Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
nama
Potts
disease
of
the
spine
(tuberculosis
vertebral
Mekanisme
infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen (Mbata et. al, 2012).
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang masih terus diteliti, dan
masih dalam pengembangan teknik bedah maupun obat-batan terbaru untuk
penatalakasanannya (Beatly, 2011).
Insiden spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
serta kondisi sosial di Negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang
belum dan sedang berkembang, terutama Asia. Dimana malnutrisi dan
kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama (Alavi and Sharifi, 2010).
Pada kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Tulang yang mempunyai fungsi untuk
menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup
besar lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari
seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling
sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti tulang
panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki (Zychowicz, 2010).
Dari hasil epidemiologi, spondilitis tuberkulosa merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonari terbanyak yang menyebabkan komplikasi dan kecacatan
pada masyarakat. Deteksi sejak dini diperlukan untuk mengurangi morbiditas
dan
mortalitas
akibat
spondilitis
tuberkulosa.
Untuk
itu,
dibutuhkan
penguasaan gambaran klinis dan patofisiologi bagi seorang klinisi agar dapat
menentukan pemeriksaan penunjang ataupun terapi yang dibutuhkan untuk
spondilitis tuberkulosa.
dapat
menambah
pengetahuan
klinisi
terkait
cara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
disease
of
the
spine
atau
tuberculous
vertebral
adalah
Vertebra
Gambar 2.1 Anatomi vertebra (Currier and Eismont,
tulang
1992)
- Processus spinosus pendek dan bercabang dua (Rohen and Decroil, 2009).
2. Vertebra Thorakalis
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Korpus vertebra berukuran sedang, berbentuk seperti jantung, bagian anterior
lebih rendah daripada bagian posterior.
- Foramen vertebra bulat.
- Processus spinosus panjang dan runcing.
- Pada processus transversus dan pada korpus vertebra terdapat fovea costalis,
tempat perhubungan dengan costa (Rohen and Decroil, 2009).
3. Vertebra Lumbalis
Vertebra lumbalis merupakan vertebra terbesar, korpusnya sangat besar
dibandingkan dengan korpus vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal
melintang, processus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil,
processus tranversusnya panjang dan langsing, ruas ke lima membentuk sendi
dengan sakrum pada sendi lumbo sakral (Rohen and Decroil, 2009).
4. Vertebra Sakralis
Terdiri atas 5 ruas tulang yang saling melekat menjadi satu membentuk os
sacrum. Os sacrum berbentuk segitiga, dasarnya berada di sebelah cranial,
disebut basis ossis sacri, dan puncaknya berada di bagian caudal, disebut apex
ossis sacri (Rohen and Decroil, 2009).
5. Vertebra Coccygeus
Terdiri atas 4 ruas yang melekat menjadi satu tulang. Vertebra coccygeus I
masih
mempunyai
sisa-sisa
processus
transversus,
membentuk
cornu
Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia yang dapat
dikaitkan dengan agen infeksi tunggal. Lebih dari 40% kasus TB di seluruh dunia
terjadi di bagian Selatan Asia Timur. Di wilayah ini, diperkirakan 3 juta kasus baru
TB setiap tahun. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun
atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara negara
tersebut , dan setiap 2 detik terjadi penularan. TB ekstraparu hanya terdapat
10% sampai 15% dari semua kasus TB. TB skeletal terjadi 1% hingga 3% dari
kasus TB
ekstraparu
muskuloskeletal, infeksi paru aktif terlibat sekitar kurang dari 50% kasus. Tulang
belakang terlibat pada hingga 50% kasus TB muskuloskeletal (Miller F et al,
2011).
Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70%
dan Sanmugasundarm juga menemukan presentase yang sama dari seluruh
tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada
kelompok 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita
dan pria. TB tulang belakang, yang berperan dalam lebih dari setengah dari
semua tuberculosis tulang dan sendi, biasanya terjadi selama awal masa kanakkanak (Savant C et al, 2010).
Pada masa lalu, spondilitis tuberkulosa sering terjadi pada kelompok umur 35 tahun. Seiring meningkatnya pelayanan kesehatan dan gizi pada anak, pola
penyebaran penyakit ini berubah (Eini et al., 2013). Pada negara yang sedang
berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah 20 tahun sedangkan
pada negara maju lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua (Benzagmout et
al., 2011) . Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama,
biasanya pria lebih rentan terkena dibandingkan wanita dengan perbandingan
pria: wanita 1,5:2,1 (Moon et al., 2012).
2.4 Etiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik
(2/3 dari tipe human dan 1/3 tipe bovin) dan 5-10% oleh Mycobacterium
tuberculosa atipik. Tipe bovin ditularkan melalui sapi yang menderita mastitis
tuberkulosa, biasanya masuk melalui saluran cerna. Tipe human ditularkan
melalui droplet infection (Li and Fung, 2007).
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis
di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat
pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas setinggi T8-L3 dan paling
jarang pada vertebra C1-C2 , sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari
suatu tuberculosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus
Batson pada vena paravertebralis. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus
vertebra, tapi jarang menyerang arkus vertebra. Spondilitis tuberkulosa
merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh (Tachdjian,
M.O., 2010).
95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan
10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
2.5 Patogenesis
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi TB sekunder dimana lesi
primernya berasal dari luar vertebra. Lesi primer tersebut bisa berasal dari paru,
kelenjar limfoid, ginjal dan organ dalam lainnya.
2.5.1 Patogenesis Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran
pernafasan dan saluran cerna, dengan perjalanan infeksi berlangsung dalam 4
fase (Ramachandran and Paramasivan, 2003).
1. Fase Primer
Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli dan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu mengahancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon (Salter, 1999). Pada sebagian
besar kasus, bagian tengah fokus ini mengalami nekrosis perkijuan. Bila basil
terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul limfadenitis primer. Afek
primer dan limfadenitis primer disebut kompleks primer (kompleks Ghon).
Selama beberapa minggu pertama juga terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen ke bagian tubuh lain. Pada sekitar 95% kasus, terbentuknya imunitas
2. Fase Miliar
Kompleks
primer
mengalami
penyebaran
miliar,
suatu
penyebaran
hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran
bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus
dan menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung
terus sampai menimbulkan kematian, mungkin juga dapat sembuh sempurna
atau menjadi laten atau dorman (Ramachandran and Paramsivan, 2003).
3. Fase Laten
Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami
resolusi dengan membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut (Ramachandran and Paramsivan, 2003).
Di
dalam
koloni
yang
sempat
terbentuk
dan
kemudian
dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi yang disebut sebagai fokus Simon.
Fase ini berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama bertahun-tahun.
Bila terjadi perubahan daya tahan tubuh maka fokus Simon ini dapat memasuki
fase ke-4 yaitu fase reaktivasi (Ramachandran and Paramsivan, 2003).
4. Fase Reaktivasi
Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, reaktivasi
penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan kalsifikasi
atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi sarang infeksi
dapat menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal merupakan organ kedua
yang paling sering terinfeksi; selanjutnya kelenjar limfe, tuba, tulang, sendi, otak,
kelenjar adrenal, saluran cerna dan kelenjar mamma. Meskipun jarang,
tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena
umbilical atau cairan amnion ibu yang terinfeksi (Ramachandran and
Paramsivan, 2003).
Spondilitis
TB
10
Faktor Internal yaitu faktor yang berasal dari dalam tubuh. Faktor ini
terdiri dari imunitas selular dan imunitas humoral. Dalam melawan
tuberculosis, yang pertama berperan adalah imunitas selular, dimana
imunitas selular ini dibagi menjadi 2, yaitu innate immunity
dan
Adaptive immunity.
Innate Immunity. Terdiri dari:
o
Pertahanan fisik dan kimia seperti epitel kulit dan epitel mukosa
Pertahanan oleh sel yaitu oleh makrofag, Natural killer cell, dan
Neutrofil
11
perluasan
dan
reaktivasi
dari
tuberkulosis.
12
Kadar
IL-6
proteksi terhadap
yang
rendah
bisa
Mycobacterium
menyebabkan
IL-18 & IL-15 bekerja sinergis dengan IL-12 dimana IL-18 dan IL15 merupakan stimulator untuk produksi sitokin pro-inflamatori,
kemokin, dan faktor transkripsi.
efektifnya
respon
imun
tubuh
dalam
melawan
Mycobacterium tuberculosis.
o TGF-
berperan
dalam
menghambat
proliferasi
IFN-,
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar tubuh yaitu obat anti
tuberkulosis, imobilisasi tubuh dengan menggunakan jacket bracing dan
proses operasi (Drainase abses, debridement, debridement dan fusi,
stabilisasi).
13
Gambar 2.6 Mekanisme imunitas tubuh pada infeksi Mycobacterium tuberculosis (Kumar
et al, 2007)
minggu) pada orang yang belum tersensitasi ditandai dengan proliferasi basil
tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi
14
TNF
berperan
merekrut
monosit
yang
pada
perjalanannya
Selain
mengaktifkan
makrofag,
sel
CD4+
juga
mempermudah
15
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson yaitu suatu anyaman vena
epidural dan peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson
pada daerah perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus
pada dasar otak, dinding dada, intercostal, lumbal dan pelvis, sehingga darah
dalam pleksus Batson berasal dari daerah-daerah tersebut diatas. Jika terjadi
aliran retrograde (aliran balik) akibat perubahan tekanan pada dinding dada dan
abdomen, maka basil dapat ikut menyebar dari infeksi tuberkulosa yang berasal
dari organ di daerah aliran vena-vena tersebut (Tuli, 1957).
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral
yang telah terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudinal anterior
dan posterior ke korpus vertebra yang berdekatan (Tuli, 1957).
2.5.4 Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa
Karakter infeksi spondilitis tuberkulosa ialah adanya destruksi tulang
(osteolisis) vertebra yang progresifitasnya berjalan lambat. Pada anak-anak
biasanya infeksi spondilitis tuberkulosa berasal dari fokus primer di paru-paru
sedangkan pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner
(usus, ginjal, tonsil) (Salter, 1999).
Destruksi timbul di bagian anterior korpus vertebra disertai osteoporosis
regional. Proses perkijuan yang menyebar akan menghambat timbulnya
pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan akan menimbulkan
segmen-segmen avaskular dan membentuk sekuester (serpihan tulang yang
lepas dan nekrosis), terutama pada vertebra daerah thorakal (Ramachandran
and Paramsivan, 2003; Salter, 1999).
Secara bertahap jaringan granulasi akan menembus korteks korpus vertebra
yang sudah tipis sehingga menimbulkan abses paravertebral yang meliputi
beberapa korpus vertebra. Diskus intervertebralis yang avaskular, awalnya relatif
resisten terhadap infeksi tuberkulosis. tetapi karena dehidrasi, diskus akan
menyempit dan akhirnya akan timbul kerusakan akibat penjalaran jaringan
granulasi. Destruksi progresif pada bagian anterior menyebabkan korpus bagian
anterior kolaps, mengakibatkan kifosis progresif yang dikenal sebagai gibbus.
Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang
bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya
(Mbata, 2012) .
16
Eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosa) dapat menyebar ke atas dan ke bawah melalui
ligamentum longitudinal anterior dan ligamentum longitudinal posterior kemudian
berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada
daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esophagus, atau cavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya
tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat
menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah
lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke
daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum scarpei atau regio glutea (Apley, 2001).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa dibagi dalam 5 stadium yaitu
(Agrawal et al., 2010):
1.
Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3.
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin),
yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sequestrum serta kerusakan discus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4.
17
18
19
20
2.8 Diagnosis
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan
sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi
deformitas tulang belakang dan defisit neurologis (Coraican et al, 2006, Sinan T
et al, 2004, Savvidau C, 2000).
Penegakan diagnosis seperti pada penyakit-penyakit pada umumnya
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan penunjang.
Keberhasilan melakukan diagnosis dini menjanjikan prognosis yang lebih baik
2.8.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
21
22
Bila kontraksi volunteer anal tidak ada, semua skor sensori S4-S5 tidak ada
dan sensasi anal tidak ada, maka kerusakannya termasuk kerusakan utuh.
23
24
Normalnya
cairan
serebrospinal
tidak
mengeksklusikan
diagnosis
dan
pengobatan
spondilitis
tuberkulosa.
X-ray
dapat
25
mencapai stadium lanjut penyakit dengan mayoritas memiliki kolaps vertebra dan
defisit neurologis (Grag and Somvanshi, 2011).
Gambar 2.9 X-Ray sacral spondilitis tuberkulosa dan foto thoraks (Garg and
Somvanshi, 2011)
Keterangan : X-ray dari daerah sacral tulang belakang menunjukkan penghancuran
tulang pada spondilitis tuberkulosa (foto kiri). Foto thoraks pasien yang sama yang
menunjukkan adanya TB paru (foto kanan).
2. CT Scan
Menurut Perrone et al. (1994), CT scan menunjukkan kelainan lebih awal
dibandingkan x-ray. Pola kerusakan tulang: fragmentaris (47%), osteolitik (34%),
lokal dan sklerotik (10%), subperiosteal (30%). Sedangkan menurut Ridley et al.
(1998), CT scan dapat menunjukkan temuan lain termasuk keterlibatan jaringan
lunak dan jaringan abses paraspinal. CT scan bernilai besar menunjukkan setiap
kalsifikasi dalam abses dingin atau memvisualisasikan lesi epidural yang
mengandung fragmen tulang. CT scan bernilai terbesar pada penggambaran
perambahan dari kanal tulang belakang dengan ekstensi posterior jaringan,
tulang atau cakram materi inflamasi.
3. MRI
MRI merupakan neuroimaging pilihan untuk spondilitis tuberkulosa. MRI lebih
sensitif dibandingkan x-ray dan lebih spesifik daripada CT scan dalam diagnosis
spondilitis tuberkulosa. MRI memungkinkan untuk penentuan cepat dari
mekanisme
keterlibatan
neurologis
(Moorthy
and
Prabhu,
2002).
MRI
26
Gambar 2.10 X-Ray dan MRI C6-C7 (Garg and Somvanshi, 2011)
Keterangan : X-ray dari daerah serviks yang menunjukkan spondilitis tuberkulosa pada
C6-C7 dan abses retropharyngeal (foto kiri). Gambar MRI dari pasien yang sama, yang
menunjukkan penghancuran C6-C7.
27
atau pembedahan
untuk diperiksa
28
parathypoid).
pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor / penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin`s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing`s sarcoma). Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya korpus vertebra tetapi berbeda
dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan.
Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebra kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
2.12 Komplikasi
Diagnosis banding meliputi penyakit neoplastik dari tulang belakang, piogenik
dan jamur osteomyelitis, kondisi peradangan dan arthritis sarcoid (Aminoff,
2008).
Cedera korda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott`s paraplegia prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat
diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan
atau karena invasi dura dan korda spinalis. Empiema tuberkulosa karena
rupturnya abses paravertebral di thorakal ke dalam pleura (Ombregt et al., 1995).
2.13
Penatalaksanaan
stabilitas
pada
tulang
belakang
dan
menghentikan
atau
29
paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott`s sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis (OAT).
2. Dekompresi medulla spinalis.
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).
Pengobatan spondilitid tuberkulosa terdiri atas :
1.Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra/ membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa .
Menurut WHO (1999), terdapat 3 kategori panduan penggunaan OAT
berdasarkan berat ringannya penyakit.
-Kategori I : Tuberkulosis berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas,
tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes
mellitus dan termasuk spondilitis tuberkulosa.
-Kategori II : Tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam pengobatan.
-Kategori III : Tuberkulosis paru tersangka aktif.
Spondilitis tuberkulosa berada di dalam kategori-1 dari kategori pengobatan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1999). Kategori-1 regimen pengobatan
antituberkulosis dibagi menjadi dua fase: intensif (awal) fase dan fase lanjutan.
Fase terapi intensif/ inisial bisa diberikan kombinasi OAT: 2R7H7EZ7, sedangkan
untuk fase terapi lanjutan bisa diberikan kombinasi OAT: 4R7H7 atau 4R3H3 atau
7H7E7, 7H7T7.
Pada fase intensif 2 bulan, terapi antituberkulosis mencakup kombinasi
empat obat lini pertama: isoniazid, rifampisin, streptomisin, dan pirazinamid.
Pada fase lanjutan, dua obat (isoniazid dan rifampisin) diberikan selama 4 bulan.
Karena risiko serius kecacatan dan kematian dan karena kesulitan menilai
respon pengobatan, WHO merekomendasikan 9 bulan pengobatan tuberkulosis
tulang atau sendi. Menurut Koltil et.al (2007), meskipun 6 bulan pengobatan
dirasa cukup, banyak ahli masih lebih memilih jangka waktu 12-24 bulan atau
sampai bukti radiologi atau patologis regresi penyakit terjadi. Menurut Histrea et
al. (2008), tidak ada peran yang pasti untuk kortikosteroid pada spondilitis
tuberkulosa kecuali dalam kasus arachnoiditis tulang belakang atau spinal
nonosseous tuberkulosis.
30
Tiap
Tiap
R-Rifampicin
H-INH
E-Ethambutol
Z-Pyrazinamide
S-Streptomycin
T-Thiazetazone
hari/mg
BB<50 kg
450
300
1000
1500
750
-
hari/mg
BB>50 kg
600
400
1500
2000
1000
-
3xseminggu
mg
Dosis per
Kg BB
600
600
1500
2000
100
10 (8-12)
5 (4-6)
15 (15-20)
25 (20-30)
15 (12-18)
2.5
dianggap obat lini pertama dan digunakan untuk mengobati sebagian besar
orang dengan penyakit TB.
Tabel 2.2 MDR TB Primer dan Sekunder
MDR TB Primer
Paparan terhadap seseorang yang :
Telah diketahui TB yang resistan
terhadap obat
Sebelumnya
telah
menjalani
pengobatan TB (pengobatan gagal
atau kambuh dan yang hasil uji
kepekaan tidak diketahui)
dari daerah di mana prevalensi
resistensi obat tinggi
hasil hapusan dan kultur positif
setelah
2
bulan
kombinasi
kemoterapi
Wisata di daerah dengan prevalensi
MDR TB Sekunder
Berkembang karena pasien :
Tidak diobati dengan
rejimen
pengobatan
yang tepat
atau
Tidak mengikuti rejimen pengobatan
yang
diresepkan :
Salah minum obat
Minum obat tidak teratur
Malabsorpsi
Interaksi
obat-obat
yang
menyebabkan tingkat serum rendah
31
2. Terapi operatif
Menurut Garg and Somvanshi (2011), indikasi operasi spondilitis tuberkulosa,
meliputi :
1. Indikasi untuk operasi pada pasien tanpa komplikasi neurologis:
- Kerusakan tulang progresif meskipun telah diberi pengobatan
antituberkulosis.
- Kegagalan dalam terapi konservatif.
-Evakuasi abses paravertebral ketika telah meningkat dalam ukuran
meskipun pengobatan medis.
-Ketidakpastian diagnosis, biopsi.
-Alasan teknik: ketidakstabilan tulang belakang yang disebabkan oleh
kerusakan atau kehancuran, kerusakan dua atau lebih tulang belakang,
kifosis.
- Pencegahan kifosis parah pada anak-anak dengan lesi dorsal yang luas.
-Large paraspinal abscess.
2. Indikasi untuk operasi pada pasien dengan komplikasi neurologis:
-Komplikasi saraf baru atau perburukan atau kurangnya perbaikan dengan
pengobatan konservatif.
-Paraplegia onset cepat atau paraplegia parah.
-Late-onset paraplegia.
-Neural arch disease.
-Nyeri paraplegia pada pasien usia lanjut.
-Spinal tumor syndrome (tuberculoma spinal epidural tanpa keterlibatan
tulang).
Menurut Jutte et al. (2006), terdapat dua jenis prosedur bedah yang
dilakukan pada spondilitis tuberkulosa :
1. Debridement lokasi yang terinfeksi.
Pada operasi ini tidak ada upaya dilakukan untuk menstabilkan tulang
belakang.
2. Debridement dengan stabilisasi tulang belakang (spinal rekonstruksi).
Merupakan operasi dengan prosedur yang lebih luas dan rekonstruksi
dilakukan dengan cangkok tulang. Stabilisasi juga dapat dilakukan dengan
menggunakan bahan buatan seperti baja, serat karbon, atau titanium.
32
3.
pemeriksaan
mendukung.
Pemeriksaan
fisik
penunjang
dan
pada
pemeriksaan
spondilitis
penunjang
tuberkulosa
yang
meliputi
33
dapat
diberikan
terapi
mencegah
MDR
(Multidrug-Resistant)
dari
OAT
(Obat
AntiTuberkulosis).
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal V., Patgaonkar P.R., Nagariya S.P. 2010. Tuberculosis of Spine. Journal
Craniovertebr Junction Spine. 2010 Jul-Dec, 1(2): 74-85.
Alavi, Sharifi, 2010. Tuberculosis Spondylitus: Risk Factor and Clinical Aspects in
The Southwest of Iran. Journal of Infection and Public Health, vol. 3, p.1962010.
Aminoff, M.J. 2008. Neurology and General Medicine. China: Churchill
Livingstone Elsevier, p.455-456.
Apley. 2001. Apleys system of orthopaedics and fractures. 8th Ed. Oxford: BH Co.
2001.
Beatly,G. 2011. Europan Instructional Lecture 12th EFORT (Europan Federation
of National Association of Orthopaedics and Traumatology), Vol 11,
Switzweland: Efort, p. 102
Benzagmout M, Boujraf S, Chakour K, Chaoui Mel. 2011Potts disease in
children. Surg Neurol Int. Jan 11 2011; 2(1)
34
35
analysis
of
124
patients.
Indian
Orthop.
Mar
2012;46(2):150-8
Moorthy S, Prabhu NK. 2002. Spectrum of MR imaging ndings in spinal
tuberculosis.Am J Roentgenol 2002;179(4):97983
Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, et al..
2008. A new classification and guide for surgical treatment of spinal
tuberculosis. Int Orthop2008;32(1):12733
Ombregt L,Bisscho P,terVeer H.J, Vande VeldeT. 1995. Non Mechanical
Disorders of The Lumbar Spine. In: A System of Orthopaedic Medicine.
Philadelphia: W.B.Saunders,1995:61532
Owolabi LF, Nagoda MM, Samaila AA, Aliyu I. 2010. Spinal tuberculosis in adults:
a
study
of
87
cases
in
Northwestern
Nigeria. Neurology
Asia 2010;15(3):23944
Perronne C, Saba J, Behloul Z. Pyogenic and tuberculosis spondylodiskitis
(vertebral
osteomyelitis)
in
80
adult
patients. Clin
Infect
P,
Dunn
R. Noncontiguous
spinal
tuberculosis:
incidence
and
N,
Shaikh
MI,
Remedios
D,
Mitchell
R. Radiology
of
skeletal
tuberculosis.Orthopedics 1998;21(11):121320
Rohen,J.W. & Drecoil, E.L.(2009) Embriologi Fungsional Perkembangan Sistem
Fungsi Organ manusia. Ed 2. Dany, F. ed . Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC
Salter R.B. 1999. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal
system. 3rd Ed. New York: Williams & Wilkins. P.228-230.
36
2010.
Osteoarticular
Manifestations
of
Mycobacterium