Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
pendidikan islam ialah situasi pendidikan yang terdapat pada dunia pengalaman. Diantara objek
atau segi ilmu pendidikan islam dalam situasi pendidikan islam:
1. Perbuatan Mendidik sendiri
Sikap atau tindakan menuntun, membimbing,memberikan pertolongan dari seorang pendidik
kepada anak didik untuk menuju ke tujuan pendidikan islam.
2. Anak didik
Yaitu pihak yang merupakan objek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan perbuatan
atau tindakan mendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik ke
arah tujuan pendidikan islam yang di cita citakan.
3. Dasar dan tujuan pendidikan islam
Yaitu landasan yang menjadi fondamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan islam ini
dilakukan. Maksudnya pelaksanaan pendidikan islam yaitu arah kemaana anak didik akan
dibawa.
4. Pendidikan
Yaitu subjek yang melaksanakan pendidikan islam. Pendidik ini mempunyai peran penting
karena berpengaruh kepada baik atau tidaknya hasil pendidikan islam.
5. Materi pendidikan islam
Yaitu bahan bahan atau pengalaman pengalaman belajar ilmu agama islam yang disusun yang
sedemikian rupa untuk disajikan kepada anak didik.
6. Metode pendidikan islam
Ialah cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidik untuk menyampaikan bahan atau materi
pendidikan islam agar materi pendidikan islam tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak
didik
7. Evaluasi pendidikan
Yaitu memuat cara cara bagaimana mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar
anak didik.
8. Alat alat pendidikan islam
Yaitu alat alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan islam agar tujuan
pendidikan islam tersebut lebih berhasil.
9. Lingkungan sekitar
Yang dimaksud ialah keadaan keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil
pendidikan islam.
III. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam
Bahwa Ilmu Pengetahuan Islam memiliki arti dan peranan penting dalam kehidupan. Hal
tersebut disebabkan ilmu pendidikan islam memiliki fungsi sebagai berikut :
Pendidikan sebagai usaha membentuk pibadi manusia harus melalui proses panjang dengan
resultat (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda mati
2.
3.
Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage
over the generation but also guide education towards mutual
understanding and towards what has become a worldwide realization of
common destiny.)
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran
makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau
satuan pendidikan tertentu.
Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan
Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup
manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :
(51 : )
Artinya : Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
menyembahku.
Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia
(Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan
rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah
Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said
Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.
Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan
bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga
yaitu (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3)
dimensi kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan
yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan
dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).
2.
3.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit
masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran
tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan
belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata
pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara
organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalau
ditinjau dalam perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung
menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam
lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
(3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok
mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan
kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke
dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan
jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata
pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat
peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
4.
Orientasi Pendidikan
Orientasi pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka perumusan
kurikulum pendidikan. Dengan orientasi pendidikan akan dapat diambil sebuah
kebijakan dalam rangka memproduk out put pendidikan sesuai yang diinginkan.
Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat ditemukan beberapa orientasi
pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta didik, pada social-demend,
pada tenaga kerja, berorientasi masa depan dan perkembangan IPTEK, dan
berorientsai pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.
5.
memenuhi
Menurut Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem evaluasi
pendidikan yang Islami, yaitu self-evaluation disamping tetap adanya evaluasi
kegiatan belajar peserta didik. Evaluasi semacam ini menjadi penting karena
sebagai sosok social being dalam kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan
proses dibesarkan) tanpa bantuan orang lain.
Komponen Pelaksanaan
Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi
pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan
pemanfaatan lingkungan.
1.
Materi pendidikan
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi
pendidikan tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi
lembaga pendidikan pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang
tersedia terbatas. Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi
pendidikan.
Dalam rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan
beberapa kriteria diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus
berpegang pada realitas sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang,
(4) menjangkau tujuan yang luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan
pengalaman siswa, dan (6) harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik
minat peserta didik (Ghofir, 1993: 37-38).
Islam dengan Al Qurannya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah
dipandang sebagai landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak
menyatukan mata pelajaran yang bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata
pelajaran umum dan agama, dimana semua materi termasuk ilmu alam harus
diajarkan menurut pandangan Islam.
Untuk mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak
yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi,
ruang lingkup materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber
acuannya.
2.
Sistem Penyampaian
Sistem penyampaian merupakan sistem atau strategi yang digunakan
dalam menyampaikan materi pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem
penyampaian ini paling minim berkaitan dengan metode yang digunakan dalam
menyampaikan materi, serta pendekatan pembelajaran. Ketika guru menyusun
materi pendidikan, secara otomatis ia juga harus memikirkan strategi yang
sesuai untuk menyajikan materi pendidikan tersebut.
Sementara itu Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem
pengampaian ini mencakup beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan
pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, serta pemanfaatan
media pendidikan.
Metode misalnya, ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses
pencapaian tujuan pendidikan. Semakin tepat metode yang digunakan, akan
semakin efektif proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam
hal ini terlihat betapa pentingnya pengetahuan tentang metode bagi seorang
guru. Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan tentang metode mengajar yang
terpenting adalah pengetahuan tentang cara menyusun urutan kegiatan belajar
mengajar dalam rangka pencapaian tujuan (Tafsir, 1999: 34).
3.
4.
Kalau fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak
langsung akan terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional.
Sehingga sejalan dengan hal tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai
komponen kurikulum pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode
etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement,
imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.
2.
Peserta didik
Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang
menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid
misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguhsungguh mencari ilmu dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan
Islam, ketika dihadapkan pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka
melahirkan konsep santri kelana. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik
lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti
patuh pada sang guru.
Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait
dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan
penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai
rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke
mana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta
didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana
pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah
pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai
pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat,
bakat, dan lainnya.
3.
Selain komponen tersebut sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih ada komponen
lain diantaranya: administrasi pendidikan (manajemen kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan
dengan orang tua dan masyarakat, ketatausahaan, serta manajemen informasi), sarana dan prasarana
(buku teks, perpustakaan, laboratorium, perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta gedung sekolah),
dan biaya pendidikan (sumber biaya dan alokasinya, perencanaan penggunaan biaya, serta sistem
pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya) (Muhaimin, 2003: 186-187).
1[1] W.J.S. Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet. 12, hal. 768.
2[2] Hans Wehr, Milton Cowan, dkk, A Dictionari of modern Written Arabic, (Beirut:
LibrarieDu Liban dan London, 1974), hal. 15.
3[3] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, hal. 101102.
Prinsip
tidak
boleh
diubah,
namun
cara
untuk
memperjuangkan
wawasan
spiritual,
dan
pengetahuan,
sosial
keterampilan,
merupakan
kewajiban
pengalaman,
yang
harus
orang
yang
bodoh,
karena
orang
yang
bodoh
bukan
saja
beratnya beban hidup akibat kebodohan, maka Ibn Sina pernah berkata,
bahwa akhlak yang paling buruk adalah kebodohan.6[6]
a.
Pendekatan Pengalaman
6[6] Abuddin Nata, Konsep Pendidikan Ibn Sina, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2004),
cet. 1, hal. 78.
siapapun juga, belajar dari pengalaman jauh lebih baik dari sekedar bicara
tanpa pernah berbuat sama sekali.
Walaupun begitu pentingnya sebuah pengalaman, namun tidak semua
pengalaman dapat bersifat mendidik, karena ada juga suatu pengalaman
yang tidak bersifat mendidik. Suatu pengalaman bisa disebut mendidik jika
pendidik mampu mengarahkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang
diharapkan. Sebaliknya, pengalaman dikatakan tidak mendidik jika pendidik
justru membawa peserta didik ke arah yang menyeleweng dari tujuan
pendidikan, misalnya mengajar anak menjadi seorang pencuri. Ini disebut
tidak mendidik karena tujuan pendidikan tidak mengarahkan peserta didik ke
arah yang negatif, melainkan ke arah yang positif.
Maka dari itu, pengalaman yang mendidik berpusat pada tujuan positif
bagi anak, kontinyu dengan kehidupan anak, interaktif dengan lingkungan
dan sesama manusia. Pepatah Arab mengatakan: ,
yang artinya Ilmu tanpa diiringi dengan amal (pengalaman) itu laksana
pohon tanpa buah. Betapa pentingnya arti sebuah pengalaman sehingga
pengalaman dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan
Islam.
terbiasa
mengamalkan
ajaran
agamanya,
secara
personal
maupun
dan ceramah.
Pendekatan Keteladanan
Pendekatan keteladanan adalah memberikan dan memperlihatkan suatu
contoh yang baik, hal ini dapat diperlihatkan secara langsung dalam situasi
interaksi yang akrab antara personal sekolah, perilaku pendidikan dan
tenaga pendidikan lain yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun secara
tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Suri tauladan yang baik dari seorang pendidik kepada peserta didik
adalah kunci kesuksesan dalam mengarahkan dan membentuk moral
spiritual dan sosial anak. Ini dikarenakan kecenderungan anak menganggap
bahwa guru merupakan seorang figur yang bisa dijadikan teladan yang baik
dalam kehidupannya. Kecenderungan manusia untuk belajar dengan meniru
perilaku orang lain, menyebabkan suatu keteladanan menjadi sangat penting
dalam proses pendidikan. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam surat AlAhzab ayat 21:
yang baik, dan dengan kebiasaan tersebut diharapkan peserta didik dapat
mengamalkan agamanya secara berkelanjutan.
Metode yang relevan dengan pendekatan ini misalnya: metode drill,
metode demonstrasi, dan pemberian tugas.
c.
Pendekatan Emosional
Pendekatan
emosional
adalah
pendekatan
pendidikan
yang
lebih
menekankan perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam
serta dapat meresapi dan merasakan mana yang baik dan buruk.
roblematika Pendidikan Islam di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan,
pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi
rahasia public bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau
memerlukan tenaga-tenaga yang lebih tinggi (rohaniah). Caranya dengan mengontrol dan
mempergunakan tenaga-tenaga kejasmanian (terutama) dan dengan bantuan-bantuan tenaga
kejiwaan, kita membiasakan sisterdidik dalam amalan-amalan yang dikerjakan dan yang
diucapkan, sesuai dengan rangka-rangka pembinaan Islam bagian C (rangka-rangka yang
ditugaskan anggota pelaksananya).
Dengan ini, sampailah kita kepada alat-alat pendidikan (alat-alat pembiasan). Alat-alat
pembiasan dapat dibagi atas dua golongan :
Alat-alat langsung, ialah alat-alat yang secara garis lurus searah dengan maksud pembentukan,
meliputi :
Teladan
Anjuran-anjuran, suruhan, perintah, dan sejenisnya
Latihan-latihan
Hadiah dan sejenisnya
Kompetisi dan kooperasi
Alat-alat tidak langsung bersifat pencegah, penekan (repressi) hal-hal yang akan merugikan
maksud pembentukan, meliputi :
Koreksi (pemeriksaan) dan pengawasan
Larangan-larangan dan sejenisnya
Hukuman dan sejenisnya
2. Pembentukan pengertian, sikap dan minat
Pembentukan pada taraf ini bersifat : formil, materiil, dan intensiil (pengarahan).
Formil
Pada taraf ini diberilah pengetahuan dan pengertian. Dalam taraf ini perlu ditanamkan dasardasar kesusilaan yang rapat hubungannya dengan kepercayaan. Pembentukan secara formil
dilaksanakan dengan latihan-latihan cara berpikir, penanaman minat yang kuat dan sikap
(pendirian) yang tepat. Tujuan dari pembentukan formil ini adalah :
Terbentuknya cara berpikir yang baik, dapat menggunakan metode berpikir yang tepat serta
mengambil kesimpulan yang logis.
Terbentuknya minat yang kuat
Terbentuknya sikap yang tepat
Materiil
posisi marginal dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik
pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan adalah
mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar
mampu menjadi khalifah8[1]
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam di Indonesia masih dibalut sejumlah
problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul dari elemen-elemen intern maupun ektern yang
Pembentukan ini berupa pemberian ilmu pengetahuan. Kalau diibaratkan pembentukan formil itu
membuat wadahnya, menyusun dan menempanya agar kuat dan mempunyai bentuk yang
tertentu, maka pembentukan materiil memberi isinya. Isi yang terutama adalah pengetahuanpengetahuan mengenai ilmu-ilmu duniawi, ilmu-ilmu kesusilaan, dan ilmu-ilmu keagamaan.
Dalam pembentukan materiil berupa pemberian ilmu-ilmu duniawi, hendaklah pendidik jangan
berlaku picik, pergunakan sumber ilmu dari mana pun juga. Anak-anak didik telah cukup besar
untuk dapat menepis mana yang berguna bagi mereka dan mana yang tidak. Oleh karena itu,
anak harus dilatih berpikir kritis.
ada di sekitar badan itu sendiri. Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu
berakar dari penyebab eksternal dan penyebab internal 9[2] Problem internal hingga ekternal pun
hadir di tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan internal dalam hal
managemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan ekonomi menambah sederet daftar
problem yang mestinya ditindak lanjuti.
Adapun faktor-faktor internal dalam pendidikan Islam,yaitu :
Pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang
hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga
pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran terhadap hasil
pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di pergunakan untuk menetapkan jenjangjenjang tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.10[3]
Menurut Moh Raqib bahwa problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam selama ini adalah
alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi hal tersebut tampak pada alumni
yang relative banyak tidak mendapat lapangan kerja dan lebih mengandalkan untuk menjadi PNS
sementara lowongan kerja untuk PNS sangat terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas
untuk menciptakan lowongan kerja sendiri.11[4]
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system
pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenag sering kali tidak
menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi
pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa
menegemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu
menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang
merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam
penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan
mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai
9
kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan sosial.12[5] Faktanya tak jarang ditemui
guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan;
dan guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar.
Ketiga, faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan
pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun
komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan
10
masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan
yang berkualitas.
Selain faktor internal terdapat pula faktor-faktor eksternal yang dihadapi pendidikan
Islam, meliputi :
Pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Alokasi dana
yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di
lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya
11
alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan
Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh
pendidikan umum.
Kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih
didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak
dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Dan lebih
tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
12
Ketiga ,dapat di katakan bahwa paradigm masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih
sebelah mata. Lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat
diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian
masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya
kepercayaan mereka terhadap lemabga pendidikan islam.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih
dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan
alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan
perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah,
NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi,
kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm. Ini mungkin menjadi
alas an yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada.Dengan
demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output
pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
Diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan
pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang
yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.
Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah
e.
pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi dan diakui secara universal.
Karena itu, yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti
pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN, akan tetapi bagaimana menanamkan
nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang
dikaji.
Menurut Center for Moderate Muslim Indonesia, setidaknya ada tiga tantangan pokok
yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia dalam menelusuri arus global yaitu:
1. Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia.
Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada menjadi kendala
mendasar dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dasar dan
menengah masih menggunakan model kurikulum lama dengan mengandalkan pendidikan dasar
agama sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat.
Pembahasan yang diajarkan pun masih banyak menekankan aspek normatif dengan (mohon
maaf) menegesampingkan aspek transformatif dalam konteks sosio-kultural masyarakat kita.
Jangan kaget, apabila ada sekelompok ikhwan yang sudah merasa cukup hanya dengan mengkaji
ilmu-ilmu keislaman yang datang dari tokoh-tokoh salaf dan menganggap tabu ilmu-ilmu lain
(kontemporer) yang sebenarnya sama pentingnya. Kiranya kita perlu menata ulang pemahaman
hadis Nabi Muhammad SAW; man arod al dunya fa alaihi bi al ilmi, wa man aroda alakhirota
fa alaihi bi al ilmi, wa man arodahuma fa alaihi bi al ilmi.
Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang kita pelajari dan bayangkan selama berada
di tempat belajar. Indonesia tidak mungkin dilihat hanya melalui kaca mata sempit. Bagaimana
13
kita akan mampu mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan kalau kita hanya
belajar zaidun qoimun (istilah penulis)? Lembaga-lembaga Islam seperti pesantren perlu
melepaskan diri dari keterkungkungan dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya
agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern.
2. Perubahan Sosial Politik
Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut memberi warna pada dunia pendidikan
Islam. Sebagai negara demokrasi, politik merupakan hal yang tak bisa terhindarkan. Bahkan,
tidak sedikit ulama (pengampu pendidikan Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis.
Mereka yang seharusnya berperan sebagai wasit, malah ikut andil menendang bola. Lalu apa
yang terjadi dengan umat yang ditinggalkannya? Santri-santrinya? Lembaga pendidikannya?
(biar mereka sendiri yang menjawab).
3. Perubahan orientasi.
Sang Proklamator Bung Hatta pernah mengatakan, agama hidup di masyarakat,
sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab
itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap roh perubahan, agar
Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat. Pertanyaannya kemudian,
sudahkah kita dan para tokoh agama merespon wejangan Sang Proklamator? Atau kita hanya
menghormati dan mengingat beliau sebatas mengikuti rituak 17 Agustus-an tanpa mengindahkan
gagasan-gagasan beliau?
Hari ini, tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat,
bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu
pengetahuan. Kejumudan intelektual akut sedang dialami umat. Orientasi dari sekedar mendidik
untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich harus di re(de)konstruksi menjadi paham
terhadap ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora.
2.3
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal
pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang
efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang
kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi
Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan saranasarana pendidikan, dan sebagainya.14[7]
14