Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Terusir
S
Cerpen Jumari HS
kehidupan yang lebih luas. Seperti biasa,
setiap pagi Mbah Parni setelah mandi
membiasakan diri memakai bedak pupur
yang dibuatnya dari beras untuk untuk
memoles wajahnya agar kelihatan masih
muda dan cantik. Sejak peristiwa
semalam, dia termangu gelisah. Sesekali
dia mengunyah daun sirih untuk menghilangkan kegundahannya. Matanya menerawang jauh dalam pikiran kalut dan tak
menentu. Jiwanya tercabik-cabik.
Orang tua tidak tahu diri, ada orang
punya gawe diganggu! bentak Wiryo
dengan nada keras, yang merasa perhelatan pernikahan anaknya semalam terganggu oleh ulah Mbah Parni.
Aku melantunkan tembang untuk
hatiku. Yang aku lakukan sudah menjadi
kebiasaanku setiap malam, bukan?
jawab Parmi dengan mimik tak
bersalah.
Mulai malam nanti,
kalau masih melantunkan tembang-tembang itu lagi, akan
kubungkam mulut-
galun dan memecah kesunyian itu menjadi senyap dan sepi. Yang terdengar hanya
suara-suara jengkerik maupun hewanhewan lain yang saling bersahutan
seakan-akan rumah Mbah Parni berubah
menjadi rumah hantu. Banyak tetangga
di sekitarnya mempertanyakan nasib
penghuninya yang biasa melantunkan
tetambangan Jawa itu.
Ke mana Mbah Parni ya? Sudah
satu minggu ini tak terdengar lantunannya, ujar salah seorang tetangganya.
Aku juga penasaran. Mungkin pergi
ke rumah saudaranya.
Barangkali. Tapi kenapa lama
perginya?
Entah.
Kepergian Mbah Parni memang
sangat misterius. Tetangga-tetangga di
sekitarnya pun tidak tahu. Dia menghilang begitu saja tanpa meninggalkan
pesan apa pun. Tetembangan Jawa
yang biasa dia lantunkan tak lagi ter-
Shabrina Ws
tepat untukku, gerutu Mbah Parmi.
Setiap pagi sampai siang dia dapat
menanam singkong dan sesekali sambil
mencari ikan di sungai untuk bertahan
hidup, setiap malamnya tetap melantunkan syair-syair Jawa yang menjadi
kegemarannya. Di tempat ini, aku
benar-benar merasa nyaman dan menemukan diriku sendiri, ujarnya sambil
merebus singkong.
Lambat laun keberadaan Mbah Parni
diketahui warga yang ada di sekitar
sungai itu. Pada malam hari mereka
mengintai dari kejauhan.
Bukankah itu Mbah Parni yang
selama ini kita cari? tanya salah seorang
di antara mereka.
Ya benar! Tapi siapa yang mengusirnya?
Aku tak tahu.
Lebih baik kita lapor pada Kepala
Desa agar Mbah Parni bisa kita kembali
rumahnya.
***
MULAI ada kecurigaan di dalam
benak Mbah Parmi bahwa keberadaannya sudah mulai diketahui warga di sekitar sungai itu. Dia merasa dihantui kecemasan bercampur trauma waktu diusir
dari rumahnya. Terlihat matanya
muram. Dia hanya bisa menangis
dan menangis, disertai hati yang
perih dan putus-asa.
Hidup di rumah sendiri
diusir, di tepi sungai tidak
tenang dan terus terusik,
keluhnya sambil mengucurkan air mata.
Angin sepoi-sepoi
bersimilir menerpa
rerimbunan daun
bambu di sekitar
sungai itu.
Gemersiknya seperti
desah nanas yang terengah-engah memanggul
beban semakin berat.
Sebagaimana hati Mbah
Parni, dia terpinggirkan,
merasa terusik dan terus
terusik oleh peradaban
yang akhirnya dia memutuskan meninggalkan
seluruh hidup yang dimilikinya.
Sekarang tak ada lagi
lantunan tetembangan
Jawa yang biasa dia
lantunkan setiap malam.
Dia telah pergi, terlentang
di tepi sungai dengan raut
wajah pucat yang dikerumuni penyesalan banyak
warga. (62)
Kudus, 2014
mu,
bentak Wiryo
lalu pergi meninggalkan janda tua yang
termangu-mangu dengan perasaan tersayat-sayat. Melantunkan tetembangan itu
bagi Mbah Parni sudah mendarah daging
dan tidak bisa dicegah oleh siapa pun,
kecuali kematian.
Kenapa hak dan kebebasan seseorang dalam hidup ini senantiasa terusik?
iba Mbah Parni sambil mengemasi
barang-barang lalu melangkah pergi
meninggalkan rumahnya begitu saja.
***
SUDAH tidak seperti biasanya,
rumah reot yang pada setiap malam terdengar tetembangan Jawa yang men-
Jakarta Mei 1998 ketika rezim Orde Baru diruntuhkan. Tapi tak pelak lagi, Paris adalah alasan
utama mengapa novel ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Prancis, mendahului terjemahan
ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris
yang baru akan terbit bulan-bulan mendatang.
Merasa tersanjung, Leila sangat bersyukur
novelnya diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis, hanya dua tahun setelah terbit pada
2012. Itu memang periode yang relatif pendek,
apalagi karena ini baru novel pertamanya.
Kumpulan cerpen pertamanya, yang berjudul
Malam Terakhir (1989) sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman. Salah satu cerpen dari
kumpulan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Denmark. Sedangkan kumpulan cerpen keduanya Sembilan dari Nadira (2010) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Yang bagi Leila Chudori juga istimewa
adalah peluncuran Retour. Pertama, peluncuran itu berlangsung di Paris, kota latar belakang
sebagian besar novelnya. Leila menegaskan
ibukota Prancis itu adalah kota yang punya arti
penting bagi penciptaan Pulang. Kedua, peluncuran Retour berlangsung dalam acara khusus
yang mengkajinya dari pelbagai segi oleh pelbagai ahli. Pulang misalnya dibandingkan
dengan fiksi-fiksi Indonesia lain yang menggunakan setting Paris atau Prancis. Dengan begitu Pulang tidak hanya menerima pujian tapi
juga kritik.
Salah satu pujian pada Leila adalah kelihaian dan ketelitiannya menggambarkan perasaan
kaum pria. Banyak kalangan bertanya-tanya
bagaimana mungkin seorang penulis perempuan bisa melakukan hal itu? Di lain pihak,
pakar sastra Indonesia Philippe Granger yang
secara khusus mewawancarai Leila, bertanya
mengapa Pulang tidak juga menampilkan
Surat
1
:esperansa
Kutulis namamu pelan-pelan
setelah kata kepada
Kutebalkan namamu sekali lagi
Sebelum kububuhkan alamat yang susah kueja
Aku tahu,seberapa menyakitkan ketika tak bisa
melipat jarak
Meski aku selalu berkata ada kesabaran yang
bisa kita bentangkan
Apakah selamanya tentang kau dan aku cukup
kata-kata saja
Atau inikah ladang agar sajak dan prosaku tumbuh?
Kembali kutebalkan namamu
Kubaca sekali lagi alamat yang susah
kulafalkan itu
Dan, kubiarkan suratku terbang, menuju
negerimu
Dimana kata-kataku tumbuh, dimana sajak dan
prosaku bermula
Desember 2014
Surat 2
Hujan turun di Ermera
begitu kata pertama yang kubaca dalam suratmu
bunga kopi telah berguguran
kubayangnya anak buahnya yang mencengkeram lengan-lengan batang
Sungai Gleno penuh kembali
Tulismu di baris ketiga
Madrecacao menguning dengan bunga-bunga
kecil
Tergambar di kepalaku pohon pelindung yang
menjulang itu
jalan-jalan yang membelah kebun kopi telah
dikontruksi
Dan aku mencium aroma aspal
:Pada bait-bait kisahmu, pada potongan-potongan gambarmu
Kau kirim aroma, perihal hamparan tanah
Yang tergambar pada sebuah peta
Yang terpotong oleh teritori manusia
Esperansa kububuhkan tagar pada sajak
yang kutuliskan.
Surat 3
setumpuk surat cinta, yang berdesakan di kotak
suara
saling berkisah, bagaimana sang pecinta menitipkan harapannya
setumpuk surat cinta, saling berbagi rahasia
mereka menjadi saksi tentang dialog hati-hati
rakya jelata
setumpuk surat cinta yang diangkut dengan
truk-truk
berceceran di jalan-jalan
hanyut bersama hujan-hujan
tersangkut di pagar
di akar kayu
terlindas kendaraan
setumpuk surat cinta,
pergi mencari takdir yang lain
September 2014
Jarak
Pandangi saja bulan yang tepat teriris di tengahnya
seperti jiwa yang hanya separuh tinggal
Dan jika jarak membentang luas di hadapan
Maka masih ada kesabaran yang semestinya
direntangkan
Karena kau dan aku tak bisa melipat ruang dan
waktu
Shabrina Ws, tinggal di Sidoarjo, menyukai
pagi, fabel, dan puisi. Beberapa novelnya yang
telah terbit yaitu PING (Bentang Pustaka),
Always Be in Your Heart (Mizan), dan Betang,
Cinta yang Tumbuh dalam Diam (Elexmedia)