Sunteți pe pagina 1din 42

RUANG LINGKUP, DAN FUNGSI ILMU PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian pendidikan islam menurut bahasa


Kata pendidikan yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa arabnya adalah
tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata pengajaran dalam bahasa arabnya adalah talim
dengan kata kerjanya alama. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa arabnya tarbiyah wa
talim sedangkan pendidikan islam dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah islamiyah. Kata
kerja rabba (mendidik) sudah di gunakan pada zaman nabi muhammad SAW.
B. Pengertian pendidikan islam menurut para ahli
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba : Pendidikan islam adalah bimbingan jasmani, rohani
berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.
Menurut Musthafa Al-Ghulayaini : Pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak yang
mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk
dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya
kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah
air.
Namun dari perbedaan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan adanya titik
persamaan yang secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut : Pendidikan Islam ialah
bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar
ia memiliki kepribadian muslim.
Sedangkan yang dimaksud dengan Ilmu ialah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dan mempunyai metode-metode tertentu yang bersifat alamiah.
Dengan demikian Ilmu Pendidikan Islam ialah uraian secara sistematis dan ilmiah
tentang bimbingan atau tuntutan pendidikan kepada anak didik dalam berkembangnya agar
tumbuh secara wajar berpribadi muslim.
II. Ruang Lingkup Ilmu pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan Islam mempunyai ruang lingkup sangat luas, karena didalamnya banyak
segi segi atau pihak pihak yang ikut terlibat baik langsung atau tidak langsung.Objek ilmu

pendidikan islam ialah situasi pendidikan yang terdapat pada dunia pengalaman. Diantara objek
atau segi ilmu pendidikan islam dalam situasi pendidikan islam:
1. Perbuatan Mendidik sendiri
Sikap atau tindakan menuntun, membimbing,memberikan pertolongan dari seorang pendidik
kepada anak didik untuk menuju ke tujuan pendidikan islam.
2. Anak didik
Yaitu pihak yang merupakan objek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan perbuatan
atau tindakan mendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik ke
arah tujuan pendidikan islam yang di cita citakan.
3. Dasar dan tujuan pendidikan islam
Yaitu landasan yang menjadi fondamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan islam ini
dilakukan. Maksudnya pelaksanaan pendidikan islam yaitu arah kemaana anak didik akan
dibawa.
4. Pendidikan
Yaitu subjek yang melaksanakan pendidikan islam. Pendidik ini mempunyai peran penting
karena berpengaruh kepada baik atau tidaknya hasil pendidikan islam.
5. Materi pendidikan islam
Yaitu bahan bahan atau pengalaman pengalaman belajar ilmu agama islam yang disusun yang
sedemikian rupa untuk disajikan kepada anak didik.
6. Metode pendidikan islam
Ialah cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidik untuk menyampaikan bahan atau materi
pendidikan islam agar materi pendidikan islam tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak
didik
7. Evaluasi pendidikan
Yaitu memuat cara cara bagaimana mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar
anak didik.
8. Alat alat pendidikan islam
Yaitu alat alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan islam agar tujuan
pendidikan islam tersebut lebih berhasil.
9. Lingkungan sekitar
Yang dimaksud ialah keadaan keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil
pendidikan islam.
III. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam
Bahwa Ilmu Pengetahuan Islam memiliki arti dan peranan penting dalam kehidupan. Hal
tersebut disebabkan ilmu pendidikan islam memiliki fungsi sebagai berikut :

A. Ia melakukan pembuktian terhadap teori-teori kependidikan isalam yang merangkum aspirasi


atau cita-cita islam yang harus di ihtisarkan agar menjadi kenyataan.
B. Ia memberikan bahan-bahan informasi tentang pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan islam tersebut.
C. Sebagai pengoreksi (korektor) terhadap kekurangan teori-teori yang dipegangi oleh ilmu
pendidikan islam, sehingga kemungkinan pertemuan antara teori dan praktek semakin dekat dan
hubungan antar keduanya makin bersifat interaktif (saling mempengaruhi)
Mengenai pentingnya mempelajari Ilmu Pengetahuan Islam ini Prof.HM. Arifin Med
menyatakan sebagai berikut :
a.

Pendidikan sebagai usaha membentuk pibadi manusia harus melalui proses panjang dengan
resultat (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda mati

yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya.


b. Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah dengan tujuan untuk mensejahterakan
dan membahagiakan hidup dan kehidupan umat manusia di dunia dan di akhirat, baru dapat
mempunyai arti fungsional dan aktul dalam diri manusia bila mana dikembangkan melalui proses
kependidikan yang sistematis
c. Ruang lingkup kependidikan Islam adalah mencangkup segala bidang
kehidupan manusia dimana manusia mampu memanfaat kan sebagai tempat
menanam benih-benih amaliyah yang buuahhnya akan dipetik di akhirat
nanti, maka pembentukan sikap dan nilai-nilai amaliyah dalam pribadi
manusia baru dapat efektif bilamana dilakukan melalui proses kependidikan
yang berjalan diatas kaidah-kaidah ilmu pengetahuan kependidikan.
Komponen Dasar Kurikulum
Kelompok komponen-komponen dasar pendidikan, mencakup konsep dasar
dan tujuan pendidikan, prinsip-prinsip kurikulum yang dianut, pola organisasi
kurikulum, kriteria keberhasilan pendidikan, orientasi pendidikan, dan sistem
evaluasi.
1.

Dasar dan Tujuan Pendidikan


Yang dimaksud sebagai konsep dasar dalam hal ini merupakan konsep
dasar filosofis dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Dengan adanya dasar, maka pendidikan Islam akan tegak berdiri dan tidak
mudah diombang ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan atau
mempengaruhinya. Kerna fungsinya tersebut, maka yang menjadi dasar
tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat

tertentu. Begitu pun dengan pendidikan Islam, maka pendidikan Islam


mempunyai fundamen yang menjadi landasan tegak berdiri dalam prosesnya
untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Berbicara dasar pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari aliran filsafat
pendidikan yang mendasari pendidikan yang diantaranya adalah aliran
progresivisme,
aliran
esensialisme,
aliran
perenialisme,
dan
aliran
rekonstruksionalisme.
Aliran progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya
progresif, tujuan pendidikan seyogyanya diartikan sebagai rekonstruksi
pengalaman yang terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat
berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali
sesuai tuntutan lingkungan. Essentialism menginginkan pendidikan yang
bersendikan atas nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam
kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya yang sampai kepada manusia
melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu. Pendidikan bertugas sebagai
perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia
perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang tinggi (Muhaimin, 2003: 41).
Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang
menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun
manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan
secara rasional. Dan rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang
membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara konstruktif
menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat
sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik
tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987: 26). Akan tetapi
kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara empat aliran tersebut,
mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam?
Yang jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan
pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi
wahyu dalam menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih
menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi
dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).
Namun yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan
pada problem dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al Jamaly
cenderung kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin,
2003: 28). Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar
filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari
progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa
pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai
individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam

rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm


terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman.
Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat
peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa
esensi-esensi berupa nilainilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan
rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya
(Muhaimin, 1991: 22-23).
Sementara itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan
materi serta strategi penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan
semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan
harus berorientasi pada pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek,
antara lain: tujuan dan tugas hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar
(nature) manusia, tuntutan masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal
Islam (Fuadi, 2003: 428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam
tersebut, akan didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu
suatu tujuan pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok
untuk direalisasikan.
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara
telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui
berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah
negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan
lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan
pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti
dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau
tiga jenis nilai utama yaitu:
1.

Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes,


knowledge, and ability so that they can manage their personal and
collective life to the greatest possible extent.

2.

Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by


coverring them an equal basic education.

3.

Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage
over the generation but also guide education towards mutual
understanding and towards what has become a worldwide realization of
common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat


dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm
Pendidikan Nasional, bahwa : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran
makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau
satuan pendidikan tertentu.
Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan
Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup
manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :
(51 : )

Artinya : Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
menyembahku.
Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia
(Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan
rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah
Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said
Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.
Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan
bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga
yaitu (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3)
dimensi kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan
yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan
dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).

2.

Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam


Prinsip pendidikan Islam merupakan kaidah sebagai landasan supaya
kurikulum pendidikan sesuai dengan harapan semua pihak. Dalam hal ini
Winarno Suracmad sebagaimana dikutip Abdul Ghofir (1993: 31) mengemukakan
prinsip kurikulum pendidikan yaitu relevansi, efektivitas, efisiensi, fleksibilits,
dan kesinambungan. Nana Syaodih S. (2002: 150-151) menerangkan bahwa
prinsip umum kurikulum adalah prinspi relevansi, fleksibilitas, kontinuitas,
praktis, dan efektifitas.
Sementara itu al Syaibani menyatakan bahwa prinsip umum yang menjadi
dasar kurikulum pendidikan Islam adalah : pertautan sempurna dengan agama,
prinsip universal, keseimbangan antara tujuan dan isi kurikulum, keterkaitan
dengan segala aspek pendidikan, mengakui adanya perbedaan (fleksibel),

prinsip perkembangan dan perubahan yang selaras dengan kemaslahatan, dan


prinsip pertautan antara semua elemen kurikulum (Muhaimin, 1991: 39-40).

3.

Pola organisasi kurikulum pendidikan Islam


Organisasi kurikulum di sini merupakan kerangka umum program pendidikan yang akan disampaikan
kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa jenis organisasi kurikulum
tersebut antara lain subject curriculum merupakan kurikulum yang direncanakan berdasarkan disiplin
akademik sebagai titik tolak mencapai ilmu pengetahuan (Abdul Manab, 1995: 24), correlated
curriculum yang mencoba mengadakan integrasi dalam pengetahuan peserta didik, integrated
curriculum yang mencoba menghilangkan batas-batas antara berbagai mata pelajaran, core
curriculum dan lainnya.
Pada dasarnya semua pola organisasi tersebut baik, namun paling tidak dari yang baik tersebut bisa
diambil yang paling baik. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan Islam harus integratif, atau
setidak-tidaknya korelatif, yang tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan wawasan
keagamaan.
Namun yang perlu dimengerti bahwa beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan
kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Dari pandangan
tersebut, setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah
mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada
waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan
kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk
mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata
pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang
saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran
tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa
pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri
yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran.
Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan core subject, dan mata pelajaran
lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum
yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada
mata pelajaran.

5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit
masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran
tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan
belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata
pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara
organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalau
ditinjau dalam perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung
menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam
lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
(3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok
mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan
kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke
dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan
jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata
pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat
peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.

4.

Orientasi Pendidikan
Orientasi pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka perumusan
kurikulum pendidikan. Dengan orientasi pendidikan akan dapat diambil sebuah
kebijakan dalam rangka memproduk out put pendidikan sesuai yang diinginkan.
Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat ditemukan beberapa orientasi
pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta didik, pada social-demend,
pada tenaga kerja, berorientasi masa depan dan perkembangan IPTEK, dan
berorientsai pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.

5.

Sistem Evaluasi Pendidikan Islam


Sistem evaluasi pendidikan dimaksudkan dalam rangka
kebutuhan psikologis, didaktis, serta administrasi atau manajerial.

memenuhi

Dalam evaluasi pendidikan harus diperhatikan beberapa hal yaitu: bahwa


evaluasi harus bermuara pada tujuan, dilaksanakan secara obyektif,
komprehensif dan harus dilakukan secara kontinyu.

Menurut Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem evaluasi
pendidikan yang Islami, yaitu self-evaluation disamping tetap adanya evaluasi
kegiatan belajar peserta didik. Evaluasi semacam ini menjadi penting karena
sebagai sosok social being dalam kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan
proses dibesarkan) tanpa bantuan orang lain.

Komponen Pelaksanaan
Kelompok komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi
pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan
pemanfaatan lingkungan.

1.

Materi pendidikan
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi
pendidikan tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi
lembaga pendidikan pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang
tersedia terbatas. Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi
pendidikan.
Dalam rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan
beberapa kriteria diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus
berpegang pada realitas sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang,
(4) menjangkau tujuan yang luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan
pengalaman siswa, dan (6) harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik
minat peserta didik (Ghofir, 1993: 37-38).
Islam dengan Al Qurannya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah
dipandang sebagai landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak
menyatukan mata pelajaran yang bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata
pelajaran umum dan agama, dimana semua materi termasuk ilmu alam harus
diajarkan menurut pandangan Islam.
Untuk mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak
yang perlu diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi,
ruang lingkup materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber
acuannya.

2.

Sistem Penyampaian
Sistem penyampaian merupakan sistem atau strategi yang digunakan
dalam menyampaikan materi pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem
penyampaian ini paling minim berkaitan dengan metode yang digunakan dalam
menyampaikan materi, serta pendekatan pembelajaran. Ketika guru menyusun
materi pendidikan, secara otomatis ia juga harus memikirkan strategi yang
sesuai untuk menyajikan materi pendidikan tersebut.
Sementara itu Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem
pengampaian ini mencakup beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan
pendekatannya, metode pengajarannya, pengaturan kelas, serta pemanfaatan
media pendidikan.
Metode misalnya, ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses
pencapaian tujuan pendidikan. Semakin tepat metode yang digunakan, akan
semakin efektif proses pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam
hal ini terlihat betapa pentingnya pengetahuan tentang metode bagi seorang
guru. Bagi Ahmad Tafsir, pengetahuan tentang metode mengajar yang
terpenting adalah pengetahuan tentang cara menyusun urutan kegiatan belajar
mengajar dalam rangka pencapaian tujuan (Tafsir, 1999: 34).

3.

Proses belajar mengajar (pelaksanaan)


Proses pelaksanaan belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara umum
dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta
didik belajar selain kepada apa yang dipelajari. Sehingga memungkinkan
terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dan
peserta didik dengan lingkungannya.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar
mengajar antara lain adalah pola atau pendekatan belajar-mengajar yang
digunakan, intensitas dan frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik ,
dan / atau antar peserta didik di dalam dan di luar kegiatan belajar mengajar,
serta pengelolaan kelas, serta penciptaan suasana betah di sekolah.

4.

Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar


Dalam pendidikan Islam, sangat diperlukan adanya pemanfaatan
lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan tersebut bisa lingkungan sekolah
maupun luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Kalau di
lingkungan sekolah, siswa dapat belajar dari guru dan sesama temannya, maka
di lingkungan luar sekolah juga demikian halnya.

Pemanfaatan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar bisa


dilakukan dengan cara: melakukan kerja sama dengan orang tua murid,
membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan
sebagainya.

Komponen Pelaksana dan pendukung kurikulum


1. Komponen pendidik
Dalam perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai
ustadz, muallim, murabby, mursyid,mudarris, dan muaddib (Muhaimin, 2003:
209-213). Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme
dalam mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan
hidup pada zamannya di masa depan. Sebagai muallim ia dituntut mampu
mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan
kemahiran melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang
mendatangkan manfaat dan semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai
murabby, guru dituntut menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi,
sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya agar tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Guru sebagai
mursyid dituntut menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlaq dan/atau
kepribadiannya pada peserta didik, baik itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos
belajar, maupun dedikasinya, atau dalam pengertian yang lebih semple seorang
guru harus merupakan model atau pusat anutan, teladan bagi peserta didik.
Sementara sebagai mudarris guru bertugas mencerdaskan peserta didiknya,
menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta
melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.
Sebagai muaddib, seorang guru memliki peran dan fungsi untuk membangun
peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru
paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi,
antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik
(Abdurrahman Masud, 2002: 194).
Dilihat dari segi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi
antara guru (pendidik) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai
pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai
pendidik profesional akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat
munculnya serangkaian fenomenalulusan pendidikan yang secara moral
cenderung merosot dan secara intelektual akademik juga kurang siap memasuki
lapangan kerja (Abuddin Nata, 2003: 136).

Kalau fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak
langsung akan terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional.
Sehingga sejalan dengan hal tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai
komponen kurikulum pendidikan, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: kode
etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan tenaga pendidik, placement,
imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.
2.

Peserta didik
Banyak sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang
menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid
misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguhsungguh mencari ilmu dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan
Islam, ketika dihadapkan pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka
melahirkan konsep santri kelana. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik
lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti
patuh pada sang guru.
Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait
dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan
penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai
rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke
mana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta
didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana
pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah
pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai
pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat,
bakat, dan lainnya.

3.

Komponen bimbingan dan konseling


Bimbingan dan penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris
guidance (bimbingan) dan counseling (penyuluhan). Bimbingan mengandung
pengertian proses pemberianbantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya sehingga sanggup
mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan
dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat (Natawidjaja, 1987:
7). Sedangkan konseling merupakan bantuan yang diberikan kepada klien dalam
memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara face to face atau yang
sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan
hidupnya (Sukardi, 2003: 67).

Sedangkan bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan


proses pengajaran dan pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk
tatap muka antara konselor dengan peserta didik, dalam rangka antara lain
memperkembangkan pengertian dan pemahaman pada diri siswa untuk
mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam
pendidikan akan efektif dan berhasil apabila dilaksanakan atau dilakukan oleh
suatu tim kerja (team work). Kemudian tim kerja inilah kemudian yang akan
menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling di lembaga
pendidikan.
Program perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar
upaya kegiatan layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan
berhasil guna, serta mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian
tujuan pendidikan (Sukardi, 2003: 7).
Selain itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula
strategi pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta
termasuk di dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya.

Selain komponen tersebut sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih ada komponen
lain diantaranya: administrasi pendidikan (manajemen kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan
dengan orang tua dan masyarakat, ketatausahaan, serta manajemen informasi), sarana dan prasarana
(buku teks, perpustakaan, laboratorium, perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta gedung sekolah),
dan biaya pendidikan (sumber biaya dan alokasinya, perencanaan penggunaan biaya, serta sistem
pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya) (Muhaimin, 2003: 186-187).

Komponen Usaha-Usaha Pengembangan


Usaha pengembangan yang dimaksudkan di sini adalah usaha pengembangan
ketiga kelompok komponen kurikulum di atas dengan berbagai unsurnya dalam
rangka memperbaiki bangunan sistem tersebut.
Realisasi dari adanya usaha pengembangan tersebut ditunjukkan dengan
adanya evaluasi dan inovasi kurikulum; adanya penelitian terhadap efektifitas dan
kualitas kurikulum yang sedang berjalan; adanya perencanaan jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang; adanya seminar, diskusi, simposium, lokakarya,
dsb.; adanya penerbitan-penerbitan; munculnya peranan dan partisipasi komite
sekolah; dan terjalinnya keja sama dengan lembagalembaga lain baik yang berada
di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan kurikulum tersebut.

Prinsip dan Model Pendekatan Pendidikan Islam

A. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam


1. Pengertian Prinsip Pendidikan Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, terdapat kosakata prinsip dengan
kata asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir, bertindak,

dan sebagainya1[1]. Dengan demikian kata prinsip menggambarkan sebagai


landasan operasional.
Dalam bahasa Arab, kata prinsip merupakan terjemahan dari kata asas
jamaknya usus, yang berarti foundation (dasar bangunan), fundamental

(yang utama), groundwork (landasan kerja), ground (terowongan), basis


(tiang utama), keynote (kata kunci).2[2]
Kata dasar digunakan sebagai tempat yang dijadikan sandaran atau atau
pijakan dalam membangun sesuatu, atau sebagai landasan yang digunakan
untuk mengembangkan konsep atau teori. Adapun kata prinsip sama dengan
kata asas, maksudnya yaitu kebenaran yang dijadikan pokok dasar dalam

1[1] W.J.S. Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet. 12, hal. 768.

berpikir dan bertindak. Kata prinsip atau asas merupakan landasan


operasional atau landasan bertindak.3[3]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa yang
dimaksud dengan prinsip pendidikan Islam adalah kebenaran yang dijadikan
pokok dasar dalam merumuskan dan melaksanakan pendidikan Islam.
Dengan prinsip ini, maka pendidikan Islam akan memiliki perbedaan
karaakter dengan pendidikan di luar Islam. Dengan kata lain prinsip

2[2] Hans Wehr, Milton Cowan, dkk, A Dictionari of modern Written Arabic, (Beirut:
LibrarieDu Liban dan London, 1974), hal. 15.

pendidikan Islam adalah prinsip-prinsip ajaran yang digunakan dalam


merumuskan dan melaksanakan ajaran Islam.4[4] Prinsip-prinsip ini bersifat
permanen karena merupakan sebuah ajaran, dan karenanya tidak boleh
diubah ataupun dihilangkan. Karena menghilangkan atau mengubah prinsipprinsip tersebut, berarti menghilangkan sifat dan karakter pendidikan Islam
tersebut.

3[3] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, hal. 101102.

Prinsip

tidak

boleh

diubah,

namun

cara

untuk

memperjuangkan

tercapainya prinsip tersebut boleh berubah atau disesuaikan dengan


perkembangan zaman atau kebutuhan. Dengan demikian, prinsip tersebut
jika dilihat dari segi substansinya bersifat tetap, sedangkan dari segi
pelaksanaannya bersifat fleksibel.
2. Macam-macam Prinsip Pendidikan Islam

4[4] Ibid, hal. 102.

Pembahasan tentang prinsip pendidikan Islam secara tersirat dijelaskan


oleh Mohammad Al- Athiyah Al- Abrasyi dalam bukunya al- Tarbiyah alIslamiyah. Dalam buku tersebut ia menyatakan, bahwa pendidikan Islam
ialah pendidikan yang ideal. Hal tersebut didasarkan pada adanya prinsip
kebebasan dan demokrasi dalam

pendidikan, pembentukan akhlak yang

mulia sebagai tujuan utama pendidikan Islam, berbicara manusia sesuai


akalnya, menggunakan metodhe yang berbeda-beda dalam pengajaran,

pendidikan islam adalah pendidikan bebas, sistem pendidikan individu dalam

pendidikan islam, dan lain sebagainya.5[5] Mengacu pada sumber ajaran


Islam, baik Al-Quran, al-Hadist, sejarah, pendapat para sahabat, dan
a.

sebagainya prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah sebagai berikut.


Prinsip Wajib Belajar dan Mengajar
Prinsip wajib belajar adalah prinsip yang menekankan agar setiap orang
dalam Islam merasa bahwa meningkatkan kemampuan diri dalam bidang
pengembangan
intelektual,

wawasan

spiritual,

dan

pengetahuan,
sosial

keterampilan,

merupakan

kewajiban

pengalaman,
yang

harus

dilaksanakan. Dengan prinsip ini, pendidikan Islam tidak menghendaki


adanya

orang

yang

bodoh,

karena

orang

yang

bodoh

bukan

saja

menyusahkan dirinya, melainkan menyusahkan orang lain. Karena demikian

beratnya beban hidup akibat kebodohan, maka Ibn Sina pernah berkata,
bahwa akhlak yang paling buruk adalah kebodohan.6[6]

a.

Pendekatan Pengalaman

5[5] Mohammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al- Islamiyah, (ter.) Bustami A.


Ghani dan Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. 2, hal. 19-34.

Pendekatan pengalaman yaitu dengan cara memberikan pengalaman


keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai
keagamaan baik secara individual ataupun kelompok.
Syaiful Bahri Djamrah sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, mengatakan
bahwa pengalaman yang dilalui oleh seseorang merupakan guru yang
terbaik. Pengalaman merupakan guru tanpa jiwa, namun selalu dicari oleh

6[6] Abuddin Nata, Konsep Pendidikan Ibn Sina, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2004),
cet. 1, hal. 78.

siapapun juga, belajar dari pengalaman jauh lebih baik dari sekedar bicara
tanpa pernah berbuat sama sekali.
Walaupun begitu pentingnya sebuah pengalaman, namun tidak semua
pengalaman dapat bersifat mendidik, karena ada juga suatu pengalaman
yang tidak bersifat mendidik. Suatu pengalaman bisa disebut mendidik jika
pendidik mampu mengarahkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang
diharapkan. Sebaliknya, pengalaman dikatakan tidak mendidik jika pendidik
justru membawa peserta didik ke arah yang menyeleweng dari tujuan
pendidikan, misalnya mengajar anak menjadi seorang pencuri. Ini disebut
tidak mendidik karena tujuan pendidikan tidak mengarahkan peserta didik ke
arah yang negatif, melainkan ke arah yang positif.
Maka dari itu, pengalaman yang mendidik berpusat pada tujuan positif
bagi anak, kontinyu dengan kehidupan anak, interaktif dengan lingkungan
dan sesama manusia. Pepatah Arab mengatakan: ,
yang artinya Ilmu tanpa diiringi dengan amal (pengalaman) itu laksana
pohon tanpa buah. Betapa pentingnya arti sebuah pengalaman sehingga
pengalaman dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan
Islam.

Metode pengajaran yang dapat digunakan dalam pendekatan ini di


antaranya adalah: (1) eksperimen (2) drill atau latihan (3) sosiodrama (4)
pemberian tugas dan resitasi.
b. Pendekatan Pembiasaan
Pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis
tanpa perencanaan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja tanpa perlu
dipikirkan lagi.7[29] Pendekatan pembiasaan mengajarkan peserta didik agar
7d.

Pendekatan RasionalPendekatan rasional adalah suatu pendekatan

yang menekankan peran rasio (akal) dalam memahami, menerima dan


menghayati ajaran-ajaran Islam. Manusia adalah makhluk Allah yang
diciptakan dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk yang lain. Yang
membedakan antara manusia dan makhluk lain terletak pada akal, karena
hanya manusialah yang diberi akal untuk dapat berpikir.
Dengan menggunakan akalnya, manusia dapat membedakan baik dan
buruk serta dapat menghayati dan membenarkan ajaran-ajaran Islam.
Meskipun di sisi lain kemampuan akal yang dimiliki manusia itu terbatas,
tetapi terbukti dengan akalnya manusia dapat mencapai ketinggian ilmu
pengetahuan. Itulah yang menyebabkan manusia dikatakan sebagai
( manusia adalah makhluk yang mempunyai potensi berpikir),
oleh karena itu sudah semestinya akal dijadikan sebagai alat untuk
merenungi kebesaran Allah dan membuktikan kebenaran ajaran agama
Islam.[30] Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190:

Sesungguhnya di dalam kejadian langit dan bumi terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.
Dengan menggunakan akal untuk memahami ayat-ayat Allah, maka
keyakinan dalam beragama akan semakin kokoh. Metode yang sesuai
dengan pendekatan ini misalnya metode tanya-jawab, kerja kelompok,
e.

diskusi, dan pemberian tugas.


Pendekatan Fungsional
Pendekatan fungsional adalah usaha memberikan materi pengajaran
agama yang menekankan pada aspek kegunaan atau fungsi bagi peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.

terbiasa

mengamalkan

ajaran

agamanya,

secara

personal

maupun

kelompok. Untuk dapat memulai kebiasaan yang baik tidaklah mudah,


membutuhkan waktu yang lama, tetapi bila kebiasaan itu sudah melekat
dalam diri, sulit pula untuk mengubahnya.
Menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik kepada anak sejak dini sangatlah
baik, misalnya membiasakan shalat lima waktu, puasa, dan menolong orang
lain. Islam mengajarkan penganutnya untuk dapat membiasakan kebiasaan
Ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diterima oleh peserta didik
bukanlah hanya sekedar melatih otak, tetapi diharapkan berguna bagi
kehidupan anak saat ini dan kehidupan mendatang ketika sudah terjun
dalam dunia kemasyarakatan. Sabda Nabi Muhammad SAW:
( )
Sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfaat (nilai guna)
bagi manusia.
Pendekatan fungsional yang diterapkan di sekolah dapat menjadikan
agama lebih hidup dan dinamis. Untuk itulah diperlukan metode yang sesuai
dalam pendekatan ini, misalnya metode latihan, demonstrasi, tanya-jawab,
f.

dan ceramah.
Pendekatan Keteladanan
Pendekatan keteladanan adalah memberikan dan memperlihatkan suatu
contoh yang baik, hal ini dapat diperlihatkan secara langsung dalam situasi
interaksi yang akrab antara personal sekolah, perilaku pendidikan dan
tenaga pendidikan lain yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun secara
tidak langsung melalui suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Suri tauladan yang baik dari seorang pendidik kepada peserta didik
adalah kunci kesuksesan dalam mengarahkan dan membentuk moral
spiritual dan sosial anak. Ini dikarenakan kecenderungan anak menganggap
bahwa guru merupakan seorang figur yang bisa dijadikan teladan yang baik
dalam kehidupannya. Kecenderungan manusia untuk belajar dengan meniru
perilaku orang lain, menyebabkan suatu keteladanan menjadi sangat penting
dalam proses pendidikan. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam surat AlAhzab ayat 21:

yang baik, dan dengan kebiasaan tersebut diharapkan peserta didik dapat
mengamalkan agamanya secara berkelanjutan.
Metode yang relevan dengan pendekatan ini misalnya: metode drill,
metode demonstrasi, dan pemberian tugas.
c.

Pendekatan Emosional

B. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim


Pengertian kepribadian muslim adalah kepribadian yang menunjukkan tingkah laku luar,
kegiatan-kegiatan jiwa, dan filsafat hidup serta kepercayaan seorang Islam. Lebih lengkapnya
definisi kepribadian muslim itu sendiri ialah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya baik
tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun filsafat hidup dan kepercayaannya
menunjukkan pengabdian kepada Tuhan penyerahan dirinya kepada-Nya.
Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali
jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian merupakan
suatu proses. Akhir dari perkembangan itu kalau berlangsung dengan baik akan menghasilkan
suatu kepribadian yang harmonis.
Kepribadian itu disebut harmonis kalau segala aspek-aspeknya seimbang, kalau tenaga-tenaga
kerja seimbang pula sesuai dengan kebutuhan.
Pada segi lain kepribadian yang harmonis dapat dikenal, pada adanya keseimbangan antara
peranan individu dengan pengaruh lingkungan sekitarnya.
Perlukah seorang Islam memiliki kepribadian yang harmonis? Dalam Al-Quran dinyatakan
bahwa orang-orang Muslimin haruslah memiliki kepribadian yang harmonis, adapun bunyi
ayatnya :
Artinya :
Dan demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang seimbang, adil, dan harmonis, supaya
kamu menjadi pengawas bagi manusia dan Rasul menjadi pengawas atas kamu. (Qs. AlBaqarah :143)
Bagaimana proses pembentukan kepribadian itu menuju harmonisme?
Proses ini merupakan suatu jalan yang panjang. Banyak taraf-taraf yang harus dilalui. Dengan
kata lain, proses pembentukan kepribadian terdiri atas tiga taraf, yakni :
Pembiasan
Pembentukan pengertian, sikap dan minat
Pembentukan kerohanian yang luhur
1. Pembiasan
Pembagian ini sesuai pula dengan salah satu dasar-dasar perkembangan manusia, bahwa
pembinaan yang lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga kepribadian yang lebih rendah
(jasmaniyah) akan lebih mudah dan lebih dahulu dapat mulai dilaksanakan daripada yang

Pendekatan

emosional

adalah

pendekatan

pendidikan

yang

lebih

menekankan perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini ajaran Islam
serta dapat meresapi dan merasakan mana yang baik dan buruk.
roblematika Pendidikan Islam di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan,
pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi
rahasia public bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau
memerlukan tenaga-tenaga yang lebih tinggi (rohaniah). Caranya dengan mengontrol dan
mempergunakan tenaga-tenaga kejasmanian (terutama) dan dengan bantuan-bantuan tenaga
kejiwaan, kita membiasakan sisterdidik dalam amalan-amalan yang dikerjakan dan yang
diucapkan, sesuai dengan rangka-rangka pembinaan Islam bagian C (rangka-rangka yang
ditugaskan anggota pelaksananya).
Dengan ini, sampailah kita kepada alat-alat pendidikan (alat-alat pembiasan). Alat-alat
pembiasan dapat dibagi atas dua golongan :
Alat-alat langsung, ialah alat-alat yang secara garis lurus searah dengan maksud pembentukan,
meliputi :
Teladan
Anjuran-anjuran, suruhan, perintah, dan sejenisnya
Latihan-latihan
Hadiah dan sejenisnya
Kompetisi dan kooperasi
Alat-alat tidak langsung bersifat pencegah, penekan (repressi) hal-hal yang akan merugikan
maksud pembentukan, meliputi :
Koreksi (pemeriksaan) dan pengawasan
Larangan-larangan dan sejenisnya
Hukuman dan sejenisnya
2. Pembentukan pengertian, sikap dan minat
Pembentukan pada taraf ini bersifat : formil, materiil, dan intensiil (pengarahan).
Formil
Pada taraf ini diberilah pengetahuan dan pengertian. Dalam taraf ini perlu ditanamkan dasardasar kesusilaan yang rapat hubungannya dengan kepercayaan. Pembentukan secara formil
dilaksanakan dengan latihan-latihan cara berpikir, penanaman minat yang kuat dan sikap
(pendirian) yang tepat. Tujuan dari pembentukan formil ini adalah :
Terbentuknya cara berpikir yang baik, dapat menggunakan metode berpikir yang tepat serta
mengambil kesimpulan yang logis.
Terbentuknya minat yang kuat
Terbentuknya sikap yang tepat
Materiil

posisi marginal dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik
pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan adalah
mengembangkan harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar
mampu menjadi khalifah8[1]
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam di Indonesia masih dibalut sejumlah
problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul dari elemen-elemen intern maupun ektern yang
Pembentukan ini berupa pemberian ilmu pengetahuan. Kalau diibaratkan pembentukan formil itu
membuat wadahnya, menyusun dan menempanya agar kuat dan mempunyai bentuk yang
tertentu, maka pembentukan materiil memberi isinya. Isi yang terutama adalah pengetahuanpengetahuan mengenai ilmu-ilmu duniawi, ilmu-ilmu kesusilaan, dan ilmu-ilmu keagamaan.
Dalam pembentukan materiil berupa pemberian ilmu-ilmu duniawi, hendaklah pendidik jangan
berlaku picik, pergunakan sumber ilmu dari mana pun juga. Anak-anak didik telah cukup besar
untuk dapat menepis mana yang berguna bagi mereka dan mana yang tidak. Oleh karena itu,
anak harus dilatih berpikir kritis.

ada di sekitar badan itu sendiri. Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu
berakar dari penyebab eksternal dan penyebab internal 9[2] Problem internal hingga ekternal pun
hadir di tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan internal dalam hal
managemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan ekonomi menambah sederet daftar
problem yang mestinya ditindak lanjuti.
Adapun faktor-faktor internal dalam pendidikan Islam,yaitu :
Pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang
hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga
pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran terhadap hasil
pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di pergunakan untuk menetapkan jenjangjenjang tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.10[3]
Menurut Moh Raqib bahwa problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam selama ini adalah
alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi hal tersebut tampak pada alumni
yang relative banyak tidak mendapat lapangan kerja dan lebih mengandalkan untuk menjadi PNS
sementara lowongan kerja untuk PNS sangat terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas
untuk menciptakan lowongan kerja sendiri.11[4]
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system
pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenag sering kali tidak
menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi

[1] Mastuhu, 2003

pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa
menegemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu
menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang
merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam
penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan
mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai
9

kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan sosial.12[5] Faktanya tak jarang ditemui
guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan;
dan guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar.
Ketiga, faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan
pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun
komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan

[2] Subliyanto: 2010

10

masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan
yang berkualitas.
Selain faktor internal terdapat pula faktor-faktor eksternal yang dihadapi pendidikan
Islam, meliputi :
Pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Alokasi dana
yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di
lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya

[3] Abidin : 2010

11

alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan
Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh
pendidikan umum.
Kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih
didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak
dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Dan lebih
tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.

12

Ketiga ,dapat di katakan bahwa paradigm masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih
sebelah mata. Lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat
diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian
masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya
kepercayaan mereka terhadap lemabga pendidikan islam.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih
dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan
alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan
perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah,
NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi,

kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm. Ini mungkin menjadi
alas an yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada.Dengan
demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output
pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
Diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan
pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang

membina potensi spiritual,

emosional dan intelegensia secara optimal 13[6]. Ketiganya

terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya membentuk paradigma baru di masyarakat


tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam.
Dengan demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigm yang buruk tentang kualitas
pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated
curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan
kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, menciptakan
output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah
perubahan masyarakat.
2.2 Tantangan Pendidikan Islam di Indonesia
Khan (1986), mendevinisikan maksud dan tujuan PAI sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al Quran sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang
terwujud dalam Al Quran dan Al Sunnah.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman
d.

yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat.
Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah

e.

pendidikan yang tidak utuh dan pincang.


Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun ilmu

pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi dan diakui secara universal.
Karena itu, yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti
pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga
pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN, akan tetapi bagaimana menanamkan
nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang
dikaji.
Menurut Center for Moderate Muslim Indonesia, setidaknya ada tiga tantangan pokok
yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia dalam menelusuri arus global yaitu:
1. Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia.
Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada menjadi kendala
mendasar dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dasar dan
menengah masih menggunakan model kurikulum lama dengan mengandalkan pendidikan dasar
agama sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat.
Pembahasan yang diajarkan pun masih banyak menekankan aspek normatif dengan (mohon
maaf) menegesampingkan aspek transformatif dalam konteks sosio-kultural masyarakat kita.

Jangan kaget, apabila ada sekelompok ikhwan yang sudah merasa cukup hanya dengan mengkaji
ilmu-ilmu keislaman yang datang dari tokoh-tokoh salaf dan menganggap tabu ilmu-ilmu lain
(kontemporer) yang sebenarnya sama pentingnya. Kiranya kita perlu menata ulang pemahaman
hadis Nabi Muhammad SAW; man arod al dunya fa alaihi bi al ilmi, wa man aroda alakhirota
fa alaihi bi al ilmi, wa man arodahuma fa alaihi bi al ilmi.
Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang kita pelajari dan bayangkan selama berada
di tempat belajar. Indonesia tidak mungkin dilihat hanya melalui kaca mata sempit. Bagaimana
13

kita akan mampu mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan kalau kita hanya
belajar zaidun qoimun (istilah penulis)? Lembaga-lembaga Islam seperti pesantren perlu
melepaskan diri dari keterkungkungan dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya
agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern.
2. Perubahan Sosial Politik
Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut memberi warna pada dunia pendidikan
Islam. Sebagai negara demokrasi, politik merupakan hal yang tak bisa terhindarkan. Bahkan,
tidak sedikit ulama (pengampu pendidikan Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis.
Mereka yang seharusnya berperan sebagai wasit, malah ikut andil menendang bola. Lalu apa
yang terjadi dengan umat yang ditinggalkannya? Santri-santrinya? Lembaga pendidikannya?
(biar mereka sendiri yang menjawab).
3. Perubahan orientasi.
Sang Proklamator Bung Hatta pernah mengatakan, agama hidup di masyarakat,
sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab
itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap roh perubahan, agar
Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat. Pertanyaannya kemudian,
sudahkah kita dan para tokoh agama merespon wejangan Sang Proklamator? Atau kita hanya
menghormati dan mengingat beliau sebatas mengikuti rituak 17 Agustus-an tanpa mengindahkan
gagasan-gagasan beliau?
Hari ini, tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat,
bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu
pengetahuan. Kejumudan intelektual akut sedang dialami umat. Orientasi dari sekedar mendidik
untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich harus di re(de)konstruksi menjadi paham
terhadap ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora.
2.3

Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan Islam di Indonesia


Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:

[6] Miftah: 2010

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal
pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang
efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang
kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi
Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan saranasarana pendidikan, dan sebagainya.14[7]
14

S-ar putea să vă placă și