Sunteți pe pagina 1din 39

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
I.2. Perumusan Masalah
I.3 Tujuan
I.3.1. Tujuan Umum
I.3.2. Tujuan Khusus
I.4.Manfaat
I.4.1. Bagi Penulis
I.4.2. Bagi Universitas
I.4.3. Bagi Masyarakat

BAB II TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK


DENGAN POST TRAUMATIC STRES DISORDER (PTSD
II.1. Post Traumatic Stres Disorder
II.1.1. Definisi
II.1.2.Epidemiologi
II.1.3. Etiologi
II.1.3.1. Aspek Biologik
II.1.3.2. Aspek Psikodinamik
II.1.4. Diagnosis
II.1.5. Gejala
II.2. Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic Stress Disorder
II.2.1. Definisi Cognitive Behavior Therapy
II.2.2. KomponenCognitive Behavior Therapy
II.2.3. Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy
II.2.4. Hasil Penelitian

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Kejadian traumatis pada anak merupakan kejadian yang tiba-tiba,
tidak

terduga,

dan

dianggap

membahayakan.

Kejadian

ini

dapat

mengakibatkan ancaman maupun bahaya fisik yang nyata, yang menyebabkan


rasa takut yang sangat.Hal ini menyebabkan ketidakmampuan anak untuk
mengatasi stres akibat trauma. (Bassuk, 2005)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622
laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.
Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik,
kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap
anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis
sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat
tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan
jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap
anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking
(perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak
160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan
pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)
Seseorang dikatakan mengalami gangguan stres pasca trauma, jika
mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi

hampir setiap orang.Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam,


penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh,
kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stres pasca trauma terdiri
dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh
penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita
tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang presisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan strespascatrauma adalah depresi,
kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang
buruk). (Kaplan, 2010)
Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis
yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa
seperti penyiksaan anak dan kekerasan masyarakat.Peristiwa-peristiwa itu bisa
mengakibatkan cedera serius atau kematian sesungguhnya atau ancaman
kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal. (Albano, 2006)
American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan childhood
abuse merupakan pola interaksi berulang yang mengganggu anak antar orang
tua atau dengan orang dewasa lainnya dan anak menjadi terbiasa dengan
keadaan hubungan seperti tersebut. Selain kekerasan fisik, seksual dan verbal,
ini dapat mencakup apa saja yang menyebabkan anak merasa tidak berharga,
tidak dicintai, tidak aman , dan bahkan perasaan terancam. Contohnya antara
lain meremehkan, merendahkan atau mengejek anak, membuat dia merasa

tidak

aman

(termasuk

ancaman

ditinggalkan),

kegagalan

untuk

mengekspresikan kasih sayang, kepedulian dan cinta, mengabaikan kesehatan


mental, medis atau kebutuhan pendidikan. (Murray, 2008)
Cognitive

Behavior

Therapy

(CBT)

adalah

terapi

yang

mempergunakan gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik


dan lingkungan. Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak
mempergunakan prosedur dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan
perilaku. (Gunarsa, 2000)
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat dari Allah SWT yang
diberikan kepada orang tuanya. Sebagai amanat, anak sudah seharusnya
mempunyai

hak

untuk

mendapatkan

pemeliharaan,

bimbingan,

dan

pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak


akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. (Amshori,
2007)
Trauma disebabkan oleh suatu pengalaman yang sangat menyedihkan
atau melukai jiwanya, sehingga karena pengalaman tersebut sejak saat
kejadian itu hidupnya berubah secara radikal. Pengalaman traumatis dapat
juga bersifat psikologis. Misal mendapat peristiwa yang sangat mengerikan
sehingga dapat menimbulkan kepiluan hati, shock jiwa, dan lain-lain.
(Kartono, 1989)
Allah menjadikan anak begitu dilahirkan dalam keadaan lemah, baik
fisik, mental, maupun akalnya, seperti yang terdapat dalam surat Al-Israa(17)

ayat 24. Ia belum dapat berbuat apa pun, selain menangis. Sudah tentu dalam
kondisi yang demikian lemah seorang anak tidak dapat mengurus dirinya
sendiri. Karena itu, anak-anak kecil sangat mendambakan perlindungan dari
orang tua. (Joban, 2014)
Psikoterapi Islami merupakan bagian dari psikologi terapan Islami,
yang berupaya menggambarkan dan menjelaskan penyebab penyakit mental
dan perilaku abnormal individu dan kelompok serta penyembuhannya. Cabang
psikologi ini menggambarkan dan menjelaskan beberapa penyakit mental dan
prilaku abnormal individu dan kelompok serta menyembuhkannya. (Mujib,
2002)
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
tersebut dalam penulisan skripsi berjudul Terapi Berfokus Pada Perilaku
Kognitif Pada Anak Dengan Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) Ditinjau
Dari Kedokteran Dan Islam.

I.2. Perumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran klinis anak yang mengalami gangguan stres pasca
trauma?
2. Bagaimana metode terapi perilaku kognitif pada anak dengan gangguan stres
pasca trauma?
3. Bagaimana pandangan Islam terhadap terapi perilaku kognitif pada anak?

I.3. Tujuan
1.3.1 Umum

Memahami dan mampu menjelaskan terapi perilaku kognitif pada anak dengan
gangguan stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Agama
Islam

1.3.2 Khusus
1. Mengetahui dan dapat menjelaskan gambaran klinis anak yang mengalami
gangguan stres pasca trauma.
2. Mengetahui dan dapat menjelaskan metode terapi perilaku kognitif pada anak
dengan gangguan stres pasca trauma.
3. Mengetahui dan dapat menjelaskan pandangan kedokteran dan islamterhadap
terapi perilaku kognitif pada anak.

I.4 Manfaat
1.4.1. Bagi Penulis
Diharapkan penulis dari skripsi ini dapat bertambahnya pengetahuan
tentang terapi perilaku kognitif yang ditujukan pada anak dengan gangguan
stres pasca trauma ditinjau dari pandangan kedokteran dan Islam, serta
bertambahnya pengalaman dalam cara membuat karya ilmiah yang baik
dan benar.
1.4.2.Bagi Universitas YARSI
Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada Civitas
Akademika Universitas YARSI mengenai pengaruh terapi perilaku kognitif
pada anak dengan gangguan stres pasca trauma dtinjau dari kedokteran dan

Islam serta menambah koleksi referensi ilmiah bagi perpustakaan


Universitas YARSI.
1.4.3. Bagi Masyarakat
Memberi pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat dalam
menangani anak dengan gangguan stres anak pasca trauma dengan
menggunakan terapi berfokus perilaku kognitif menurut kedokteran dan
Islam.

BAB II
TERAPI BERFOKUS PERILAKU DAN KOGNITIF PADA ANAK
DENGAN POST TRAUMATIC STRES DISORDER (PTSD)

II.1. Post Traumatic Stres Disorder


II.1.1. Definisi
Trauma psikis merupakan pengalaman yang membingungkan secara
psikologis yang mengakibatkan gangguan emosi atau mental, atau jika tidak,
telah meninggalkan pengaruh negatif pada pikiran, perasaan, atau perilaku
seseorang. (Dorland, 2010)
Trauma

psikis

adalah

pengalaman

yang

tiba-tiba

mengejutkan,

meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. (Noor,


1997)
Seseorang dikatakan mengalami gangguan strespasca trauma, jika
mengalami suatu stres emosional yang besar dan menyebabkan trauma bagi
hampir setiap orang.Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam,
penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh,
kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan strespasca trauma terdiri
7

dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan (waking thought), (2) penghindaran yang persisten oleh
penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita
tersebut, dan (3) kewaspadaan berlebihan (hyperarousal) yang persisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pasca trauma adalah depresi,
kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh, pemusatan perhatian yang
buruk). (Kaplan, 2010)
Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara
tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak
kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang
tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi
terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap
orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi
pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang
trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya
seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa
kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu
untuk mengatasinya.(National Institute of Mental Health, 2008)
PTSD , atau gangguan stres pasca trauma , merupakan gangguan
kecemasan yang berkembang pada beberapa orang setelah terjadinya peristiwa
traumatis berat. Ketika dalam keadaan bahaya, merupakan hal yang wajar
untuk merasa ketakutan. Ketakutan ini memicu perubahan yang cepat dalam
tubuh

untuk

mempertahankan

tubuh

melawan

bahaya

ataupun

menghindarinya. Respon Ini disebut fight-or-flight

yang berguna untuk

melindungi diri dari bahaya. Tetapi dalam PTSD reaksi ini berubah atau
terganggu. Orang dengan PTSD merasa stres ataupun ketakutan meskipun
mereka sudah tidak lagi dalam bahaya. (National Institute of Mental Health,
2008)
Kebanyakan anak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
ketakutan, namun sebagian anak mengalami peristiwa-peristiwa traumatis
yang tak lazim, tiba-tiba dan menakutkan. Contoh seperti peristiwa- peristiwa
seperti penyiksaan anak, kekerasan masyarakat. Peristiwa-peristiwa itu bisa
mengakibatkan cedera serius atau kematian sesunggunya atau ancaman
kepada anak-anak sendiri atau seseorang yang mereka kenal (Albano, 2006)

II.1.2. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan stres pasca trauma diperkirakan dari 1
sampai 3 persen populasi umum, walaupun suatu tambahan 5 sampai 15
persen mungkin mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Di antara
kelompok risiko tinggi yang merupakan anggota yang mengalami peristiwa
traumatik, angka prevalensi seumur hidup terentang dari 5 sampai 75
persen.Kira-kira 30 persen veteran Vietnam mengalami gangguan stres pasca
trauma, dan tambahan 25 persen mengalami bentuk gangguan subklinis.
(Kaplan, 2010)
Walaupun gangguan stres pasca traumatik dapat tampak pada setiap usia,
gangguan ini paling menonjol pada usia muda, karena sifat situasi yang

mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres pasca


trauma. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan, dan trauma
untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan, Gangguan
kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomis, atau menarik diri secara sosial. (Kaplan, 2010)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima sebanyak 622
laporan kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari hingga April 2014.
Terdapat 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik,
kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap
anak, sejak Januari hingga April 2014 sebanyak 94 kasus, kekerasan psikis
sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Dalam empat
tahun terakhir kasus kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2013 dengan
jumlah kasus sebanyak 1.615. Sedangkan pada 2011 kasus kekerasan terhadap
anak sebanyak 261 kasus, 2012 sebanyak 426 kasus. Data kasus trafficking
(perdagangan manusia) dan eksploitasi terhadap anak pada 2011 sebanyak
160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus sedangkan
pada 2014 hingga April sebanyak 76 kasus. (Setyawan, 2014)

II.1.3. Etiologi
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami
gangguan stres pascatrauma adalah : (Elvira,2010)
A. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.
B. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
10

C. Kecendrungan untuk mudah menjadi khawatir.


D. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial.
E. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
kesulitan menyesuaikan diri.
F. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
G. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi
atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.Tipe kejadian yang
cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stres pascatrauma
dapat dikategorikan menjadi :
a) Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal
b) Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam
nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh
manusia
c) Trauma berulang dan bersifat kronik

II.1.3.1Aspek Biologik
Gejala-gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh
karenaaktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya
perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang
traumatik akanmenimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya
akan

menilai

kondisikeberbahayaan

peristiwa

yang

dialami,

serta

mengorganisasi suatu respons perilakuyang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala


merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan
mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahanneurokimiawi di
otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa

11

sebagai respons tubuh untuk mengahadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu


beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan
segera

akan

bereaksi

dengan

memberikan

stimulus

berupa

tanda

daruratkepada : (Elvira,2010)
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Poros hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (poros HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah
mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah. Kondisi ini disebut flight or fight reaction. Reaksi ini
juga akan meningkatkan aliran darah dan jumlahglukosa pada otot-otot skletal
sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapandengan peristiwa
tersebut

atau

jika

mungkin

memberikan

reaksi

interaktif

terhadap

ancamanyang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan


tubuh, namun respons inibekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan
respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Aksis HPA juga akan
terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan
dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Corticotropin
Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya,
sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran
Adenocorticotropic

Hormone

(ACTH)

yang

akhirnya

menstimulasi

pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. (Elvira,2010)


Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol, pengeluaran ke

12

dua zat ini tergantung padaderajat tekanan yang dialami oleh individu.
Katekolamin berperan dalam menyediakan energy yang cukup dari beberapa
organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol
berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa
sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa
traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon
kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam
menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek
umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.(Elvira,2010)
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung
untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin
di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang
meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus
menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi
katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya
konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang
dialami. (Elvira,2010)

II.1.3.2.Aspek Psikodinamik
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stres pasca
trauma terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang
belum terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik
yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu

13

akan tereaktivasi kembali. Sistem ego akan kembali tereaktivasai dan berusaha
untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi. Hal-hal
yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma
adalah : (Elvira,2010)
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia (ketidak mampuan mengungkapkan emosi).
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stres pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peranseperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten.

II.1.4.Diagnosis Post Traumatic Stres Disorder


Berikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma
menurut DSM-IV yaitu: (Kaplan, 2010)
A. Seseorang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat:
14

1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu


kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian
yang sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik
diri sendiri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang kacau
atau teragitasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)
cara berikut:
1. Kenangan penderitaan, berulang, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk bayangan, pikiran atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat
menunjukan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anakanak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
(termasuk perasaan menghidupkan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi,
dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun
atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat menghidupkan
kembali yang spesifik dengan trauma.
4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian
traumatik.
5. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan
kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti
yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

15

1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang


berhubungan dengan trauma.
2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan
kenanangan dengan trauma.
3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6. Rentang efek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki perasaan
cinta).
7. Persaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap
memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal).
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
1.
2.
3.
4.
5.
E.

trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut:


Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.
Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
Sulit berkonsentrasi.
Kewaspadaan yang berlebihan.
Respon kejut yang berlebihan.
Lama gangguan (gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4) adalah lebih dari satu

bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
Akut : Jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : Jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Dengan onset lambat : Onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stresor.

II.1.5. Gejala Post Traumatic Stress Disorder

16

Ketika trauma terjadimaka akan memberikan respons secara total, baik


secaraemosional, kognitif, perilaku, maupun psikologis. Di bawah ini
merupakan respon orang yang mengalami trauma. (Mendatu, 2010)
1. Respon emosional
A.
Respon seseorang jika menghadapi traumatik yaitu seperti kesulitan
mengontrol emosi.
B. Lebih mudah tersinggung dan marah.
C. Gampang diagitasi dan mudah terpancing.
D. Mood mudah berubah, dari baik keburuk dan sebaliknya terjadi begitu
E.
F.
G.
H.

cepat.
Panik, cemas, gugup, dan tertekan.
Sedih, berduka, dan depresi.
Merasa ditolak dan diabaikan.
Takut dan khawatir terhadap efek kejadiannya, peristiwanya akan terjadi

lagi, akan menimpa orang-orang terdekatnya.


I. Memberikan respon emosional yang tidak sesuai.
2. Respon kognitif
A. Sering mengalami flashback, atau mengingat

kembali

kejadian

traumatiknya. Saat mengalaminya, seolah-olah kejadiannya dialami


kembali secara nyata.
B. Mimpi buruk
C. Kesulitan berkomunikasi, mengambil keputusan, dan memecahkan

K.
L.
M.
N.

masalah.
D. Kesulitan mengingat dan memaksa melupakan kejadian.
E. Mudah bingung.
F. Menyalahkan diri sendiri atau mengambing hitamkan orang lain.
G. Memandang diri sendiri secara negatif
H. Merasa sendirian dan sepi
I. Ingin menyembunyikan diri
J. Berpikir untuk bunuh diri
Merasa tanpa harapan, merasa kehilangan harapan akan masa depan
Merasa lemah tak berdaya.
Kehilangan minat serta aktivitas yang bisa dilakukan.
Mengingat kembali kejadian traumatik setiap menemui hal-hal yang ada

kaitannya dengan traumatic.


3. Respon perilaku

17

4.
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
5.

A.
B.
C.
D.

Kesulitan mengontrol tindakan


Lebih banyak berkonflik dengan orang lain
Menghindari kebiasaan lama
Menghindari orang, tempat, atau sesuatu yang berhubungan dengan

E.
F.
G.
H.
I.
J.

peristiwa traumatik, dan enggan membicarakanya.


Melamun
Kurang memperhatikan diri sendiri
Kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari
Sering menangis tiba-tiba.
Sulit belajar atau berkerja
Mengalami ganguan tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, tidur sangat

larut dan bangun siang, tidur berlebihan.


K. Mengalami ganguan makan, yang diantaranya kehilangan selera makan.
L. Gampang terkejut
Respon fisiologis atau fisik
Sakit kepala
Nyeri
Sakit dada atau dada sesak
Sulit bernafas
Sakit perut
Berkeringat berlebihan
Gemetar
Lemah dan lesu
Letih
Otot tegang atau kulit dingin
Hilang keseimbangan tubuh atau merasa berguncang
Beberapa respon anak-anak masa sekolah dasar yang mengalami traumatik
A. Mimpi buruk
B. Sulit tidur
C. Rasa takut dan tidak beralasan
D. Merasa sangat malu atau sangat bersalah
E. Menolak masuk sekolah atau khawatir berangkat kesekolah
F. Kesulitan memberikan perhatian atau konsentrasi
G. Mengeluh sakit perut dan sakit lainnya padahal tidak ada masalah medis
apapun
H. Cemas, melamun, kadang menanggis dan merasa bersalah

Secara umum gejala PTSD dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (Smith & Segal,
2008)

18

1. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (Re-Experiencing Symptoms)


A. Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak
menyenangkan mengenai peristiwa traumatik tersebut. Terulangnya
bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah dialami,
B. Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.
C. Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan
terulang kembali, terkadang ini disebut sebagai "flashback"
D. Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa
traumatik tersebut
E. Terjadi respon fisiologis, seperti jantung berdetak kencang

atau

berkeringat ketika teringat akan peristiwa traumatik tersebut


2. Menghindar (Avoidance Symptoms)
A. Berusaha keras untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan
mengenai peristiwa traumatik tersebut.
B. Berusaha keras untuk menghindari tempat atau orang-orang yang dapat
C.
D.
E.
F.

mengingatkan kembali akan peristiwa traumatik tersebut .


Tidak ingin mengingat kembali bagian penting dari peristiwa traumatik.
Kehilangan ketertarikan atas aktivitas positif yang penting.
Merasa "jauh" atau seperti ada jarak dengan orang lain.
Mengalami kesulitan untuk merasakan perasaan-perasaan positif, seperti

kesenangan, kebahagiaan atau cinta, dan kasih sayang.


G. Ketakberdayaan atau ketumpulan emosional dan menarik diri.
H. Merasakan seakan-akan hidup seperti terputus ditengah-tengah. Tidak
mempunyai harapan untuk dapat kembali menjalani hidup dengan normal,
menikah dan memiliki karir.
I. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara
3.
A.
B.
C.

efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll)


Hyperarousal Symptoms
Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah.
Mudah atau lekas marah yang meledak-ledak.
Memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi .
D. Selalu merasa seperti sedang diawasi atau merasa seakan-akan bahaya

mengincar di setiap sudut.


E. Menjadi gelisah, tidak tenang, mudah terpicu atau sangat waspada.

19

F.Terlalu siaga atauwaspada yang disertai ketergugahan atau keterbangkitan


secara kronis. Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, maka akan
mempengaruhi kepribadian seseorang (perubahan kepribadian). Seperti
paranoid (mudah curiga) misalnya. Kesulitan hal ini adalah jarang sekali
penderita dengan kesadaranya datang ke para ahli. Apalagi stigma yang
beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan orang sakit jiwa atau
gila.

II.2.Tatalaksana Non-Farmakologis Anak Dengan Post Traumatic


Stress Disorder
II.2.1. Definisi Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah terapi yang mempergunakan
gabungan antara tiga pendekatan yaitu biomedik, intrapsikik dan lingkungan.
Dalam melakukan terapi dengan teknik ini banyak mempergunakan prosedur
dasar untuk melakukan perubahan kognitif dan perilaku, misal seperti:
pengamatan diri, kontrak dengan diri sendiri, dan artian lebih luas teknik ini
mengajarkan keterampilan kepada klien dalam menghadapi suasana yang
menimbulkan kegoncangan dikemudian hari. Terapi ini didasarkan pada teori
bahwa efek keadaan emosi, perasaan, dantindakan seseorang, sebagian besar
ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut membentuk dunianya. Jadi
bagaimana seseorang berfikir, menentukan bagaimana perasaan dan reaksinya.

20

Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian kejadiaan di


dalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang,
berhubungan erat dengan isi pikiran, misalnya seorang mederita ansietas atau
ganguan

kecemasan,

ketakutan,

kekhawatiran

yang

kuat

karena

mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. Dalam
hal seperti ini, kognitif behavioral dipergunakan untuk mengidentifikasi,
memperbaiki perilaku yang tidak sesuai, dan fungsi kognisi yang terhambat,
yang mendasari aspek kognitifnya yang ada. Terapis dengan pendekatan
kognitif

behavior mengajar klien agar berpikir lebih realistik dan sesuai

sehingga dengan demikian akan mengilangkan atau mengurangi gejala


berkelainan yang ada. (Gunarsa, 2000).
Trauma focused cognitive behavior therapy (TF-CBT) adalah sebuah
pendekatan

terapi

berbasis

bukti

(evidence

based

treatment)

yang

diperuntukan untuk menolong anak atau remaja, dan juga pendamping mereka
untuk mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan trauma. Terapi ini
bertujuan untuk mengurangi emosi negatif dan respon perilaku terkait anak
yang mengalami kejahatan seksual, kekerasan rumah tangga, trauma
kehilangan (keluarga meninggal), dan kejadian trauma lainnya. (Child Welfare
Information Gateway,2006)
Terapi ini berbasis pembelajaran dan teori kognitif yang dialamatkan
kepada keyakinan menyimpang dan tabiat yang terkait dengan penyiksaan dan
menyediakan lingkungan yang bersifat membantu anak agar dapat berani
membicarakan kejadian traumatic yang dialaminya.TF-CBT juga membantu

21

orangtua terutama orang tua yang tidak kasar untuk mengatasi tekanan
emosialnya. Dan juga membantu mengembangkan keterampilan anak. (Child
Welfare Information Gateway, 2006)

II.2.2. Komponen Cognitive Behavior Therapy


Berikut adalah komponen dari TF-CBT:(Child Welfare Information Gateway,
2006)
1. Cognitive Therapy
Bertujuan untuk merubah perilaku atau kebiasaan dengan cara mengatasi
persepsi pemikiran seseorang , khususnya pola pikir yang menyimpang.
2. Terapi Perilaku (Behavior Therapy)
Terapi ini berfokus merubah respon perilaku seseorang contohnya seperti
marah dan ketakutan untuk dapat mengidentifikasi situasi atau stimulus
3. Family Therapy
Terapi

ini

mengidentifikasi

pola

interaksi

antar

keluarga

untuk

mengidentifikasi dan mengatasi masalah.


TF-CBT

merupakan

terapi

jangka

pendek

yang

biasanya

membutuhkan 12 sampai 18 sesi dengan jangka waktu 60 sampai 90 menit


atau lebih, tergantung dari kebutuhan. Biasanya intervensi ini membutuhkan
rawat jalan di fasilitas kesehatan, tetapi sekarang sudah menggunakan rumah
sakit, kelompok rumah, sekolah, komunitas, dan pengaturan di rumah.Terapi
ini membutuhkan sesi untuk anak dan orang tua (pendamping) secara terpisah
dan tergabung.Setiap sesi dibentuk untuk meningkatkan hubungan terapetik

22

sekaligus menyediakan edukasi, keterampilan dan lingkungan yang aman


untuk mengatasi dan memproses ingatan tentang trauma.Gabungan sesi orang
tua dan anak dibuat untuk menolong orang tua dan anak dalam menggunakan
keeterampilan yang mereka pelajari, sementara juga mendorong lebih efektif
komunikasi orang tua dan anak dalam mengatasi kekerasan dan masalah
terkait lainnya.(Child Welfare Information Gateway, 2006)
Komponen protokol TF-CBT dapat diringkas dengan kata "PPRACTICE"
yang terdiri dari psikoedukasi, pengasuhan (parenting), relaksasi, modulasi
afektif, coping kognitif (usaha untuk mengatasi stress), narasi trauma serta
trauma processing, in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap
trauma),Conjoint Sessions (sesi gabungan), Enchancing Safety (meningkatkan
keselamatan). (Feldman, 2010)

23

Sumber : Cohen et al (2010)


Penilaian secara umum
Tujuan:
1.
2.
3.
4.

Mengidentifikasi riwayat pajanan traumatis.


Mengidentifikasi gejala PTSD.
Menentukan dasar (baseline).
Mengamati klien atau keluarga selama proses penilaian (pengamatan klinis).

Metode:
1. Formal, Metode penghitungan yang sudah di standarisasi (misalnya CPSS,
UCLA PTSD RI).
2. Meminta untuk menceritakan kisah mengidentifikasi pikiran atau
perasaan, keterampilan mengatasi kejadian.

24

3. Untuk anak-anak dapat melalui bacaan buku seperti A Terrible Thing


Happened dan mendiskusikan gejala (Penilaian informal)
4. Mendapatkan perspektif perawat tentang gejala atau perilaku anak.
5. Menilai konteks trauma dengan menanyakan tentang lingkungan,
perkembangan dan faktor sosial.
Pelaksanaan secara umum
Tujuan:
1. Mendapatkan solusi untuk menerapi klien atau keluarga.
2. Menetapkan tujuan terapi bersama.
3. Mengurangi resistensi sehingga memungkinkan pengobatan sesuai fungsi
yang telah di tentukan.
Metode:
1. Merujuk kembali kepada penilaian hasil dan gejala.
2. Mengidentifikasi dan menghubungkan tujuan anak atau pengasuh dan
indikator kemajuan atau keberhasilan.
3. Mengidentifikasi penghargaan dari luar dan motivasi yang dapat di
manfaatkan.
4. Ketika motivasi menjadi penghalang gunakan teknik motivasi wawancara:
(lembar kerja keseimbangan keputusan: penilaian kepentingan dan
kepercayaan diri untuk berubah).
P - Psikoedukasi
Tujuan:
1. Mengajar, menormalisasi, dan memvalidasikan gejala PTSD: Bahwa kau
waras (Youre not crazy).
2. Menormalisasikan paparan dari trauma: Anda tidak sendirian atau bukan
satu-satunya.
3. Mengurangi penyalahan diri: ini bukanlah salahmu.

25

4. Menjelaskan TF-CBT (komponen dan struktur): Bahwa ada harapan, kita


mempunyai terapi yang dapat berhasil.
5. Memperjelas tujuan dari terapi: Mengapa terapi penting tiap minggunya
untuk melakukan latihan.
Metode:
Untuk masing-masing pertanyaan menggunakan teknik Socrates.
1.
2.
3.
4.
5.

Buku
Games (permainan kata, apa yang kamu tahu? Atau game berpura-pura).
Melalui pencarian internet, video youtube.
Lembar kerja diskusi
Parenting (pengasuh)

P - Parenting (pengasuhan)
Tujuan:
1. Meningkatkan hubungan.
2. Membantu pengasuh mempelajari keterampilan untuk mengelola kesulitan
atau kebiasaan yang tidak pantas terkait dengan trauma untuk mendukung
anak menggunakan keterampilan di rumah.
3. Keterampilan termasuk (namun tidak terbatas pada) : Pujian, waktu Oneon-One , Perhatian atau menghiraukan yang selektif, menghindari
pertengkaran kekuatan, imbalan, dan konsekuensi.
Metode:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Lembar Kerja
Permainan peran (Role Play)
Follow model : Pengajaran
Discuss model
Role play
Umpan balik
Praktek mingguan
Mengamati interaksi dengan anak, pelatihan dan pengajaran keterampilan
baru

26

R - Relaksasi
Tujuan:
1. Memberikan

keterampilan kepada

klien

untuk digunakan dalam

lingkungan mereka (rumah dan sekolah) untuk menangani stres mereka.


2. Membuat toolbox untuk merujuk kembali kapan saatnya bekerja pada
narasi trauma.
3. Mengajarkan perbedaan antara relaksasi dan toleransi stres untuk
mengidentifikasi yang mana lebih berpengaruh pada klien.
Metode:
1. Mengidentifikasi dan meningkatkan keterampilan yang sudah dipakai
(hobi, musik, olahraga, dll.).
2. Memainkan game relaksasi (melempar bola atau bermain basket).
3. Mengajarkan yoga, kesadaran, panduan pencitraan, kontrol pernapasan,
Relaksasi otot pernafasan.
4. Mendengarkan lagu.
A - Modulasi Afektif
Tujuan:
1. Membantu anak mengidentifikasi perasaan dan mengembangkan kosakata
untuk digunakan diluar sesi dan di dalam sesi.
2. Membantu anak mengerti perasaan berbeda atau bertentangan seecara
sekaligus yang bertujuan menormalkan simulasi perasaan yang berganda.
3. Mengajarkan
segitiga
kognisi
(Triangle
of
Cognitive):
Hubungannyadiantara pikiran, perasaan, dan perilaku.
4. Dapat merasakan perasaan pada intensitas yang berbeda (menggunakan
gambaran thermometer atau jumlah sebuah makanan)
5. Mengidentifikasi perasaan terkait dengan peristiwa traumatis, memikirkan
hal itu ketika itu terjadi dan sekarang ketika hal itu telah terjadi.

27

6. Mengidentifikasi hal yang harus dilakukan ketika mersa sedih, down, tidak
waras, cemas, dll.
Metode:
1. Brainstorming perasaan
2. Buku tentang perasaan dan kartu tentang perasaan (books and card about
feelings)
3. Games tentang perasaan (bingo, jenga, mengambil stik)
4. Mengajarkan tentang intensitas dan mengembangkan skala intensitas
5. Diagram pie perasaan (Feelings pie) (satu kejadian, menunjukkan
perasaan yang berbeda dan seberapa banyak)
6. Mengembangkan daftar yang harus dilakukan untuk meregulasi dan
menoleransi emosi ketika stres (perilaku, kognitif, mencari dukungan,
memecahkan masalah).
C - Coping kognitif (usaha untuk mengatasi stres):
Tujuan:
1. Mengajarkan tentang segitiga kognitif: hubungan antara pikiran, perasaan,
dan perilaku.
2. Membantu klien untuk mengakses pikiran otomatis yang klien tidak secara
langsung menjadi sadar, tetapi yang menyebabkan stresnya atau traumanya
3. Membantu klien dan pengasuh memahami kemampuan kita untuk
mengubah perasaan kita dan perilaku dengan menjadi sadar dan mengubah
pikiran tidak membantu atau tidak akurat.
Metode:
1. Mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku secara hipotesis, yang
berhubungan dengan non-trauma, skenario kehidupan nyata (ruang makan,
ulang tahun, dll)

28

2. Membaca buku atau melakukan tugas yang mengidentifikasi atau


melabelkan pikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Bermain game memasangkan sebuah pikiran, perasaan dan perilaku
4. Mengidentifikasi manfaat atau keakuratan cara berpikir untuk merasa lebih
baik, ketika pikiran sedang dalam keadaan kesulitan perasaan maupun
perilaku.
T Narasi Trauma
Tujuan:
1. Memberikan paparan kenangan trauma yang membuat klien menghindari
atau penyebab stresnya (pikiran mengganggu, mimpi buruk,flash back)
2. Mengidentifikasi kognisi tidak membantu atau tidak akurat yang perlu di
proses
3. Mengidentifikasi pikiran yang berhubungan dengan pandangan dunia yang
berubah atau melihat diri, terkait paparan trauma atau dalam konten
trauma (mungkin saat ini bersama pengasuh ).
Metode:
1. Hampir semua yang melibatkan klien dapat berasal dari buku, gambar,
acara radio, lagu, puisi, video, rekaman suara bersama terapis menuliskan
secara narasi
2. Bekerja bersama pengasuh
3. Mengingatkan kejadian menyenangkan di akhir
4. Mengingatkan tentang analogi (contoh: bola di kolam berenang, dll)
Cognitive processingatautrauma processing
Tujuan:
1. Mengidentifikasi pikiran yang tidak membantu dan tidak akurat;
membantu klien atau pengasuh melihat dan mengevaluasi cara paparan

29

trauma yang mungkin telah merubah cara pandangnya pada dirinya, dunia,
keluarga, atau masa depan
2. Mengidentifikasi cara yang lebih akurat dan membantu untuk memikirkan
paparan traumanya, diri, dunia, keluarga, masa depan, dan bekerja secara
konsisten menggantikan pikiran yang telah lalu dengan yang baru.
3. Terpenting dalam TF-CBT : Pastikan klien tidak mendefinisikan dirinya
karena trauma, memandang diri atau masa depan sebagai tidak punya
harapan atau telah rusak
Metode:
1. Mengidentifikasikan pikiran yang bermasalah melalui terapi berasal dari
trauma tersebut
2. Menggunakan teknik pertanyaan Socrates dan klasifikasikan pikiran
(akurat atau tidak; membantu atau tidak; menyesal atau bertanggung
jawab)
3. Bermain peran sebagai teman baik. Dan klien di kondisikan menjadi
terapis. Membuat diagram pie tanggung jawab, mengidentifikasi bukti,
dan pertanyaan yang logis
I in-vivo exposure (paparan secara langsung terhadap trauma)
Tujuan:
1. Memisahkan ingatan trauma atau pemicu rasa takut (mempelajari respon
kecemasan misalnya, takut gelap)
2. Mengurangi penghindaran(avoidance) yang mengganggu fungsi seharihari
Metode:
1. Membuat daftar tangga ketakutan (pemicu dan spesifik yang berkaitan
pemicunya)

30

2. Dalam sesi latihan dikombinasikan dengan latihan mingguan di rumah.


3. Perlu untuk memanfaatkan atau mendapat dukungan dari perawat dan
pendukung klien dari lingkungan hidup.
4. Memanfaatkan insentif dan penghargaan (dalam sesi; di rumah :
Keterampilan sang orang tua memuji dan memberi imbalan).
5. Menggunakan keterampilan coping (termasuk mengatasi kognitif) yang
telah diajarkan sebelumnya
C Conjoint Sessions (sesi gabungan)
Tujuan:
1. Memberikan kesempatan untuk memuji, mendukung, memberi dorongan
dari orang dewasa yang terpercaya
2. Merayakan apapun yang telah dicapai anak dengan orang dewasa yang
terpercaya
3. Membiarkan orang dewasa mendengarkan pandangan anak
4. Membiarkan kesempatan untuk berdiskusi antara pengasuh dan anak
(pertanyaan, kekhawatiran, umpan balik, dll.)
Metode:
1. Menyiapkan sesi bersama dengan membaca narasi trauma yang dilakukan
oleh pengasuh
2. Menyiapkan dan memainkan perantanya jawab, dan umpan balik, dengan
pengasuh dan anak.
3. Mengidentifikasi bantuan keterampilan coping untuk pengasuh. Jika
diperlukan.
E Enchancing Safety (Meningkatkan Keselamatan)
[Ini didahulukan jika keamanan menjadi prioritas]
Tujuan:

31

1. Memberikan rencana keamanan untuk membantu anak (dan pengasuh)


merasakan rasa aman (ini juga merupakan keterampilan coping)
2. Mengembangkan rencana keamanan dalam hal cedera diri, pikiran untuk
bunuh diri, dan lain-lain.
3. Mengajarkan keterampilan keselamatan yang dapat digunakan klien untuk
masa depan atau ketika sudah tidak melakukan terapi.
Metode:
1. Membentuk rencana keselamatan yang formal
2. Mengidentifikasi resiko, pemicu, peringatan tanda bahaya (diri sendiri
maupun orang lain)
3. Keterampilan bermain peran, biasanya dengan pengasuh
4. Mengajarkan batas-batas yang tepat, persahabatan, dll.

II.2.3.Manfaat Trauma Focused Cognitive Behavior Therapy


TF-CBT mengurangi gejala stres pasca-trauma, yang ditandai oleh
masalah yang mempengaruhi regulasi, fungsi perilaku, hubungan,perhatian
dan kesadaran, persepsi diri, somatisasi, dan sistem makna. Ini dibuktikan
dengan berkurangnya kondisi-kondisi sebagai berikut: (Cohen, 2004)
A. Berkurangnya kenangan mengganggu, pikiran atau mimpi tentang trauma.
B. Berkurangnya gejala menghindari trauma (avoidance symptoms).
C. Berkurangnya mati rasa emosional.
D. Berkurangnya hiperarousal (kewaspadaan berlebih) secara fisiologis
maupun psikologis.
E. Berkurangnya gangguan bermakna dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat TF-CBT untuk anak dan remaja adalah dalam perbaikan gejala
sebagai berikut:
A.
B.
C.
D.
E.

Depresi
Kecemasan
Masalah perilaku
Masalah seksual
Malu yang berhubungan dengan trauma
32

F. Kepercayaan interpersonal
G. Kompetensi sosial
Manfaat TF-CBT untuk orang tua yang anaknya mengalami trauma seperti
kekerasan seksual. Dapat secara efektif menolong orang tua dalam:
A.
B.
C.
D.
E.

Mengatasi perasaan depresi orang tua secara umum.


Mengatasi gejala PTSD pada orang tua.
Mengatasi tekanan emosional terhadap trauma anak.
Meningkatkan keahlian mengasuh.
Meningkatkan keterampilan mendukung anak.

II.2.4. Hasil Penelitian


Dalam penelitian dengan menggunakan metode TF-CBT (trauma focused
cognitive behavior therapy), yang dilakukan pada 124 anak berusia 7 14
tahun. Penelitian ini dilakukan diantara bulan September 2004 sampai Juni
2009. Penelitian ini mengintervensi ibu dan anak yang mengalami masalah
kekerasan pasangan intim antara suami dan istri.Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan.

TF-CBT

dengan

CCT

(children-centered

therapy).

(Cohen,2011)
Terapi dilakukan 8 sesi diantara 12 sesi yang seharusnya dilakukan.
Dilakukan 45 menit sesi individu selama 8 minggu, sampai seluruh keluarga
menyelesaikan 8 sesi. TF-CBT pada penelitian ini dilakukan (1) komponen
pengaman dilakukan pada awal terapi dan tidak dilakukan ketika akhir terapi.
(2) Narasi trauma tidak berfokus pada memori yang lalu, melainkan berbagi
pengalaman IPV (intimate partner violence) dan kewaspadaan pada ibu yang
ditujukan pada kelainan adapsi kognitif (menyalahkan diri ibu). (3) Penelitian
ini tidak bertujuan menguasai ingatan masa lalu IPV melainkan bertujuan

33

untuk mengoptimalkan kemampuan anak untuk mendiskriminasikan antara


bahaya nyata dengan bahaya umum. (Cohen, 2011)

Sumber : Cohen (2011)


Menurut K-SADS-PL (Kiddie Schedule for Affective Disorders and
Schizophrenia for School-Age Children-Present and Lifetime) total skor untuk
menilai gejala. TF-CBT menunjukan hasil peningkatan yang lebih bermakna
dibandingkan CCT. (mean difference, 1.63; 95% CI, 0.44 - 2,82). Reaction
Index (RI) score (mean difference, 5.5.; 95% CI, 0.22 - 1.20), K-SADS-PL
hyperarousalscore (0.71, 95% CI, 0.22 - 1.20). K-SADS-PL avoidance score
(0.55;95% CI, 0.07 - 1.03), dan Screen for Child Anxiety Related Emotional
Disorders (SCARED) (Mean difference, 5.13;95% CI, 1.31 - 8.96). Yang
menyelesaikan TF-CBT mengalami perbedaan yang bermakna dalam
mengurangi angka PTSD. TF-CBT mengurangi angka gejala PTSD dari 32

34

anak menjadi 8 anak (75%), sedangkan CCT mengurangi angka gejala PTSD
dari 18 anak menjadi 10 anak (44%) (X = 4.67 , P=0.03) dan mengalami
sedikit efek samping. (Cohen, 2011)
Dalam penelitian PTSD pada anak dengan kekerasan seksual dilakukan
penelitian berdasarkan terapi narasi trauma dan panjang waktu terapi. Pada 87
anak berumur 4-11 tahun dan orang tua melakukan TF-CBT dengan 8 sesi dan
92 anak dan orang tua melakukan 16 sesi. Disetiap kelompok tersebut dibagi
kembali dengan kelompok dengan narasi trauma dan dengan yang tidak.
Didapatkan bahwa 63 (72%) orang pada 8 sesi menyelesaikannya dengan
lengkap dan hanya 50 (54%) orang yang mengikuti 16 sesi dapat
menyelesaikannya. (Deblinger,2011)
Hasilnya didapatkan TF-CBT menunjukan hasil yang positif, dengan
beberapa perbedaan. Pada kelompok dengan 8 sesi narasi trauma efektif dalam
menurunkan ketakutan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan
kecemasan secara umum, dan juga mengurangi stres orang tua pada masalah
penyiksaan. Sedangkan 16 sesi TF-CBT tanpa narasi trauma menuju pada
perubahan paling besar dalam melatih orang tua mengasuh dan mengurangi
masalah eksternal perilaku pada anak. (Deblinger, 2011)

DAFTAR PUSTAKA

35

Albano, A.M. (2006). Mendampingi Anak Pasca Trauma.p.73. Jakarta:


Prestasi Pustaka Publisher.
Amshori, I. (2007). Pelindungan Anak Menurut Perspektif Islam. P.1. Jakarta:
KPAI.
Bassuk, E.L. Et al. (2006). Understanding traumatic stress ini children.U.S:
The National Center on Family Homelessness.
Child Welfare Information Gateway. (2006). Trauma-focused cognitive
behavioral therapy: Addressing the mental health of sexually abused
children. Washington, DC: U.S. Department of Health and Human
Services.
Cohen, J.A. Mannarino, A. (2004). How to Implement Trauma-Focused
Cognitive Behavioral Therapy.DC: U.S. Department of Health and
Human Services.
Cohen, J.A. Et al. (2010). Trauma focused CBT for children with co-ocurring
trauma and behavior problems. Pittsburgh : Department of Psychiatry.
Cohen, J.A. Mannarino, A. Lyengar S. (2011). Community Treatment of
Posttraumatic Stres Disorder for Children Exposed to Intimate Partner
Violence. U.S. : American Medical Association
Deblinger, E. Et al. (2011). Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy
For Children: Impact Of The Trauma Narrative And Treatment Length.
Depression and Anxiety. 28. P.67-75
Dorland, W.A. Newman (2010). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31, p.2281.
Jakarta : EGC
Elvira, D. Sylvia, G.H. (2010).Buku Ajar
FakultasKedokteran Universitas Sriwijaya.

Psikiatri.Jakarta

Feldman.
Dorsey,
U.W.
(2010).TF-CBT
PRACTICE
Checklist.https://depts.washington.edu.Diakses tanggal 25 Januari 2015.
Gunarsa, S.D. (2000) Konseling dan Psikoterapi. P.227. Jakarta : PT. BPK
Gunung Mulia.

36

Kaplan, H.I. Sadock, B.J. Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid dua.p.68-75. CiputatTanggerang: Binarupa Aksara.
Mendatu, A. (2010). Pemulihan Trauma,.Yogyakarta : Panduan
Murray,
B.
(2008).
What
Is
Childhood
Trauma?.http://www.upliftprogram.com/ Diakses tanggal 17 Januari
2015]
Noor, M.H.s. (1997). HimpunanIstilah Psikologi, p.164. Surabaya : Pedoman
Ilmu Jaya
Post-Traumatic Stres Disorder (PTSD). (2008). United States: Department of
Health and Human Services, National Institute of Mental Health, diakses
17 Januari 2015, dari http://www.nimh.nih.gov/health/publications/posttraumatic-stres-disorder-ptsd/nimh_ptsd_booklet_38049.pdf.
Setyawan, H. (2014). KPAI : Kasus Pelanggaran Hak Anak Sudah
Memprihatinkan. http://www.kpai.go.id/. Diakses tanggal 17 Januari
2015..
Smith, M. Segal, R (2008). Post-Traumatic Stres Disorder (PTSD):
Symptoms, Treatment, and Self-Help.http://www.helpguide.or. Diakses
tanggal 19 Januari 2015.

37

S-ar putea să vă placă și