Sunteți pe pagina 1din 60

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN DERMATITIS

OLEH :
KELOMPOK III
Dewi Agustina Ayu
Tia Kumala Dewi
Anis candRa dewi
Rina Wahyuningsih
Wilda Kharisma

(131311123014)
(131311123015)
(131311123016)
(131311123018)
(131311123019)

Stefani Angel K

(131311123020)

Yosina M.I Tamonob (131311123021)


Mubarokah Isnaeni

(131311123059)

Program Studi Ilmu Pendidikan Ners


Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya
2014
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata dermatitis berarti adanya inflamasi pada kulit Eksema merupakan bentuk
khusus dari dermatitis. Beberapa ahli menggunakan kata eczema untuk menjelaskan
inflamasi yang dicetuskan dari dalam pada kulit. Prevalensi dari semua bentuk
eksema adalah 4,66 %, termasuk dermatitis atopic 0,69 %, eksema nummular 0,17
% dan dermatitis seboroik 2,32 % yang menyerang 2 % hingga 5 % dari penduduk.
Eksim atau dermatitis adalah istilah kedokteran untuk kelainan kulit yang mana
kulit tampak meradang dan iritasi. Keradangan ini bisa terjadi dimana saja namun
yang paling sering terkena adalah tangan dan kaki. Jenis eksim yang paling sering
dijumpai adalah eksim atopic atau dermatitis atopic. Gejala eksim akan mulai
muncul pada masa anak-anak terutama saat mereka berumur diatas 2 tahun. Pada
beberapa kasus, eksim akan menghilang dengan bertambahnya usia, namun tidak
sedikit pula yang akan menderita seumur hidupnya. Dengan pengobatan yang tepat,
penyakit ini dapat dikendalikan dengan baik sehingga mengurangi angka
kekambuhan.
Dimanapun lokasi timbulnya eksim, gejala utama yang dirasakan pasien adalah
gatal. Terkadang rasa gatal sudah muncul sebelum ada tanda kemerahan pada kulit.
Gejala kemerahan biasanya akan muncul pada wajah, lutut, tangan dan kaki, namun
tidak menutup kemungkinan kemerahan muncul didaerah lain.
Daerah yang terkena akan terasa sangat kering, menebal atau keropeng. Pada
orang kulit putih, daerah ini pada mulanya akan berwarna merah muda lalu berubah
menjadi cokelat. Sementara itu pada orang dengan kulit lebih gelap, eksim akan
mempengaruhi pigmen kulit sehingga daerah eksim akan tampak lebih terang atau
lebih gelap. Dermatitis dapat dikategorikan berdasarkan beberapa skema klasifikasi
yaitu sebab (kontak, statis), lokasi (ekzema tanagn dan kaki) derajat keterlibatan
(dermatitis eksfoliativa) atau kondisi umur (demertitis atopik).

1.2 Tujuan

1.2.1

Tujuan umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran
yang nyata tentang penyakit dermatitis dan tentang pelaksanaan Askep pada
klien dengan dermatitis dengan menggunakan metode keperawatan.

1.2.2

Tujuan khusus
1. Menjelaskan definisi dari masing-masing dermatitis.
2. Menjelaskan etiologi dan faktor resiko dari masing-masing gangguan pada
klien dengan dermatitis.
3. Menjelaskan manisfestasi klinik dari masing-masing dermatitis pada klien
dengan dermatitis.
4. Menjelaskan patofisiologi dan WOC dari masing-masing dermatitis.
5. Menjelaskan komplikasi dan prognosis dari masing-masing dermatitis pada
klien dengan dermatitis
6. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada kasus semu pada klien dengan
dermatitis.

1.3 Rumusan Masalah


Fokus dalam penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan konsep dasar
dari penyakit dermatitis yaitu mulai dari apa definisi dari dermatitis, etiologi,
bagaimana patofisiologinya, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan dan bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit
dermatitis?
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah yaitu :
1. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang penyakit dermatitis mulai dari
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan
penunjang dan penatalaksanaan
2. Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimana gambaran asuhan
keperawatan pada klien dengan dermatitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respon


terhadap pengaruh faktor eksogen atau pengaruh faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik ( eritema, edema, papul, vesikel,
skuama ) dan keluhan gatal (Djuanda, Adhi, 2007).
Dermatitis merupakan epido-dermitis dengan gejala subyektif pruritus.
Obyektif tampak inflamasi eritema, vesikulsi, eksudasi dn pembentukan sisik.
Tanda-tanda polimorfi tersebut tidk selalu timbul pda saat yang sama. Penyakit
bertendensi resisif dan menjadi kronis(Arief Mansjoer : 86. 2002)
Dermatitis adalah peradangan pada kulit (inflamasi pada kulit) yang disertai
dengan pengelupasan kulit ari dan pembentukkan sisik (Brunner&Suddart, 2000).
Jadi dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal.
Sedikitnya pngetahuan kita mengenai dermatitis sehingga setiap usaha
klasifikasi yang dilakukan saat ini didasari dengan membagi kasus-kasus eksema ke
dalam kelompok eksogen yang disebabkan oleh agen eksternal, dan kelompok
endogen bila masalah utama adalah faktorakt konstitusional. Namun demikian,
sering didapatan kasus dengan lebih dari satu faktor yang berpengaruh, sebagai
contoh tejadinya dermatitis pada tangan seorang penata rambut, yang selain
menderita dermatitis atopik juga mengalami dermatitis iritan akibat terjadinya
kontak dengan shampo. Tidak terlalu kaku

dalam membuat klasifikasi untuk

dermatitis tertentu. Klasifikasi dibawah ini meliputi berbagai macam dermatitis yang
paling sering dihadapi, antara lain menurut Arief Mansjoer, 2005 Kapita Selekta:
1. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik
terhadap paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit.
Dermatitis kontaki terbagi 2 yaitu :

Dermatitis kontak iritan (mekanisme non imunologik)

Dermatitis kontak alergik (mekanisme imunologik spesifik)

No.
Ket
1. Penyebab
2. Permulaan
3. Penderita

Dermatitis kontak iritan


Iritan primer
Pada kontak pertama
Semua orang

Dermatitis kontak alergik


Alergen kontak S.sensitizer
Pada kontak ulang
Hanya orang yang alergik

4. Lesi

Batas lebih jelas


Batas tidak begitu jelas
Eritema sangat jelas
Eritema kurang jelas
5. Uji Tempel Sesudah ditempel 24 jam, bila Bila sesudah 24 jam bahan
iritan di angkat reaksi akan
allergen di angkat, reaksi
segera
menetap atau meluas berhenti.
Tabel 1 Perbedaan Dermatitis kontak iritan dan kontak alergik

2. Dermatitis atopic
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal dan umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang
kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, tempatnya di lipatan atau
fleksural.
3. Dermatitis numularis
Merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif dengan lesi berukuran
sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada sisi ekstensor ekstremitas.
4. Dermatitis seboroik
Merupakan golongan kelainan kulit yang didasari oleh factor konstitusi,
hormon, kebiasaan buruk dan bila dijumpai pada muka dan aksila akan sulit
dibedakan. Pada muka terdapat di sekitar leher, alis mata dan di belakang
telinga.
5. Dermatitis kontak
Menurut Mansjoer Arief (2005), Dermatitis kontak adalah dermatitis
karena kontak eksternal yang menimbulkan fenomena sensitisasi (alergik) atau
toksik (iritan).
-

Dermatitis merupakan epiderma-dermatitis dengan gejala subjektif pruritus,


obyek tampak inflamasi eritema, vesikulasi, eksudasi dan pembentukan sisik.
Dermatitis kontak sering terjadi pada tempat tertentu dimana alergen
mengadakan kontak dengan kulit (Sylvia Price, 2005)

Dermatitis kontak adalah

suatu dermatitis (peradangan kulit) yang disertai

dengan adanya spongiosis/edeme interseluler pada epidermis karena kulit

berinteraksi dengan bahan bahan kimia yang berkontak atau terpajan kulit
.Bahan- bahan tersebut dapat bersifat toksik ataupun alergik. Mawarli Harahap,
2006)
Dermatitis yang diperantarai oleh iritan atau alergen.
Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik terhadap paparan
bahan iritan eksternal yang mengenai kulit.
Dermatitis kontak terbagi 2 yaitu :
Dermatitis kontak iritan (mekanisme non imunologik)
Dermatitis kontak alergik (mekanisme imunologik spesifik)
Tanel 2 Perbedaan Dermatitis kontak iritan dan kontak alergik
No.
1.
2.
3.
4.

Penyebab
Permulaan
Penderita
Lesi

5.

Uji Tempel

Dermatitis kontak iritan


Iritan primer
Pada kontak pertama
Semua orang
Batas lebih jelas
Eritema sangat jelas
Sesudah ditempel 24 jam,
bila iritan di angkat reaksi
akan segera

Dermatitis kontak alergik


Alergen kontak S.sensitizer
Pada kontak ulang
Hanya orang yang alergik
Batas tidak begitu jelas
Eritema kurang jelas
Bila sesudah 24 jam bahan
allergen di angkat, reaksi menetap
atau meluas berhenti.

DERMATITIS KONTAK IRITAN


a. Definisi
Dermatitis kontak adalah akibat luka langsung yang terjadi pada kulit oleh
iritan, misalnya pelarut atau detergen. Dermatitis atau eksema ialah inflamasi kulit
yang ditandai eritema, vesikulasi, dan gatal pada fase akut, dan pada fase kronik
ditandai kulit kering, skuamasi dan fisur. Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah
respon kulit terhadap pajanan agen kimia, fisik atau biologik eksternal; dan faktor
endogen (barier kulit dan dermatitis yang sudah ada) ikut memegang peranan.
(Amado, 2008)
Lebih dari 75% dermatitis kontak akibat kerja adalah dermatitis kontak iritan.
Selebihnya berupa dermatitis kontak alergi atsu berbarengan antara dermatitis
kontak alergi dan iritasi. Kadang-kadang lebih dari satu iritan atau dermatitis alergen
yang menjadi penyebab dermatitis kontak.
b. Epidemiologi
Menurut Amado (2008), Berdasar survey tahunan The Bureau of Labor
Statistics, insiden penyakit akibat kerja pada pekerja Amerika, maka dermatitis
kontak meliputi 90% - 95% dari semua penyakit kulit akibat kerja dan DKI
mencakup 80% dari dermatitis kontak akibat kerja.
c. Etiologi dan Patogenesis
Menurut Amado (2008), Empat mekanisme yang saling berkaitan pada DKI:
1. Hilangnya lipid permukaan dan substansi pengikat air
2. Kerusakan membrane sel
3. Denaturasi keratin dermis
4. Efek sitotoksik langsung
Terdapat komponen immunologic-like yang jelas terhadap respon iritan, yang
ditandai oleh pelepasan mediator proinflamatory terutama sitokin yang berasal dari sel
keratinosit sebagai repon terhadap stimulus kimiawi. Ini adalah proses yang tidak
memerlukan pre-sensitisasi. Kerusakan barier kulit menyebabkan pelepasan sitokin IL1, IL-1, dan TNF-. Peningkatan 10x dari TNF- dan IL-6, dan 3x level GM- CSF
dan IL-2, ditemui pada DKI. TNF- adalah satu dari sitokin kunci pada DKI, yang
menyebabkan peningkatan ekspresi MHC II dan ICAM-1 pada keratinosit.
Patogenesis dari bahan iritan, antara lain:

Merusak lapisan kulit


Denaturasi keratin
Lemak lapisan tanduk (-)
Daya ikat air epidermis berubah
Sel epidermis rusak
Iritan lemah sehingga kontak bisa berulang
Iritan kuat sehingga pajanan pertama kali
Faktor yang Mempengaruhi
DKI adalah penyakit multifaktorial dimana faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan
faktor endogen (host) memegang peranan.
a. Faktor eksogen
1. Sifat kimiawi iritan : pH, konsentrasi, ukuran molekul, kuantitas, polarisasi,
ionisasi, vehikulum, kelarutan
2. Karakteristik pajanan : jumlah, konsentrasi, durasi, tipe pajanan, pajanan simultan
terhadap iritan lain, interval setelah pajanan sebelumnya
3. Faktor lingkungan : regio tubuh dan temperature dan faktor mekanik: tekanan,
friksi, abrasi.
Apabila 1 atau lebih iritan dikombinasi atau digunakan secara simultan,
efek sinergis atau antagonistik dapat terjadi sebagai konsekuensi dari interaksi
seluler spesifik antar senyawa, atau perubahan dalam pemeabilitas kulit oleh 1
atau lebih senyawa, yang tidak akan terjadi bila iritan digunakan secara
tunggal. Ini dikenal sebagai crossover phenomenon. Ini dapat dijelaskan
bahwa 1 irtitan menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap iritan lainnya.

b. Faktor endogen
1. Genetik
2. Gender : Mayoritas DKI klinis mengenai tangan, dan wanita merupakan mayoritas,
karena wanita lebih banyak terpajan iritan dan kerja di kondisi yang basah, dan
barangkali lebih sering mencari pengobatan.

3. Usia: anak < 8 tahun lebih rentan terhadap absopsi perkutan bahan kimia dan
iritan.
4. Etnis: belum ada penelitian bahwa tipe kulit mempengaruhi secara nyata
perkembangan DKI.
5. Lokasi kulit : Terdapat perbedaan fungsi barier dari tiap lokasi, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum dan punggung tangan lebih sensitif terhadap DKI.
6. Faktor atopi : atopi merupakan faktor predisposisi DKI pada tangan. Hal tersebut
karena ada gangguan fungsi barier kulit sehingga lebih rentan terhadap DKI.
d. Klasifikasi DKI
1. Klasifikasi DKI berdasar klinis dan etiologi:
a. Ulkus, akibat asam atau basa kuat,
b. Folikulitis, akibat minyak dan lemak,
c. Miliaria, akibat aluminum klorid,
d. Hiperpigmentasi, akibat logam berat,
e. Hipopigmentasi, akibat p-tert-butylphenol.
2. Klasifikasi DKI berdasar awitan dan lamanya penyakit:
a. Akut
b. Kronik
Jenis Iritan yang Umum
1. Produk hewan
2. Kosmetik
3. Degreasing agents
4. Detergen
5. Debu/friksi
6. Makanan
7. Kelembaban rendah
8. Metal working fluids
9. Tear gases
10. Obat topical
11. Pelarut
12. Air: merupakan elemen hipotonik yang bekerja sebagai agen sitotoksik pada
kulit erosif.

c. Diagnosis dan Diagnosis Banding


DKI sering didiagnosis dengan cara eksklusi penyebab dermatitis lainnya,
termasuk dengan DKA. Riwayat rinci pekerjaan, kegemaran, riwayat penyakit
dahulu, dan pemeriksaan klinis, penting untuk diagnosis DKI.
Diagnosis banding DKI:

Dermatitis seboroik

Dermatitis stasis

Dermatitis atopik

Tinea

Asteatosis

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis gangguan
integument yaitu :
1. Biopsi kulit
Biopsi kulit adalah pemeriksaan dengan cara mengambil cintih jaringan
dari kulit yang terdapat lesi.
Biopsi kulit digunakan untuk menentukan apakah ada keganasan atau
infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.
2. Uji kultur dan sensitivitas
Uji ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya virus, bakteri, dan
jamur pada kulit.
Kegunaan lain adalah untuk mengetahui apakah mikroorganisme tersebut
resisten pada obat obat tertentu.
Cara pengambilan bahan untuk uji kultur adalah dengan mengambil
eksudat pada lesi kulit.
3. Pemeriksaan dengan menggunakan pencahayaan khusus
Pemeriksaan kulit perlu mempersiapkam pencahayaan khusus sesuai
kasus. Factor pencahayaan memegang peranan penting.
4. Uji tempel

Uji tempel sering perlu untuk membedakan DKA dari DKI atau diagnosis
DKA bersamaan dengan DKI. Uji tempel negative dapat menunjang diagnosis
DKI dengan mengeksklusi DKA.
Uji ini dilakukan pada klien yang diduga menderita alergi.Untuk mengetahui
apakah lesi tersebut ada kaitannya dengan factor imunologis. Untuk
mengidentifikasi respon alergi. Uji ini menggunakan bahan kimia yang
ditempelkan pada kulit, selanjutnya dilihat bagaimana reaksi local yang
ditimbulkan. Apabila ditemukan kelainan pada kulit, maka hasil nya positif.
e. Penatalaksanaan
Identifikasi dan eliminasi iritan dan proteksi dari pajanan ulang, sangat
menolong. Peran steroid topical pada DKI masih kontroversi, tetapi obat tersebut
dapat menbantu karena efek anti inflamasi yang dimilikinya. Tetapi pemakaian
jangka panjang dapat meruguikan karena efek atrofi dan meningkatkan kerentanan
terhadap iritan.

Emolien atau occlusive dressing dapat memperbaiki kerusakan

barier pada kulit yang kering dan likenifikasi. Emolien berbasis lanolin (tradisional)
mudah didapat, murah, dan terbukti sama efektif seperti emolien yang mengandung
skin-related lipid. Inhibitor calcineurin topical (pimekrolimus) dapat digunakan
sebagai alternative terhadap steroid topical potensi rendah pada DKI kronik. Pada
kasus kronik dan berat, terapi foto (PUVA atau UVB) atau azatioprin dan siklosporin
bisa efktif. Infeksi sekunder dapat diobati dengan antibiotic topical atau sistemik.
Pada iritasi sensoris, garam strontium bekerja dengan memblok aktivasi cutaneous
type C nociceptor.
Proteksi terhadap zat penyebab dan menghindarkan kontaktan merupakan
tindakan penting. Anti-hisatamin tidak diindikasikan pada stadium permulaan, sebab
tidak ada pembebasan hisatamin. Pada stadium berikutnya terjadi pembebasan
histamin secara pasif. Kortikosteroid diberikan bila penyakit berat, misalnya
prednison 20 mg/hari. Terapi topikal diberikan sesuai petunjuk umum.
Dasar

penyakit

dermatitis

adalah

mencari

etiologi

dan

penyebabnya
1. Pada dermatitis akut
Dilihat adanya oedema, erasia, eksudasi, pustula, erythema.

menyingkirkan

a. Kompres
Cara kompres :
- Rendam kain putih halus ke air
- Letakkan di lesi, 10-20 menit
- Ganti dengan kain dan air yang bersih
Perhatian:
- Pakai 2/3 obat lokal, ketahui seluk beluk obat
- Pada daerah tropis perlu dipertimbangkan faktor penguapan. Sol Boric
Acid 3 % bila dibalutkan pada lesi maka konsentrasinya menjadi 20-50
% sehingga melekat pada lesi dan terdapat kristal Boric (BAHAYA).
b. Antibiotik
Biasanya

infeksi

sekunder

disebabkan

oleh

Gram

positif.

Diobati dengan penicillin/ampicillin untuk penderita yang tidak alergi,


buctrim, supristol, septrin (efek aplasticanemia).
c. Antihistamin
d. Obat- obat topical
Karena kulit mudah diakses maka mudah pula diobati maka obat obat
topical dapat sering digunakan,beberapa obat dengan konsentrasi yang tinggi
dapat dioleskan langsung pada kulit yang sakit dengan sedikit absorbsi
sistemik sehingga efek samping sistemiknya juga sedikit.adapun obat
topikalnya antara lian:
Lotion
Lotion memeiliki dua tipe : suspensi yang terdiri atas serbuk dan dalam
air yang perlu di kocok sebelum di gunakan ,dan larutan jernih yang
mengandung unsure-unsur aktif yang bisa di larutkan seluruhnya.
Bedak
Bedak biasanya memiliki bahan dasar talk,zinkoksida,bentonit atau pati
jagung dan ditaburkan pada kulit dengan alat pengocok atau spons
katun.Meski kerja medisnya singkat ,bedak merupakan preparat
higroskopis yang menyerap serta menahan kelembaban kulit dan seprei.
Krim
Krim
dapat
berupa
suspense
minyak
dalam
air
atau emulsi air dalam minyak dengan unsur-unsur untuk mencegah
bakteri ataupun jamur (Mackie,1991).
Jel
Jel merupakan emulsi semisolid yang menjadi cair ketila dioleskan pada
kulit,bentuk preparat topikal ini secara kosmetik dapat diterima oleh

pasien karena tidak terlihat setelah dioleskan dan juga tidak terasa
berminyak serta tidak meninggalkan noda.
Pasta
Pasta merupakan campuran bedak dengan salep dan digunakan pada
keadaan inflamasi,pasta melekat pada kulit tetapi sulit dihilangkan tanpa
menggunakan minyak seperti minyak zaitun atau minyak mineral.
Salep
Salep bersifat menahan kehilangan air dan melumasi serta melindungi
kulit, bentuk preparat topikal ini lebih disukai untuk kelainan kulit yang
kronis atau terlokalisasi.
Preparat spray dan aerosol
Dapat di gunakan untuk lesi yang luas,bentuk ini akan mengisat ketika
mengenai kulit sehinga harus digunakan dengan sering.
Korrtikosteroid
Banyak dipakai dalam pengobatan kelainan dermatologik untuk
memberikan efek anti inflamasi,anti priritus dan vasokontriksi
f. Pencegahan
DKI adalah faktor risiko terjadinya DKA, karena terganggunya barier kulit dapat
meningkatkan potensi fase induksi dan elisitasi DKA. Jadi, mencegah DKI berarti
secara simultan mencegah DKA. Pasien perlu diberitahu mengenai cara pencegahan
iritan. Pemakaian peralatan proteksi personal, terutama pada high-risk jobs, sangat
penting.
g. Prognosis
Prognosis DKI akut baik bila iritan penyebab dapat diidentifikasi dan di
eliminasi. Prognosis DKI kumulatif atau kronik dapat lebih buruk daripada DKA.
Latar belakang atopi, kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, dan atau
lambatnya diagnosis dan terapi adalah factor yang dapat memperburuk prognosis.

DERMATITIS KONTAK ALERGIK


a. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis atau peradangan kulit yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitasi(R.S. Siregar : 109.
2002). Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitasi alergi
terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi peradangan
pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensivitas terhadap alergen sebagai
suatu akibat dari pajanan sebelumnya(Dorland, W.A. Newman : 590. 2002)
Dermatitis kontak alergi adalah reaksi imunologi pada kulit dan cenderung
memicu timbulnya dermatitis secara langsung, walaupun bila jumlah alergen sangat
kecil dan kadarnya rendah
b. Etiologi
DKA adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap agen kimia eksternal. Bukti
menunjukkan bahwa kemampuan untuk disensitasi terhadap agen spesifik, mempunyai
basis genetik.
Untuk menimbulkan reaksi imun terhadap alergen, individu harus rentan secara
genetik, mendapat pajanan yang cukup terhadap agen kimia pensensitasi, dan
mendapat pajanan ulang dikemudian hari. Ini adalah perbedaan DKA dengan DKI
(tidak ada reaksi imunologik).
Dengan demikian, DKA adalah penyakit sistemik yang terjadi oleh hapten-specific T
cell-mediated skin inflammation, dan ditandai 3 fase : sensitisasi, elisitasi, dan resolusi.
Pada fase sensitisasi, agen kimia hapten dengan berat molekul rendah (< 500-1000 Da)
yang electrophilic atau hydrophobic penetrasi ke dalam kulit dan membentuk
komplek hapten-protein dengan carrier proteins epidermis, yang menghasilkan
antigen komplit. Protein pengikat tersebut adalah molekul permukaan sel pada sel
Langerhans, yaitu molekul MHC I dan II.
Ikatan antara hapten dan protein epidermal biasanya secara kovalen, walaupun
hapten metalik dapat membentuk ikatan nonkovalen stabil dengan protein pembawa
seperti kobal dalam vit B12. Beberapa dari senyawa kimia hapten awalnya tidak

alergenik

dan

harus

mengalami

biotransformasi

metabolik

agar

mampu

berpartisipasi dalam respon alergi. Karena kulit mempunyai kemampuan metabolik,


termasuk enzim fase I dan II, maka biotransformasi dapat terjadi dalam kulit pada
lokasi terjadi pajanan. Bila hapten dengan sifat sensitizer poten berikatan dengan
protein pembawa yang nonimunogenik, maka yang terjadi adalah toleran dan bukan
sensitisasi.
c. Beberapa Fase Dermatitis Kontak Alergi.
1. Fase Aferens (Sensitisasi)
a) Antigen processing and presentation. Sel Langerhans (LCs) menelan hapten
dengan cara PINOSITOSIS/ENDOSITOSIS, dilanjutkan dengan degradasi
parsial antigen secara nonlisosomal menghasilkan PEPTID ANTIGENIK (antigen
komplit). Peptid kemudian diangkut HLA-DR ke permukaan LCs, dan komplek
HLA-DR-peptid siap dipresentasikan ke sel T.
b) Pematangan/maturasi LCs. Selama

prosesing antigen, LCs mengalami

perubahan fenotipik yang memfasilitasi migrasi LCs dari kulit ke kelenjar getah
bening regional, dan mempersiapkan interaksi dengan sel T CD4+. Perubahan
tersebut berupa ekspresi molekul adesi, ICAM1 (CD54), B7-2 (CD86), CD40,
LFA3 (CD58), dan HLA-DR (klas II). Perubahan fenotipik LCs dipengaruhi oleh
IL-1 (berasal dari LCs), dan IL-1 dan TNF- (berasal dari keratinosit).
c) Migrasi LCs dari kulit ke kelenjar getah bening (KGB) regional. Faktor yang
]mengontrol migrasi LCs adalah upregulasi sialyl Lewis X (selektin) pada
LCs dan E-selectin pada sel endotel, dilanjutkan dengan interaksi ke duanya.
Selain itu, E-cadherin pada LCs di downregulasi sehingga ikatan LCs dengan
keratinosit dilepas. Upregulasi sialyl Lewis X dan down regulasi E-cadherin
dipengaruhi oleh TNF- dari keratinosit, dan protein kinase C (PKC) dari
LCs.
d) Presentasi sentral (bagian parakortek/thymus-dependent KGB). Pada proses
sensitisasi awal, LCs matang mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+ yang
belum pernah tersensitisasi (sel T virgin/sel Th0/sel CD45RA+). Interaksi awal
melibatkan HLA-DR-Peptid pada LCs dengan CD4/CD8-TCR-CD3 pada sel T, s

e) aerta molekul adesi pada LCs dan ligand nya pada sel T (lihat gambar). Interaksi
menyebabkan sel Th0 mengalami aktivasi dan sel Langerhans menghasilkan IL12, yang akan mengarahkan perkembangan sel T aktif ke arah sel Th1. IL-1
bersama IL-6 akan memicu sel T menghasilkan dan mensekresikan IL-2.
Kerjasama IL-1, Il-6, dan IL-2 akan menginduksi IL-2R pada sel T. Interaksi Il-2
dan IL-2R menyebabkan proliferasi sel T dan produksi IFN-, dilanjutkan dengan
diferensiasi CD45RA+ menjadi CD45RO+ memory/effector Th1 cells. Sel Th1
CD45RO+ selanjutnya mengekspresikan newly acquired homing antigens, CLA
(common leukocyte antigen), dan very late antigen-4 (VLA-4). Ke dua molekul ]
=\tersebut (dan LFA-1) diperlukan sel Th1 untuk ke kulit melalui pembuluh
darah. Interleukin yang dihasilkan oleh sel Th1 CD4+ akan mengaktifkan sel Tc
CD8+ dan sel makrofag. IFN- menstimulasi ekspresi molekul adesi sel endotel
yang diperlukan untuk migrasi sel T melalui pembuluh darah ke kulit.
f) Invasi sel Th1 memori yang antigen spesifik, sel Tc CD8+, sel inflamasi lain nya
ke dalam kulit, menimbulkan respon yang secara klinis dikenal sebagai DKA.
Mekanisme berbagai sel tersebut dikerahkan ke kulit, adalah melalui rolling,
arrest (firmed adhesion), and extravasation pada endotel vaskuler, dan hal
tersebut dimediasi oleh aktivasi sekuensial LFA-1, VLA-4, CLA pada sel T, dan
ICAM-1, VCAM-1, E-selectin pada sel endotel. Interaksi CLA dengan E-selectin
menyebabkan sel dalam sirkulasi melambat dan mulai rolling sepanjang dinding
endotel. Perlambatan tersebut memudahkan sel menangkap sinyal peradangan
(ada pertempuran di tempat tersebut). Sel segera mengekspresikan LFA-1 dan
VLA-4 yang akan berinteraksi dengan ICAM-1 dan VCAM-1, sehingga sel
mengalami firmed adhesion, dan siap untuk ekstravasasi di tempat yang sesuai
(lokasi peradangan). Keseluruhan proses, mulai dari prosesing antigen sampai
terdapatnya sel Th1 memori/efektor dan sel Tc CD8+ di dalam kulit, dinamai
FASE SENSITISASI. Berlangsung sekitar 2-3 minggu.
2. Fase Eferens (Elisitasi)
Gambaran klinik DKA terjadi apabila hapten yang sama kontak ulang ke
dalam kulit yang telah mengandung sel Th1 dan/sel Tc1 aktif. Peptid antigenik hasil

prosesing APC dipresentasikan kepada sel Th1/Tc1 aktif di dalam kulit (perifer). Sel
Th, keratinosit dan LCs menghasilkan berbagai interleukin, IL-2, IL-12, IFN-, TNF, IL-8, yang menyebabkan pengerahan berbagai sel radang (sel Tc, NK cell,
makrofag, PMN), ekspresi molekul adesi, dan peradangan. Semuanya akan tampak
sebagai DKA. Berlangsug 24-48 jam pertama tersensitifisasi.
d. Patofisiologi
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih
dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini
terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten
yang terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan
diproses oleh makrofag dan sel langerhans, selanjutnya dipresentasekan oleh sel T.
Setelah kontak dengan ntigten yang telh diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah
bening regional untuk berdiferensisi dan berploriferasi memebneetuk sel T efektor
yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar
melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkab
keadaan sensivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama
sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini ratarata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini
dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer),
jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer

kuat mempunyai fase yang lebih

pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada


kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama
kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat
terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya
gejala klinis disebut fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam(Djuanda,
Adhi. 2004)
menyebabakan

integritas

kulit

statis(Baratawijaya, Karnen Garna. 2006)

terganggu,

misalnya

dermatitis

e. Pendekatan
1. Pendidikan klinik
Dematitis kontak alergik (DKA) harus dipertimbangkan dalam diagnosis
banding berbagai dermatoses eksematosa (Box 13-1). Sebagai contoh, seorang
pasien yang mempunyai dermatitis geometric atau pola spesifik setelah pajanan
agen eksogen, harus dicurigai menderita DKA. Selain itu, diagnosis harus
dipertimbangkan pada individu yang dermatitisnya persisten walaupun mendapat
terapi memadai. Hal tersebut berlaku pula terhadap pasien dengan gangguan
kulit confounding, seperti DA dan psoriasis, yang mempunyai gambaran klasik.
Tabel 3 Anamnesis pasien dengan kecurigaan DKA
Demografi dan riwayat pekerjaan

Riwayat medik keluarga


Riwayat medik pasien
Riwayat dermatitis

Usia, jenis kelamin, ras/etnis, agama,


status perkawinan, pekerjaan dan
deskripsi pekerjaan, lokasi pekerjaan,
kegiatan di luar pekerjaan tetap,
pekerjaan sebelumnya
faktor genetik, predisposisi
alergi obat, penyakit penyerta, obat,
operasi
awitan, lokasi lesi, terapi

2. Pendekatan morfologik
Setelah riwayat penyakit diperoleh, langkah selanjutnya adalah penilaian
pemeriksaan status dermatologic menyeluruh. Pengetahuan mengenai ukuran ,
sifat dan lokasi dermatitis meningkatkan kemungkinan pemilihan allergen untuk
uji tempel.
Diagnosis
1. in vito test: Patch test (gold standard)
2. in vitro test: lymphocyte transformation test, macrophage migration
inhibition test

f. Diagnosa Banding

Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran


morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermtitis numularis,
dermtitis seboroik, atau psoriris. Diagnosis banding yang utama ialah dengan
dermatitits kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksn uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan apakah dermatitis tersebut karena kontak
alergi(Goldstein, Adam. 1998)
a. Eksema numularis, yaitu ditandai dengan plak diakret, terskuama, kemerahan,
berbentuk uanga logam, dan gatal, serupa dengan dermtitis kontak tetapi tanpa
riwayat paparan terhadap alergen dan lesinya bundar, tidak ada konfigurasi
lainnya.
b. Eksema pada tangan, yaitu tidak ada alergen yang dapt dikenali. Sering keadaan
ini hanya dapat dibedakan dari dermatitis kontak alergi dengna uji tempel.
Dermatitis kontak dapat memperparah eksema tangan yang sudah ada
sebelumnya
c. Dermatofitosis, yaitu biasanya berbatas tegas pinggir aktif dan bagian tengah
agak menyembuh
d. Kandidiasis, yaitu biasanya dengan lokalisasi yang khas. Efloresensi berupa
eritema,

erosi, dan ada lesi satelit.

g. Pengobatan
Penatalaksanaan dasar pasien DKA bergantung pada terapi gejala dan menghindari
pajanan ulang.
pengering

Erupsi akut vesikuler, membasah dapat diterapi dengan agen

seperti

aluminum

sulfat

atau

kalsium

asetat

topical.

Erupsi

kronik,likenifikasi terbaik diobati dengan emolien. Keluhan gatal diatasi dengan


antipruritus topical atau antihistamin oral (antihistamin dan anestetik topical
dihindari karena risiko menginduksi alergi sekunder pada kulit yang memang
mengalami dermatitis).
Kortikosteroid topical masih merupakan baku emas dan pilihan utama menghilangkan
gejala dan mempercepat penyembuhan DKA. Obat tersebut ditoleransi baik bila dipakai
short term.

Penggunaan steroid sistemik hanya diberikan pada kasus akut sedang sampai
berat dan pada kasus DKA refrakter.
Dalam dekade terakhir, inhibitor kalsineurin telah digunakan sebagai opsi terapi
terhadap gangguan kulit inflamatori.
Siklosporin oral dan takrolimus/pimekrolimus topical telah menunjukkan efektifitas
dalam terapi dermatitis eksematosa, termasuk dermatitis atopic dan DKA.
Fototerapi dicadangkan untuk pasien DKA refrakter yang tidak responsive
terhadapsteroid dan pasien yang tidak dapat menghindari semua factor provokator
dalam lingkungan sehari-hari. PUVA, shortwave UVB efektif terhadap DKA dan
DKI kronik pada tangan, karena sifat imunosupresif intrinsic yang dimilikinya.
Walaupun demikian, terapi tersebut butuh waktu lama dan perlu terapi pemeliharaan.

h. Pathway dermatitis kontak irritant dan alergen

DERMATITIS ATOPIK
a.

Definisi
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal dan

umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian
mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, tempatnya dilipatan atau fleksural. Eksema
atopik atau dermatitis atopik merupakan sejenis pola reaksi peradangan kulit yang
bisa dicetuskan oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal (GrahamBrown, Robin: 2005).
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik berulang yang terjadi paling
sering semasa awal bayi dan anak, tetapi dapat juga menetap pada dewasa yang
melbatkan perangsangan berlebihan limfosit T dan sel mast. Histamin dari sel mast
menyebabkan rasa gatal dan eritema. Penggarukan menyebabkan rusaknya kulit (J.
Corwin, Elizabeth: 2009).
Dermatitis atopik merupakan penyebab tersering pruritis pada anak, penyakit ini
ditandai dengan reaksi peradangan yang berlebihan. Sebagian besar anak- anak
yang mengalami dermatitis atopik memiliki riwayat penyakit atopik dalam
keluarga. Dermatitis atopik menyebabkan kelainan fungsi sel T, kelebihan produksi
IgE dan disfungsi imun yang diperantarai sel (Scwhartz,M.William:2005).
Estimasi terbaru mengindikasikan bahwa DA adalah problem kesehatan
masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak 10-20% di
Amerika, Eropa Utara dan Barat, urban Afrika, Jepang, Australia dan negara
industri lain. Prevalensi DA pada dewasa berkisar 1-3%. Menariknya, prevalensi
DA jauh lebih kecil di negara agrikultural seperti Cina, EropaTimur, rural Afrika,
dan Asia. Rasio wanita/pria adalah 1.3 : 1.0. Beberapa faktor risiko potensial yang
mendapat perhatian karena disertai dengan peningkatan DA termasuk keluarga
kecil, meningkatnya penghasilan dan pendidikan baik pada kulit putih maupun
hitam, migrasi dari lingkungan pedesaan ke kota, meningkatnya pemakaian
antibiotik, semuanya dikenal sebagai Western life-style. Hal tersebut menghasilkan
hygiene hypothesis, yaitu bahwa penyakit alergi mungkin dapat dicegah dengan

infeksi pada awal masa anak yang ditularkan melalui kontak tidak higienis dari
saudaranya.
b.

Klasifikasi
Menurut Djuanda dan Sularsito (2002), Tidak ada gambaran klinis tunggal
pembeda atau tes laboratoris diagnostik untuk DA klasifikasi
Bentuk klinis DA berbeda menurut fase umur penderita. Dikenal 3 fase dengan
gambaran klinik masing-masing fase berbeda.
1. DA tipe infantil.
Biasanya timbul pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat pula
terjadi pada usia 2-3 minggu. Bentuk yang paling sering adalah bentuk basah.
Mula-mula berupa papula milier kemudian timbul eritem, papulovesikel yang
bila pecah akan menimbulkan erosi dan eksudasi. Biasanya terjadi pada muka
terutama pipi, dapat meluas ke dahi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan,
ekstremitas bagian ekstensor dan bokong. Bentuk lain yang jarang terjadi
adalah bentuk kering. Kelainan dapat berupa papula kecil, skuama halus,
likenifikasi dan erosi. Biasanya terjadi pada anak yang lebih besar. Eksaserbasi
bisa terjadi karena tindakan vaksinasi, makanan, bulu binatang atau perubahan
suhu.
2. DA tipe anak-anak
Timbul pada usia 2 tahun sampai 10 tahun. Kelainan dapat berupa
papula, likenifikasi, skuama, erosi dan krusta. Biasanya terjadi pada fossa
poplitea, antekubiti, pergelangan tangan, muka dan leher. Eksaserbasi tipe anak
lebih sering karena iritasi dan kadang-kadang karena makanan.
Menurut Sir Roy Meadow & Simon J. Newwel (2003), stigmata atopik pada
anak antara lain:
1. Temperamen, anak tak pernah diam, iritabel dan agresif.
2. Lipatan bawah mata ( tanda Dennie-Morgan ).
3. Penipisan alis bagian lateral ( tanda Hertoghe ).
4. Kulit kering atau xerotik.
5. Pitiriasis alba.

6. Keratosis pilaris.
7. Muka pucat ( paranasal dan periorbita ).
8. Lipatan garis tangan berlebihan.
9. Keratokonus dan katarak juvenile.
10. Mudah terkena infeksi.
Disamping stigmata bentuk atopik pada anak :
1. Bentuk numular lebih eksudatif ditemukan bila terjadi infeksi sekunder, kadangkadang dengan kelainan pada kuku, dikemukakan oleh Sir Roy Meadow &
Simon J. Newell (2003)
2. Peridigitalis dermatitis, lesi kering berskuama dan kedua ibu jari dan kulit di
sekitarnya.
3. Bentuk folikuler.
4. Bentuk yang menyerupai prurigo, bentuk ini terdapat lebih banyak pada daerah
tropik
3.

DA tipe Dewasa :
Kelainan yang ditemukan berupa bercak kering dengan likenifikasi,
skuama halus dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Biasanya terjadi pada
daerah ekstremitas bagian fleksor, leher, dahi dan mata. Eksaserbasi pada DA
tipe dewasa sering terjadi karena tekanan mental, iritasi dan makanan.
Kriteria diagnostik DA pada mulanya didasarkan atas fenomena klinis
yang menonjol, yaitu gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis
DA tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal. Kemudian pada tahun 1980
Hanifin dan Rajka membuat kriteria diagnostik DA yang masih sering
digunakan hingga saat ini (Kariosentono, 2006).

Kriteria Diagnostik DA menurut Hanifin dan Rajka, 1980 (cit. Kariosentono, 2006) :

A. Kriteria Mayor :

Pruritus ( gatal ).

Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas.

Bersifat kronik eksaserbasi.

Ada riwayat atopi individu atau keluarga.

B. Kriteria Minor :

Hiperpigmentasi daerah periorbita

Tanda Dennie-Morgan

Keratokonus

Konjungtivitis rekuren

Katarak subkapsuler anterior

Cheilitis pada bibir

White dermatographisme

Pitiriasis Alba

Fissura pre aurikular

Dermatitis di lipatan leher anterior

Facial pallor

Hiperliniar palmaris

Keratosis palmaris

Papul perifokular hiperkeratosis

Xerotic

Iktiosis pada kaki

Eczema of the nipple

Gatal bila berkeringat

Awitan dini

Peningkatan Ig E serum

Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)

Kemudahan mendapat infeksi Stafilokokus dan Herpes Simpleks

Intoleransi makanan tertentu

Intoleransi beberapa jenis bulu binatang

Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi

Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral).


jUntuk membuat diagnosis DA berdasarkan kriteria menurut Hanifin dan Rajka

diatas dibutuhkan sedikitnya 3 kriteria mayor ditambah 3 atau lebih kriteria minor.
Kriteria Diagnostik DA yang lain adalah kriteria diagnostik menurut Svensson,
1985 (cit. Harahap, 2000) yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok :
Kelompok kesatu ( nilai 3) :
1. Perjalanan penyakit dipengaruhi musim
2. Xerosis
3. Diperburuk dengan tegangan jiwa
4. Kulit kering secara berlebihan dan terus menerus
5. Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat
6. Serum Ig E 80 IU/ml
7. Menderita Rinitis Alergika
8. Riwayat rinitis alergika pada keluarga
9. Iritasi dengan tekstil
10. Hand Ekzema pada waktu anak-anak
11. Riwayat dermatitis atopik pada keluarga
Kelompok kedua (nilai 2) :
1. Kulit muka pucat/ kemerahan (pallor)
2. Knuckle dermatitis (dermatitis dengan likenifikasi pada jari-jari)
3. Menderita asma
4. Keratosis pilaris
5. Alergi terhadap makanan
6. Dermattitis numularis
7. Nipple eczema

Kelompok ketiga (nilai 1) :


1. Pompholyx

2. Iktiosis
3. Dennie-morgan
Dalam menegakkan diagnosis DA berdasarkan kriteria Svennson, pasien harus
memiliki dermatitis di daerah fleksural kronik yang hilang timbul ditambah dengan
memiliki 15 nilai dari sistem skor Svennson.
Kriteria Diagnostik DA menurut William tahun 1994 (cit. Mahadi, 2000) :
Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan). Ditambah 3 atau lebih:
1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
(termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).
2.

Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat penyakit
atopi pada anak-anak).

3. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.


4. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun).
5. Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun).
c.

Etiologi
DA adalah penyakit kulit inflamatori yang didiagnosis berdasarkan pada
gambaran riwayat penyakit yaitu kronis, kambuhan, atau sulit sembuh.Kulit
sangat gatal yang terjadi akibat interaksi komplek antar gen-gen suseptibel
(mengakibatkan tidak efektifnya sawar kulit, kerusakan sistem imun alami, dan
meningkatnya respon imunologik terhadap alergen dan antigen mikrobial).
Menurunnya fungsi sawar kulit akibat downregulasi gen cornified envelope
(filaggrin dan loricrin), penurunan level ceramid, peningkatan level enzim
proteolitik endogen, dan peningkatan kehilangan cairan trans-epidermal, selain tidak
ada inhibitor terhadap protease endogen.
Penambahan sabun dan detergen ke kulit akan meningkatkan pH, yang berakibat
meningkatkan aktivitas protease endogen, yang selanjutnya menambah kerusakan
fungsi sawar kulit. Sawar epidermis dapat pula dirusak oleh pajanan protease
eksogen dari house dust mite dan S aureus. Perubahan epidermis di atas
berkontribusi meningkatkan absorpsi alergen dan kolonisasi mikrobial ke dalam

kulit. Menurunnya fungsi sawar kulit dapat bertindak sebagai lokasi untuk
sensitisasi alergen dan merupakan predisposisi bagi anak untuk mendapat alergi
pernafasan di kemudian hari.
Ada beberapa faktor yang mempengraruhi terjadinya dermatitis atopik antara
lain (Mansjoer Arief, 2009):
-

Faktor genetik
DA adalah penyakit yang diturunkan secara familial dengan pengaruh kuat ibu.
Terdapat peran potensial dari gen barier kulit/diferensiasi epidermal dan gen
respon imun/host defence. Reaksi alergi sudah tebentuk sejak dini pada masa
gestasi yang didapatkan dari keturunan yang memiliki riwayat alergi. Bila salah
satu orang tua mempunyai penyakit alergi,maka 25-40% anak akan menderita
alergi. Dan bila kedua orang tua mempunyai alergi, maka 50-70%.

Allergic march
Perjalanan alamiah penyakit alergi mengikuti suatu kurve yang disebut allergi
march, dimana dermatitis atopik dan alergi makanan sering menjadi mnifestasi
klinis pertama penyakit atopi sekitar 6 bulan/ tahun pertama dan dermatitis
atopik ini akan menjadi asma atau rinitis alergi di kemudian hari.
Gejala penyakit atopik berubah menurut umur. Pada awal neonatus akan
menghasilkan antibodi IgE terhadap susu sapi dan protein telur, kemudian
bermanifestasi dermatitis atopik, gangguan gastrointestinal dan sewaktu- waktu
timbul gejala di sistem pernafasan.

Faktor lingkungan
Faktor lingkungan adalah faktor yang cukup banyak bepengaruh terhadap
timbulnya gejala penyakit alergi. Adanya alergen di lingkungan hidup anak
meningkatkan risiko alergen.

Faktor regulasi sitokin


Sel mast juga merupakan sumber dari beberapa sitokin yang mempengeruhi sel
yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung alergi, paparan
terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE.
Hipersensitivitas tipe cepat atau zat kimia yang teikat pada protein. Antigen yang

menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat ( reaksi alergik) sering disebut


alergen
-

Faktor Dietetik
Makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan
dermatitis atopik pada bayi dan anak, terutama makanan yang banyak
mengandung protein seperti susu sapi, telur ayam, ikan laut, dan kacangkacangan. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif
terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Pemberian PASI pada bayi
cenderung meningkatkan angka kejadian alergi. Dibanding dengan susu sapi,
ASI dapat mengurangi angka kejadian dermatitis 7 kali lipat.

d.

Manifestasi klinis
Dermatitis paling sulit dibedakan dari dermatitis seboroik pada bayi. Yang paling
klasik, dermatitis seboroik terlihat pada usia 2 bulan pertama, sedangkan dermatitis
atopik muncul kemudian, dan didik pada seboroik adalah berwarna kuning dan
berminyak, sering telihat di belakang telinga. Dermatitis atopik mungkin bisa
tertunda hingga terjadi wabah.
-

Pruritus pada DA
Keluhan gatal adalah gambaran menonjol dari DA, dimanifestasikan
sebagai hiperreaktivitas kulit dan garukan setelah pajanan alergen, perubahan
kelembaban, keringat berlebihan, dan iritan konsentrasi rendah. Pruritus hebat
dan menyebabkan berulangnya siklus peradangan dan pembentukan lesi.
Penanganan pruritus penting karena kerusakan mekanis akibat garukan dapat
menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan kemokin, menyebabkan vicious
scratch-itch cycle yang memperparah lesi kulit DA. Mekanisme pruritus pada DA
belum banyak diketahui. Histamin yang berasal dari sel mast bukan penyebab
eksklusif gatal pada DA, karena antihistamin tidak efektif mengontrol gatal pada
DA.

Gambar 1.Dermatitis atopic pada bayi.


-

Eritema disertai Lesi kulit


Pada bayi, lesi sering muncul di wajah dan bokong. Sedangkan pada
remaja dan dan orang tua lebih sering muncul di tangan dan kaki, di belakang
lutut, dan di lipat siku.Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih
parah menjelang senja dan malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah
garukan, prurigo papules, likenifikasi, dan lesi kulit eksematosa. Lesi akut
ditandai keluhan gatal intens, papul eritem disertai ekskoriasi, vesikel di atas
kulit eritem, dan eksudat serosa. Lesi subakut ditandai papul eritem, ekskoriasi,
skuamasi. DA kronik ditandai oleh plakat kulit tebal, likenifikasi (accentuated
skin markings), dan papul fibrotik (prurigo nodularis.

Gambar .2. Dermatitis atopik pada anak dengan likenifikasi pada fosa
antecubiti dan plakat

ekzematosa generalisata.

DA sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa tersebut mempunyai
kulit yang peka terhadap gatal dan peradangan bila terpajan iritan eksogen. Eksema tangan
kronik mungkin merupakan manifestasi primer dari banyak orang dewasa dengan DA.

Gambar 3. Papul, vesikel, dan eosi tipikal pada dermatitis atopic tangan.
Manifetasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi sampai dewasa. Pada setiap anak didapat
keparahan yang berbeda, tapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang
serupa (Zulkarnain., 2009).
Kulit penderitan dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau keruh, kadar lipid
diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderta
dermatitis atopik cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata dan merasa
cemas, egois, frustasi, agresif atau merasa tertekan (Sularsito 2005).
Subyektis selalu terdapat pruritus, terdiri dari 3 bentuk yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal pada dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya
bersifat akut, sup akut, rekuren, simetris kedua pipi (Zulkarnain I, 2009). Karena
bentuknya di daerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering diSebut eskema
susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel
miliar, yang menjadi erosis, eksudatif, derkrusta. Tempat predileksi kedua pipi,
ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer., 2001).

Ras gatal sangat mengganggu, Sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering
menangis. Pada umumnya lesi sermatitis atopik infentil eksudatif, banyak eksudat,
erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan
maupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak
likenifikasi (Sularsito., 2005)
2. Bentuk anak ( 2 -12 tahun).
Awitan lesi mancul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase
bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, likefinikasi,.
Akibat adanya gatal dan garukan akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut
starch marks . Tempat predilaksi tengkuk, flesor tubital, fleksor poplitear sangat
jarang di wajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). Lesi dermatitis atopik pada anak bisa
terjadi di paha dan bokong (Zulkarnain ., 2009).
Eskim pada kelompok ini dapat terjadi pada daerah.ekstensor (luar) daerah
persendian (Sendi pergelangan, siku, dan lutut), pada daerah genetal juga dapat
terjadi.(Simpson., 2005)
3. Bentuk dewasa ( 12 tahun <).
Bentuk lesi padafase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anakanak (Zulkarnain., 2009). Lesi selalu kering dan dapat di sertai likenifikasi dan
hiperpigmentasi. Tempak predileksi tengkuk serta daerah freksor kubital dan freksor
popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukr ber keringat. Berbagai kelainan
yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktoSiS, hiperlinearis palmaris et
plantaris, pomfontoliks, ptiriasis alba, keratosis kelaris (berupa papul-papul miliar
danditengahnya terdapat lekukan),dll (Mansjoer., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami
stress, mungkin karena stress menurunkan rangsang ambang gatal. dermatitis atopik
remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh)
setelah uSia 30 tahun, jarang sampi usia pertengahan, hanya sebagian kecil
berlangsung sampai tua (Sularsito, 2005).

e.

Pemeriksaan Penunjang
Tes Laboratorium
Level IgE serum meningkat pada 70-80% pasien DA, yang disertai dengan
sensitisasi terhadap alergen inhalan dan makanan. Pada 20-30% pasien DA, tidak
terjadi peningkatan IgE dan pasien ini tidak menunjukkan sensitisasi terhadap
alergen makanan dan inhalan, tetapi beberapa pasien masih mempunyai IgE
sensitization terhadap antigen microbial (toksin S aureus, C albicans atau Malassezia
sympodialis) dan menunjukkan reaksi positif memakai atopy patch test walaupun tes
kulit imediatenya negatif. Sebagian besar pasien menunjukkan peningkatan eosinofil
darah tepi, meningkatnya pelepasan histamine spontan dari sel basofil. Sel T CLA+
secara spontan melepas IL-5 dan IL-13 yang secara fungsuional memperpanjang
hidup eosinofil dan menginduksi sintesis IgE. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan :
a. IgE serum.
IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80% pada
penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum
terutama bila disertai gejala atopi ( alergi )
b. Eosinofil.
Kadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis atopik. Berbagai
mediatore berperan sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil untuk menuju ke
tempat peradangan dan kemudian mengeluarkan berbagai zat antara lain Major
Basic Protein (MBP). Peninggian kadar eosinofil dalam darah terutama pada
MBP.
c. TNF-a.
Konsentrasi plasma TNF-a meningkat pada penderita dermatitis atopik
dibandingkan penderita asma bronkhial.
d. Sel T.
Limfosit T di daerah tepi padaenderita dermatitis atopik mempunyai jumlah
absolut yang normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan pemeriksaan
imunofluouresensi terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan pelepasan sitokin
yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik.

e. Uji tusuk.
Pajanan alergen udara (100 kali konsentrasi) yang dipergunakan untuk tes
intradermal

yang

dapat

memacu

terjadinya

hasil

positif.

Pemeriksaan biakan dan resistensi kuman dilakukan bila ada infeksi sekunder
untuk menentukan jenis mikroorganisme patogen serta antibiotika yang sesuai.
Sampel pemeriksaan diambil dari pus tempat lesi penderita.
f. Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan 3 respon, yakni : akan
tampak garis merah di lokasi penggoresan selama 15 menit, selanjutnya
mennyebar ke daerah sekitar, kemudian timbul edema setelah beberapa menit.
Namun, pada penderita atopik bereaksi lain, garis merah tidak disusul warna
kemerahan, tetapi timbul kepucatan dan tidak timbul edema.
g. Percobaan Asetilkolin.
Suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan
hiperemia pada orang normal. Pada orang Dermatitis Atopik. akan timbul
vasokontriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.
h. Percobaan Histamin.
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita Dermatitis Atopik. eritema
akan berkurang, jika disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada
kulit yang normal.
f.

Diagnosa banding
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat dan hasil pemeriksaan fisik
Diagnosis didasarkan pada konstelasi gambaran klinis oleh Hanifin dan Rajka.
Dalam diagnosis banding, terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi,
imunodefisiensi, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai
gejala dan tanda yang sama dengan DA, yang harus dieksklusi sebelum diagnosis
DA dibuat, yaitu:
1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)
2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis
5. Iktiosis vulgaris

6. Dermatofitosis
7. Eczema asteatotik
8. Liken simplek kronikus
9. Dermatitis numularis
g.

Komplikasi
1. Problem mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan gangguan
visus dan skar kornea. Keratokonjungtivitis atopic biasanya bilateral dan
menimbulkan gejala gatal, terbakar, keluar air mata dan sekresi mukoid.
Keratokonus adalah deformitas konikal kornea akibat gosokan kronik. Katarak
dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat. Belum jelas apakah ini akibat
manifestasi primer DA atau sebagai akibat pemakaian ekstensif steroid topical
dan sistemik.
2. Infeksi
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang merupakan
refleksi dari defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah
akibat infeksi herpes simplek, menghasilkan Kaposi varicelliform eruption atau
eczema herpeticum. Setelah inkubasi 5-12 hari, lesi vesikopustular, multipel
dan gatal timbul dalam pola diseminata; lesi vesikuler ber umbilated dan
cenderung berkelompok, dan sering

mengalami perdarahan dan berkrusta,

menghasilkan erosi punch-out dan sangat nyeri. Lesi dalam bergabung menjadi
area besar (dapat seluruh tubuh) yang mengelupas dan berdarah.

Gambar 4. Eksema herpetikum.

Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien dengan


individu yang mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi luas berat
(eczema vaccinatum) yang tampak sangat mirip dengan eczema herpeticum.
Pasien DA menunjukkan peningkatan prevalensi infeksi T rubrum
dibandingkan control nonatopik. Antibodi (IgE) terhadap M furfur biasa dijumpai
pada pasien DA, sebaliknya jarang pada control normal dan pasien asmatik. M
furfur dan dermatofit lain penting karena setelah terapi anti jamur, akan terjadi
penurunan keparahan kulit DA.
Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta
kuning madu, folikulitis, pioderma dan pembesaran KGB regional, merupakan
indikasi adanya infeksi sekunder (biasanya oleh S aureus) dan memerlukan
terapi antibiotik. Pentingnya S aureus pada DA didukung oleh observasi bahwa
pasien DA berat, walaupun tanpa infeksi berat, dapat menunjukkan respon
klinis terhadap terapi kombinasi dengan antibiotik dan steroid topikal.
1. Dermatitis tangan
Pasien DA sering mengalami dermatitis tangan nonspesifik. Dermatitis
ini sering dipicu oleh basah berulang dan pencucian tangan dengan sabun,
detergen, dan desinfektan.
2. Dermatitis/eritroderma eksfoliatif
Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil
toksin atau infeksi herpes simplek, iritasi berulang, atau terapi yang tidak
mencukupi. Pada beberapa kasus, penghentian steroid sistemik yang dipakai
mengontrol DA berat dapat menjadi factor pencetus eritroderma eksfoliatif.
h.

Patofisiologi
Mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada
aktivitasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut
reaksi hipersensitivitas. Mekanisme imun yang mendasari terjadinya alergi adalah
mekansme tipe I dalam klasifikasi Gell dan Coomb yang diperankan oleh IgE.
Dsini sel mast sdan basofil berperan penting pada reaksi hipersensitifitas tipe I
(cepat) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan
lainnya. Dermatitis atopik terjadi imunitas seluler dan respon terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada penderita dermatitis atopik ini.

Paparan awal alergen akan

dikenali oleh sel penyaji antigen (APC) untuk

selanjutnya mengekspresikan pada sel limfosit T secara langsung melalui sitokin.


Sitokin ini yang akan menginduksi antibodi switching pembentukan IgE dan
ekspresi molekul adhesi endhotel sehingga tejadi hipersensitivitas tipe cepat. Sel
limfosit T tersensitivitasi akan merangsang limfosit B yang akan memproduksi
berbagai imunoglobulin anatara lain IgG, IgM, IgA,IgE. Pada atopi IgE diproduksi
secara nberlebihan dan akan menempel pada reseptornya di sel mast, basofil, dan
eosinofil yang tedapat diberbagai organ antara lain kulit, saluran nafas, saluran
cerna. Molekul IgE yang terikat pada reseotornya tadi akan mengalami degranulasi
dan mengeluarkan mediator yang sudah ada dalam sel. Seperti pada kulit bisa
menimbulkan pruritus, eritema maupun lesi.
Penyakit cenderung lebih berat dan persisten pada anak, dan periode remisi lebih
sering bila anak bertambah usia. Resolusi spontan dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun
pada 40-60% pasien yang menderita sejak bayi. Walaupun penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa kisaran 84% anak akan terus menderita DA sampai dewasa, tetapi
studi yang lebih baru melaporkan bahwa DA sembuh pada kisaran 20% anak, dan
menjadi kurang parah pada 65%. Faktor prediktif berikut berkorelasi dengan prognosis
jelek DA : DA luas pada masa anak, disertai rhinitis alergik dan asma, riwayat DA pada
orang tua atau saudara, awitan DA pada usia lebih dini, anak tunggal, dan level IgE
sangat tinggi

i.

WOC Dermatitis Atopik

j.

Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk melembabkan kulit, menghindari kekeringan kulit
yang berlebihan, dan menghilangkan iritan yang mungkin mengeksaserbasi ruam.
Pasien yang mengalami dermatitis atopik berat memiliki rasio terkena infeksi kulit
sekunder oleh stafilokokus, herpes primer yang luas, dan varisela.
Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan pendekatan sistematik
meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologis, dan identifikasi serta eliminasi factor
pencetus seperti iritan, alergen, infeksi, dan stressor emosional (Gambar 5). Selain
itu, rencana terapi harus individualistik sesuai dengan pola reaksi penyakit,
termasuk stadium penyakit dan faktor pencetus unik dari masing-masing pasien.
Hal- hal yang harus diperhatikan menurut Boguniewicz & Leung tahun 1996
(cit.Kariosentono, 2006) adalah sebagai berikut:
Hindari iritan atau alergen: bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena
penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.
Pemberian antihistamin untuk mengontrol rasa gatal: antihistamin digunakan
sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan banyak digunakan untuk terapi
DA:
Kompres dingin untuk mengurngi peradangan
Steroid topikal dosis rendah untuk mengurangi peradangan dan memungkinkan
penyembuhan: sebagai anti inflamasi dann anti pruritus,dipilih yang potensinya
paling lemah yang paling efektif untuk menghindari efek samping berupa atrofi,
teleangiektasi, striae, dan takifilaksi.
Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : pemicu kekambuhan yang telah
terbukti misal makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus
disingkirkan.

Mengurangi stress : stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan,


bukan sebagai penyebab.
Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : pemakaian
pelembab dapat mempebaiki barier stratum korneum.
Antibiotik : ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder
k.

Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


1. Pemeriksaan penunjang :
a) Percobaan asetikolin ( suntikan dalam intracutan, solusio asetilkolin 1/5000).
b) Percobaan histamin hostat disuntikkan pada lesi
2. Laboratorium
a) Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein total,
albumin, globulin
b) Urin : pemerikasaan histopatologi

l.

Komplikasi
a) Infeksi saluran nafas atas
b) Bronkitis
c) Infeksi kulit
d) Stres psikologis, ansietas, depresi, dan marah

DERMATITIS SEBOROIK
a. Definisi
Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamator kulit yang biasanya dimulai pada
kulit kepala, dan menjalar ke muka, kuduk, leher dan badan. (Juanda, 2005)
Dermatitis seboroik (DS) adalah dermatosis papuloskuamosa yang dapat
mengenai bayi dan dewasa dan sering disertai dengan seborea (produksi sebum
meningkat) pada skalp dan area kaya folikel sebasea pada wajah dan badan. Kulit
yang terkena berwarna pink, edematosa, dan tertutup oleh skuama kuning
kecoklatan dan krusta. Dermatitis seboroik merupakan golongan kelainan kulit yang
didasari oleh factor konstitusi, hormon, kebiasaan buruk dan bila dijumpai pada
muka dan aksila akan sulit dibedakan. Pada muka terdapat di sekitar leher, alis mata
dan di belakang telinga. (Plewig, 2008)
b. Etiologi
Menurut Plewig (2008) etiologi dermatitis seboroik antara lain:
1. Penyebab DS belum diketahui.
2. Seborea. Seborea disertai dengan kulit yang tampak berminyak (seborea oleosa).
Wajah, telinga, scalp, dan bagian atas badan (area yang kaya kolikel sebasea)
merupakan predileksi DS dan akne. Walaupun seborea merupakan predisposisi
DS, tetapi DS bukan penyakit kelenjar sebasea. Dermatitis seboroik lebih sering
dijumpai pada pasien Parkinson dan gangguan neurologik lain, dimana sekresi sebum
meningkat. Pengurangan produksi sebum oleh levodopa dan promestriene, akan
menyembuhkan DS.
3. Eksema flannelaire sebagai sinonim DS berpangkal dari ide bahwa retensi lipid
permukaan kulit oleh pakaian, tekstil kasar (flannel) atau pakaian dalam sintetik
akan memperparah DS.
4. Mikrobial. Unna dan Sabouraud yang pertama mengaitkan penyebab DS oleh
bakteri, jamur atau keduanya, tetapi hipotesis tersebut belum terbukti walaupun
kedua organisme tersebut banyak dijumpai pada lesi DS. Jamur lipofilik
Malassezia furfur banyak dijumpai dalam kulit normal (504.000/cm2 vs 922.000
pada dandruff dan 665.000 pada pasien DS). Spesies Malasezia yang paling
sering menyertai DS adalah M. globosa dan M. restricta. Beberapa peneliti

menunjukkan adanya bukti kuat jamur tersebut dalam patogenesis DS (peneliti


lain sependapat). Bukti yang mendukung di antaranya:
a) DS sembuh dengan selenium sulfide
b) Pada DS, terdapat antibodi dalam serum terhadap M furfur
c) Terjadi respon cell-mediated terhadap M furfur pada orang normal
d) M furfur menyebabkan inflamasi akibat stimulasi sel Langerhans dan sel T
e) Kontak M furfur dengan serum akan mengaktifkan komplemen secara
langsung atau melalui jalur alternatif, dan ini akan membantu terjadinya
inflamasi.
f) Percobaan pada hewan, akan timbul lesi DS-like setelah di inokulasi dengan
M furfur.
5. Obat. Obat yang dapat menimbulkan lesi DS-like di antaranya arsen, emas,
metil-dopa, simetidin dan neuroleptik.
6. Abnormalitas neurotransmitter. DS sering disertai dengan berbagai abnormalitas
neurologik, sehingga dipikirkan kemungkinan pengaruh sistem syaraf. Kondisi
neurologik dimaksud, di antaranya postencephalitic parkinsonism, epilepsi,
kerusakan

supraorbital,

paralisis

fasial,

kerusakan

unilateral

ganglion

trigeminalis, poliomielitis, siringomielia, dan kuandriplegia. Stres emosi


tampaknya memperparah penyakit.
7. Faktor fisik. Ada indikasi bahwa aliran darah kulit dan suku kulit bertanggung
jawab terhadap distribusi DS. Variasi musim dalam suhu dan kelembaban
berkaitan dengan perjalanan penyakit. DS pada wajah dilaporkan pada 8% dari
347 pasien psoriasis yang mendapat psoralen dan terapi UVA dan timbul dalam
beberapa hari sampai 2 minggu setelah dimulainya terapi, dan pasien
sebelumnya tidak mempunyai riwayat DS pada wajah. Lesi tersebut dapat
dihindari dengan memakai pelindung selama iradiasi.
8. Proliferasi epidermal yang menyimpang. Terdapat peningkatan proliferasi
epidermal pada DS yang sama seperti pada psoriasis, hal yang menjelaskan mengapa
modalitas terapi sitostatik dapat memperbaiki penyakit.
9. Gangguan nutrisi. Defisiensi zinc pada pasien akrodermatitis enteropatika (AE)
dan kondisi yang menyerupai AE dapat disertai dengan dermatitis yang
menyerupai DS pada wajah. Walaupun demikian, DS tidak disertai defisiensi
zinc dan tidak pula memberi respon terhadap terapi zinc.
10. DS pada bayi dapat berbeda patogenesisnya. Defisiensi biotin baik karena
defisiensi holokarboksilase atau biotinidase, maupun karena metabolisme

abnormal asam lemak esensial, telah diduga dalam patogenesis. Tetapi pada studi
buta ganda, terbukti bahwa biotin tidak lebih dari efek plasebo.
11. Faktor genetik. Pernah dilaporkan kondisi yang dianggap sebagai DS dengan
defek gen pada protein zinc finger.
c. Gambaran klinis
Menurut RH Champion (2004), Pada semua pasien DS ada stadium seboroik,
yang sering dikombinasikan dengan warna kulit abu-putih atau kuning merah, muara
folikel yang menonjol, dan skuama psoriasiformis ringan sampai berat.
Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit
bawahnya eritematosa dan gatal, disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat
terjadi blefaritis yakni pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.
Pada tepi bibir terdapat kemerahan dan berbintik-bintik (marginal blefaritis). Daerah
konjungtiva pada saat yang bersama juga dapat terkena. Lipatannya dapat berwarana
kekuningan denga kerak, dengan batas yang tidak jealas. Pruritus juga bisa terlihat.
Jika area glabela juga terkena, disana juga mungkin terkena kerak pada kerutan mata
yang berwarna kemerahan. Pada lipatan bibir mungkin terdapat perubahan warna
berupa kerak yang kekuningan atau kemerahan, kadang-kadang dengan lubanglubang. Pada pria, radang folikel rambut pada kumis juga bisa terjadi.
Selain tempat-tempat tersebut dermatitis juga dapat mengenai liang telinga,
lipatan nasolabial, daerah sterna, areola mamae pada wan interskapular, umbilicus,
lipat paha dan daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung, dan kelainan dapat
berupa papul-papul.
Pada telinga. Dermatitis seboroik yang disalahartikan dengan

radang daun

telinga yang disebabkan oleh jamur (otomikosis). Disana terdapat kulit terkelupas
pada lubang telinga disekitar meatus auditivus dan depan daun telinga. Pada daerah
ini kulit biasanya berubah menjadi kemerahan dengan lubang-lubang dan bengkak.
Eksudasi serosa, pembengkakan pada telinga dan daerah sekitarnya. Pemberian tetes
cortipsorin otic, berisi polymyxin hydrocortisone 4 tetes pada saluran telinga,
biasanya untuk membersihkan tridesilon (lotion 0,5% asam asetat, juga efektif)
Dermatitis seboroik pada wajah juga bisa berbentuk erupsi popular pada pipi
hidung dan dahi. Kemerahan yang tampak pada area alar-malar disebut dyssebacea.
Sodium sulfacetamin bisa digunakan pada 10% krim yang cocok diantaranya

desonide (tridesilon) hamper mennagani pengobatan yang spesifik untuk


dyssebacea.
Pada bibir dan mukosa tidak biasanya terkena, tapi kadang-kadang terdapat
perubahan pada bibir yang disebut cheilitis exfoliate/ tampak bibir berwarna merah,
kering, terkelupas dan berlubangitis seboroik biasa pada lipat paha dan bokong,
dimana terlihat seperti kurap, psoriasis atau jamuran. Garinya terlihat seperti kulit
terkelupas pada keduanya dan simetris pada lokasi ini lubang-lubang yang
ditemukan dan mungkin juga terdapat garis psoariforra dengan kulit kering pada
beberapa kasus.
Dermatitis seboroik dapat bersama-sama dengan akne yang berat. Jika meluas
dan eritoderma, pada bayi disebut penyakit leiner (erythroderma desquamativum).
Penyakit ini biasanya dimulai dari bagian sekitar anus dan daerah ketiak, lalu terlihat
mengelupas, area intertriginosa, leher dan ekstremitas. Awal mulanya ditemukan
inflamasi kemerahan yang menyebar, yang meliputi seluruh tubuh. Makin lama kulit
akan diliputi tumpukan kulit kering yang berwarn aputih keabu-abuan. Pada
faktanya dalam proses yang terjadi akan terjadi ekfoliasi umum dan penipisan dari
kulit. Kulit kepalaselalu terlihat krusta tipis yang hancur dan terdapat pembesaran
kelenjar.

Tabel 2.1. Pola DS


Infantil
Dewasa
Skalp (cradle cap)
Skalp
Badan (termasuk fleksura dan area Wajah (dapat termasuk blefaritis)
popok)
Badan
Penyakit Leiner
Petaloid
Nonfamilial
Pityriasiformis
Familial (disfungsi C5)
Fleksural
Plakat eksematosa
folikular
Generalisata (dapat eritroderma)

DS pada infan
Pada bayi, penyakit timbul dalam bulan-bulan pertama kehidupan, berupa
penyakit inflamasi yang terutama mengenai kepala berambut dan lipatan dengan
skuama greasy-looking dan krusta (Gambar 1).

Gambar 5 DS pada bayi. Pola DS yang luas dengan lesi psoriasiformis pada badan
dan paha
1. Pada kepala (kulit kepala bagian frontal dan parietal) khas disebut cradle sign
dengan krusta tebal, pecah-pecah dan berminyak tanpa ada dasar kemerahan dan
kurang/tidak gatal
2. Pada lokasi lain seperti lipatan belakang telinga, pinna telinga, dan leher, lesi
tampak kemerahan atau merah kekuningan yang tertutup dengan skuama yang
berminyak, kurang/tidak gatal
Perjalanan penyakit ini pada bayi biasanya berlanjut mingguan sampai bulanan.
Kekambuhan jarang terjadi dan prognosis ini pada bayi adalah baik.
Differential diagnosis dari dermatitis seboroik pada bayi termasuk didalamnya
dermatitis atopic (yang biasanya dimulai setelah bulan ketiga kehidupan), psoriasis pada
bayi baru lahir, penyakit yang jarang seperti scabies dan histiositosis X.
Bagian sentral wajah, dada, dan leher dapat pula terkena. Bagian scalp yang
terkena,cukup khas. Region frontal dan parietal tertutup oleh krusta tebal, tampak
berminyak (oily-looking), sering disertai fisur (crusta lactea, milk crusts, atau cradle
cap). Kehilangan rambut tidak terjadi dan radang sedikit. Kelainan dapat pula mengenai
lipatan belakang telinga, daun telinga,dan leher, aksila. Pada lipat paha dan anogenital
dapat terjadi infeksi oportunistik oleh C. albicans, S. aureus, dan bakteri lain, yang

klinisnya mengingatkan suatu psoriasis,

sehingga dinamai psoriasoid atau napkin

psoriasis.
Dermatitis seboroik pada dewasa (pada usia pubertas, rata-rata pada usia 18-40 tahun
dapat pada usia tua)
Gambaran klinis dan perjalanan dari penyakit ini berbeda antara remaja dan bayi :
1. biasanya gatal
2. pada area seboroik berupa macula atau plakat, folikular, perifolikular atau papula,
kemerahan atau kekuningan dengan derajat ringan sampai berat, inflames, skuama
dan krusta tipis sampai tebal yang kering, basah atau berminyak
3. bersifat kronis dan mudah kambuh, sering berkaitan dengan kelelahan stress atau
paparan sinar matahari
Perjalanan penyakit biasanya berlangsung dalam waktu yang lama. Periode perbaikan
pada musim panas dan kambuh kembali pada musim dingin. Pembesaran lesi dapat
terjadi sebagai akibat dari perubahan musim terutama efek dari paparan sinar matahari.
Menurut JQ Del Rosso (2011), gambaran klinis dan perjalanan penyakit DS pada
dewasa berbeda dari DS bayi. Seborrheic eczematid (eczema-like, dermatitis-like)
adalah bentuk paling ringan penyakit. Penyakit ini ditandai seborea, skuama, eritem
ringan, dan sering keluhan gatal pada skalp, lipatan nasolabial, bulu mata, dan area
retroaurikular, demikian pula sternum dan bahu. Dandruf putih, asimptomatik pada
skalp, mewakili akhir bentuk ringan spektrum dermatitis seboroik dan dinamai
pityriasis sicca. Eritema nasolabial, lebih umum pada wanita dibandingkan pada pria,
dapat merupakan bagian dari spektrum.
Patchy seborrheic dermatitis, ialah penyakit klasik yang telah dikenal, dengan lesi
kronik rekuren. Lesi mempunyai predileksi untuk skalp, temples, bagian dalam
eyebrows, glabela dan lipat nasolabial (Gambar 2), daerah V dada dan punggung (Gambar 3),
dan lipat retroaurikular dan liang telinga luar (Gambar 4). Daerah intertrigo (sisi leher, ketiak,
submamary, umbilikus, dan lipat genitokural, lebih jarang terkena.

Gambar 6. DS pd nasolabial, pipi, alis, dan hidung.

Gambar 7. DS pd punggung atas

Gambar 8 DS pada telinga


d. Patofisiologi

Dermatitis seboroik yang disebabkan oleh Pityrosporum ovale berkaitan


dengan reaksi imun tubuh terhadap sel jamur di permukaan kulit maupun produkproduk metabolitnya di dalam epidermis. Reaksi peradangan yang timbul melalui
perantaraan sel langerhans dan aktivasi limfosit T. Bila Pityrosporum ovale telah
berkontak dengan serum, maka akan dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui
jalur aktivasi langsung maupun alternatif. Pada anak, selain Pityrosporum ovale,
sering pula ditemukan Candida albicans pada lesi-lesi kulit .
Peningkatan proliferasi epidermal pada dermatitis seboroik, menjelaskan
mengapa penyakit ini cukup responsif pada terapi dengan sitostatik. Selain itu,
dermatitis seboroik sering berkaitan dengan kelainan-kelainan neurologik seperti
penyakit parkinson pasca ensefalitis, epilepsi, trauma supraorbital, paralisis nervus
fasialis, polimielits, siringomielia, dan kuadriplegia. Kelainan pada sistem
neurologik menyebabkan abnormalitas pada neurotransmitter dan bermanifestasi
sebagai gangguan fungsi kelenjar sebum.Hal ini berdasarkan fakta, bahwa beberapa
obat yang dapat menginduksi parkinson ternyata juga dapat menginduksi dermatitis
seboroik, sementara pemberian L-dopa selain memperbaiki kondisi parkinson, juga
lesi kulit dengan dermatitis seboroik.
Biasanya, penyakit berlangsung beberapa tahun dengan periode
perbaikan pada musim lebih hangat dan periode eksaserbasi pada musim lebih
dingin. Lesi luas dapat terjadi akibat pengobatan topikal yang tidak layak atau akibat
pajanan matahari. Varian DS yang ekstrim adalah eritroderma eksfoliativa
(eritroderma seboroik). Distrofi kuku, ganggaun elektrolit, dan disregulasi
temperatur adalah gambaran tambahan yang kadang dijumpai.
e. Histopatologi
Menurut RH Champion (2004), Gambaran histopatologi DS bervariasi menurut
stadium penyakit: akut, subakut, atau kronik. Pada DS akut dan subakut, ada inflitrat
perivaskular superfisial yang jarang dari limfosit dan histiosit, spongiosis sedikit
sampai moderat, hiperplasia psoriasiform ringan, plug folikular akibat ortokeratosis
dam parakeratosis, dan skuama-krusta mengandung netrofil pada puncak ostia
folular (Tabel 2). Pada DS kronik, tampak kapiler dan venule dilatasi jelas dalam
pleksus superfisial, selain gambaran yang dijelaskan di atas. Secara klinis dan

histopatologis, lesi DS kronik adalah psoriasiformis dan sukar membedakannya dari


psoriasis. Bentuk psoriasis abortive berbagi banyak gambaran dengan DS. Ada pula
lesi mirip psoriasis dan bertahan beberapa tahun sebelum akhirnya berubah menjadi
psoriasis. Tanda diagnostik terpenting DS adalah mounds of scale-crust-containing
neutrophils pada puncak infundibulum folikel yang dilatasi dan berisi zat tanduk.
Akrosiringia dan akroinfundibula dapat tersumbat oleh casts korneosit. Temuan
paling konsisten pitiriasis amiantasea adalah spongiosis adalah spongiosis,
parakeratosis, migrasi limfosit ke dalam epidermis, dan derajat bervariasi dari
akantosis. Gambaran penting yang bertanggung jawab terhadap skuamasi yang
asbestosis-like adalah hiperkeratosis difus dan parakeratosis bersama dengan
keratosis folikularis dimana setiap rambut dikelilingi oleh lembaran korneosit dan
debris.
Abnormalitas sitologik dari sel tanduk superfisial (korneosit) termasuk sel
ortokeratotik dan sel parakeratotik, sel tanduk dalam stadium berbeda dari
dekomposisi nuklear (sel halo), dan masa lekosit dapat dievaluasi dengan sitologi
eksfoliatif. Hitopatologi DS dengan AIDS, lebih parah dan berbeda dalam beberapa
aspek dari bentuk klasik
Tabel 4.3. Perbedaan gambaran histopatologik antara DS klasik dan DS yang disertai
AIDS.
Dermatitis seboroik klasik
DS-disertai AIDS
Epidermis
Epidermis
Parakeratosis terbatas
Parakeratosis luas
Keratinosit nekrosis jarang
Keratinosit nekrosis banyak
Obliterasi interface tidak ada
Obliterasi interface fokal dengan clusters of
Spongiosis prominen
limfosit
Spongiosis jarang
Dermis
Dermis
Pembuluh darah dinding tipis
Pembuluh darah dinding tipis banyak
Sel plasma jarang
Sel plasma meningkat
Leukositoklasis tidak ada
Leukositoklasis fokal
Sumber: Soeprono et al. Seborrheic-like dermatitis of acquired immunodeficiency
syndrome: A clinicopathologic study. J Am Acad Dermatol 1986;14:242.
f. Diagnosis Banding

Gambaran klinis yang khas pada dermatitis seboroik ialah skuama yang
berminyak (kekuningan dan berlokasi di tempat-tempat seboroik).
Psoriasis berbeda dengan dermatitis seboroik Karen aterdapat skuama-skuama
yang berlapis-lapis, disertai tanda tetesan lilin dan auspitz. Tempat prediklensinya
juga berbeda ialah skuama lebih tebal dan putih seperti mika, kelainan kulit juga
pada perbatasan wajah dan dan scalp (tempat-tempat lain sesuai dengan tempat
prediklensiny. Psoriasis inversa yang mengenai daerah fleksor juga dapat
menyerupai dermatitis seboroik.
Pada lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis. Pada kandidosis
terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di
sekitarnya.
Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirip otomikiosis dan
otitis eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sediaan langsung.
Otitis eksterna menyebabkan tanda-tanda radang, jika kaut terdapat pus.

Differensial diagnosis dari penyakit ini beragam di setiap tempatnya.


-

Kepala

: dandruff, psoriasis, dermatitis atopic, impetigo

Saluran telinga

: psoriasis asis atau dermatitis kontak, irritant atau alergi

Wajah

: rosacea, dermatitis kontak, psoriasis, impetigo

Dada & punggung

: pityriasis versicolor, pityriasis rosea, psoriasis

Kelopak mata

: dermatitis atopic, psoriasis, dermodex folliculorum

(demodicosis)
-

Daerah intertriginosa: psoriasis dan candidiasis


Sedangkan Gambaran pembeda yang paling berguna antara DA dan DS adalah

peningkatan jumlah lesi pada lengan bawah dan shins pada DA dan pada aksila pada
DS. Lesi yang hanya terdapat pada area popok lebih mendukung diagnosis DS infantil.
Tes radioalergosorben assay terhadap putih telur dan susu, atau alergen yang relevan
dengan geografi atau etnis (soybean), dan level total IgE, dapat dipakai sebagai petunjuk
berguna untuk diagnosis stadium awal DA dan membedakannya dari DS infantil.
Keluhan gatal ringan atau tidak ada, dianggap sebagai tanda nyata dari DS infantil.

Diagnosis banding DS infantil


1.

Dermatitis atopik (paling mungkin)

2.

Skabies, psoriasis (pertimbangkan)

3.

Histiositosis sel Langerhans (singkirkan)

Penyakit Leiner (Eritroderma deskuamativum)


Eritroderma deskuamativum merupakan komplikasi dermatitis seboroik pada bayi
(dermatitis seboroides infantum) dan digambarkan oleh Leiner pada tahun 1908.
Umumnya terjadi konfluensi lesi mendadak yang akan menjadi eritroderma. Bayi
tampak sakit berat dengan anemia, diarea dan muntah. Dapat terjadi infeksi sekunder.
Prognosis umumnya baik bila ditatalaksana dengan baik. Penyakit ini dapat familial
(defisiensi fungsional komplemen C5), dan memberi respon terhadapantibiotik dan infus
plasma beku segar atau whole blood.

g. Prognosis
Seperti telah dijelaskan pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi
penyakit ini agak sukar disembuhkan, meskipun terkontrol. Pada bayi, tidak ada
indikasi bayi dengan DS lebih mudah menderita DS pada dewasa. (Plewig, 2008)
h. Pengobatan
Menurut RH Champion (2004) pengobatan pada dermatitis seboroik sebagai berikut:
1) Pertimbangan umum
Pada umumnya, terapi ditujukan untuk melunakkan dan menghilangkan
skuama dan krusta, menghambat kolonisasi jamur, mengontrol infeksi sekunder,
dan mengurangi eritema dan gatal. Pasien DS dewasa harus diberi penjelasan
mengenai sifat kronik penyakit dan memahami bahwa terapi bekerja dengan cara
mengontrol penyakit dan bukan mengobati. Prognosis DS infantil bagus karena
penyakit bersifat jinak dan self-limited.
(a) Terapi DS pada bayi
- Skalp. Terapi terdiri atas: menghilangkan krusta dengan asam salisilat
3% dalam oleum olivarium atau water-soluble base; kompres hangat
oleum olivarium; steroid topikal potensi rendah (hidrokortison 1%)

dalam krim atau lotio untuk beberapahari; anti jamur topikal (imidazole
dalam shampo); sampo bayi ringan; perawatan kulit dengan emolien,
-

krim, dan pasta lunak.


Daerah intertriginosa. Drying lotion, seperti klioquinol 0.2-0.5% dalam
lotio zink atau zink minyak. Dalam kasus kandidiasis, lotio atau krim
nistatin atau amfoterisin B dilanjutkan dengan pasta lunak. Pada keadaan
dermatitis eksudatif, diberikan gentian violet 0.1%-0.25%. Ketokonazole

2% dalam pasta lunak, krim, atau lotio dapat pula membantu.


Diet. Tidak efektif (diet rendah lemak, biotin, vit B komplek, asam lemak

esensial).
(b) Terapi DS pada dewasa
DS pada dewasa berlangsung lama dan tidak dapat diprediksi, disarankan
regimen terapi yang ringan dan hati-hati. Agen anti radang dan, bila ada
-

indikasi, diberikan antimikrobial dan anti fungal.


Skalp. Sampo diberikan sering dengan sampo mengandung selenium sulfid
1-2.5%, ketokonazole 2%, zink pirition, benzoil peroksid, asam salisilat, coal
/juniper tar, atau detergen. Krusta atau skuama dapat dihilangkan dengan
pemberian steroid atau asam salisilat dalam water-soluble base, yang
diberikan sepanjang malam. Tingtur, alcoholic solution, hair tonic, biasanya
akan merangsang stadium inflamasi sehingga harus dihindari. Pada pityriasis
amiantasea, skuama harus dihilangkan dengan salap oleum cadini atau salap
tar/salicylic. Setelah 4-6 jam, salap dibuang dengan sampo yang sesuai
(sampo tar/imidazol). Pada beberapa kasus, dapat diberikan krim/larutan
steroid topikal poten. Bila terapi topikal gagal, diberikan prednisolon oral 0.5
mg/kg/hari selama kisaran 7 hari, dikombinasikan dengan steroid topikal
(mula-mula dengan oklusi kemudian tanpa oklusi). Pemberian antimikrobial
(makrolid, sulfonamid) hanya untuk kasus yang bandel, terutama bila

koinfeksi bakteri pada skalp terbukti atau dicurigai.


Wajah dan badan. Pemakaian salap yang berlemak/greasy dan sabun harus
dihindari, demikian pula, larutan beralkohol atau lotion untuk cukur jenggot.
Hidrokortison 1% cukup menolong. Pemakaian jangka lama tidak terkontrol
dapat menimbulkan efek samping steroid dermatitis, steroid rebound
phenomenon, steroid rosacea, dan dermatitis perioral.

Seborrheic Otitis Externa. Terbaik diobati dengan krim/salap steroid


potensi rendah. Preparat telinga yang mengandung neomisin, antibiotik, atau
kombinasi, merupakan sensitizer kuat sehingga harus dihindari. Bila otitis
teratasi, steroid harus dihentikan dan larutan mengandung aluminum asetat
diberikan 1 atau 2 x/hari untuk mempertahankan kondisi yang sudah dicapai
(bekerja sebagai drying agent dan mengurangi flora mikrobial). Salap dasar
atau plain petroleum jelly, dioles dalam liang telinga (tanpa cotton tips),
sering menolong mempertahankan kepuasan pasien. Pimekrolimus topikal

juga efektif.
Seborrheic Blepharitis. Direkomendasikan pemberian kompres hangat dan
debridemen secara lembut dengan cotton-tipped applicator dan baby shampoo, 1
atau 2 x/hari. Kasus yang bandel, memerlukan antibiotik topikal (sodium
sulfacetamide ophthalmic ointment). Bila terdapat Demodex folliculorum dalam
jumlah besar, dapat dicoba pemberian krotamiton, permetrin, atau benzoil
peroksid.
Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi
pada pasien dengan AIDS sehingga merupakan salah satu tanda dan haru
slebih hati-hati dalam menangani pasien dengan resiko tinggi.
1. Anti jamur
Anti jamur topikal yang berhasil adalah golongan imidazol (itrakonazol,
mikonazol, flukonazol, ekonazol, bifonazol, climbazole, siklopirox, dan
siklopiroxolamin). Response rate yang dicapai antara 63% sampai 90% setelah 4
minggu. Golongan imidazol yang paling banyak digunakan adalah
ketokonazol. Dalam beberapa penelitian, krim ketokonazol 2% diketahui
sama efektif dengan krim steroid, kadang dengan remisi lebih lama. Dalam
penelitian terbatas, krim butenafine 1%, derivat benzylamine menunjukkan
efektivitas sebagai terapi topikal pada DS.
Ketokonazol, itrakonazol, dan terbinafine oral efektif pula, tetapi karena
efek samping potensial dan pertimbangan ekonomi, harus dibatasi pada
kasus berat atau parah. Agen anti jamur memiliki spektrum yang luas,

termasuk sifat anti radang dan hambatan pada sintesis lipid dinding sel. Efek
tersebut bukan bukti dari causal relationship antara M. furfur dan DS.

2. Metronidazol
Metronidazol topikal adalah alternatif berharga dalam pengobatan DS.
Obat telah digunakan dengan sukses pada rosasea. Formulasi (1-2% dalam
dasar krim) atau produk komersial (0.75% gel, krim atau lotion; krim 1%)
dipakai 1-2 x/hari.
2) Pengobatan sistemik
Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednisone 2030 mg sehari. Jika telah ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Kalau
disertai infeksi sekunder diberi antibiotik.
Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya
mengurangi aktivitas kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi
sampai 90%, akibatnya terjadi pengurangan produksi sebum. Dosisnya 0,1-0,3
mg per kg berat badan per hari, perbaikan tampak setelah 4 minggu. Sesudah itu
diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg per hari selama beberapa tahun yang
ternyata efektif untuk mengontrol penyakitnya.
Pada dermatitis seboroik yang parah juga dapat diobati dengn narrow
band UVB (TL-01) yang cukup aman dan efektif. Setelah pemberian terapi 3x
seminggu selama 8 minggu, sebagian besar penderita mengalami perbaikan.
Bila pada sediaan langsung terdapat P.Ovale yang banyak dapat diberikan
ketokonazol, dosisnya 200 mg per hari.
3) Pengobatan topical
Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 2-3 kali scalp dikeramasi
selama 5-15 menit, misalnya dengan selenium sufida (selsum). Jika terdapat
skuama dan krusta diberi emolien, misalnya krim urea 10%. Obat lain yang bisa
dipakai ialah:
- Ter, misalnya likuor karbonas detergen 2-5% atau krimm pragmatar
- Resorsin 1-3%
- Sulfur praespitatum 4-20% dapat digabung dengn asam salisilat 3-6%

Kortikostreroid, misalnya krim hidrokortison 2,5%. Pada kasus dengan


inflamasi yang berat dapat dipakai kortikostreroid yang lebih kuat misalnya
betametason valerat asalnkan jangan dipakai terlalu lama karena efek

sampingnya.
Krim ketonazol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung terdapat
P.ovale

WOC Dermatitis Seboroic


Hormona
l

Infeksi
jamur

Gangguan
imunitas

Obatobata
n

nutrisi

genetic

Terjadi Reaksi imun


tubuh
Peningkatan kadar
sebum
Poliferasi dermis
meningkat
Sitokinin meningkat
Ig E berlebih
Aktivasi sel langerhan
& limfosit T
Peradangan kelanjar sebum
Dermatitis seroboik
Mengyebabkan gatal
Reaksi menggaruk
berlebih
Gangguan
rasa
nyaman :
gatal

Merusak
jaringan
epidermis
Lap.
Epidermis
terbuka
Port the
entry kuman
Resti infeksi

Terjadi lesi pada kulit


kepala, bibir, supra
orbital
Membentuk skuoma,
eritema granular,
kemerahan
Gangguan citra tubuh
Kerusakan jaringan
terlokalisir
Gangguan
integritas
kulit

Kurangnya
informasi
mengenai
penyakit

Kuranggnya
pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA
Amado A, Taylor JS, Sood A. (2008). Irritant Contact Dermatitis. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors.
Anonym, Dermatitis atopic pada anak. 17 Mei 2009. Diunduh dari www.
childrenallergyclinic.wordpress.com, 26 April 2011 pukul 16.24
Barakbah J, Pohan SS, Sukanto H, Martodiharjo S, Agusni I, Lumintang H, et al.
(2007). Dermatitis Seboroik. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan Ketiga.
Surabaya: Airlangga University Press
Brunner and Suddarths. (2008). Textbook of Medical-Surgical Nursing.
LWW, Philadelphia.

Penerbit

Cahmpion RH, Burton JL, Ebling FJG. (2004). Serborrhoic Dermatitis. Textbook of
Dermatology. Eight Chapter. Oxford: Blackwell Scientific Publication
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Penerbit :
EGC, Jakarta.
Cohen DE, Jacob SE. Allergic (2008). Contact Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill
Del Rosso JQ. (2011).Adult Seborrheic Dermatitis. A Status Report on Practical Topical
Management. J Clin Aesthet Dermatol
Diagnostic criteria for AD by Hanifin JM, Rajka G. Acta Derm Venereol Suppl
(Stockh). 1980;92:4447 (no 15-27) (cit. Harahap,2000).
Djuanda, Adhi. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Penerbit : Balai Penerbit FK
UI, Jakarta.
Doenges, Marilynn E, et all. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Penerbit:
EGC, Jakarta
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. New York: McGraw-Hill;
Harahap Mawarli Prof.Dr. (2006). Ilmu Penyakit Kulit.Jakarta:Hipokrates
Juanda A. (2005). Dermatosis eritroskuamosa dalam Juanda A, Hamzah, Aisah S, Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. Cetakan Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2005:200-2

Mansjoer, Arif, dkk.( 2000). Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Edisi 3. Penerbit : Media
Aesculapius FK UI, Jakarta.
Plewig G, Jansen T. (2008). Seborrheic Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill
Robert C, Kupper TS. (1999). Inflammatory Skin Diseases, T cells, and Immune
Surveillance. N Engl J Med.
Soeprono et al. (1986). Seborrheic-like dermatitis of acquired immunodeficiency
syndrome: A clinicopathologic study. J Am Acad Dermatol 1986;14:242

S-ar putea să vă placă și