaran, mulut mukosa bibir lembab, gigi bersih, leher tidak ada
distensi vena jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid. Pada
pemeriksaan dada pada paru-paru, dilakukan inspeksi dan hasilnya
pergerakan dada simetris, palpasi paru hasilnya vocal fremitus paru
kanan dan paru kiri sama, perkusi sonor, dan auskultasi parunya
25
vesikuler. Sedangkan inspeksi pada jantung hasilnya pergerakan jantung
tidak tampak, palpasinya ictus cordis teraba di mid clavicula sinistra
intercostals ke 5, perkusi hasilnya redup, dan auskultasi jantung hasilnya
bunyi jantung 1 dan 2 murni tanpa suara tambahan, tidak ada gallop dan
mur-mur. Dari inspeksi yang dilakukan didapatkan hasil perut datar,
terdapat luka jahit post prostatektomi 10cm dan terdapat drain yang
kurang produktif. Auskultasi perut hasilnya terdengar bising usus
14x/menit. Dilakukan palpasi terdapat nyeri tekan pada daerah sekitar
luka operasi. Perkusi, sedikit hipertimpani.
Pada genetalia terpasang kateter threeway, sudah terpasang
selama 5hari, 1 jalur untuk jalan keluaran urin, 1jalur untuk aliran irigasi
dengan NaCl dan 1 jalur untuk kunci kateter. Warna urin bercampur
dengan cairan irigasi warnanya jenuh keruh coklat sedikit kemerahan.
Kondisi kateter bersih. Pemereksaan pada anus dan rectum, tidak
terdapat hemoroid. Ekstremitas kanan atas terpasang infuse RL 20 tetes
per menit. Dan ekstremitas lain dapat bergerak dengan bebas. Akral
teraba hangat.
Pada pemeriksaan panunjang pada tanggal 16 Januari 2010 untuk
darah rutin hasilnya WBC 10,5 103/mm3 (normalnya 3,5-10,0),RBC 4,18
106/mm (normalnya 3,8-5,8) HGb 12,4 g/dl (normalnya 11,5-16,5), HCT
26
35,4 % (normalnya 35,0-55,0), PLT 216DE 109/l (normalnya 100-400),
adapun therapy injeksi ceftriaxon 2x1 gram, cefotaxim 2x1 gram,
ranitidine 2x1 gram, infuse RL 20 tpm dan cairan irigasi menggunakan
NaCl dengan 40 tpm, mefinal 500mg.
Kebijakan dari RS Tentara Dr. Soedjono bila hari ke-7 post op BPH
merupakan hari terakhir injeksi diberikan, setelah itu infuse dilepas, dan
obat diganti dengan per oral.

Dan dari data yang diperoleh dari hasil pengkajian, penulis telah
melakukan analisa data pada hari Rabu tanggal 18 Januari 2010 jam
08.00. Dan hasilnya sebagai berikut:
Diperoleh data subyektif dari pasien yaitu klien mengatakan nyeri
dikarenakan oleh luka bekas operasi. Rasanya seperti tertusuk-tusuk dan
panas seperti terbakar. Nyeri dirasakan pada daerah perut dan
genetalia(dari vesika urinaria). Skala nyeri yang disebutkan oleh klien
saat pengkajian adalah 5, dan nyeri dirasakan hilang timbul. Dan data
objektif yang didapatkan oleh penulis adalah klien nampak meringis
menahan sakit, tekanan darah 160/90 mmHg dan nadi 88x/menit. Dari
data subjektif dan data objektif penulis melakukan analisa dan
mendapatkan problem nyeri akut, dengan etiologi discontinuitas jaringan
sekunder terhadap prosedur pembedahan dan terpasang kateter.
27
Data subjektif selanjutnya klien mengatakan ada luka bekas
operasi diperutnya dan data objektifnya terdapat luka post operasi di
perut, kondisi balutan bersih, dan terpasang kateter three way di
genetalia klien.
Dari kedua data diatas disimpulkan terdapat problem resiko tinggi
infeksi dan dengan etiologi terbukanya pertahanan sekunder terhadap
pembedahan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Setelah dilakukan analisa data dari hasil pengkajian yang dilakukan
pada tanggal 18 Januari 2010 pukul 07.30, penulis menetapkan prioritas
keperawatan pada Tn. S sebagai berikut:
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terbukanya tahanan
sekunder terhadap pembedahan ditandai dengan data subjektif : -,
data objektif : terlihat tanda-tanda infeksi ( rubor dan tumor), terlihat
rembesan pada tepi balutan luka, luka nampak kotor, TD:160/90
mmHg, nadi: 88x/menit, S:36,5 oC
2. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan sekunder
terhadap prosedur pembedahan ditandai dengan data subjektif : klien
mengatakan nyeri pada luka bekas operasi, data objektif : klien
28
Nampak meringi, ekpresi wajah tegang,P: luka insisi bekas operai, Q:
seperti ditusuk-tusuk, R: di atas simpisis pubis, S: 5, T: hilang timbul,
TD:160/90 mmHg, nadi: 88x/menit, S:36,5 oC
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan
data subjektif : klien mengatakan lemas dan merasa tidak berdaya,
data objektif : klien tampak lemas, ADL dibantu keluarga dan perawat,
klien terbaring di tempat tidur, TD:160/90 mmHg, nadi: 88x/menit,
S:36,5 oC
C. INTERVENSI
1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terbukanya tahanan

sekunder terhadap pembedahan


Tujuan dan kriteria hasil yang didapatkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan masalah resiko
infeksi dapat diatasi dengan kriteria hasil: tanda-tanda infeksi tidak
terjadi, jaringan luka menunjukkan perbaikan, TTV dalam batas
normal.
Dengan intervensi kaji tanda-tandaa munculnya infeksi, lakukan
perawatan luka tiap hari dengan teknik steril dan aseptik, lakukan
perawatan pda kateter tiap hari, observasi kantong drainase,
29
observasi perubahan tanda-tanda vital, motivasi keluarga dan klien
untuk menjaga kebersihan kelembaban daerah luka dan selang
drainase, kolaborasi pemeriksaan darah untuk menghitung jumlah
leukosit dalam darah, kolaborasi pemberian anti biotik.
2) Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan sekunder
terhadap prosedur pembedahan
Tujuan dan kriteria hasil yang didapatkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2x8 jam diharapkan nyeri klien dapat
teratasi dengan kriteria hasil: secara verbl klien melaporkan nyeri
berkurang atau tidak nyeri, klien nampak rileks, TTV dalam batas
normal.
Dengan intervensi kaji karakteristik nyeri, observasi perubahan
tanda-tanda vital, ajarkan tehnik distraksi relaksasi, kolaborasi
pemberian analgetik.
3). Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan dan kriteria hasil yang di dapatkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan masalah
intoleransi aktifitas teratasi dengan kriteria hasil: ADL dapat dilakukan
mandiri dan dengan bantuan.
30
Dengan intervensi kaji tingkat ketergantungan klien, kaji
kemampuan otot klien, anjurkan klien banyak istirahat, observasi
perubahan TTV, berikan nutrisi adekuat, anjurkan untuk tirah baring,
lakukan ROM eksercise sesuai kemampuan secara bertahap.
D. IMPLEMENTASI
1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terbukanya tahanan
sekunder terhadap pembedahan
Implementasi dari diagnosa kedua hasil asuhan keperawatan
yang dilakukan penulis pada tanggal 18-19 Januari 2010 adalah:
mengkaji tanda-tanda munculnya infeksi, melakukan perawatan luka
dengan teknik septik dan aseptik, melakukan perawatan pada selang
kateter , mengobservasi kantong drainase, mengobservasi perubahan
tanda-tanda vital, memotivasi keluarga dan klien untuk menjaga
kebersihan dan kelembaban daerah luka dan selang drainase,

mengambil sampel darah untuk menghitung jumlah leukosit dalam


darah, kolaborasi pemberian anti biotik: injeksi ceftriaxon 2x1 gram.
31
2) Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan sekunder
terhadap prosedur pembedahan
Implementasi dari diagnosa pertama yang telah dilakukan oleh
penulis pada tanggal 18-19 Januari 2010 adalah mengkaji karakteristik
nyeri, mengobservasi perubahan tanda-tanda vital, mengajarkan
tehnik distraksi relaksasi (napas dalam dan bimbingan imajinasi),
kolaborasi pemberian analgetik.
3) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Implementasi dari diagnosa ketiga yang telah dilakukan oleh
penulis pada tanggal 18-19 Januari 2010 adalah: mengkaji tingkat
ketergantungan klien, mengkaji kemampuan otot klien, menganjurkan
klien banyak istirahat, mengobservasi perubahan TTV, memberikan
nutrisi adekuat sesuai diit yang diberikan, menganjurkan untuk tirah
baring,melakukan ROM eksercise sesuai kemampuan secara
bertahap.
32
E. Evaluasi
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terbukanya pertahanan
skunder terhadap pembedaha.
Hasil evaluasi untuk diagnosa kedua resiko infeksi tanggal 19
Januari 2010 adalah sebagai berikut. S: - O: luka bersih, tanda infeksi
tidak ada, proses perbaikan jaringan bagus, proses irigasi luka bagus,
keteter bersih dan terpasang dengan baik, Suhu tubuh 36,7C. A:
masalah teratasi sebagian. P: lanjutkan intervensi : lakukan perawatan
luka dengan teknik steril dan aseptik, lakukan perawatan pada selang
kateter , observasi kantong drainase, observasi perubahan tandatanda
vital, motivasi keluarga dan klien untuk menjaga kebersihan dan
kelembaban daerah luka dan selang drainase.
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan discontinuitas jaringan sekunder
terhadap prosedur pembedahan.
Hasil evaluasi tanggal 19 Januari 2010 dilakukan pada jam
13.45. Untuk diagnosa nyeri akut evaluasinya S: klien mengatakan
nyeri, karena ada luka bekas operasi dan. Kualitasnya seperti ditusuktusuk.,
Region atau daerah yang dirasakan nyeri adalah pada
abdomen, dengan skala 5, serta nyeri dirasakan hilang-timbul. O: TD
160/80 mmHg, wajah sedikit rileks dan klien bisa istirahat. A: masalah
33
teratasi sebagian. P: lanjutkan intervensi. mengobservasi perubahan
tanda-tanda vital, mengajarkan tehnik distraksi relaksasi (napas dalam
dan bimbingan imajinasi), kolaborasi pemberian analgetik.
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan

hasil evaluasi tanggal 20 Januari 2010, S : klien mengatakan


sudah tidak lemas, bisa beraktifitas walaupun masih terbatas, O : klien
tampak segar, tidak lemas TD 160/90mmHg Nadi 92x/menit, A :
masalah teratasi sebagian, P : Bantu ADL seperlunya, pertahankan
kondisi.
34
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang masalah keperawatan
yang muncul dalam tinjauan kasus dan pengelolaan kasus pada TN. S
dengan post op BPH hari ke-7 di ruang Edelweis RS Tentara Dr.Soedjono
Magelang.
A. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terbukanya tahanan
sekunder terhadap pembedahan
Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seorang individu
beresiko terserang oleh agen patogen / opertunistik (virus, jamur, bakteri,
protozoa atau parasit lain). Dan sumber-sumber eksternal, sumber
endogen atau eksogen (Carpenito, 2006: 239)
Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme
yang mampu menyebabkan sakit. Adanya patogen tidak berarti bahwa
infeksi akan terjadi. Perkembangan infeksi terjadi dalam siklus yang
bergantung pada elemen-elemen berikut yaitu agen infeksial atau
pertumbuhan pathogen. tempat atau pertumbuhan pathogen; portal
keluar dari tempat tumbuh tersebut, cara penularan, portal masuk ke
penjamu yang rentan (Perry and Potter, 2005: 933)
35
Diagnosa keperawatan ini menjadi prioritas pertama menurut
Maslow karena adanya faktor yang menyebabkan infeksi yaitu jahitan
post prostatektomi. Data yang diperoleh lebih mendukung kearah resiko
terjadinya suatu infeksi. Resiko terjadinya suatu infeksi merupakan
kebutuhan dasar manusia, rasa aman dan nyaman yaitu
mempertahankan keselamatan fisik yang melibatkan keadaan
mengurangi atau mengeluarakan ancaman pada tubuh atau kehidupan.
Pada saat sakit, seorang klien mungkin rentan terhadap komplikasi
seperti infeksi oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan supaya tidak
menjadi masalah yang aktual (Perry and Potter, 2005: 615).
Masalah ini terjadi karena masuknya kuman melalui diskontinuitas
jaringan pada saat trauma karena penyebab terjadinya trauma dan luka
atau lesi dalam keadaan kotor, maka akan beresiko tinggi terjadinya
infeksi dan jika masalah ini tidak segera diatasi maka pada daerah atau
bagian yang luka atau lesi akan menimbulkan nanah atau pus yang dapat
memperparah infeksi dan menghambat proses penyembuhan luka.
Apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan proses
penyembuhan yang lama dan semakin memburuknya perbaikan jaringan,

serta akan mengganggu aktifitas sehari-hari.


36
Prinsip implementasi yang dilakukan untuk mengatasi resiko tinggi
infeksi adalah mencegah terjadinya atau penyebaran infeksi dengan
meminimalkan jumlah atau jenis organisms yang dikeluarkan ke daerah
yang berpotensi mengalami infeksi (Perry and Potter, 2005 : 947).
Upaya untuk meminimalkan serangan yang menyebabkan infeksi
adalah dengan cara perawatan luka yang didasarkan pada prinsip teknik
asepsis. Teknik asepsis adalah usaha untuk mempertahankan klien
sedapat mungkin bebas dari mikroorganisme. Dua jenis teknik asepsis
medis atau teknik bersih digunakan untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme, contohnya mencuci tangan, mengganti linen tempat
tidur. Asepsis bedah atau teknik steril digunakan untuk membunuh
mikroorganisme dari suatu daerah (Perry and Potter, 2005: 941).
Dalam masalah ini maka dilakukan perawatan luka post
prostatektomi dan perawatan kateter. Disini penulis melakukan perawatan
luka post prostatektomi dengan prinsip steril dengan menggunakan kasa
yang telah disterilkan di autoklaf. Dan membersihkan daerah luka dengan
kasa dan NaCl , kemudian mengoleskan daerah yang terdapat jahitan
post prostatektomi dengan menggunakan Kassa steril yang telah diolesi
betadine, kemudian menutup luka dengan kasa steril dengan rasional
meningkatkan hygiene dan membantu mencegah terjadinya infeksi
37
(Doengoes, 2001: 395).
Alasan menggunakan betadine (Povidone Iodine) karena
elemen iodin adalah salah satu zat bakterisid terkuat (sudah efektif pada
kadar 2-4 mcg/ml air), dengan daya kerja cepat. Hampir semua kuman
patogen, termasuk fungi dan virus diamikan olehnya begitu pula spora,
iod merupakan antiseptikum yang sangat efektif untuk kulit utuh (Tjay dan
Raharja, 2007 ) sedangkan menggunakan NaCl adalah karena menurut
penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional
Brawijaya FK, 2007 menyebutkan bahwa larutan yang paling efektif untuk
mempercepat pemulihan pada luka adalah NaCl 0,9%, karena
merupakan suatu agen pembunuh luka yang paling efektif dan masih
menjadi pilihan sampai sekarang, selain itu juga NaCl juga membantu
mengurangi nyeri saat dilakukan perawatan luka.
Selain prinsip implementasi yang dilakukan diatas untuk mengatasi
masalah resiko infeksi yang dapat penulis lakukan yaitu menggunakan
tehnik steril dan aseptik setiap melakukan tindakan perawatan pada luka
klien. Hal ini dilakukan untuk menjaga luka tidak terkontaminasi dengan
mikroorganisme luar baik dari peralatan yang di gunakan maupun dari
perawat saat melakukan tindakan perawatan. Selain itu keterlibatan
pasien dalam setiap tindakan sangat di butuhkan untuk mencapai tingkat
38

penyembuha luka seperti yang di rencanakan, yaitu menganjurkan dan


memotivasi klien untuk selalu menjaga kebersihan dan kelembaban
daerah luka. Dengan penggunaan tehnik ini pula. Proses perbaikan luka
menjadi lebih cepat karena karena mnimalnya kontak luka dengan agen
mikroorganisme yang dapat memperlambat proses perbaikan jaringan
luka. Selain itu nyang perlu ddi perhatiakn dalam proses perbaikan
jaringan adalah kecukupan nutrisi adekuat. Karena nutrisi sangat
berperan dalam membantu proses perbaikan dan pergantian sel-sel yang
rusak. Terutama asupan protein klien harus adekuat. Misalnya
menganjurkan klien untuk banyak mengosumsi ikan, daging dan telur
sebagai pemberi asupan protein sesuai yang di butuhkan. Yang terakhir
adalah kolaborasi pemberian antibiotik untuk menghambat infasi
mikroorganisme yang dapat menghanbat proses perbaikan jaringan luka.
Evaluasi yang di dapatkan setelah dilakukaan tindakan keperawatan
yaitu S: -. O: tanda infeksi tidak ada, proses perbaikan jaringan bagus,
proses irigasi luka bagus, keteter bersih dan terpasang dengan baik,
Suhu tubuh 36,7C. A: masalah teratasi sebagian. P: lanjutkan intervensi
Modifikasi intervensi dilakukan perawatan luka dengan teknik steril
dan aseptik, lakukan perawatan pada selang kateter , observasi kantong
drainase, observasi perubahan tanda-tanda vital, motivasi keluarga dan
39
klien untuk menjaga kebersihan dan kelembaban daerah luka dan selang
drainase.
B. Nyeri akut berhubungan dengan discontinuitas jaringan sekunder
terhadap prosedur pembedahan.
Nyeri akut adalah keadaan dimana individu mengalami dan
melaporkan adanya rasa tidak nyaman yang hebat atau sensasi yang
tidak menyenangkan selama 6 bulan atau kurang (Carpenito, L.J, 2001).
Nyeri merupakan keadaan yang subjektif dimana seseorang
memperlihatkan ketidaknyamanan baik secara verbal maupun non verbal
atau keduanya, dapat berupa akut atau kronik. Hal ini disebabkan adanya
iritasi mukosa distensi kandung kemih kolik guyup, infeksi urinaria, terapi
radiasi (Doenges, 2000).
Sedangkan nyeri juga dapat diartikan sebagai sensasi subjektif
rasa tidaknyamanan yang biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau potensial, dapat bersifat protektif (Corwin, E.J. 2001:222)
Batasan karakteristik mayor yaitu adanya pengungkapan secara
verbal atau melaporkan dengan isyarat. Batasan karakterisktik minor
yaitu : gerakan menghindari nyeri, respon otonomik misalnya :
diaphoresis, tekanan darah, pernafasan, perubahan nadi, perubahan
40
nafsu makan, perilaku distraksi, perilaku ekpresisf, fokus menyempit,
berfokus pada diri sendiri.
Pemrioritasan diagnosa yang kedua menurut Maslow, menyatakan

bahwa kebutuhan rasa nyaman merupakan kebutuhan dasar setelah


kebutuhan fisologis yaitu nyeri yang di timbulkan oleh luka sangat
mengganggu di banding dengan masalah-masalah yang lainnya yang
harus ditangani karena dibuktikan oleh data-data yang ada. Pasien yang
mengalami nyeri akan berdampak pada aktivitas sehari-harinya. Pasien
tersebut akan terganggu pemenuhan istirahat dan tidurnya, pemenuhan
nutrisi, pemenuhan individual, juga aspek interaksi sosialnya yang dapat
berupa menghindari percakapan, menarik diri, dan menghindari kontak
(Potter dan perry, 2000).
Masalah ini terjadi karena adanya luka insisi pada daerah simpisis
pubis akibat pembedahan atas indikasi BPH. Luka masih agak basah,
kemerahan yang menyebabkan meningkatnya reaksi peradangn jaringan
yang nekrosis. Pada reaksi peradangan terjadi pelepasan histamine dan
zat-zat humoral lain kedalam cairan jaringan sekitar yang menyebabkan
meningkatnya rasa nyeri didaerah luka tersebut (Price, 2000).
41
Apabila nyeri tidak segera ditangani dengan baik maka pemenuhan
kebutuhan lain akan ikut terganggu, selain itu menurut (Gamong, 2000)
apabila tidak ditangani pada akhirnya dapat mengakibatkan syok
neurogenik pada pasien tersebut.
Prinsip implementasi yang dilakukan oleh penulis secara mandiri
untuk mengurangi nyeri adalah dengan teknik distraksi dan relaksasi.
Distraksi dan relaksasi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri
dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri.
Tehnik ini masih merupakan tehnik yang baik yang dapat dilakukan
mandiri untuk menurunkan tingkat nyeri, ini dibuktikan oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh (Basuki dan Ngudi, 2007) yang dilakukan
terhadap 18 responden di ruang UGD RS Militer Malang. Pengambilan
data dari penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara dimana
tingkat signifikasi dari analisa datanya adalah 5%. Hasil penelitian
didapatkan intensitas nyeri awal kelompok kontrol seluruh responden
yaitu 5 responden (83,33%) tingkat nyerinya berat, kelompok ditraksi
besarnya yaitu 4 responden (66,67%) mengalami tingkat nyeri berat,
pada kelompok distraksi hampir seluruh responden yaitu 5 responden
(83,33%) mengalami nyeri sedang. Hasil analisa menunjukkan ada
pengaruh yang signifikan penerapan metode distraksi dan relaksasi
42
terhadap penurunan tingkat nyeri. Dengan adanya perubahan yang
signifikan pada penurunan tingkat nyeri, maka teknik distraksi dan
relaksasi merupakan salah satu cara yang efektif bagi perawat dalam
upaya menurunkan nyeri, sebelum menggunakan metode farmakologis
dengan obat-obatan.
Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan tindakan keperawatan
yaitu S: klien mengatakan nyeri, karena ada luka bekas operasi

Kualitasnya seperti ditusuk-tusuk, Region atau daerah yang dirasakan


nyeri adalah pada abdomen, dengan skala 5, serta nyeri dirasakan
hilang-timbul. O: TD 160/80 mmHg, wajah sedikit rileks dan klien bisa
istirahat. A: masalah teratasi sebagian. P: lanjutkan intervensi.
Modifikasi intervensi yang dilakukan mengobservasi perubahan
tanda-tanda vital, mengajarkan tehnik distraksi relaksasi ( napas dalam
dan bimbingan imajinasi), kolaborasi pemberian analgetik.
C. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Intoleransi aktifitas adalah penurunan dalam kapasitas fisiologis
seseoranguntuk melakukan aktifitas sampai tingkat yang diinginkan atau
dibutuhkan. (Carpenito 2000:2)
Intoleransi aktifitas adalah ketidak cukupan energi secara fisiologis
maupun psikologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktifitas yang
43
diminta atau aktifitas sehari-hari. (Nanda 2002:01)
Masalah ini menjadi prioritas ke tiga berdasarkan triase
merupakan dampak dan prioritas 1 dan karena pada post op penderita
harus istirahat untuk sementara dikarnakan terpasang drain pada
abdomen.
Batasan karakteristik mayor adalah adanya kelemahan, pusing,
dispnea yang terjadi selama aktifitas dan 3 menit setelah aktifitas akan
terjadi pusing, dispnea, keletihan, frekwensi pernafasan >24x/menit,
frekwensi nadi >95x/menit, sedang kriteria minor adalah pucat atau
sianosis, sianosis dan fertigo. (carpenito 2001:02)
Peningkatan aktifitas syarat simpatis mengakibatkan kontrilen
spincter kapiler sehingga curah jantung menurun dan meningkatkan
peningkatan tahanan perifer mengakibatkan suplay darah kejaringan dan
otak tidak adekuat, akibatnya metabolisme meningkat dan transport O2
ke jaringan dan otak menurun, hal ini mengakibatkan kerja jantung
meningkat dan timbulnya nyeri dada atau dispnea, nafas pendek dan
pusing terjadilah hipoksia dijaringan. Inilah salah satu penyebab
kelemahan, disamping itu klien punya riwayat paru setengah tahun yang
lalu dg adanya kelemahan ini aktifitasnya klien menjadi terganggu dan
menimbulkan intoleransi aktifitas. (Doengoes 2000:45)
44
Masalah ini terjadi karena penurunan aktifitas yang di akibatkan
adanya pembesaran prostat telah dilakukannya oprasi. Prinsip dilakukan
dalam tindakan keperawatan ini adih membantu pemenuhan ADL klien
secara bertahap. Masalah ini muncul karenam dalam kasus ditemukan
tanda-tanda klien tampak lemas, ADL dibantu keluarga, tonus otot lemah,
TD 160/90mmHg, nadi 92x/menit.
Apabila hal ini tidak diatasi dapat menurunkan partisipasi klien
dalam aktifitas sehingga meminimalkan pengunaan otot (Carpenito 2000).
Adapun aktifitas yang penulis lakukan, mengukur TTV sebelum dan

sesudah aktifitas karena efek obat


Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 2x 24 jam pada tanggal 20 Januari 2010 pada jam 13.10 sebagai
berikut: S: klien mengatakan sudah tidak lemas, bisa beraktifitas
walaupun masih terbatas O: klien terlihat segar, tidak lemas, TD
160/90mmHg nadi 92x/menit, A : masalah intoleransi teratasi sebagian,
P: bantu ADL seperlunya, beri motivasi dalam melakukan aktifitas,
pertahankan kondisi.
Modofikasi intervensi yang diberikan yaitu membantu ADL klien
seperlunya, memberikan motivasi dalam melakukan aktifitas dan
pertahankan kondisi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J.2006, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 1,. Jakarta:
EGC.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3,
Jakarta: EGC.
Hancock, Christine, 2000, Kamus Keperawatan, Edisi 17, Jakarta : EGC
Mansjoer, A, Suprohaita, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3,
Media Aesculapius, Jakarta.
Probosuseno, dkk. 2004, Strategi Melepas Kateter yang Terus Menerus
pada Pasien Usia Lanjut Akibat Pembesaran Prostat Jinak, Dikutip
pada tanggal 13 Juli 2010 jam 09.54 dari website
http//:medicalzone.com
Schwartz, dkk. 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, Jakarta:
EGC.

S-ar putea să vă placă și