Sunteți pe pagina 1din 22

LAPORAN PENDAHULUAN

Sindroma Geriatrik
Disusun untuk Memenuhi Tugas Clinical Studies 2

Oleh:
KELOMPOK 1B
ANGERNANI TRIAS W

115070200111008

UZZY LINTANG S

115070200111010

IFA RAHMAWATI

115070200111012

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. Pengertian Lansia
Usia lanjut adalah bagian akhir dari perkembangan hidup manusia. Menurut teori
Erikson bahwa usia lanjut merupakan tahap perkembangan psikososial yang terakhir (ke
delapan). Tercapainya integritas yang utuh merupakan perkembangan psikososial lansia
(Keliat, et al, 2006 dalam Syerniah, 2010). WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan
bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit,
tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif,
merupakan proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh.
Pada tahap ini lansia dikatakan berada pada tahap integritas ego versus
keputusasaan dan mempunyai tugas perkembangan menerima tanggung jawab diri dan
kehidupan (Videback, 2008; Lahey, 2002). Lansia dikatakan dapat mencapai integritas ego
apabila si lansia merasakan kepuasan atas keberhasilan yang telah dicapai pada seluruh
tahap kehidupan dari masa anak-anak sampai usia dewasa. Kepuasan ini dimanifestasikan
dalam bentuk konsep diri yang positif dan sikap posistif terhadap kehidupan. Perilaku lansia
yang mencapai integritas diri adalah mempunyai harga diri tinggi, menilai kehidupan berarti,
memandang ssesuatu hal secara keseluruhan (tuntutan dan makna hidup), menerima nilai
dan keunikan orang lain serta menrima datangnya kematian (Keliat, 2006). Pada lansia yang
kecewa terhadap kehidupannya akan merasakan keputusasaan sehingga muncul perilaku
dan sikap yang tidak menghargai terhadap diri sendiri atau orang lain. Perilaku yang putus
asa ditujukan dengan memandang rendah atau menghina atau mencela orang lain,
merasakan kehidupan selama ini tidak berarti, merasakan kehilangan dan masih ingin
berbuat banyak tetapi takut tidak punya waktu lagi (Keliat, 2006). Lansia yang gagal
mencapai integritas ego ini akan mempunyai resiko untuk mengalami masalah psikososial
keputusasaan yang merupakan salah satu tanda depresi.
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60+ tahun (WHO, 2010
dalam Syerniah, 2010). Menurut UU RI no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia
juga menyebutkan lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas. Berdasarkan pengertian tersebut maka yang dimaksud lansia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas atau lebih.
Batasan Usia Lanjut

Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun.


Lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun.
Lanjut usia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
Usia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.

(WHO, dalam Nugroho, 2000, dalam Syerniah, 2010)

2. Proses Menua
Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus secara
alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan umunya dialami seluruh
makhluk hidup. Menua merupakan proses penurunan fungsi struktural tubuh yang diikuti
penurunan daya tahan tubuh. Setiap orang akan mengalami masa tua, akan tetapi
penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter, nutrisi, stress,
status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua
(Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis.
Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih, penurunan
pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ
vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi tidak
harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat dalam hal ini
diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang
menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-menerus. Apabila proses
penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah berbagai
masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto (1994)
menyebutkan masalah masalah yang menyertai lansia yaitu:
a. Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain
b. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya
c. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau
pindah
d. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak
e. Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan dengan
perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang mendasar
adalah perubahan gerak.

Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan bahwa


perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap
perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Bagaimana sikap yang
ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal ini tergantung dari
pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan ynag
diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah
peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 1992)
Dalam

menghadapi

perubahan

tersebut

diperlukan

penyesuaian.

Ciri-ciri

penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979 dalam Munandar, 1994) adalah:
a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
c. Selalu mengingat kembali masa lalu
d. Selalu khawatir karena pengangguran,
e. Kurang ada motivasi,
f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan
g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah: minat
yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan
hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan memiliki kekhawatiran minimla
trehadap diri dan orang lain.
3. Teori Proses Menua
1. Teori biologi
1. 1

Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)


Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang
diprogram oleh molekul molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel sel
kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)

1. 2

Pemakaian dan rusak


Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel sel tubuh lelah (rusak)

1. 3

Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)


Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus.
Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga
jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.

1. 4

Teori immunology slow virus (immunology slow virus theory)


Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus
kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan organ tubuh.

1. 5

Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

1. 6

Teori radikal bebas


Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel
tidak dapat regenerasi.

1. 7

Teori rantai silang


Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis,
kekacauan dan hilangnya fungsi.

1. 8

Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.

2. Teori kejiwaan sosial


2. 1

Aktivitas atau kegiatan (activity theory)


Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara
langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah
mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap
stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

2. 2

Kepribadian berlanjut (continuity theory)


Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi
oleh tipe personality yang dimiliki.

2. 3

Teori pembebasan (disengagement theory)


Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas
maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss),
yakni :
Kehilangan peran
hambatan kontak sosial
Berkurangnya kontak komitmen

Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Lilik Marifatul (2011) dapat dibedakan
menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial
1. Teori Biologi
1. 1
Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan
kebanyakan selsel tubuh diprogram untuk membelah 50 kali. Jika sel pada
lansia dari tubuh dan dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi, jumlah sel
sel yang akan membelah, jumlah sel yang akan membelah akan terlihat
sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal
dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti
jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem
tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan
memperbaiki diri (Azizah, 2011)
1. 2

Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)


Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia.
Proses kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan
kimia pada komponen protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa
protein (kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh
dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda.
Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang
kehilangan

fleksibilitasnya

serta menjadi lebih

tebal,

seiring dengan

bertambahnya usia (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Hal ini dapat lebih
mudah dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan
elastisitanya dan cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan
1. 3

kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah, 2011).


Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh
untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan
kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan
mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat struktur membran sel
mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi kesalahan genetik (Tortora dan
Anaggnostakos, 1990). Membran sel tersebut merupakan alat untuk
memfasilitas sel dalam berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga
mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di
dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang sangat
penting bagi proses di atas, dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel

oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan
organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem
1. 4

tubuh (Azizah, 2011).


Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan.
Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem
limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang
berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan
protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat
menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan tersebut sebagai selasing dan menghancurkannya. Perubahan
inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem
imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses
menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel

1. 5

kanker leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).


Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004),
pengurangan intake kalori pada rodentia muda akan menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah
kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau
beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang

merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon pertumbuhan.


2. Teori Psikologis
2. 1
Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya
setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap
terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang
sukses adalah meraka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial
2. 2

(Azizah, 2011).
Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity
pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan
dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga

2. 3

dan hubungan interpersonal (Azizah, 2011).


Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).

4. Definisi Geriatric Syndrome

Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan. Tampilan
klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis.
Menurut Kane RL (2008), sindrom geriatri memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
usia >60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas, polifarmasi, fungsi organ
menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan nutrisi. Hal ini sesuai dengan
karakteristik pasien dengan usia 80 tahun, memiliki gangguan hepar dan ginjal, status
fungsional di keluarga yang sudah menurun dan ditemukan adanya gangguan nutrisi
pada pasien karena menurunnya fungsi menelan.
Sindrom

geriatri

meliputi

gangguan

kognitif,

depresi,

inkontinensia,

ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka morbiditas
yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah. Sindrom ini
biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin memiliki
kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda,dan memerlukan intervensi
dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panitaetal., 2011).
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai
baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon dkk:The 13 i yang
terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual
impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan

delirium), Incontinence

(inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi), Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction
(konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan
Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan
penciuman) (Setiati dkk., 2006).
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih,
diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan
dapat mengalami patah tulang. Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin
yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan higienis.
Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu
atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang
wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di
Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Biaya yang dikeluarkan
terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,- per tahun per
pasien. Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien geriatri.
Umumnya

mereka

mengeluh

bahwa

tidurnya

tidak

memuaskan

dan

sulit

memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang usia lanjut di komunitas mengalami

insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga sepanjang malam, 19%
mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur. Gangguan
depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala
depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua.
Prevalensi depresi pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 17,5%. Deteksi dini
depresi dan penanganan segera sangat penting untuk mencegah disabilitas yang dapat
menyebabkan komplikasi lain yang lebih berat. Infeksi sangat erat kaitannya dengan
penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah
infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang
gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa
akibat proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang
dirawat di Indonesia mencapai 24,8%.Gangguan penglihatan berhubungan dengan
penurunan kegiatan waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas.
Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup,
meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul, dan mortalitas.
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering
tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala
menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri
adalah

hipertensi,

diabetes

melitus,

dislipidemia,

osteoartritis,

dan

penyakit

kardiovaskular. Penelitian multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang


dirawat inap mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2%
dan 27,2%.
5.

Klasifikasi Geriatric Syndrome


1. Klasifikasi Demensia
Klasifikasi demensia vaskuler secara klinis menurut Kelompok Studi Fungsi Luhur
PERDOSSI adalah:
a. Demensia pasca stroke
-

Demensia infark serebri

Demensia perdarahan intraserebral

b. Demensia vaskuler subkortikal


-

Lesi iskemik substansia alba

Infark lakuner subkortikal

Infark non lakuner subkortikal

Demensia vaskuler tipe campuran (Demensia Alzheimer dan Demensia


Vaskuler)

Klasifikasi demensia (Sjahrir,1999) terbagi atas 2 dimensi:


a.

Menurut umur; terbagi atas:


- Demensia senilis onset > 65 tahun
- Demensia presenilis < 65 tahun
b. Menurut level kortikal:
- Demensia kortikal
- Demensia subkorti
2. Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak
dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila
delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi.
Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu
timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula
menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan
urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi
yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin,
seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena
dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel
Blocker,

agonist

adrenergic

alfa,

analgesic

narcotic,

psikotropik,

antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab


inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
b. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,
meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis,
klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan
intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
1) Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya

tekanan

intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.


Umumnya

disebabkan

oleh

melemahnya

otot

dasar

panggul,

merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di

bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin


terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan

transurethral

dan

radiasi.

Pasien

mengeluh

mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin
yang keluar dapat sedikit atau banyak.
2) Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi
keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan
dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity).
Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia
urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan
cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk
sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga
timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75
tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama
sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress,
overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi
tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
3) Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi
kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi
anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang
atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obatobatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa
adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4) Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin (Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih
bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat
yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya,

demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau
tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi
5) Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat
diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia
tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme
kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
6) Inkontinensia Total
Inkontinensia

total

merupakan

keadaan

dimana

seseorang

mengalami

pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab

inkontinensia

total antara lain: disfungsi

neorologis,

kontraksi

independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
6.

Etiologi Geriatrik Syndrome


Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai berikut:
1. Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100gram
jaringan otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena terjadi atrofi neuron. Normal
pada dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit. Penurunan aliran darah otak hingga 23
mL/100 gram/menit dapat menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik
pembuluh darah otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas,
peningkatan refleks, tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah
yang diperdarahi karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab mekanik
maupun akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara mekanik didapatkan
bahwa pada lansia terbentuk osteofit pada vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada
arteri vertebralis yang menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu
degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi berkelok-kelok
dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan demikian gerakan leher
dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami penurunan,
sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan mengurangi aliran darah
otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan vaskuler arteriosklerosis mengurangi
perfusi otak yang menimbulkan infark lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi
atau kardiovaskuler (gagal jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan

aliran darah otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan
timbulnya angiopati.
2. Konfusio Akut dan Dementia
A. Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh
memburuknya secara mendadak derajat kesadarah dan kewaspadaan dan proses
berpikir yang berakibat terjadinya disorientasi. Hampir semua penyakit dan obatobatan menyebabkan konfusi akut, yaitu:
Hipoperfusi serebral (mis: hipotensi, infark miokardial, kondisi curah jantung
rendah, aritmia)
Hipoxia serebral (mis: pneumonia, PPOK, gagal jantung kongestif, emboli paru)
atau hiperkarbia
Dehidrasi (dehidrasi ringan , kekurangan volume intravascular)
Gangguan elektrolit ( mis: hipo dan hipernatremia, hipo dan hipercalcemia, hipo
dan hipermagnesemia)
Hipo dan hipercalcemia dan kondisi hiperosmolar
Infeksi ( mis: sistitis, urosepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi SSP s2perti
meningitis dan encephalitis)
Demam atau hipotermia
Nyeri atau ketidaknyamanan ( termasuk retensi urin atau konstipasi atau
impaksi fecal berat)
Proses intrakranial (mis: stroke, hematoma subdural, neoplasma, infeksi)
Intoksikasi atau withdrawal states (mis: alkohol, dan obat lainnya)
Efek obat yang tidak diinginkan (mis: efek kolinergik sentral, antihistamin)
Daftar kemungkinan penyebab termasuk kondisi yang biasa terjadi pada lanjut
usia ini kemungkinan tidak menyeluruh. Pada kebanyakan kasus konfusi akut atau
delirium, tidak mungkin untuk mengidentifikasi atau memastikan penyebab
tunggalnya. Lebih sering, mengidentifikasi denga faktor-faltor multipel yang
mengakibatkan, membatu ataupun memperburuk konfusi.
Pada hakekatnya semua obat yang mempengaruhi fungsi SSP mempunyai
kemungkinan mengakibatkan konfusi:
Obat-obatan Sedatif atau hinoptik (mis: benzodiazepine, barbiturat)
Analgesik (mis: opiat, OAINS?)
Penghambat histamin ( untuk gangguan GI, insomnia, pruritus, alergi)
Agen antisekretorik ( obat-obatan yang menyerupai atropinik)
Antidiare
Agen inkontinensia
Antidepresan trisiklik
Antipsikotik ( mis: chlorpromazine, thioridazine, mesoridazine)
Obat-obatan antiaritmia (mis: lidokain, prokainamid)
obat-obatan antineoplasma
B. Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual
dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan kesadaran. Biasanya dementia

tidak didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang
menurun tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive
Impairment. Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini
Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi.
Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer (5060%), dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian reversibel (2030%), dan gangguan lain (5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai berikut:
D
: drugs
E
: emotional (emosi, depresi)
M
: metabolik/endokrin
E
: eye and ear (mata dan telinga)
N
: nutrisi
T
: tumor trauma
I
: infeksi
A
: arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan
mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat
pada keluarga.
3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang
berakibat penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah hipotensi
ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus
besar. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20
mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit.Hal ini
terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi
bawah tubuh.Biasanya tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi.
Namun pada lansia dapat terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah,
gangguan barorefleks akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian
obat hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes
mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau jatuh.Penatalaksanaannya
adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi farmakologis dapat menggunakan
hormon mineralokortikoid, simpatomimetik, atau vasokonstriktor lainnya seperti
fluorokortison, kafein, pindolol. Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia
sehingga mereka rentan mengalami hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia
adalah suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium,
koma).Sementara itu hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam
jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan

kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia.
Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan
neurologik (stroke, trauma medula spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi,
lingkungan). Inkontinensia dapat akut di saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan akronim
DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi inflamasi impaksi
feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS : Delirium, Infection,
Atrophic vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine
output, Restricted mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over
active bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra (stress
type), atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder training,
pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan dapat
meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres, adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin) untuk tipe stres atau urgensi,
estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis
(betanekol), -arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi
karena pembesaran prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4
kali sehari) atau menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat
yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30%
lansia 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang
ditunjang oleh sistem sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif),
susunan saraf pusat, kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor
ekstrinsik seperti pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada
beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik,
obat-obatan (diuretik, antihipertensi, antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik,
hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan
sinkop (drop attack, penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama
pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah
dengan identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola
berjalan dan keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia
selalu harus ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana
jatuh adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko
terjadinya jatuh.
6. Kelainan tulang dan patah tulang

Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria > 80
tahun menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang yang timbul
dapat berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis yang
terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan tangan
(colles), dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau baji).
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit, menembus
otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus
menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi darah setempat.Ulkus dekubitus terjadi
terutama pada tonjolan tulang.Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan
lemak subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler
pada kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan
kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan,
daya regang, gesekan, dan kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor

di

bawah

14

berkaitan

dengan

risiko

tinggi

timbulnya

ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi


gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga
kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.
7.

Manifestasi Klinis Geriatric Syndrome


1.

Imobilisasi
- Kerusakan imobilisasi
a. Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan
b. Keterbatasan menggerakkan sendi
c. Adanya kerusakan aktivitas
d. Penurunan ADL dibantu orang lain
e. Malas untuk bergerak atau latihan mobilitas
- Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam lingkungan fisik
b. Kerusakan koordinasi
c. Keterbatasan rentang gerak
d. Penurunan kekuatan atau kontrol otot
2. Inkontinensia
a. Inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengejan, dan sebagainya.
b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nokturnal: keluarnya urin saat tidur malam hari.
3. Demensia
a. Rusaknya seluruh jajaran fungsi kognitif
b. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek
c. Gangguan kpribadian dan perilaku (mood swings)
d. Defisit neurologi dan fokal
e. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi, dan kejang
f. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waha, dan paranoid
g. Keterbatasan dalam ADL

h. Kesulitan mengatur dalam penggunaan keuangan


i. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
j. Lupa meletakkan barang penting
k. Sulit mandi, makan, berpakaian, dan toileting
l. Mudah terjatuh dan keseimbangan buruk
m. Tidak dapat makan dan menelan
n. Inkontinensia urin
o. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi
p. Gangguan orientasi waktu dan tempat
q. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar
r. Ekspresi yang berlebihan
s. Adanya perubahan perilaku, seperti acuh, menarik diri, dan gelisah
4. Penumonia
a. Batuk nonproduktif
b. Nasal discharge (ingus)
c. Suara napas lemah
d. Retraksi intercosta
e. Penggunaan otot bantu nafas
f. Demam
g. Ronchi
h. Cyanosis
i. Leukositosis
j. Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar
k. Batuk
l. Sakit kepala
m. Kekakuan dan nyeri otot
n. Sesak nafas
o. Menggigil
p. Berkeringat
q. Lelah
r. Kulit lembab
s. Mual muntah
5. Konstipasi
a. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
b. Mengejan keras saat BAB
c. Massa feses yang keras dan sulit keluar
d. Perasaan tidak tuntas saat BAB
e. Sakit pada daerah rectum saat BAB
f. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
g. Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
h. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
6. Depresi
a. Gangguan tidur
b. Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng), rasa nyeri, pandangan
kabur, gangguan saluran cerna,gangguan nafsu makan (meningkat atau
menurun), konstipasi, perubahan berat badan (menurun atau bertambah).
c. Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi

atau

hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau menurun, tidak


mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual berubah (mencakup libido
menurun), variasi diurnal dari suasana hati dan gejala biasanya lebih buruk di pagi
hari.
d. Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia, letupan
menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah, frustasi, toleransi

rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan sosial, kehilangan kenikmatan &
perhatian terhadap kegiatan yang biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian &
bunuh diri, perasaan negatif terhadap diri sendiri, persahabatan serta hubungan
sosial.
7. Malnutrisi
a. Kelelahan dan kekurangan energi
b. Pusing
c. Sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh kesulitan untuk
melawan infeksi)
d. Kulit yang kering dan bersisik
e. Gusi bengkak dan berdarah
f. Gigi yang membusuk
g. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
h. Berat badan kurang
i. Pertumbuhan yang lambat
j. Kelemahan pada otot
k. Perut kembung
l. Tulang yang mudah patah
m. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh
8. Insomnia
a. Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
b. Wajah kelihatan kusam
c. Mata merah, hingga timbul bayangan gelap di bawah mata
d. Lemas, mudah mengantuk
e. Resah dan mudah cemas
f. Sulit berkonsentrasi, depresi, ganggua memori, dan mudah tersinggung
9.

Immune Deficeincy
a. Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri
b. Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
c. Infeksi respiratorius dan oral thrushumum terjadi
d. Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi

10. Impoten
a. Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu mempertahankan ereksi
secara berulang (paling tidak selama 3 bulan).
b. Tidak mampu mencapai ereksi yang konsisten
c. Ereksi hanya sesaat dalam referensi tidak disebutkan lamanya)
8.

Penatalaksanaan Geriatric Syndrome


Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua komponen
penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian comprehensive geriatric
management (CGM). Pendekatan paripurna pasien geriatri merupakan prosedur
pengkajian multidimensi. Diperlukan instrumen diagnostik yang bersifat multidisiplin
untuk

mengumpulkan

data

medik,

psikososial,

kemampuan

fungsional,

dan

keterbatasan pasien usia lanjut. Pendekatan multidimensi berusaha untuk menguraikan

berbagai masalah pada pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset pasien,


mengidentifikasi jenis pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan rencana
asuhan yang berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna pasien
geriatri berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus pada
pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status fungsional dan
kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin (Soedjono, 2007). Berikut
beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom geriatrik, diantaranya :
1. Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka kecukupan gizi
(AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia mendapatkan bahwa 47%
usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari 80% AKG. Proporsi protein yang
adekuat merupakan faktor penting; bukan dalam jumlah besar pada sekali makan.
Hal penting lainnya adalah kualitas protein yang baik, yaitu protein sebaiknya
mengandung asam amino esensial. Leusin adalah asam amino esensial dengan
kemampuan anabolisme protein tertinggi sehingga dapat mencegah sarkopenia.
Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate (HMB). Suplementasi HMB
meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis (Setiati et al, 2013)
2. Pengaturan olah raga secara teratur. Perlu pemantauan rutin kemampuan dasar
seperti berjalan, keseimbangan, fungsi kognitif. Aktivitas fisik dapat menghambat
penurunan massa dan fungsi otot dengan memicu peningkatan massa dan kapasitas
metabolik otot sehingga memengaruhi energy expenditure, metabolise glukosa, dan
cadangan protein tubuh. Resistance training merupakan bentuk latihan yang paling
efektif untuk mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang
tua. Program resistance training dilakukan selama 30 menit setiap sesi, 2 kali
seminggu (Waters et al, 2010). Aktivitas fisik tanpa asupan nutrisi yang adekuat
menyebabkan keseimbangan protein negatif dan menyebabkan degradasi otot
(Sullivan et al, 2009). Kombinasi resistance training dengan intervensi nutrisi berupa
asupan protein yang cukup dengan kandungan leusin, khususnya HMB yang
adekuat, merupakan intervensi terbaik untuk memelihara kesehatan otot orang usia
lanjut (Setiati et al, 2013)
3. Pencegahan infeksi dengan vaksin
4. Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan elektif dan
reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi dan fisioterapi
individual (Setiati et al, 2011)
5. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien
pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia,
dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya.
Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan oleh berbagai hal

yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh
beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan pasien
tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek samping obat
justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat yang benar
pada pasien geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap, jangan
memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali
obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati
sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati mengguakan obat
baru (Setiati dkk., 2006).

Penatalaksanaan Resiko Jatuh:


a. Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kacamata) dan alat bantu dengar
(earphone)
b. Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Evaluasi kemampuan kognitif
d. Beri lansia alat bantu berjalan seperti hand rails, walkers, dsb
Penatalaksanaan Gangguan Tidur:
a. Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
b. Ciptakan lingkungan yang nyaman
c. Kurangi konsumsi kopi
d. Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15 mg)
e. Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik
9.

Pencegahan Geriatric Syndrome


Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan yaitu:
peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), diagnosis dini dan pengobatan,
pembatasan kecacatan dan pemulihan.
1. Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya promotif juga
merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien, tenaga
provesional dan masyarakat terhadap praktik kesehatan yang positif menjadi normanorma sosial. Upaya promotif di lakukan untuk membantu organ-organ mengubah
gaya hidup mereka dan bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta
mendukung pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang
perilaku hidup mereka.
Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut :

a. Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi kejadian jatuh,


mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan penggunaan alat
pengaman dan mengurangi kejadian keracunan makanan atau zat kimia.
b. Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk mengurangi
terpapar dengan bahan-bahan kimia dan meningkatkan pengunaan sistem
keamanan kerja.
c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk, bertujuan untuk
mengurangi pengunaan semprotan bahan-bahan kimia, mengurangi radiasi di
rumah, meningkatkan pengolahan rumah tangga terhadap bahan berbahaya,
serta mengurangi kontaminasi makanan dan obat-obatan.
d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang bertujuan
untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan gigi dan mulut.
2. Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat
faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jenis pelayanan
pencegahan primer adalah: program imunisasi, konseling, berhenti merokok dan
minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar rumah,
manajemen stres, penggunaan medikasi yang tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa
gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis
dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan pencegahan sekunder antara lain
adalah sebagai berikut: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker,
screening: pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala penyakit dan
cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan dengan
perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka
panjang.
3. Diagnosis dini dan Pengobatan
a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas profesional dan
petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan melakukan tes dini, skrining
kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia, memanfaatkan
Buku Kesehatan Pribadi (BKP), serta penandatangan kontrak kesehatan.
b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang terjadi
meliputi

sistem

muskuloskeletal,

kardiovaskular,

urogenital, hormonal, saraf dan integumen.

pernapasan,

pencernaan,

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia. hlm. 1335-1340.
Kelompok

Studi

Fungsi

Luhur

PERDOSSI.

Konsensus

pengenalan

dini

dan

penatalaksanaan demensia vaskuler. Edisi 2. Jakarta: Eisai; 2004; 1-7; 30; 40-41
Panita L , Kittisak S, Suvanee S, Wilawan H. 2011. Prevalence and recognition of geriatri
syndromes in an outpatient clinic at a tertiary care hospital of Thailand. Medicine
Department; Medicine Outpatient Department, Faculty of Medicine, Srinagarind
Hospital, Khon Kaen University, Khon Kaen 40002, Thailand. Asian Biomedicine.5(4):
493-497.
Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes:revisited. Semarang:Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Syarniah. 2010. Pengaruh Terapi Kelompok Reminiscene terhadap Depresi pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan. Tidak
diterbitkan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi geriatric giant
dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di Indonesia: penelitian
multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive prevention & management for the
elderly: interprofessional geriatric care. Jakarta: Perhimpunan Gerontologi Medik
Indonesia; 2013:183.
Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S, Dwimartutie
N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease in elderly: update
in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia;
2011:69-75.
Setiati S, Santoso B, Istanti R. Estimating the annual cost of overactive bladder in Indonesia.
Indones J Intern Med. 2006:38(4):189-92.
Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-related,
and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult patients: an
update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70.

S-ar putea să vă placă și