Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
I.2. Perumusan Masalah
I.3 Tujuan
I.3.1. Tujuan Umum
I.3.2. Tujuan Khusus
I.4.Manfaat
I.4.1. Bagi Penulis
I.4.2. Bagi Universitas
I.4.3. Bagi Masyarakat
BAB I
PENDAHULUAN
terduga,
dan
dianggap
membahayakan.
Kejadian
ini
dapat
tidak
aman
(termasuk
ancaman
ditinggalkan),
kegagalan
untuk
Behavior
Therapy
(CBT)
adalah
terapi
yang
hak
untuk
mendapatkan
pemeliharaan,
bimbingan,
dan
ayat 24. Ia belum dapat berbuat apa pun, selain menangis. Sudah tentu dalam
kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya
sendiri. Karena itu, anak-anak kecil sangat mendambakan perlindungan dari
orang tua. (Joban, 2014)
Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami,
yang berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental
dan perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang
psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan
prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. (Mujib,
2002)
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut dalam penulisan skripsi berjudul Terapi Berfokus Pada Perilaku
Kognitif Pada Anak Dengan Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) Ditinjau
Dari Kedokteran Dan Islam.
I.3. Tujuan
1.3.1 Umum
Memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan
gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama
Islam
1.3.2 Khusus
1. Mengetahui dan dapat menjelaskan gambaran klinis anak yang mengalami
gangguan stres pasca trauma.
2. Mengetahui dan dapat menjelaskan metode terapi perilaku kognitif pada anak
dengan gangguan stres pasca trauma.
3. Mengetahui dan dapat menjelaskan pandangan kedokteran dan islamterhadap
terapi perilaku kognitif pada anak.
I.4 Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Diharapkan penulis dari skripsi ini dapat bertambahnya pengetahuan
tentang terapi perilaku kognitif yang ditujukan pada anak dengan gangguan
stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Islam, serta
bertambahnya pengalaman dalam cara membuat karya ilmiah yang baik
dan benar.
1.4.2.Bagi Universitas YARSI
Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada Civitas
Akademika Universitas YARSI mengenai pengaruh terapi perilaku kognitif
pada anak dengan gangguan stres pasca trauma dtinjau dari kedokteran dan
BAB II
TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK
DENGAN POST TRAUMATIC STRES DISORDER (PTSD)
psikis
adalah
pengalaman
yang
tiba-tiba
mengejutkan,
dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh
penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita
tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi,
kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang
buruk). (Kaplan, 2010)
Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara
tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak
kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang
tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi
terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap
orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi
pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang
trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya
seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa
kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu
untuk mengatasinya.(National Institute of Mental Health, 2008)
PTSD , atau gangguan stres pasca trauma , merupakan gangguan
kecemasan yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa
traumatis berat. Ketika dalam keadaan bahaya, merupakan hal yang wajar
untuk merasa ketakutan. Ketakutan ini memicu perubahan yang cepat dalam
tubuh
untuk
mempertahankan
tubuh
melawan
bahaya
ataupun
melindungi diri dari bahaya. Tetapi dalam PTSD reaksi ini berubah atau
terganggu. Orang dengan PTSD merasa stres ataupun ketakutan meskipun
mereka sudah tidak lagi dalam bahaya. (National Institute of Mental Health,
2008)
Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis
yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa
seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa
mengakibatkan cedera serius atau kematian sesunggunya atau ancaman
kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano, 2006)
II.1.2. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan stres pasca trauma diperkirakan dari 1
sampai 3 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15
persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara
kelompok risiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa
traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang dari 5 sampai 75
persen.Kira-kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stres pasca
trauma, dan tambahan 25 persen mengalami bentuk gangguan subklinis.
(Kaplan, 2010)
Walaupun gangguan stres pasca traumatik dapat tampak pada setiap usia,
gangguan ini paling menonjol pada usia muda, karena sifat situasi yang
II.1.3. Etiologi
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami
gangguan stres pascatrauma adalah : (Elvira,2010)
A. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.
B. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
10
II.1.3.1Aspek Biologik
Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh
karenaaktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya
perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang
traumatik akanmenimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya
akan
menilai
kondisikeberbahayaan
peristiwa
yang
dialami,
serta
11
akan
bereaksi
dengan
memberikan
stimulus
berupa
tanda
daruratkepada : (Elvira,2010)
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (poros HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah
mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah. Kondisi ini disebut flight or fight reaction. Reaksi ini
juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlahglukosa pada otot-otot skletal
sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapandengan peristiwa
tersebut
atau
jika
mungkin
memberikan
reaksi
interaktif
terhadap
Hormone
(ACTH)
yang
akhirnya
menstimulasi
12
dua zat ini tergantung padaderajat tekanan yang dialami oleh individu.
Katekolamin berperan dalam menyediakan energy yang cukup dari beberapa
organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol
berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa
sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon
kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam
menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek
umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.(Elvira,2010)
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung
untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin
di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang
meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus
menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi
katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya
konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang
dialami. (Elvira,2010)
II.1.3.2.Aspek Psikodinamik
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca
trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang
belum terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik
yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu
13
akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali tereaktivasai dan berusaha
untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal
yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma
adalah : (Elvira,2010)
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia (ketidak mampuan mengungkapkan emosi).
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peranseperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten.
15
bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Dengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stresor.
16
cepat.
Panik, cemas, gugup, dan tertekan.
Sedih, berduka, dan depresi.
Merasa ditolak dan diabaikan.
Takut dan khawatir terhadap efek kejadiannya, peristiwanya akan terjadi
kembali
kejadian
K.
L.
M.
N.
masalah.
D. Kesulitan mengingat dan memaksa melupakan kejadian.
E. Mudah bingung.
F. Menyalahkan diri sendiri atau mengambing hitamkan orang lain.
G. Memandang diri sendiri secara negatif
H. Merasa sendirian dan sepi
I. Ingin menyembunyikan diri
J. Berpikir untuk bunuh diri
Merasa tanpa harapan, merasa kehilangan harapan akan masa depan
Merasa lemah tak berdaya.
Kehilangan minat serta aktivitas yang bisa dilakukan.
Mengingat kembali kejadian traumatik setiap menemui hal-hal yang ada
17
4.
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
5.
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Smith & Segal,
2008)
18
atau
19
20
kecemasan,
ketakutan,
kekhawatiran
yang
kuat
karena
mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam
hal seperti ini, kognitif behavioral dipergunakan untuk mengidentifikasi,
memperbaiki perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat,
yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan pendekatan
kognitif
terapi
berbasis
bukti
(evidence
based
treatment)
yang
diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka
untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini
bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak
yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, trauma
kehilangan (keluarga meninggal), dan kejadian trauma lainnya. (Child Welfare
Information Gateway,2006)
Terapi ini berbasis pembelajaran dan teori kognitif yang dialamatkan
kepada keyakinan menyimpang dan tabiat yang terkait dengan penyiksaan dan
menyediakan lingkungan yang bersifat membantu anak agar dapat berani
membicarakan kejadian traumatic yang dialaminya.TF-CBT juga membantu
21
orangtua terutama orang tua yang tidak kasar untuk mengatasi tekanan
emosialnya. Dan juga membantu mengembangkan keterampilan anak. (Child
Welfare Information Gateway, 2006)
ini
mengidentifikasi
pola
interaksi
antar
keluarga
untuk
merupakan
terapi
jangka
pendek
yang
biasanya
22
23
Metode:
1. Formal, Metode penghitungan yang sudah di standarisasi (misalnya CPSS,
UCLA PTSD RI).
2. Meminta untuk menceritakan kisah mengidentifikasi pikiran atau
perasaan, keterampilan mengatasi kejadian.
24
25
Buku
Games (permainan kata, apa yang kamu tahu? Atau game berpura-pura).
Melalui pencarian internet, video youtube.
Lembar kerja diskusi
Parenting (pengasuh)
P - Parenting (pengasuhan)
Tujuan:
1. Meningkatkan hubungan.
2. Membantu pengasuh mempelajari keterampilan untuk mengelola kesulitan
atau kebiasaan yang tidak pantas terkait dengan trauma untuk mendukung
anak menggunakan keterampilan di rumah.
3. Keterampilan termasuk (namun tidak terbatas pada) : Pujian, waktu Oneon-One , Perhatian atau menghiraukan yang selektif, menghindari
pertengkaran kekuatan, imbalan, dan konsekuensi.
Metode:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Lembar Kerja
Permainan peran (Role Play)
Follow model : Pengajaran
Discuss model
Role play
Umpan balik
Praktek mingguan
Mengamati interaksi dengan anak, pelatihan dan pengajaran keterampilan
baru
26
R - Relaksasi
Tujuan:
1. Memberikan
keterampilan kepada
klien
27
6. Mengidentifikasi hal yang harus dilakukan ketika mersa sedih, down, tidak
waras, cemas, dll.
Metode:
1. Brainstorming perasaan
2. Buku tentang perasaan dan kartu tentang perasaan (books and card about
feelings)
3. Games tentang perasaan (bingo, jenga, mengambil stik)
4. Mengajarkan tentang intensitas dan mengembangkan skala intensitas
5. Diagram pie perasaan (Feelings pie) (satu kejadian, menunjukkan
perasaan yang berbeda dan seberapa banyak)
6. Mengembangkan daftar yang harus dilakukan untuk meregulasi dan
menoleransi emosi ketika stres (perilaku, kognitif, mencari dukungan,
memecahkan masalah).
C - Coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres):
Tujuan:
1. Mengajarkan tentang segitiga kognitif: hubungan antara pikiran, perasaan,
dan perilaku.
2. Membantu klien untuk mengakses pikiran otomatis yang klien tidak secara
langsung menjadi sadar, tetapi yang menyebabkan stresnya atau traumanya
3. Membantu klien dan pengasuh memahami kemampuan kita untuk
mengubah perasaan kita dan perilaku dengan menjadi sadar dan mengubah
pikiran tidak membantu atau tidak akurat.
Metode:
1. Mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku secara hipotesis, yang
berhubungan dengan non-trauma, skenario kehidupan nyata (ruang makan,
ulang tahun, dll)
28
29
trauma yang mungkin telah merubah cara pandangnya pada dirinya, dunia,
keluarga, atau masa depan
2. Mengidentifikasi cara yang lebih akurat dan membantu untuk memikirkan
paparan traumanya, diri, dunia, keluarga, masa depan, dan bekerja secara
konsisten menggantikan pikiran yang telah lalu dengan yang baru.
3. Terpenting dalam TF-CBT : Pastikan klien tidak mendefinisikan dirinya
karena trauma, memandang diri atau masa depan sebagai tidak punya
harapan atau telah rusak
Metode:
1. Mengidentifikasikan pikiran yang bermasalah melalui terapi berasal dari
trauma tersebut
2. Menggunakan teknik pertanyaan Socrates dan klasifikasikan pikiran
(akurat atau tidak; membantu atau tidak; menyesal atau bertanggung
jawab)
3. Bermain peran sebagai teman baik. Dan klien di kondisikan menjadi
terapis. Membuat diagram pie tanggung jawab, mengidentifikasi bukti,
dan pertanyaan yang logis
I in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap trauma)
Tujuan:
1. Memisahkan ingatan trauma atau pemicu rasa takut (mempelajari respon
kecemasan misalnya, takut gelap)
2. Mengurangi penghindaran(avoidance) yang mengganggu fungsi seharihari
Metode:
1. Membuat daftar tangga ketakutan (pemicu dan spesifik yang berkaitan
pemicunya)
30
31
Depresi
Kecemasan
Masalah perilaku
Masalah seksual
Malu yang berhubungan dengan trauma
32
F. Kepercayaan interpersonal
G. Kompetensi sosial
Manfaat TF-CBT untuk orang tua yang anaknya mengalami trauma seperti
kekerasan seksual. Dapat secara efektif menolong orang tua dalam:
A.
B.
C.
D.
E.
TF-CBT
dengan
CCT
(children-centered
therapy).
(Cohen,2011)
Terapi dilakukan 8 sesi diantara 12 sesi yang seharusnya dilakukan.
Dilakukan 45 menit sesi individu selama 8 minggu, sampai seluruh keluarga
menyelesaikan 8 sesi. TF-CBT pada penelitian ini dilakukan (1) komponen
pengaman dilakukan pada awal terapi dan tidak dilakukan ketika akhir terapi.
(2) Narasi trauma tidak berfokus pada memori yang lalu, melainkan berbagi
pengalaman IPV (intimate partner violence) dan kewaspadaan pada ibu yang
ditujukan pada kelainan adapsi kognitif (menyalahkan diri ibu). (3) Penelitian
ini tidak bertujuan menguasai ingatan masa lalu IPV melainkan bertujuan
33
34
anak menjadi 8 anak (75%), sedangkan CCT mengurangi angka gejala PTSD
dari 18 anak menjadi 10 anak (44%) (X = 4.67 , P=0.03) dan mengalami
sedikit efek samping. (Cohen, 2011)
Dalam penelitian PTSD pada anak dengan kekerasan seksual dilakukan
penelitian berdasarkan terapi narasi trauma dan panjang waktu terapi. Pada 87
anak berumur 4-11 tahun dan orang tua melakukan TF-CBT dengan 8 sesi dan
92 anak dan orang tua melakukan 16 sesi. Disetiap kelompok tersebut dibagi
kembali dengan kelompok dengan narasi trauma dan dengan yang tidak.
Didapatkan bahwa 63 (72%) orang pada 8 sesi menyelesaikannya dengan
lengkap dan hanya 50 (54%) orang yang mengikuti 16 sesi dapat
menyelesaikannya. (Deblinger,2011)
Hasilnya didapatkan TF-CBT menunjukan hasil yang positif, dengan
beberapa perbedaan. Pada kelompok dengan 8 sesi narasi trauma efektif dalam
menurunkan ketakutan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan
kecemasan secara umum, dan juga mengurangi stres orang tua pada masalah
penyiksaan. Sedangkan 16 sesi TF-CBT tanpa narasi trauma menuju pada
perubahan paling besar dalam melatih orang tua mengasuh dan mengurangi
masalah eksternal perilaku pada anak. (Deblinger, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
35
Psikiatri.Jakarta
Feldman.
Dorsey,
U.W.
(2010).TF-CBT
PRACTICE
Checklist.https://depts.washington.edu.Diakses tanggal 25 Januari 2015.
Gunarsa, S.D. (2000) Konseling dan Psikoterapi. P.227. Jakarta : PT. BPK
Gunung Mulia.
36
Kaplan, H.I. Sadock, B.J. Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid dua.p.68-75. CiputatTanggerang: Binarupa Aksara.
Mendatu, A. (2010). Pemulihan Trauma,.Yogyakarta : Panduan
Murray,
B.
(2008).
What
Is
Childhood
Trauma?.http://www.upliftprogram.com/ Diakses tanggal 17 Januari
2015]
Noor, M.H.s. (1997). HimpunanIstilah Psikologi, p.164. Surabaya : Pedoman
Ilmu Jaya
Post-Traumatic Stres Disorder (PTSD). (2008). United States: Department of
Health and Human Services, National Institute of Mental Health, diakses
17 Januari 2015, dari http://www.nimh.nih.gov/health/publications/posttraumatic-stres-disorder-ptsd/nimh_ptsd_booklet_38049.pdf.
Setyawan, H. (2014). KPAI : Kasus Pelanggaran Hak Anak Sudah
Memprihatinkan. http://www.kpai.go.id/. Diakses tanggal 17 Januari
2015..
Smith, M. Segal, R (2008). Post-Traumatic Stres Disorder (PTSD):
Symptoms, Treatment, and Self-Help.http://www.helpguide.or. Diakses
tanggal 19 Januari 2015.
37