Sunteți pe pagina 1din 26

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang
sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini
lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh
manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini
di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan
masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian
penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih
dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan
China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC
terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan
bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab kematian,
sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun
1999 WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000
penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau
insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat Tuberkulosis /
TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah penderita TBC
paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua
menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap
empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Sehingga kita
harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit
TBC.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari TBC?
2.
Bagaimana penyebab penyakit TBC?
3.
Bagaimana cara Penularan TBC?
4.
Apa gejala-gejala seseorang menderita TBC?

5.
6.

Bagaimana cara penanggulangan/pencegahan TBC?


Bagaimana cara pengobatan kepada penderita TBC?

C.

Tujuan

Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Untuk mengetahui pengertian dari TBC.


Untuk mengetahui penyebab penyakit TBC.
Untuk mengetahui cara Penularan TBC.
Untuk mengetahui gejala-gejala TBC.
Untuk mengetahui cara penanggulangan/pencegahan TBC.
Untuk mengetahui cara pengobatan kepada penderita TBC.

BAB II
KONSEP DASAR
i.

Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tubeculosis.

ii.

Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui
droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase
aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei.
Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat
tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung
basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab
dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan
pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei
dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang
terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di samping

penularan

melalui

saluran

pernapasan

(paling

sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran


pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).
iii.

Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan
yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan dan tidak
menyebabkan penyakit (Dannenberg, 1981 dikutip dari Price, 1995). Setelah
berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di
bagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi
peradangan. Lekosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
mefagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah harihari pertama maka lekosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan
kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus
difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui
kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid
yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20

hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat
seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri
dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan
granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks
Ghon. Kompleks Gohn yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada
orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan
dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi
tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru
atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen
bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat
dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental
sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip
dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak
menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah
(limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai
aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan
tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke
dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.

iv.

Gambaran Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah
penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadangkadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala
respiratorik dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:

Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak
bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya
pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax,
anemia dan lain-lain.
Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi:
Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin

panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.


Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan,
akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun
jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
v.

Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik,
radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting
karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi
terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi
sebagai berikut:
1. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
-

Dengan atau tanpa gejala klinik

BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali


disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali.

Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.

2. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:


-

Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif

BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.

3. Bekas TB Paru dengan kriteria:


-

Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif

Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.

Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan


serial foto yang tidak berubah.

vi.

Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

Terapi
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati

juga mnecegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap


OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (23 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri
dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai
dengan

rekomendasi

WHO

adalah

Rifampisin,

INH,

Pirasinamid,

Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin,


Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat
Rifampisin/INH. Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada
tabel berikut:
Obat Anti TB

Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)


Per Minggu
Per Hari
3x
2x
5
10
15

Aksi

Potensi

Isoniazid (H)

Bakterisidal

Tinggi

Rifampisin (R)

Bakterisidal

Tinggi

10

10

10

Pirasinamid (Z)

Bakterisidal

Rendah

25

35

50

Streptomisin (S)

Bakterisidal

Rendah

15

15

15

Esensial

Etambutol (E)
Bakteriostatik Rendah
15
30
45
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih
dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil
pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan
sebelumnya.

Di

samping

itu

perlu

pemahaman

tentang

strategi

penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment


Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari
lima komponen yaitu:
1.

Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam


penanggulangan TB.

2.

Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung


sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis
dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana
tersebut.

3.

Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan


pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya
dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
7

4.

Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.

5.

Pencatatan dan pelaporan yang baku.

vii.

Komplikasi Pneumothorax pada Tuberkulosis Paru


Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara dalam rongga
pleura. Normalnya pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara masuk dalam rongga pleura
melalui 3 jalan, yakni:
1.

Udara atmosfir masuk ke dalam rongga pleura melalui penetrasi di


dinding dada misalnya pada trauma (pneumothorax traumatik).

2.

Pembentukan gas oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada


penyakit ifeksi paru (pneumothorax spontan)

3.

Pneumothorax artifisial yang sengaja dilakukan melalui tidakan


pembedahan pada trauma.
Penumothorax pada TB paru merupakan pneumothorax spontan yang

timbul akibat nekrosis jaringan yang menjalar sampai pinggir jaringan parut
parenkim paru, membentuk bulla yang selanjutnya robek ke dalam pleura.
Gejala Klinis Pneumothorax:
Keluhan dan gejala penumothorax tergantung pada besarnya lesi dan
ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Gejala bervariasi dari asimtomatik
yang hanya dapat dideteksi melalui foto thorax sampai timbulnya gejala
utama berupa rasa nyeri tiba-tiba dan bersifat unilateral. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan perkusi yang hipersonor, fremitus melemah sampai
menghilang, suara napas melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumothorax trakea
dan mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan
ke bawah, pada sisi yang sakit gerakan pernapasan terbatas. Fungsi respirasi
menurun sehingga dapat terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung
menurun.
Di samping berdasarkan gambaran klinis di atas, diagnosis dapat
lebih meyakinkan melalui foto thorax dengan tampaknya bayangan udara
dari pneumothorax yang berbentuk cembung dan memisahkan pleura

parietalis dengan pleura viseralis.

1.

FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN


Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan

yang perlu dikaji adalah:


1. Aktivitas/istirahat:
Gejala:
- Kelelelahan umum dan kelemahan
- Dispnea saat kerja maupun istirahat
- Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari, menggigil
dan atau berkeringat
- Mimpi buruk
Tanda:
- Takikardia, takipnea/dispnea pada saat kerja
- Kelelahan otot, nyeri, sesak (tahap lanjut)
2. Sirkulasi
Gejala:
- Palpitasi
Tanda:
- Takikardia, disritmia
- Adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal jantung akibat effusi)
- Nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal
- Tanda Homman (bunyi rendah denyut jantung akibat adanya udara dalam
mediatinum)
- TD: hipertensi/hipotensi
- Distensi vena jugularis
3. Integritas ego:
Gejala:
- Gejala-gejala stres yang berhubungan lamanya perjalanan penyakit,

masalah keuangan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya


produktivitas.
Tanda:
- Menyangkal (khususnya pada tahap dini)
- Ansietas, ketakutan, gelisah, iritabel.
- Perhatian menurun, perubahan mental (tahap lanjut)
4. Makanan dan cairan:
Gejala:
- Kehilangan napsu makan
- Penurunan berat badan
Tanda:
- Turgor kulit buruk, kering, bersisik
- Kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan
5. Nyeri dan Kenyamanan:
Gejala:
- Nyeri dada meningkat karena pernapsan, batuk berulang
- Nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin menyebar ke
bahu, leher atau abdomen.
Tanda:
- Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
6. Pernapasan:
Gejala:
- Batuk (produktif atau tidak produktif)
- Napas pendek
- Riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi
Tanda:
- Peningkatan frekuensi pernapasan
- Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada,
leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat
- Pengembangan dada tidak simetris
- Perkusi pekak dan penurunan fremitus, pada pneumothorax perkusi

10

hiperresonan di atas area yang telibat.


- Bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral
- Bunyi napas tubuler atau pektoral di atas lesi
- Crackles di atas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek
(crackels posttussive)
- Karakteristik sputum hijau purulen, mukoid kuning atau bercak darah
- Deviasi trakeal
7. Keamanan:
Gejala:
- Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi sekunder.
Tanda:
- Demam ringan atau demam akut.
8. Interaksi Sosial:
Gejala:
- Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit menular
- Perubahan aktivitas sehari-hari karena perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran
9. Penyuluhan/pembelajaran:
Gejala:
- Riwayat keluarga TB
- Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk
- Gagal untuk membaik/kambuhnya TB
- Tidak berpartisipasi dalam terapi.
Tes Diagnostik
Tes diagnostik yang dilakukan diuraikan pada tabel berikut:
Jenis Pemeriksaan

Interpretasi Hasil

Sputum:
-Kultur

Mycobacterium
pada

tahap

menetapkan

tuberculosis
aktif,

penting

diagnosa

pasti

positif
untuk
dan

melakukan uji kepekaan terhadap obat.

11

-Ziehl-Neelsen

BTA positif

Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer)

Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau


lebih) menunjukkan infeksi masa lalu
dan adanya antibodi tetapi tidak berarti
untuk menunjukkan keaktivan penyakit.

Foto thorax

Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal


pada area paru, simpanan kalsium lesi
sembuh primer, efusi cairan, akumulasi
udara, area cavitas, area fibrosa dan
penyimpangan struktur mediastinal.

Histologi

atau

kultur

jaringan Hasil

positif

dapat

menunjukkan

(termasuk bilasan lambung, urine, serangan ekstrapulmonal


cairan serebrospinal, biopsi kulit)
Biopsi jarum pada jaringan paru

Positif untuk gralunoma TB, adanya


giant cell menunjukkan nekrosis.

Darah:
-LED

Indikator stabilitas biologik penderita,


respon

terhadap

pengobatan

dan

predeksi tingkat penyembuhan. Sering


meningkat pada proses aktif.
-Limfosit

Menggambarakan

status

imunitas

penderita (normal atau supresi)


-Elektrolit

Hiponatremia

dapat

terjadi

akibat

retensi cairan pada TB paru kronis luas.

12

-Analisa Gas Darah

Hasil bervariasi tergantung lokasi dan


beratnya kerusakan paru

Tes faal paru

Penurunana kapasitas vital, peningkatan


ruang mati, peningkatan rasio udara
residu

dan

kapasitas

paru

total,

penurunan saturasi oksigen sebagai


akibat dari infiltrasi parenkim/fibrosis,
kehilangan jaringan paru dan penyaki
pleural

2.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d
penurunan imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret,
malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari
pemajanan patogen.
2. Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru
(akumulasi udara, nyeri dada, proses inflamasi.)
3. Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang
kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema
trakeal/faringeal.
4. (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan
jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran
alveolar-kapiler, edema bronkial.
5. Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem
drainase dada, kurang pengetahuan tentang pengamanan
drainase.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
anoreksia, peningkatan status metabolisme (penyakit
kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.
7. Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan
kambuh dan perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau
salah

interpretasi
13

terhadap

informasi,

keterbatasan

kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

3.

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan


imunitas, penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang
pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji fase patologis penyakit (aktif/tidak aktif) dan potensi
penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk,
bersin, meludah, bicara, tertawa.
-

Membantu klien menyadari/menerima perlunya mematuhi program


pengobatan untuk mencegah reaktivasi dan komplikasi.
2. Jelaskan

penyebab

penyakit,

proses

dan

upaya

pencegahan penularan yang dapat dilakukan klien


(Anjurkan klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan
sekret pada tisu sekali pakai dan menghindari meludah).
-

Pemahaman klien tentang bagaimana penyakit disebarkan dan


kesadaran kemungkinan transmisi dapat membantu klien dan orang
terdekat mengambil langkah untuk mencegah penularan kepada
orang lain.
3. Identifikasi orang lain yang berisiko (anggota keluarga,
teman karib)
-

Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk


mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
4. Identifikasi faktor risiko individu terhadap reaktivasi
tuberkulosis (alkoholisme, merokok, malnutrisi, minum
obat imunosupresant/kortikosteroid, adanya penyulit DM)

Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah


pola hidup dan menghindari hal-hal yang dapat menghambat
penyembuhan penyakit.
5. Awasi peningkatan suhu tubuh klien

14

Reaksi demam merupakan indikator adanya infeksi lanjut.


6. Tekankan pentingnya melanjutkan terapi obat sesuai
jangka waktu yang diprogramkan.

Fase aktif berakhir 2-3 hari setelah periode kemoterapi awal tetapi
pada caverne atau lesi yang luas risiko penyebaran infeksi dapat
berlanjut sampai 3 bulan.
7. Tekankan pentingnya mengikuti pemeriksaan ulangan
(kultur, BTA, foto thoraks) sesuai jadual yang ditetapkan.

Pemeriksaan diagnostik tersebut merupakan satu-satunya alat


evaluasi keberhasilan terapi, bukan berdasarkan kemajuan klinis
penyakit.

2. Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara
dalam rongga pleura, nyeri dada, proses inflamasi)
Intervensi dan Rasional:
1.

Identifikasi

etiologi/faktor

pencetus

(kolaps

spontan,

trauma,

keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi mekanik)


-

Pemahaman penyebab kolaps paru penting untuk pemasangan WSD


yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lainnya.

2.

Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis


dan perubahan tanda vital
-

Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai


akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya
syok akibat hipoksia.

3.

Auskultasi bunyi napas.


-

Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang meliputi
satu lobus, segmen paru atau seluruh area paru (unilateral).

4.

Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.


-

Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi
yang sehat pada tension pneumothorax.

5.

Kaji fremitus.
-

Suara dan taktil fremitus menurun pada jaringan yang terisi cairan

15

dan udara seperti pada pneumothorax.


6.

Kaji area nyeri bila klien batuk atau napas dalam.


-

Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih


efektif dan mengurangi trauma.

7.

Pertahankan posisi nyaman (biasanya dengan meninggikan kepala


tempat tidur). Balik ke sisi yang sakit dan dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.
-

Meningkatkan inspirasi minimal, meningkatkan ekspansi paru dan


ventilasi pada sisi yang sehat.

8.

Bila dipasang WSD:

8.1 Periksa pengontrol penghisap, jumlah hisapan yang benar.


- Mempertahankan tekanan negatif intrapleural yang meningkatkan
ekspansi paru optimum.
8.2 Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang
ditentukan.
- Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah
udara atmosfir masuk kedalam pleura.
8.3 Observasi gelembung udara dalam botol penampung
- Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara
dari pleura sesuai dengan yang diharapkan. Gelembung biasanya
menurun seioring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak
adanya gelembung udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru
sudah optimal atau tersumbatnya selang drainase.
9.

Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril,
observasi tanda yang dapat menunjukkan berulangnya pneumothorax
seperti napas pendek, keluhan nyeri.
-

Deteksi dini terjadinya komplikasi penting seperti berulangnya


pneumothorax.

3. Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental,
hemoptisis, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Intervensi dan Rasional:

16

1.

Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan


penggunaan otot asesori)
-

Penurunan

bunyi

napas

menunjukkan

atelektasis,

ronkhi

menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran


sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot
aksesori dan peningkatan kerja pernapasan..
2.

Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum


dan adanya hemoptisis.
-

Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi
yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi)
paru atau luka bronkial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.

3.

Berikan posisi semi/fowler tinggi dan bantu pasien latihan napas dalam
dan batuk yang efektif.
-

Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya


bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk
dikeluarkan.

4.

Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak


diindikasikan.
-

Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan


mengefektifkan pembersihan jalan napas.

5.

Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, bila perlu lakukan penghisapan
(suction)
-

Mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila


pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

6.

Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi seperti agen mukolitik,


bronkodilator dan kortikosteroid.
-

Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret


paru untuk memudahkan pembersihan.

Bronkodilator

meningkatkan

diameter

lumen

percabangan

trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.


-

Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia

17

dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.


4. (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif
paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.
Intervensi dan Rasional:
1.

Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,


ekspansi thorax dan kelemahan.
-

TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil


bronkopenumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi
pleura dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan
bervariasi dari gejala ringan , dispnea berat dampai distres
pernapasan.

2.

Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan


warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
-

Akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat


menggangu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.

3.

Tunjukkan dan dorong pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya


untuk pasien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
-

Membuat

tahanan

melawan

udara

luar

untuk

mencegah

kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan


udara melalui paru dan mengurangi napas pendek
4.

Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas dan bantu kebutuhan perawatan


diri sehari-hari sesuai keadaan pasien.
-

Menurunkan

konsumsi

oksigen

selama

periode

penurunan

pernapsan dan dapat menurunkan beratnya gejala.


5.

Kolaborasi pemeriksaan AGD


-

Penurunan kadar O2 (PaO2) dan atau saturasi, peningkatan PaCO2


menunjukkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program terapi.

6.

Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.


-

Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat


penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.

5. Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada,

18

kurang pengetahuan tentang pengamanan drainase.


Intervensi dan Rasional:
1.

Diskusikan dengan klien tujuan/fungsi pemasangan drainase dada.


-

Informasi tentang bagaimana sistem kerja dan tujuan drainase


memberi rasa tenang kepada klien dan mengurangi ansietas.

Pastikan keamanan unit drainase (sambungan selang, kemungkinan


terlepas, terlipat/tersumbat, teregang)
-

Memastikan selang tidak terlepas atau teregang yang dapat


menimbulkan rasa nyeri pada klien serta memastikan funsi drainase
berjalan semestinya.

3.

Awasi sisi lubang insersi pemasangan selang, amati kondisi kulit, ganti
kasa pentup steril setiap hari atau setiap kali bila kotor atau basah.
-

Tindakan deteksi dini komplikasi pemasangan drainase dan


mencegah komplikasi lebih lanjut.

4.

Pastikan keamanan pemasangan drainase bila klien harus meninggalkan


unit perawatan untuk tujuan pemeriksaan atau terapi (periksa batas
cairan dalam botol, ada tidaknya gelembung udara, perlu tidaknya
selang diklem sementara).
-

Meningkatkan kontinuitas evaluasi optimal selama pemindahan.

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia,


peningkatan status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan,
dispnea, asupan yang tidak adekuat.
Intervensi dan Rasional:
1.

Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan
berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat
mual/muntah dan diare.
-

Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan


pilihan intervensi yang tepat.

2.

Fasilitasi klien memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai


indikasi)
-

Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan

19

nutrisi.
3.

Pantau asupan dan haluaran, timbang berat badan secara periodik


(sekali seminggu).
-

4.

Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.

Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan


serta sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan peroral.
-

Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau
obat untuk mengobatan sistem respirasi yang dapat merangsang
pusat muntah.

5.

Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
-

Memaksimalkan asupan nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar


serta menurunkan iritasi saluran cerna.

6.

Kolaborasi dengan ahli diet untuk menetapkan komposisi dan jenis diet
yang tepat.
-

Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk


memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehuvungan
dengan status hipermetabolik klien.

7. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein


serum dan albumin.
-

Menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi


selanjutnya.

7. Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan


perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi
terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya
informasi yang ada.
Intervensi dan Rasional:
1.

Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat


kecemasan, kelelahan umum, pengetahuan klien sebelumnya, suasana
yang tepat).
-

Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik,


emosional dan lingkugan yang kondusif.

20

2.

Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan


dan alasan mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
-

Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobtan dan


mencegah putus berobat karena membaiknya kondisi fisik klien
sebelum jadual terapi selesai.

3.

Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda


reaktivasi penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas,
kehilangan pendengaran, vertigo).
-

Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek


obat yang memerlukan evaluasi lanjut.

4.

Tekankan

pentingnya

mempertahankan

asupan

nutrisi

yang

mengandung protein dan kalori yang tinggi serta asupan cairan yang
cukup setiap hari.
-

Diet TKTP dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan


kebutuhan metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal
tersebut

meningkatkan

kemandirian

klien

dalam

perawatan

penyakitnya.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman
terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin
(dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada

21

dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada
bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis.
2. Saran
Dengan makalah ini diharapkan pembaca khususnya

mahasiswa

keperawatan dapat mengerti dan memahami serta menambah wawasan tentang


Asuhan keperawatan pada klien dengan TB Paru.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6,
EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,
EGC, Jakarta
Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab.

22

Ilmu Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.


Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, BP FKUI, Jakarta.

MAKALAH
KEPERAWATAN DEWASA I
ASUHAN KEPERAWATAN TUBERCULOSIS

23

Disusun Oleh :
RIKA

( 010215A057 )

SYAMSUL AZAR

( 010215A065 )

WOKO HENDRIYANTO

( 010215A073 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa
pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah Keperawatan
Dewasa I yang telah memberikan tugas ini kepada kami sebagai upaya untuk
menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.
Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari

24

kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, untuk itu,
kami mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Wassalam...

DAFTAR ISI
ii
...............................................................................i

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi

..............................................................................ii
.........................................................................................iii

Bab I Pendahuluan

...........................................................................1

A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan

..........................................................................1
....................................................................1
.......................................................................2

BAB II Konsep Dasar

....................................................................3

A. Pengertian
B. Proses Penularan
C. Patofisiologi

.....................................................................................3
................................................................................3
..............................................................................3

25

D. Gambaran Klnik
......................................................................5
E. Klasifikasi
...........................................................6
F. Terapi
...............................................................................7
G. Komplikasi
...........................................................8
ASUHAN KEPERAWATAN
..........................................................9
A. Pengkajian
.................................................................................9
B. Diagnosa
.................................................................................13
C. Intervensi dan Rasionalisasi........................................................................14
BAB III Penutup
Daftar pustaka

...................................................................................22
.................................................................................23

iii

26

S-ar putea să vă placă și