Sunteți pe pagina 1din 27

BAB I

PENDAHULUAN

Cardiorespiratory arrest merupakan salah satu kegawatdaruratan medis.


Cardiorespiratory arrest atau disebut sebagai cardiac arrest menyebabkan
penurunan kesadaran mendadak akibat berkurangnya aliran darah yang adekuat ke
otak. Sebuah konsensus internasional, International Liaison Committee on
Resuscitation menyebutkan bahwa cardiac arrest sebagai penghentian aktivitas
mekanik jantung, yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi. Hal ini
menekankan bahwa cardiac arrest merupakan sindroma klinis yang terdiri atas
hilangnya pulsasi dan berhentinya nafas secara mendadak. 1
Cardiorespiratory arrest tidak dapat diprediksi, dapat terjadi pada semua
usia, kapan saja, dan dimana saja.2 Menurut America Heart Association (2013),
insiden cardiorespiratory arrest di luar rumah sakit yang terjadi di Amerika
Serikat berjumlah sekitar 360.000 kejadian sedangkan di dalam rumah sakit
berkisar 200.000 kejadian.3 Sekitar 250 orang meninggal dunia per harinya akibat
cardiorespiratory arrest di Inggris dan kurang dari 5% korban yang bertahan di
luar rumah sakit.4
Umumnya cardiorespiratory arrest banyak terjadi pada usia diatas 35
tahun.5 Cardiorespiratory arrest pada usia muda (tanpa serangan jantung atau
gagal jantung sebelumnya) biasanya diturunkan atau disebabkan oleh aritmia
kongenital seperti Wolff-Parkinson-White Syndrome, long QT Syndrome dan
Sindroma Brugada.4 Seseorang yang mempunyai faktor risiko seperti adanya
serangan jantung sebelumnya, pernah mengalami kejadian serupa, riwayat
keluarga dan gagal jantung memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami
cardiorespiratory arrest. Meskipun adanya riwayat penyakit jantung merupakan
penyebab utama, banyak korban ternyata tidak mempunyai keluhan terkait
penyakit jantung sebelumnya.6

Berhentinya jantung menjalankan fungsinya akan mengarahkan seseorang


pada kematian apabila tidak dilakukan pertolongan secepat dan setepat mungkin.
Pertolongan dasar sederhana yang dapat dilakukan ialah dengan resusitasi jantung
paru (RJP). RJP dapat dilakukan oleh masyarakat awam sekalipun. Apabila
seseorang mengalami henti jantung dan nafas mendadak, resusitasi jantung paru
merupakan tindakan awal untuk mempertahankan suplai oksigen ke otak dan
organ

lainnya.

Oleh

sebab

itu,

edukasi

kepada

masyarakat

tentang

cardiorespiratory arrest dan resusitasi jantung paru sebagai bentuk pertolongan


dasar sangat perlu dilakukan. Tindakan yang cepat dan tepat dapat menyelamatkan
banyak jiwa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi dan fisiologi jantung

Jantung berukuran sekitar satu kepalan tangan (panjang 12cm dan lebar 9cm)
dan terletak di dalam rongga dada, di belakang tulang sternum, tepatnya di ruang
mediastinum diantara kedua paru-paru dan bersentuhan dengan diafragma. Batas
kanan jantung tepat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis
kelima kiri pada linea mid clavicular. Batas atas jantung dibentuk oleh ventrikel
kiri, mengarah ke bawah, depan dan kiri.7
Jantung terdiri atas 4 ruang, ventrikel kanan dan kiri merupakan ruang
pompa utama sedangkan atrium kanan dan kiri mengantarkan darah ke masingmasing ventrikel.7
1. Atrium Kanan
Atrium kanan berada pada bagian kanan jantung dan terletak sebagian
besar di belakang sternum. Darah memasuki atrium kanan melalui:7
a. Vena cava superior pada ujung atasnya
b. Vena cava inferior pada ujung bawahnya
c. Sinus coronarius (vena kecil yang mengalirkan darah dari jantung sendiri)
2. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan adalah ruang berdinding tebal yang membentuk sebagian
besar sisi depan jantung. Terdapat katup atrioventricular dextra (tricuspidalis)
mengelilingi lubang atrioventrikular kanan, pada sisi ventrikel. Katup trikuspidalis

terdiri dari tiga daun katup. Basis setiap daun katup melekat pada tepi lubang.
Tepi bebas setiap daun katup melekat pada chordae tendineae (tali jaringan ikat
tipis) pada penonjolan kecil jaringan ototyang keluar dari myocardium dan
menonjol ke dalam ventrikel. Lubang pulmonalis ke dalam arteria pulmonalis
berada pada ujung atas ventrikel dan dikelilingi oleh valva pulmonalis, terdiri dari
tiga daun katup semilunaris.7
3. Atrium Kiri
Atrium kiri adalah ruang berdinding tipis yang terletak pada bagian
berlakang jantung. Dua vena pulmonalis memasuki atrium kiri pada tiap sisi,
membawa darah dari paru. Atrium membuka ke bawah ke dalam ventrikel kiri
melalui lubang atrioventrikular. Auricula sinistra adalah penonjolan runcing kecil
dari atrium, terletak pada sisi kiri pangkal aorta.7
4. Ventrikel Kiri
Ventrikel kiri adalah ruang berdinding tebal pada bagian kiri dan belakang
jantung. Dindingnya sekitar tiga kali lebih tebal daripada ventrikel kanan. Katup
atrioventrikular sinistra (mitralis) mengelilingi lubang atrioventrikular kiri pada
bagian samping ventrikel, tepinya melekat pada chordae tendineae, yang melekat
pada penonjolan kerucut myocardium dinding ventrikel. Lubang aorta membuka
dari ujung atas ventrikel ke dalam aorta dan dikelilingi oleh ketiga daun katup
aorta, sama dengan katup pulmonalis.7

(A)

(B)

Gambar 1. Empat ruang pada jantung: (A) ventrikel dan atrium kanan
(B) ventrikel dan atrium kiri
Dikutip dari Wolters Kluwer. 2016. Pathophysiology of Heart Disease, 5-6
Pembuluh Darah Besar Jantung
Ada beberapa pembuluh besar yang perlu diketahui, yaitu:8
1. Vena cava superior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari bagian
atas diafragma menuju atrium kanan.
2. Vena cava inferior, yaitu vena besar yang membawa darah kotor dari bagian
bawah diafragma ke atrium kanan.
3. Sinus Coronary, yaitu vena besar di jantung yang membawa darah kotor dari
jantung sendiri.
4. Pulmonary Trunk,yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah kotor dari
ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
5. Arteri Pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa darah
kotor dari pulmonary trunk ke kedua paru-paru.
6. Vena pulmonalis, dibagi menjadi 2 yaitu kanan dan kiri yang membawa darah
bersih dari kedua paru-paru ke atrium kiri.
7. Assending Aorta, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah bersih dari
ventrikel kiri ke arkus aorta ke cabangnya yang bertanggung jawab dengan organ
tubuh bagian atas.
8. Desending Aorta,yaitu bagian aorta yang membawa darah bersih dan
bertanggung jawab dengan organ tubuh bagian bawah.

Arteri Koroner
Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan jantung
sendiri, karena darah bersih yang kaya akan oksigen dan elektrolit sangat penting
sekali agar jantung bisa bekerja sebagaimana fungsinya. Apabila arteri koroner
mengalami pengurangan suplainya ke jantung atau yang di sebut dengan iskemia,
maka fungsi jantung akan terganggu. Apabila arteri koroner mengalami sumbatan
total, serangan jantung mendadak atau infark miokardiak bahkan kematian dapat
terjadi. Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik, dimana
muara arteri koroner berada dekat dengan katup aorta atau tepatnya di sinus
valsava.7
Arteri koroner dibagi dua bagian utama,yaitu:
1. Arteri Koroner kiri
Arteri koroner kiri berjalan diantara arteri pulmonalis dengan auricula
sinistra, mempunyai 2 cabang yaitu LAD (Left Anterior Desenden) dan arteri
sirkumflek. Kedua arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis
eksterna, yaitu sulcus coronary atau sulcus atrioventrikuler yang melingkari
jantung diantara atrium dan ventrikel, yang kedua yaitu sulcus interventrikuler
yang memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini dibagian
permukaan posterior jantung yang merupakan bagian dari jantung yang sangat
penting yaitu kruks jantung. Nodus AV node berada pada titik ini.
LAD arteri bertanggung jawab untuk mensuplai darah untuk otot ventrikel kiri
dan kanan, serta bagian interventrikuler septum. Arteri sirkumflex bertanggung
jawab untuk mensuplai 45% darah untuk atrium kiri dan ventrikel kiri, 10%
bertanggung jawab mensuplai SA node.
Cabangnya:
1. Ramus interventricularis anterior pada septum interventricularis
2.

Ramus cicumflexus cabang dari ramus marginalis sinistra

3.

Ramus nodi sinuatrialis


4. Ramus nodi atrioventricularis
2. Arteri Koroner Kanan

Arteri koroner kanan bertanggung jawab mensuplai darah ke atrium kanan,


ventrikel kanan,permukaan bawah dan belakang ventrikel kiri, 90% mensuplai AV
Node dan 55% mensuplai SA Node. Berjalan dalam sulcus coronarius dibawah
auricula dextra dan mengelilingi cor ke posterior.
Cabang:
1. Ramus coni arteriosus
2. Ramus nodi sinusatrialis untuk atrium dextra dan SA node
3. Ramus marginalis dextra di tepi inferior menuju apex
4. Ramus interventricularis posterior pada sul interventricularis posterior
5. Ramus transversus anastomose r.circum a.coronaria sinistra
6. Ramus nodi atrioventricularis untuk nodus AV

Gambar 2. Anatomi arteri koroner


Dikutip dari Wolters Kluwer. 2016. Pathophysiology of Heart Disease, 8
Fisiologi Jantung
Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh
potensial aksi yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung berkontraksi
atau berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkan sendiri,
suatu sifat yang dikenal dengan otoritmisitas. Kontraksi otot jantung dimulai
dengan adanya aksi potensial pada sel otoritmik. Penyebab pergeseran potensial

membran ke ambang masih belum diketahui. Secara umum diperkirakan bahwa


hal itu terjadi karena penurunan siklis fluks pasif K+ keluar yang langsung
bersamaan dengan kebocoran lambat Na+ ke dalam. Di sel sel otoritmik
jantung, antara potensial potensial aksi permeabilitas K+ tidak menetap seperti
di sel saraf dan sel otot rangka. Permeabilitas membran terhadap K+ menurun
antara potensial potensial aksi, karena saluran K+ diinaktifkan, yang
mengurangi aliran keluar ion kalium positif mengikuti penurunan gradien
konsentrasi mereka.Karena influks pasif Na+ dalam jumlah kecil tidak berubah,
bagian dalam secara bertahap mengalami depolarisasi dan bergeser ke arah
ambang.Setelah ambang tercapai, terjadi fase naik dari potensial aksi sebagai
respon terhadap pengaktifan saluran Ca2+ dan influks Ca2+ kemudian; fase ini
berbeda dari otot rangka, dengan influks Na+ bukan Ca2+ yang mengubah
potensial aksi ke arah positif. Fase turun disebabkan seperti biasanya, oleh efluks
K+ yang terjadi karena terjadi peningkatan permeabilitas K+ akibat pengaktifan
saluran K+.Setelah potensial aksi usai, inaktivasi saluran saluran K+ ini akan
mengawali depolarisasi berikutnya. Sel sel jantung yang mampu mengalami
otortmisitas ditemukan pada nodus SA, nodus AV, berkas His dan serat purkinje.
Sebuah potensial aksi yang dimulai di nodus SA pertama kali akan menyebar ke
atrium melalui jalur antar atrium dan jalur antar nodus lalu ke nodus AV. Karena
konduksi nodus AV lambat maka terjadi perlambatan sekitar 0,1 detik sebelum
eksitasi menyebar ke ventrikel. Dari nodus AV, potensial aksi akan diteruskan ke
berkas His sebelah kiri lalu kanan dan terakhir adalah ke sel purkinje.7

Gambar 3. Sistem konduksi jantung


Dikutip dari Wolters Kluwer. 2016. Pathophysiology of Heart Disease, 7

2.2

Cardiorespiratory arrest

2.2.1

Definisi
Cardiorespiratory arrest atau sering disebut sebagai cardiac arrest

merupakan kondisi dimana jantung seseorang berhenti memompakan darah ke


seluruh tubuh (henti jantung) dan berhenti bernafas secara normal (henti nafas). 1
Cardiorespiratory arrest dipicu oleh adanya gangguan konduksi listrik di jantung
akibat irama jantung iregular (aritmia). Dengan adanya gangguan fungsi pompa,
jantung tidak dapat memompakan darah ke otak, paru dan organ lainnya.
Cardiorespiratory arrest ditandai dengan penurunan kesadaran mendadak yang
disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak yang adekuat akibat kegagalan
fungsi pompa jantung.2
2.2.2

Prevalensi
Cardiorespiratory arrest tidak dapat diprediksi, dapat terjadi pada siapa

saja, kapan dan dimanapun. Menurut AHA (2013), tercatat 359.400 kejadian
cardiorespiratory arrest yang terjadi di luar rumah sakit di Amerika Serikat.
Sedangkan insiden cardiorespiratory arrest di rumah sakit berjumlah 209.000
kejadian tiap tahunnya. Insiden kematian akibat henti jantung di rumah sakit pada
orang dewasa dilaporkan sebesar 0,174 0,087 per tempat tidur per tahun.
Penyebabnya antara lain aritmia, distres pernafasan, hipotensi atau infark
miokardium. Sekitar 1,9/1000 orang yang mengalami kejadian ini per tahunnya di
US berusia 50 79 tahun.2 Di Eropa, insiden cardiorespiratory arrest dilaporkan

sebesar 1/1000 populasi (populasi di Eropa = 455.489.113), yang berarti terdapat


sekitar 450.000 kejadian henti jantung nafas terjadi di luar rumah sakit. Tercatat
sebanyak 250 orang per harinya di Inggris meninggal akibat cardiorespiratory
arrest dan kurang dari 5% korban di luar rumah sakit yang tetap bertahan hidup. 4
Selain itu, insiden henti jantung pada anak-anak dilaporkan sebanyak 2,6-19,7
kasus per 100.000 anak per tahunnya. Biasanya penyebab henti jantung mendadak
pada anak-anak disebabkan oleh trauma, sudden infant death syndrome, gangguan
pernafasan dan fibrilasi ventrikel sebagai fokus utama penyebab kematian akibat
henti

jantung

pada

anak.

Akan

tetapi,

anak-anak

yang

mengalami

cardiorespiratory arrest dengan riwayat trauma memiliki prognosis yang lebih


buruk.5
2.2.3

Etiologi
Cardiorespiratory arrest adalah penghentian fungsi mekanis jantung

secara mendadak yang bersifat reversibel, sehingga bila tidak dilakukan intervensi
segera maka akan menuju kematian jantung yang irreversibel (sudden cardiac
death).1 Di negara barat, adanya kelainan jantung menjadi penyebab dominan
kematian mendadak pada orang dewasa. Berdasarkan hasil analisis retrospektif
disebutkan bahwa 88% kematian mendadak di Amerika Serikat disebabkan oleh
kelainan jantung. Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan
konduksi listrik di dalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang
mengontrol irama jantung tetap normal. Adanya gangguan pada sistem konduksi
menyebabkan irama jantung abnormal yang disebut aritmia. Fibrilasi ventrikel
adalah aritmia yang paling sering ditemukan pada orang dewasa yang meninggal
dunia mendadak. Selain gangguan sistem konduksi listrik jantung, henti jantung
bisa terjadi apabila sinyal listrik jantung menjadi melambat dan berhenti. Henti
jantung juga dapat terjadi jika otot jantung tidak merespon sinyal listrik yang
diberikan. Beberapa penyakit dan kondisi dapat menyebabkan masalah konduksi
listrik di jantung yang mengarah ke henti jantung, yakni penyakit jantung koroner,
kelainan jantung yang diturunkan, perubahan struktur jantung dan beberapa
penyakit lainnya seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.8

Gambar 4. Etiologi Cardiorespiratory Arrest


Dikutip dari Harrisons Principles of Internal Medicine Ed 19th. 2015.
Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest and Sudden Cardiac Death, 1765

2.2.4

Faktor Risiko
Secara keseluruhan insiden kematian jantung mendadak di Amerika

Serikat sekitar 1-2 orang per 1000 populasi. Sedikitnya 50% dari seluruh kematian
jantung mendadak disebabkan oleh penyakit jantung koroner (PJK).
Faktor-faktor risiko terjadinya henti jantung antara lain usia, jenis kelamin,
ras, faktor keturunan serta pola hidup. Insiden henti jantung meningkat seiring
bertambahnya usia. Puncak awal insiden henti jantung ialah sejak lahir sampai
usia 6 bulan, yang umumnya disebabkan oleh sudden infant death syndrome
(SIDS) kemudian merosot tajam dan tetap rendah hingga pada masa kanak-kanak
dan remaja. Sepanjang masa kanak-kanak dan dewasa muda, insiden kematian
jantung mendadak kira-kira 1/100000 populasi per tahun. Insiden mulai
meningkat pada usia > 30 tahun, mencapai puncak kedua pada usia 45-75 tahun,
yakni 1-2/1000 populasi per tahun. Dari usia 1-13 tahun, hanya 1 dari 5 kematian
mendadak disebabkan oleh adanya kelainan jantung. Peningkatan usia terkait
dengan peningkatan risiko kematian jantung mendadak. Hal ini ditunjukkan pada
gambar di bawah ini.9

Gambar 5. Usia Terkait Risiko Kematian Jantung Mendadak


Dikutip dari Harrisons Principles of Internal Medicine Ed 19th. 2015.
Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest and Sudden Cardiac Death, 1766

Diantara usia 14-21 tahun, proporsi kematian akibat penyakit jantung


meningkat hingga 30% dan mencapai 88% pada usia pertengahan-tua. Kejadian
henti jantung 100 kali lipat menurun pada usia < 30 tahun daripada usia > 35
tahun. Jenis kelamin juga merupakan faktor risiko terjadinya henti jantung. Lakilaki dan perempuan usia muda-pertengahan memiliki perbedaan kecenderungan
untuk mengalami kematian jantung mendadak, namun pengaruh ini berkurang
bahkan hilang seiring dengan bertambahnya usia. Risiko terjadinya kematian
akibat henti jantung mendadak sejalan dengan risiko menderita penyakit jantung
koroner (PJK), sehingga umumnya laki-laki lebih banyak menjadi korban.
Namun, saat usia mendekati dekade enam sampai delapan, perbedaan risiko PJK
antara laki-laki dan perempuan semakin kecil sehingga risiko laki-laki untuk
mengalami henti jantung mendadak menurun secara progresif sedangkan risiko
perempuan meningkat pasca menopause. Selain itu, sebuah studi menemukan
bahwa Ras Africa-Amerika memiliki risiko kematian jantung mendadak lebih
tinggi dibanding Ras Hispanik.9
Faktor genetik juga ikut terlibat terhadap risiko henti jantung terkait
dengan penyakit jantung koroner. Faktor keturunan ternyata mempengaruhi
destabilisasi plak, trombosis dan aritmogenesis pada perjalanan penyakit jantung
koroner. Sebuah studi mengungkapkan bahwa kematian jantung mendadak
merupakan manifestasi PJK dalam keluarga. Pola hidup yang tidak sehat seperti
merokok merupakan faktor risiko kematian jantung yang dapat dicegah.
Diperkirakan sebanyak 438.000 orang di Amerika Serikat meninggal tiap
tahunnya akibat rokok. Efek merugikan rokok antara lain peningkatan kadar
katekolamin plasma, detak jantung, dan tekanan darah arterial; spasme arteri
koroner dan peningkatan kerja miokardium serta kebutuhan oksigen seiring
dengan berkurangnya suplai oksigen menyebabkan penurunan ambang batas
fibrilasi ventrikel.10
2.2.5

Patofisiologi

Patofisiologi henti jantung bergantung pada etiologi yang mendasarinya.


Mekanisme elektrik henti jantung dibagi menjadi takiaritmia dan bradiaritmiaasistol. Takiaritmia termasuk fibrilasi ventrikel (VF) dan pulseless or sustained
VT, menyebabkan cardiac output inefektif sehingga perfusi tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Sedangkan asistol merupakan bradiaritmia berat,
yang menunjukkan berhentinya aktivitas listrik yang berlangsung lama. Fibrilasi
ventrikel merupakan penyebab paling umum yang memicu henti jantung.
Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan
jantung kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume
sekuncup jantung akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi
kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain.
Abnormalitas arteri koroner merupakan penyebab 80% kematian jantung
mendadak sedangkan 10-15% disebabkan oleh kardiomiopati non iskemik. Studi
patologi korban yang mengalami kematian akibat henti jantung menunjukkan
bahwa penyempitan pembuluh darah koroner oleh plak aterosklerotik cenderung
menjadi penyebab utama. Berdasarkan suatu laporan autopsi, 81% dari 220
korban menderita penyakit jantung koroner yang menyebabkan kelainan struktur
dan fungsi vaskularisasi koroner karena aterosklerosis beserta perubahan
elektrofisiologi sebagai dampak iskemik miokardium. Henti jantung yang terjadi
akibat iskemik sementara atau infark miokardium akut memiliki perbedaan
fisiologi dan prognosis untuk risiko henti jantung bergantung pada infark
miokardium sebelumnya dengan atau tanpa kardiomiopati iskemik kemudian.
Secara umum, risiko jangka pendek yang mengancam kehidupan lebih berkaitan
dengan iskemia akut atau fase akut infark miokardium sedangkan risiko jangka
panjang lebih berhubungan dengan iskemia sementara, terbentuknya jaringan
parut pada miokardium, remodelling, kardiomiopati iskemik dan henti jantung.
Fibrilasi ventikular dapat disebabkan oleh iskemia sementara atau infark
miokardium akut. Banyak studi menunjukkan bahwa keadaan iskemia
miokardium suatu substrat yang dapat memicu aritmia. Pada jaringan yang
iskemik, bisa saja diawali takikardia ventrikel kemudian menjadi fibrilasi
ventrikel. Keadaan aritmogenik iskemik miokardium menyebabkan konduksi

melambat dan blokade konduksi secara tidak langsung. Iskemia juga


meningkatkan kerja serabut purkinje dan serat-serat otot miokardium secara
otomatis serta berhubungan dengan gangguan homeostasis Ca2+ dan meningkatkan
pelepasan katekolamin terkait dengan non-re-entrant arrhytmia.
Aritmia ventrikular muncul dalam 30 menit pertama (2 fase) setelah oklusi
total arteri koroner. Fase pertama terjadi segera setelah oklusi arteri koroner yang
berlangsung selama 2-10 menit yang disebut fase Ia; fase kedua (Ib) terjadi
selama 15-20 menit. Pada fase Ia, aritmia ditandai dengan konduksi melambat dan
aktivasi otot subepicardial tertunda sedangkan pada fase Ib terjadi pelepasan
katekolamin, ventrikel aritmia terjadi akibat mekanisme non re-entrant, seperti
abnormal automaticity dan aktivitas yang dipicu.

Gambar 6. Patofisiologi takiaritmia ventrikel pada penyakit jantung koroner


Dikutip dari Braunwalds Heart Disease. 2012. Cardiac Arrest and Sudden
Cardiac Death, 854
Infark miokardium terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke
otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah material (plak) yang

terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk
sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh
suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat
terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi
jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung
dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.8
2.2.6

Diagnosis
Cardiorespiratory arrest didefinisikan sebagai berhentinya fungsi mekanis

jantung secara mendadak, yang mungkin dapat reversibel dengan intervensi cepat
namun

dapat

menyebabkan

kematian

apabila

tidak

ada

intervensi.

Cardiorespiratory arrest membutuhkan tindakan emergensi secepat mungkin,


oleh sebab itu, diagnosa cardiorespiratory arrest ditegakan setelah serangan
terjadi. Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.11
a.
Anamnesis
Didapatkan

secara

aloanamnesis.

Dapat

diawali

dengan

riwayat

peningkatan angina, dispneu, palpitasi, mudah Ielah, dan keluhan tidak spesifik
lainnya. Akan tetapi gejala prodromal umumnya prediktif untuk penyakit jantung,
namun tidak spesifik untuk memprediksi sudden cardiac death (SCD).11
b.

Pemeriksaan fisik
Tanda pertama yang ditemukan ialah hilangnya kesadaran (pingsan). Pada

saat bersamaan pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi tidak teraba.11


c.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya dilakukan untuk mengetahui adanya

risiko untuk mengalami henti jantung mendadak. Pada pemeriksaan EKG,


gambaran aritmia yang paling sering ditemukan pada korban henti jantung antara
lain. fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, PEA, Asistol, dan left bundle branch
block baru.12
a. Fibrilasi Ventrikel

Pada fibrilasi ventrikel, terdapat area pada miokardium yang masih normal
pada ventrikel dan area iskemik atau infark yang membentuk pola chaotic
asynchronous. Pada fibrilasi ventrikel, jantung tidak dapat berkontraksi penuh
sehingga cardiac output tidak maksimal. Penyebab paling utama fibrilasi ventrikel
adalah sindroma akut koroner yang menyebabkan iskemik miokardium, selain itu
bisa disebabkan oleh hipoksia, gangguan elektrolit.12

Gambar 7. Fibrilasi Ventrikel


Dikutip dari American Heart Association. 2006. ACLS Provider Manual
Supplementary Material
b. Pulseless electrical activity (PEA)
Pada pulseless electrical activity (PEA), konduksi impuls listrik jantung
berlangsung dalam pola teratur, tetapi tidak menghasilkan kontraksi jantung atau
insufisiensi pengisian ventrikel selama diastol atau kontraksi tidak efektif.
Penyebab yang mendasarinya antara lain hipovolemia, hipoksia, asidosis,
hipo/hiperkalemia, hipoglikemia, hipotermia, tamponade jantung, tension
pneumothorax, sindroma koroner akut, emboli pulmonal dan trauma.12
c. Asistol
Pada henti sinus, tidak tampak aktivitas ventrikel dan hanya tampak
konduksi impuls atrium sehingga disebut P-wave asystole. Henti sinus terjadi bila
nodus sinus berhenti membangkitkan impuls. Pada EKG, tampak garis datar tanpa
aktivitas listrik. Berhentinya aktivitas listrik yang berlangsung lama disebut
asistol. Penyebab asistol yakni iskemia/ hipoksia, gagal nafas akut yang ditandai
apneu. Adanya asistol menunjukan kematian.12

Gambar 8. Asistol

Dikutip dari American Heart Association. 2006. ACLS Provider Manual


Supplementary Material
2.2.7

Tatalaksana
Bantuan hidup dasar (BHD) adalah pertolongan pertama yang dilakukan

pada korban henti jantung atau henti napas. Tindakan dalam pertolongan pertama
mencakup, mengenali hanti jantung atau henti napas, meminta bantuan, membuka
dan membebaskan jalan napas, memberikan bantuan napas dan mempertahankan
sirkulasi darah.13
Resusitasi jantung paru adalah bagian dari rangkaian tindakan bantuan
hidup dasar. Jika korban henti jantung tidak segera diberikan bantuan hidup dasar,
kemungkinan korban selamat berkurang 10-12% per menit. RJP dilakukan pada
pasien yang mengalami henti jantung dan henti nafas yang dapat dikonfirmasi
dengan tidak ada respon, apnea, dan tidak terabanya denyut nadi.13
Berdasarkan American Heart Association (2015), dalam upaya untuk
meningkatkan peluang keberhasilan dalam penyelamatan jiwa korban dengan
cardiorespiratory arrest melalui bantuan hidup dasar dan lanjut, diperlukan suatu
tindakan yang terkoordinasi dan terpadu yang tergambar dalam chain of survival
(rantai keselamatan). Rantai kelangsungan hidup didasarkan pada lokasi kejadian
pasien mengalami henti jantung, yaitu pasien yang mengalami henti jantung
mendadak di luar rumah sakit (OHCA/ Out Hospital Cardiac Arrest) dan di dalam
rumah sakit (IHCA/ In Hospital Cardiac Arrest).13

Gambar 9. Rantai Keselamatan


Dikutip dari American Heart Association. 2015. Guidelines Update for CPR and
ECC, 4
Berdasarkan guideline AHA (2015), algoritma RJP terbaru pada umumnya
hampir sama dengan guideline 2010 namun mengalami beberapa perubahan yang
terfokus pada kecepatan dan kedalaman kompresi dada selama RJP. Sedikit
berbeda dengan guideline 2010, pada algoritma terbaru, kecepatan kompresi dada
antara 100-120 kali permenit dan kedalaman kompresi dada antara 2-2,4 inchi.13

Gambar 10. Algoritma Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2015

Dikutip dari American Heart Association. 2015. Guidelines Update for CPR and
ECC, 12

Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih dahulu


dilakukan prosedur awal pada korban, yaitu:14
a. Bahaya
Sebelum melakukan tindakan, penolong harus memastikan keamanan baik
korban, lingkungan sekitar dan diri sendiri. Keamanan penolong harus lebih
diutamakan sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong
tidak menjadi korban berikutnya
b. Respon
Penolong memastikan keadaan korban dengan cara memanggil korban,
menepuk-nepuk korban atau menggoyangkan bahu korban. Hal ini cukup untuk
membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika
korban tidak respon kemungkinan korban tidak sadar. Jika korban berespon,
tinggalkan korban pada posisi saat ditemukan dan hindari kemungkinan risiko
cedera lain yang bisa terjadi.

Gambar 11. Memeriksa respon korban


Dikutip dari European Resuscitation Council. 2010. European resuscitation
council guidelines for resuscitation section 2.
c. Minta bantuan (Call for help)

Jika korban tidak memberikan respon, segera meminta bantuan dengan


cara berteriak Tolong! Ada orang tidak sadar untuk mengaktifkan Emergency
Medical Service (EMS). Apabila pada lokasi kejadian terdapat lebih dari satu
penolong, maka penolong pertama memeriksa respon korban dan melanjutkan
tindakan bantuan hidup dasar sedangkan penolong kedua mengaktifkan EMS
dengan menelepon ambulans terdekat dan mengambil alat kejut jantung otomatis
(AED).

Gambar 12. Meminta bantuan


Dikutip dari European Resuscitation Council. 2010. European resuscitation
council guidelines for resuscitation section 2.
d. Pengaturan posisi
1. Posisi pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan dalam
posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, yaitu
digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2. Posisi penolong
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau menggeser lutut.
Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur
selanjutnya yang harus dilakukan ialah prosedur C-A-B, yakni:
a. Circulation
1. Memastikan ada tidaknya denyut nadi

Ada tidaknya denyut nadi korban ditentukan dengan meraba arteri karotis
yang berada di daerah leher korban dengan menggunakan dua jari (jari telunjuk
dan tengah) diletakan pada pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser kira-kira 2-3 cm ke sisi kanan atau kiri. Jika dalam
10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera dimulai.
Berdasarkan AHA Guidiline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi
karotis sebagai mekanisme untuk menilai henti jantung. Oleh sebab itu,
penolong awam yang sering mengalami kesulitan, tidak harus memeriksa
denyut nadi karotis. Korban diasumsikan henti jantung jika pasien tiba-tiba
tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas abnormal (hanya gasping).
2. Melakukan bantuan sirkulasi
Bila nadi karotis tidak teraba, segera mulai lakukan kompresi dada dengan
siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi, dengan tekhnik sebagai berikut:
a. Penolong berlutut di sisi bahu kanan
b. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan
c. Penolong meletakan salah satu tumit telapak tangan pada sternum,
diantara puting susu dan telapak tangan lainnya diatas tangan pertama
dengan jari saling bertaut
d. Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dada lurus ke
bawah secara teratur. Menurut AHA Guideline 2015 merekomendasikan
agar kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard) dengan
kedalaman yang adekuat, yaitu: minimum 2 inchi (5 cm) tapi tidak lebih
dari 2,4 inchi (6 cm) dengan rasio 30:2
Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya complete
chest recoil atau pengembangan dada seperti semula setelah kompresi sebelum
kompresi kembali.

Gambar 13. Posisi badan dan tangan penolong saat kompresi dada
Dikutip dari European Resuscitation Council. 2010. European resuscitation
council guidelines for resuscitation section 2.
b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka sehingga
memungkinkan pasien dapat diberi bantuan napas.
1. Membersihkan jalan napas
a. membuka mulut dengan jari silang (cross finger), ibu jari diletakkan
berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban
b. memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan sumbatan
benda cair, bersihkan dengan teknik finger sweep (sapuan jari), yaitu
menyusuri rongga mulut dengan dua jari. Jika ditemukan sumbatan benda
padat, dapat dikorek dengan jari telunjuk yang dibengkokan. Semua prosedur
tidak boleh dilakukan lebih dari 10 detik
2. Membuka jalan napas
Pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga tekhnik
yaitu head tilt (tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan jaw thrust
(dorongan rahang). Ketiga tekhnik ini dikenal sebagai Triple Airway Manuver.

Gambar 14. Membuka

jalan napas dengan

tekhnik head tilt-chin lift


Dikutip dari European

Resuscitation Council.

2010. European resuscitation council guidelines for resuscitation section 2.


c. Breathing
Bantuan napas diberikan sebanyak dua kali, masing-masing sekitar 1
detik. Napas bantuan diberikan dari mulut ke mulut atau menggunakan pelindung
wajah. Sebelum memberikan napas bantuan, cuping hidung korban dijepit

menggunakan ibu jari dan telunjuk agar tertutup. Lihat dada pasien saat
memberikan napas buatan, apakah dada sudah mengembang, kemudian tunggu
hingga turun untuk memberikan napas berikutnya.

Gambar 15. Memberikan bantuan napas


Dikutip dari European Resuscitation Council. 2010. European resuscitation
council guidelines for resuscitation section 2.
Bila tersedia Automated External Defibrillator (AED), maka langsung
dipasangkan pada korban. Pertama, pasang terlebih dahulu bantalan (pad) alat
kejut jantung otomatis pada dada korban sesuai instruksi yang ada pada alat (A).
Setelah dinyalakan, ikuti instruksi dari alat tersebut yaitu jangan menyentuh
korban karena alat kejut jantung otomatis akan menganalisis irama jantung
korban. Jika alat mengidentifikasi irama jantung yang abnormal dan
membutuhkan kejut jantung (untuk mengembalikan irama kelistrikan jantung
menjadi normal), minta orang-orang agar tidak ada yang menyentuh korban, lalu
penolong menekan tombol kejut jantung pada alat (B). Lanjutkan penekanan dada
segera setelah alat memberikan kejutan listrik pada korban (C). Hal ini dilakukan
untuk mengembalikan kelistrikan jantung seperti semula.
A

Gambar 16. Pemasangan Automated External Defibrillator (AED)

Dikutip dari European Resuscitation Council. 2010. European resuscitation


council guidelines for resuscitation section 2.

d. Evaluasi
Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi, penolong
mengevaluasi. Jika tidak ada nadi, penolong melanjutkan kompresi dan centilasi
dengan rasio 30:2 sebanyak 5 siklus. Jika ada nadi tapi napas belum ada, maka
penolong memberikan bantuan napas sebanyak 10-12 x/menit dan monitor nadi
tiap 2 menit. Jika ada denyut nadi teraba dan napas, namun korban belum sadar
maka posisikan korban pada posisi pemulihan (recovery position).

Gambar 17. Cara melakukan posisi pemulihan (recovery position)


Dikutip dari European Resuscitation Council. 2010. European resuscitation
council guidelines for resuscitation section 2.
DEFIBRILASI
Mayoritas

henti

jantung

melibatkan

fibrilasi

ventrikel

yang

dapat

dikembalikan dengan defibrilasi listrik. Resusitasi jantung paru tidak akan


mengembalikan fungsi jantung normal kembali. Resusitasi jantung paru
dilanjutkan dengan defibrilasi menyebabkan ritme jantung kembali normal dan
kemungkinan bertahan menjadi 50%. Defibrilasi memberikan arus listrik melalui
jantung secara simultan dan bersamaan dengan terjadinya depolarisasi pada
miokardium yang tengah kritis dan memulai kembali koordinasi

pada masa

refrakter absolute. Ini menghasilkan suatu periode dimana potensial aksi lain tidak
dapat dipicu, jika berhasil akan menghentikan aktifitas listrik yang kacau saat
fibrilasi ventrikel berlangsung. Sel pacu jantung (SA node) mempunyai
kesempatan untuk membangun kembali sinus ritme untuk menciptakan
depolarisasi spontan.15

TERAPI OBAT
Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat
antiarrhythmic mungkindapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut
dapat digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, untuk
menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis
terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut.16
Setiap agen memiliki indikasi khusus, namun kebanyakan berupa inotropic
negatif - jelas tidak diinginkan dalam tindakan resusitasi. Lignocaine, bretylium,
amiodarone dan magnesium adalah agen yang paling sering digunakan. Terdapat
kurangnya bukti berbasis manusia mengenai efektivitas obat-obat tersebut,
mencerminkan kesulitan dalam melakukan studi klinis yang berarti dalam
tindakan resusitasi.16
A. Lignocaine / Lidocain
Lidocaine memiliki sifat antiarrhythmic berasal dari blokade sodium
channel, sehingga terjadi stabilisasi membran. Pacemaker jantung dari SA node
ditekan dan konduksi dalam otot ventrikel dihambat. Ada sedikit efek pada node
(AV) atrio-ventrikular dan depresi miokard dan efek pro-arrhythmic sangat
minim.16
Lignocaine berkhasiat untuk pengobatan ventrikel takikardia. Kemampuan
lignocaine untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan defibrilasi VF
persisten masi belum diketahui, Lignocaine juga digunakan untuk mengobati
haemodynamically VT yang stabil. Dosis lignocaine untuk fibrilasi ventrikel
adalah 100mg iv dan untuk takikardia ventrikular haemodynamical yang stabil
adalah 1 mg / kg iv - diulang sekali jika perlu - dan diikuti oleh infus intravena
4mg/min selama 30 menit, 2 mg / menit selama 2 jam dan kemudian 1mg/menit.16
B. Amiodarone

Menghasilkan blokade saluran kalium dengan beberapa hambatan


Depolarisasi saluran natrium termediasi, terjadi perpanjangan potensial aksi
miokard dan tingka blokadet . Ini menghasilkan antifibrillatory dan menurunkan
ambang defibrilasi dengan efek minimal pada kontraktilitas miokard. Penggunaan
rutin dasarnya selama henti jantung belum dibuktikan dan umumnya dicadangkan
untuk pengobatan lini kedua dari peri-arrest tachyarrhythmias. Amiodarone
sebaiknya dikelola secara terpusat dan perlahan-lahan. Biasanya dosis muatan
300mg diberikan lebih dari satu jam diikuti dengan infus 900mg dalam 1000ml
glukosa 5% selama 24 jam berikut. Dalam situasi mendesak, dosis 300mg
pertama dapat diberikan selama 5-15 menit secara perifer dan diikuti dengan
300mg lebih dari satu jam.16
C. Atropin
Suntikan atropin digunakan dalam pengobatan bradycardia (tingkat rendah
hati yang sangat), ada detak jantung dan aktivitas listrik pulseless (PEA) dalam
serangan jantung . Ini bekerja karena aksi utama dari saraf vagus sistem
parasimpatis pada jantung adalah dengan menurunkan detak jantung. Namun,
dalam panduan terbaru yang dirilis oleh American Heart Association, atropin
tidak lagi secara rutin diindikasikan sebagai modalitas pengobatan primer di ada
detak jantung dan PEA. Atropin blok tindakan dan, karenanya, dapat
mempercepat denyut jantung. Dosis yang biasa atropin dalam penangkapan
bradyasystolic adalah 0,5 hingga 1 mg IV push setiap tiga sampai lima menit,
sampai dosis maksimum 0,04 mg / kg. Untuk bradikardi gejala, dosis biasa adalah
0,5-1,0 mg IV push, dapat mengulang setiap 3 sampai 5 menit sampai dosis
maksimum 3,0 mg.16
D. Epinefrin
Adrenalin digunakan sebagai obat untuk mengobati serangan jantung dan
disritmia jantung mengakibatkan berkurang atau tidak ada curah jantung tindakan
adalah untuk meningkatkan daya tahan perifer melalui - reseptor tergantung
vasokonstriksi dan meningkatkan cardiac output melalui mengikat untuk reseptor. Dosis pemberian IV 0.01 mg/kg.16

S-ar putea să vă placă și