Sunteți pe pagina 1din 8

PERFORASI MEMBRAN TIMPANI

Definisi
Perforasi membran timpani adalah suatu keadaan dimana ditemukan lubang pada
gendang telinga. umumnya timbul sebagai akibat dari trauma, otitis media atau komplikasi
bedah. Membran timpani telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk regenerasi dan
penyembuhan secara spontan, namun perforasi kronis masih dapat muncul sehingga
membutuhkan miringoplasti untuk perbaikan. Beberapa teknik miringoplasti yang tidak
invasif, mudah dan efektif seperti kauterisasi, kemoterapi, metode patch dan tandur lemak
telah dilakukan baik secara sendiri atau kombinasi, namun, efektivitas pengobatan tersebut
tetap kontroversial.
Etiologi
Infeksi adalah sebab utama perforasi membran timpani. Infeksi akut dari telinga
dapat mengakibatkan iskemik relative pada membran timpani bersamaan dengan tekanan
yang meningkat dalam ruang telinga tengah. Pada kondisi ini, rupture membran timpani
didahului nyeri hebat pada telinga. Perforasi traumatic dapat terjadi dari benda asing yang
masuk ke liang telinga (missal : dipukul dengan tangan, jatuh ke air dengan kepala lebih dulu
masuk ke air). Paparan tekanan tinggi dari sebuah ledakan dapat merobek membran timpani.
Perforasi membran timpani yang terjadi dari tekanan air, pada olahraga yang menerjunkan
kepala terlebih dahulu kedalam air, dapat terjadi pada membrane timpani yang sudah atrofi
karena penyakit sebelumnya. Objek yang digunakan untuk membersihkan liang telinga dapat
mengakibatkan perforasi.
Epidemiologi
Sampai saat ini, belum ada survei epidemiologi tentang angka kejadian penderita
perforasi membrana timpani. Dalam lingkup internasionalpun angka kejadian perforasi
membrana timpani juga belum diketahui. Penelitian terhadap anak-anak suku Aborigin,
mendapatkan 136 dari 436 telinga (31,2%) mengalami perforasi membrana timpani .
Di Medan mendapatkan 36 telinga perforasi total, perforasi sentral sebanyak 26 telinga,
perforasi subtotal dan atik masing-masing 1 telinga. Ologe dan Nwawolo mendapatkan 6%
siswa SD negeri di desa dengan OMSK yang ditandai dengan perforasi persisten membran
timpani lebih dari 3 bulan.
Gejala Klinis

a. Telinga berair (Otorrhoe)


b. Gangguan pendengaran
c. Nyeri telinga (Otalgia)
d. Vertigo
Klasifikasi Perforasi Membran Timpani
Perforasi membrana timpani, ada yang bersifat akut ada pula yang kronik. Perforasi
akut, terutama yang berukuran kurang dari atau sama dengan 25% secara teori dapat menutup
spontan dalam waktu beberapa hari sampai beberapa bulan. Menurut banyak ahli tindakan
operasi merupakan metode pilihan untuk penatalaksanaan perforasi, sedangkan cara lain
adalah tanpa operasi yaitu dengan mengusahakan epitelisasi tepi perforasinya. Selama ini
penutupan perforasi membrana timpani pada manusia tanpa operasi selalu menggunakan
jembatan, untuk mempermudah epitel menyeberang melintasi perforasi, sehingga dapat
terjadi penutupan. Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan, di antaranya kertas sigaret
yang ditempelkan di atas perforasi setelah tepinya dilukai dengan asam trikloroasetat
(trichloroacetic acid /TCA) 10%.
Perforasi membran timpani permanen adalah suatu lubang pada membran timpani
yang tidak dapat menutup secara spontan dalam waktu tiga bulan setelah perforasi. Perforasi
membran timpani dapat disebabkan karena trauma atau infeksi telinga tengah dan biasanya
dapat menutup spontan kecuali bila perforasi besar atau terjadi infeksi kronik di telinga
tengah maka perforasi akan permanen. Beberapa keluhan yang dirasakan penderita perforasi
membran timpani permanen antara lain :
-

Penurunan ketajaman pendengaran


Tinitus
Kekambuhan infeksi telinga tengah

Bentuk-Bentuk Perforasi Membran Timpani


1. Perforasi sentral : Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan posterosuperior, kadang-kadang sub total.

Gambar 2.6. Perforasi Sentral (Ludman, 2007)

2. Perforasi marginal : Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari
annulus fibrosus yang sering disertai jaringan granulasi. Perforasi marginal yang sangat besar
digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan
dengankolesteatom

Gambar

2.7.

Perforasi

Marginal

(Ludman,

2007)

3. Perforasi atik Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired
cholesteatoma.

Gambar 2.8. Perforasi Atik (Ludman, 2007)

Faktor Risiko Perforasi Membran Timpani


Faktor risiko OMSK merupakan faktor yang mempermudah terjadinya OMSK, antara
lain:
a. Lingkungan
Anak-anak yang tinggal di dalam rumah yang penuh sesak, perawatan sakit yang
minim, terpapar dengan anak lain yang terinfeksi, atau terpapar dengan asap, dipercaya
meningkatkan insidensi OMSK

b. Sosial ekonomi
Faktor

sosial

ekonomi

mempengaruhi

kejadian OMSK

dimana

kelompok

sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa
kesehatan secara umum termasuk status imunisasi, diet dan tempat tinggal yang padat juga
memengaruhi kejadian OMSK.
c. Gangguan fungsi tuba
Pada otitis kronis aktif, tuba Eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal
ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui (Browning, 1997).
Ahadiah (2008) di Surabaya memperoleh 11 penderita dengan 16 telinga yang mengalami
OMSK (11 tipe tubotimpanal dan 5 tipe atikoantral), sebanyak 16 gambaran endoskopi muara
tuba Eustachius faringeal terdapat kelainan. Mukosa udem 9 kasus (56,25%), mukosa
hiperemis 4 kasus (25%), terdapat sekret seromukus 12 kasus (75%).
d. Otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media
akut atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu
telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis (Browning, 1997).
Homoe et al (1999) mendapatkan 35% anak-anak dengan OMSK didahului dengan otitis
media akut yang berulang sedangkan Lasisi et al (2008) mendapatkan 70% OMSK dengan
onset otitis media sebelumnya pada usia yang lebih dini.
e. Infeksi saluran pernafasan atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga
memudahkan pertumbuhan bakteri (Browning, 1997). Lasisi et al (2007) di Nigeria pada 189
anak mendapatkan sebanyak 45% anak dengan OMSK didahului dengan infeksi saluran nafas
atas.
f. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah baik aerob ataupun
anaerob menunjukkan organisme yang multipel. Organisme yang terutama dijumpai adalah
gram negatif, bowel-type flora dan beberapa organisme lainnya (Browning, 1997). Nursiah di
Medan (2000) mendapatkan jenis kuman aerob terbanyak adalah S. aureus (36,1%), diikuti E.
coli (27,7%), Proteus sp (19,4%), S. albus (5,6%), S. viridan (5,6%), Klebsiella sp (2,8%) dan
P. aeroginosa (2,8%). Park (2008) memeriksa 1.360 pasien OMSK dan mendapatkan 54%
merupakan kuman staphylococcus. Yeo et al melakukan studi retrospektif pada 1102 pasien

dengan OMSK dari 6 RS di Korea sejak Januari 2001 hingga Desember 2005, hasilnya
bakteri pathogen yang paling banyak adalah pseudomonas.
g. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem selsel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini
primer atau sekunder.
Penelitian pada pasangan kembar, kembar monozygot memiliki riwayat otitis media
yang lebih besar dibandingkan kembar dizygot, yang kemungkinan oleh karena komponen
genetik yang lebih kuat. Faktor genetik pada otitis media bersifat komplek dengan kontribusi
dari banyak gen.
h. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis
media kronis (Browning, 1997). Akinpelu et al (2008) dari 160 pasien OMSK, 2,5% dengan
penyakit imunodefisiensi, sedangkan Weber et al (2006) meneliti 459 anak dengan HIV
terdapat 14,2% yang menderita OMSK.
i. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi (Browning, 1997). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 objek dan
mendapatkan reaksi alergi pada penderita OMSK tubotimpanal lebih besar dibandingkan
dengan reaksi alergi pada penderita non OMSK yaitu sebesar 741% pada kelompok penderita
OMSK tipe tubotimpanal dan 407% pada kelompok non OMSK. Lasisi et al (2007)
mendapatkan dari 189 anak dengan OMSK sebanyak 28% menderita alergi. Lasisi et al
(2008) melakukan tes kulit kepada 20 pasien dengan OMSK, sebanyak 80% tes kulit positif
terhadap satu atau lebih jelas alergen.
Efek Perforasi Terhadap Pendengaran
Perforasi kecil membran timpani tanpa kelainan lain di telinga tengah akan
menyebabkan dua efek berbeda pada pendengaran. Pertama adalah pengurangan luas
membran timpani yang merupakan pusat pengarahan tenaga ke telinga tengah sehingga
mengurangi gerakan tulang pendengaran. Untuk perforasi sebesar satu milimeter, gangguan
hanya terbatas, yaitu pada nada di bawah 400 Hz sebesar 12 dB untuk nada 100 dan 200, 29
dB untuk nada 50 Hz dan 48 dB untuk nada 10 Hz. Makin besar perforasi makin berkurang
permukaan membran sebagai pengumpul tenaga suara, akhirnya suara hanya ditampung di

kuadran posterior sisa membran timpani tempat osikel atau sisa osikel berada. Efek ke-2
terhadap pendengaran oleh perforasi adalah akibat energi suara yang langsung ke tingkap
bulat tanpa dihambat oleh membran timpani. Efek itu akan semakin besar sebanding dengan
besar perforasi. Selanjutnya, semakin kecil sisa membran timpani akan semakin kecil efek
hidraulik yaitu kopling osikuler sehingga yang tersisa hanya kopling akustik, akibatnya
tenaga suara mencapai ke-dua jendela dengan tenaga dan saat yang hampir sama. Hal terakhir
akan menyebabkan ABG sebesar maksimal 42 dB.
Pada umumnya akan terjadi bahwa makin besar perforasi akan makin besar ABG,
tetapi hubungan ini tidak selalu konsisten. Di klinik dapat kita jumpai bahwa perforasi yang
berukuran sama pada tempat yang sama tetapi telinga yang berbeda, menyebabkan gangguan
pendengaran yang beratnya berbeda. Terjadinya variasi tersebut antara lain adalah akibat
perbedaan dalam hal volume telinga tengah dan volume rongga mastoid masing-masing
telinga.
Perforasi Membran Timpani dan Hilangnya Maleus, Inkus, dan Stapes
Pada keadaan hilangnya maleus dan/atau inkus dan/atau stapes, kopling osikuler
hilang, bersama dengan bertambahnya kopling akustik karena hilangnya halangan membran
timpani. Tuli konduktif sekitar 60 dB yang disebabkan oleh hilangnya kopling osikel akan
diperbaiki sedikit oleh bertambahnya kopling akustik sebesar sekitar 10-20 dBbb, karena
hilangnya hambatan oleh membran timpani yang tak ada lagi. Sebagai resultante, akan
menjadi sekitar 49 dB.
Penutupan perforasi membran timpani
Dokumentasi pada hewan percobaan menunjukkan proliferasi epitel skuamosa
berlapis pada tepi perforasi terjadi dalam 12 jam, dan jaringan granulasi terbentuk setelah 36
jam. Regenerasi epitel pada lapisan mukosa lebih lambat dan terjadi setelah beberapa hari.
Pertumbuhan epitel skuamosa berlapis adalah 1 mm per hari. Pemeriksaan histopatologi pada
perforasi yang permanen menunjukkan bahwa epitel skuamosa berlapis tumbuh di bagian
medial tepi perforasi, untuk penutupan perforasi. Pengangkatan epitel ini merupakan dasar
dari terapi penutupan perforasi membran timpani. Sitokin mungkin berperan dalam
penyembuhan beberapa perforasi, namun peran faktor-1 (TGF-1) terlihat pada tepi perforasi
yang kronik yang mungkin menjembatani proses penyembuhan.

Daftar Pustaka
1. Mansjoer Arif dkk. 2000.Kapita Selekta Kedokteran Jilid I . MediaAesculapius
Fakultas Kedokteran Indonesia.Jakarta.
2. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI,
2001. h. 49-62
3. Ballenger, John Jacob. Disease of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Fabiger 14th edition. Philadelphia 1991.
4. Klikdokter. 2014. Perforasi Membran Timpani.
http://klikdokter.com/medisaz/tht/perforasi-membran-timfani. 02 Mei 2015.

S-ar putea să vă placă și