Sunteți pe pagina 1din 19

LAPORAN PENDAHULUAN SPONDITILITIS TB

1.

DEFINISI

Spondilitis tuberkulosa torakolumbal adalah suatu proses peradangan pada


kolumna vertebrata yang disebabkan oleh kuman tuberculosis yang menyebar secara
hematogen pada kolumna vertebra torakolumbal.

2.

ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri

yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun


spesies

Mycobacterium

yang

lainpun

dapat

juga

bertanggung

jawab

sebagai

penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di


Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak
ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena
sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
acid-fastnon-motile

dan

tidak

dapat

diwarnai

dengan

baik

melalui

cara

yang

konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri


tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi
niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk
membedakannnya dengan spesies lain.

3.

KLASIFIKASI

Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:


1) Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada
daerah sentral vertebra.
2) Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3) Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis
atau gibbus.

4) Stadium gangguan neurologis


Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
i.
Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan
ii.

jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.


Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat

iii.

melakukan pekerjaannya.
Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas

iv.

penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.


Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi
dan miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini
atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang
masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh
adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau
sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra

5) Stadium deformitas residua


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis
atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di
depan (Savant, 2007).

4. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
d.
e.
f.
g.

tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.


Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
Deformitas pada punggung (gibbus)
Pembengkakan setempat (abses)
Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).

Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena


proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).

5. PATOFISIOLOGI
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian, terjadi hyperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan pelunakan korpus. Selanjutnya, terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
invertebra, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan akan menyebabkan
terjadinya kifosis.

Kemudian, eksudat
(yang
terdiri
atas
serum, leukosit, tulang
yang
fibrosis,
dan
basil
tuberkulosa)
menyebar
kedepan,
dibawah
ligament
longitudinal anterior.
Eksudat
ini
dapat
menembus ligament
dan berekspansi ke
berbagai
arah
sepanjang
garis
ligament yang lemah.
Abses
pada
vertebra
torakalis
biasanya tetap ada di
daerah
toraks
setempat, menempati
daerah paravertebral,
berebentuk massa yang menonjol dan fusiform. Pada kondisi lanjut, kerusakan kolumna
vertebra menjadi lebih jelas dengan destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan
berbentuk sekuetrum dan kerusakan diskus inverteba.

6. PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesa dan inspeksi :

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat


malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan

malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat
berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas
pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang
gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan
berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari
nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri
di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas
akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di
bagiatorakal n bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian
perut.

Rasa

nyeri

ini

hanya

menghilang

dengan

beristirahat.

Untuk

mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.


4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kakipendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital.

Rigiditas

pada

leher

dapat

bersifat

asimetris

sehingga

menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin


mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka
tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada
anak,

akan

mendorong

trakhea

ke

sternal

notch

sehingga

akan

menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara


kompresi

medulla

tetraparesis

(Hsu

spinalis
dan

pada

Leong

orang

1984).

dewasa
Dislokasi

akan

menyebabkan

atlantoaksial

karena

tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi


cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu
diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio
servikal (Lal et al. 1992).
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika

terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan
mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding
dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak
yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar
melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi
panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan
menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha.
Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi
panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks
tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan
motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih
dan anorektal.
10.

Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan

nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan
tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena
tuberkulosa
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses
piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka,
retropharynx,

atau

di

sisi

leher

(di

belakang

otot

sternokleidomastoideus),

tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat
bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam
cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi :

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. LABORATORIUM
1.1
Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
1.2

100mm/jam.
Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang
negatif tampak pada 20% kasus (Tandon and Pathak 1973; Kocen 1977)
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau

1.3

disertai penyakit lain)


Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum

1.4

dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat

1.5

relatif.
Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada
pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan

1.6

diagnosa banding.
Cairan serebrospinal
tuberkulosa).

dapat

Normalnya

abnormal

cairan

(pada

kasus

serebrospinal

dengan

tidak

meningitis

mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan


memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen

and Parsons 1970; Traub et al 1984).


Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat

kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.


Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal
akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan
bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang
mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid
akan mencegah timbulnya hal ini (Wadia 1973). Kandungan protein cairan
serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 14g/100ml.

Kultur

cairan

serebrospinal.

Adanya

basil

tuberkel

merupakan

tes

konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman


pemeriksa dan tahap infeksi
B. RADIOLOGI
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
1. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
2. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.
3. Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
4. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior

yang

berbentuk

scalloping

karena

penyebaran

infeksi

dari

area

subligamentous.
5. Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
6. Keterlibatan bagian

lateral

corpus

vertebra

akan

menyebabkan

timbulnya

deformita scoliosis (jarang)


7. Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar
dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap
tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi
karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga
vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa
dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena
penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
8. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan.
Deteksi

(evaluasi)

adanya

abses

epidural

sangatlah

penting,

oleh

karena

merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).


C. CT-SCAN
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga
yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti
pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
D. MRI

Mempunyai

manfaat

besar

untuk

membedakan

komplikasi

yang

bersifat

kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.
Bermanfaat untuk :

Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat

konservatif atau operatif.


Membantu menilai respon terapi.

Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi


di
abses.

8. PENATALAKSANAAN UMUM
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau
defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pottds paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:


1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg,
dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b. Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu
selama 4 bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita yang kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari.
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya
selama 3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250
mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita


bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa
nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan
adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita
diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka, debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI
ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun

pengobatan

kemoterapi

merupakan

pengobatan

utama

bagi

penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan


penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses
dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Cold absces
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar
dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis
bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif
berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007)

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


A. PENGKAJIAN
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung
bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat

dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan
meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan
tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu
makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan
penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului
dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru.
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya
adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita
penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit
menular tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan
sedih,

dengan

kurangnya

pengetahuan

tentang

penyakit,

pengobatan

dan

perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas
sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi
persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua
klien mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah
persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya
riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang
mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
amnesia.

Sedangkan

kebutuhan

metabolisme

tubuh

semakin

meningkat,

sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya.


c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke
kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya
penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK
harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut
klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses eliminasi.
d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta
penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi
aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik
tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat.
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak
hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur
f.

dan istirahat.
Pola hubungan dan peran.

Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak
mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga
ataupun

masyarakat.

Hal

tersebut

berdampak

terganggunya

hubungan

interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif.
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi
i.

komplikasi paraplegi.
Pola reproduksi seksual.
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu
untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih
sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari-hari

j.

tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.


Pola penaggulangan stres.
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya ,
akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa

stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
Pada klien yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat menjalankan ibadah,
maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai
penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
b. Nyeri b.d proses peradangan
c. Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi fisik

C. INTERVENSI
Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Intervensi

Gangguan mobilitas fisik


Berhubungan dengan :
- Gangguan metabolisme
sel
- Keterlembatan
perkembangan
- Pengobatan
- Kurang support
lingkungan
- Keterbatasan ketahan
kardiovaskuler
- Kehilangan integritas
struktur tulang
- Terapi pembatasan gerak
- Kurang pengetahuan
tentang kegunaan
pergerakan fisik
- Indeks massa tubuh
diatas 75 tahun percentil
sesuai dengan usia
- Kerusakan persepsi
sensori
- Tidak nyaman, nyeri
- Kerusakan
muskuloskeletal dan
neuromuskuler
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau
cemas
- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan
otot, kontrol dan atau
masa
- Keengganan untuk
memulai gerak
- Gaya hidup yang
menetap, tidak
digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi selektif atau
umum
DO:
- Penurunan waktu reaksi
- Kesulitan merubah posisi
- Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
- Keterbatasan motorik
kasar dan halus
- Keterbatasan ROM
- Gerakan disertai nafas
pendek atau tremor
- Ketidak stabilan posisi
selama melakukan ADL

NOC :
Joint Movement :
Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama.gangguan
mobilitas fisik teratasi
dengan kriteria hasil:
Klien meningkat
dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari
peningkatan
mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat
Bantu untuk
mobilisasi (walker)

NIC :
Exercise therapy : ambulation

Monitoring
vital
sign
sebelm/sesudah latihan dan lihat
respon pasien saat latihan
Konsultasikan dengan terapi fisik
tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
Bantu klien untuk menggunakan
tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
Ajarkan
pasien
atau
tenaga
kesehatan lain tentang teknik
ambulasi
Kaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi
Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi
dan
bantu
penuhi
kebutuhan ADLs ps.
Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
Ajarkan
pasien
bagaimana
merubah
posisi
dan
berikan
bantuan jika diperlukan

- Gerakan sangat lambat


dan tidak terkoordinasi

Nyeri b.d proses peradangan

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Nyeri akut berhubungan


dengan:
Agen injuri (biologi, kimia,
fisik, psikologis), kerusakan
jaringan

DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan
nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek,
sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang
dan lingkungan)

NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah
dilakukan
tinfakan
keperawatan
selama . Pasien tidak
mengalami
nyeri,
dengan kriteria hasil:
Mampu
mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri
berkurang
dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu
mengenali
nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa

Intervensi

NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
Kontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan
tentang
teknik
non
farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ...
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan
berkurang
dan
antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan

- Tingkah laku distraksi,


contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan
tekanan darah,
perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

nyaman setelah nyeri


berkurang
Tanda
vital
dalam
rentang normal
Tidak
mengalami
gangguan tidur

sesudah pemberian analgesik pertama


kali

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi

Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria
Hasil

Nyeri Kronis
berhubungan dengan
ketidakmampuan fisikpsikososial kronis
(metastase kanker, injuri
neurologis, artritis)

DS:
- Kelelahan
- Takut untuk injuri ulang
DO:
- Atropi otot
- Gangguan aktifitas
- Anoreksia
- Perubahan pola tidur
- Respon simpatis (suhu
dingin, perubahan posisi
tubuh , hipersensitif,
perubahan berat badan)

Intervensi

NIC :

NOC:
Comfort level
Pain control
Pain level
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama . nyeri kronis
pasien berkurang
dengan kriteria hasil:
Tidak ada gangguan
tidur
Tidak ada gangguan
konsentrasi
Tidak ada gangguan
hubungan
interpersonal
Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara
verbal
Tidak ada tegangan
otot

Pain Manajemen
- Monitor kepuasan pasien terhadap
manajemen nyeri
- Tingkatkan istirahat dan tidur yang
adekuat
- Kelola anti analgetik ...........
- Jelaskan pada pasien penyebab
nyeri
- Lakukan tehnik nonfarmakologis
(relaksasi, masase punggung)

Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi fisik

Rencana keperawatan

Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Risiko gangguan
integritas kulit

Faktor-faktor risiko:
Eksternal :
- Hipertermia atau
hipotermia
- Substansi kimia
- Kelembaban udara
- Faktor mekanik
(misalnya : alat yang
dapat menimbulkan
luka, tekanan,
restraint)
- Immobilitas fisik
- Radiasi
- Usia yang ekstrim
- Kelembaban kulit
- Obat-obatan
- Ekskresi dan sekresi
Internal :
- Perubahan status
metabolik
- Tulang menonjol
- Defisit imunologi
- Berhubungan dengan
dengan perkembangan
- Perubahan sensasi
- Perubahan status
nutrisi (obesitas,
kekurusan)
- Perubahan pigmentasi
- Perubahan sirkulasi
- Perubahan turgor
(elastisitas kulit)
- Psikogenik

Tujuan dan Kriteria


Hasil

Intervensi

NOC :
- Tissue Integrity : Skin
and
Mucous
Membranes
- Status Nutrisi
- Tissue Perfusion:perifer
- Dialiysis
Access
Integrity

NIC : Pressure Management


Anjurkan pasien untuk menggunakan
pakaian yang longgar
Hindari kerutan padaa tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar tetap
bersih dan kering
Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
setiap dua jam sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan
Oleskan lotion atau minyak/baby oil
pada derah yang tertekan
Monitor aktivitas dan mobilisasi
pasien
Monitor status nutrisi pasien
Memandikan pasien dengan sabun
dan air hangat
Gunakan pengkajian risiko untuk
memonitor
faktor
risiko
pasien
(Braden Scale, Skala Norton)
Inspeksi kulit terutama pada tulangtulang yang menonjol dan titik-titik
tekanan
ketika
merubah
posisi
pasien.
Jaga kebersihan alat tenun
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
pemberian tinggi protein, mineral dan
vitamin
Monitor serum albumin dan transferin

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama.
Gangguan
integritas
kulit
tidak
terjadi dengan kriteria
hasil:
Integritas kulit yang
baik
bisa
dipertahankan
Melaporkan
adanya
gangguan
sensasi
atau
nyeri
pada
daerah kulit yang
mengalami gangguan
Menunjukkan
pemahaman
dalam
proses perbaikan kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera
berulang
Mampu
melindungi
kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
Status nutrisi adekuat
Sensasi dan warna
kulit normal

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Johnson & Mass. 2008. Nursing Outcomes Classifications. 2nd edition. New York: MosbyYear Book inc

McCloskey & Bulechek. 2008. Nursing Interventions Classifications. 4th edition. New York:
Mosby-Year Book inc
NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis: Definitions and classification. Philadelphia, USA

S-ar putea să vă placă și