Sunteți pe pagina 1din 1

MINGGU, 11 JANUARI 2015

Terusir
S

iapa pun orangnya, setiap kali


melewati rumah reot dihuni seorang
janda tua bernama Parni pada menjelang malam pasti telinganya mendengar
tembang-tembang Jawa. Mbah Parni
yang giginya sudah hampir habis itu
masih memiliki suara kuat dan bagus.
Maklum pada masa mudanya dia
memang mantan sinden tersohor di kampungnya.
Kini, meski sudah hampir pikun, dia
masih mahir melantunkan tembang-tembang Jawa seperti maskumambang,
kinanti, sinom atau lagu Walang
Kekek. Itu sering menjadi penghiburan
tersendiri hampir setiap hari menjelang
malam.
Apa yang dilakukan Mbah Parni
sebenarnya hanya untuk mengisi malammalamnya yang penuh kesepian. Apalagi
sebagai janda tidak dikaruniai anak satu
pun, tentu saja kehidupannya sangat tersiksa. Salah satu hiburannya ya menembang dan menembang, sebagai pelepasan
ketersiksaan hidup yang sedang dijalani.
Pernah suatu hari saat tetangganya
yang jadi pejabat di kampungnya punya
gawe menikahkan anaknya dengan resepsi besar-besaran yang sangat mewah.
Banyak tamu pejabat setempat yang
hadir ikut memberi doa restu. Alunan
musik modern seperti pop dangdut,
campursari, jaz, dan musik lainnya pun
mengharu-biru pada acara resepsi
anak pejabat tersebut. Meski
suasana sedemikian meriah dan
ramai, Mbah Parmi tetap saja
bersikukuh pada pendiriannya
melantunkan tembang-tembang Jawa seperti yang dia
lakukan setiap hari menjelang
malam.
Siapa yang melantunkan
tetembangan Jawa itu? Apakah
dia orang yang tidak waras?
bisik-bisik para tamu.
Bisik-bisik tersebut tentu
saja membuat telinga yang
punya gawe sangat gusar. Dia
lalu menyuruh seseorang untuk
memghentikan Mbah Parni
yang sedang asyik melantunkan
tetembangannya. Tapi, Mbah
Parni tetap bersikukuh dan tidak
menggubrisnya dan terus melantunkan tetembangan yang semakin
membuat kesal sahibul hajat.
Maaf Mbah, bisakah untuk
sementara waktu berhenti melantunkan tetembangan? Kembali
pesuruh itu mengulangi ucapan
secara baik-baik. Tapi Mbah Parmi
tetap ngotot pada pendiriannya yang
kuat, menembang dan terus menembang. Bahkan sebaliknya suara Mbah
Parni semakin dikeraskan dan sampai terdengar lengkingannya memecah malam
dan membuat suasana resepsi menjadi
tidak nyaman.
Orang tua ini, sepertinya sudah
tidak waras beneran, keluh orang
suruhan itu sambil keluar rumah Mbah
Parni dengan raup wajah kecewa bercampur geram.
Bedebah! Orang tua tak tahu diri.
Awas besok pagi akan tahu rasa! ancam
yang punya gawe itu saat mendapat
laporan pesuruhnya yang tidak berhasil
menghentikan lantunan Mbah Parni.
***
PAGI mulai merekah indah bersama
embun di lembaran daun hijau, berbaur
bersama kicau burung-burung yang
beterbangan dari sarangnya mencari

Cerpen Jumari HS
kehidupan yang lebih luas. Seperti biasa,
setiap pagi Mbah Parni setelah mandi
membiasakan diri memakai bedak pupur
yang dibuatnya dari beras untuk untuk
memoles wajahnya agar kelihatan masih
muda dan cantik. Sejak peristiwa
semalam, dia termangu gelisah. Sesekali
dia mengunyah daun sirih untuk menghilangkan kegundahannya. Matanya menerawang jauh dalam pikiran kalut dan tak
menentu. Jiwanya tercabik-cabik.
Orang tua tidak tahu diri, ada orang
punya gawe diganggu! bentak Wiryo
dengan nada keras, yang merasa perhelatan pernikahan anaknya semalam terganggu oleh ulah Mbah Parni.
Aku melantunkan tembang untuk
hatiku. Yang aku lakukan sudah menjadi
kebiasaanku setiap malam, bukan?
jawab Parmi dengan mimik tak
bersalah.
Mulai malam nanti,
kalau masih melantunkan tembang-tembang itu lagi, akan
kubungkam mulut-

galun dan memecah kesunyian itu menjadi senyap dan sepi. Yang terdengar hanya
suara-suara jengkerik maupun hewanhewan lain yang saling bersahutan
seakan-akan rumah Mbah Parni berubah
menjadi rumah hantu. Banyak tetangga
di sekitarnya mempertanyakan nasib
penghuninya yang biasa melantunkan
tetambangan Jawa itu.
Ke mana Mbah Parni ya? Sudah
satu minggu ini tak terdengar lantunannya, ujar salah seorang tetangganya.
Aku juga penasaran. Mungkin pergi
ke rumah saudaranya.
Barangkali. Tapi kenapa lama
perginya?
Entah.
Kepergian Mbah Parni memang
sangat misterius. Tetangga-tetangga di
sekitarnya pun tidak tahu. Dia menghilang begitu saja tanpa meninggalkan
pesan apa pun. Tetembangan Jawa
yang biasa dia lantunkan tak lagi ter-

Shabrina Ws
tepat untukku, gerutu Mbah Parmi.
Setiap pagi sampai siang dia dapat
menanam singkong dan sesekali sambil
mencari ikan di sungai untuk bertahan
hidup, setiap malamnya tetap melantunkan syair-syair Jawa yang menjadi
kegemarannya. Di tempat ini, aku
benar-benar merasa nyaman dan menemukan diriku sendiri, ujarnya sambil
merebus singkong.
Lambat laun keberadaan Mbah Parni
diketahui warga yang ada di sekitar
sungai itu. Pada malam hari mereka
mengintai dari kejauhan.
Bukankah itu Mbah Parni yang
selama ini kita cari? tanya salah seorang
di antara mereka.
Ya benar! Tapi siapa yang mengusirnya?
Aku tak tahu.
Lebih baik kita lapor pada Kepala
Desa agar Mbah Parni bisa kita kembali
rumahnya.
***
MULAI ada kecurigaan di dalam
benak Mbah Parmi bahwa keberadaannya sudah mulai diketahui warga di sekitar sungai itu. Dia merasa dihantui kecemasan bercampur trauma waktu diusir
dari rumahnya. Terlihat matanya
muram. Dia hanya bisa menangis
dan menangis, disertai hati yang
perih dan putus-asa.
Hidup di rumah sendiri
diusir, di tepi sungai tidak
tenang dan terus terusik,
keluhnya sambil mengucurkan air mata.
Angin sepoi-sepoi
bersimilir menerpa
rerimbunan daun
bambu di sekitar
sungai itu.
Gemersiknya seperti
desah nanas yang terengah-engah memanggul
beban semakin berat.
Sebagaimana hati Mbah
Parni, dia terpinggirkan,
merasa terusik dan terus
terusik oleh peradaban
yang akhirnya dia memutuskan meninggalkan
seluruh hidup yang dimilikinya.
Sekarang tak ada lagi
lantunan tetembangan
Jawa yang biasa dia
lantunkan setiap malam.
Dia telah pergi, terlentang
di tepi sungai dengan raut
wajah pucat yang dikerumuni penyesalan banyak
warga. (62)
Kudus, 2014

mu,
bentak Wiryo
lalu pergi meninggalkan janda tua yang
termangu-mangu dengan perasaan tersayat-sayat. Melantunkan tetembangan itu
bagi Mbah Parni sudah mendarah daging
dan tidak bisa dicegah oleh siapa pun,
kecuali kematian.
Kenapa hak dan kebebasan seseorang dalam hidup ini senantiasa terusik?
iba Mbah Parni sambil mengemasi
barang-barang lalu melangkah pergi
meninggalkan rumahnya begitu saja.
***
SUDAH tidak seperti biasanya,
rumah reot yang pada setiap malam terdengar tetembangan Jawa yang men-

dengar dan membuat suasana malam


menjadi lebih menakutkan. Maklum
warga telah menjadikan tetembangan
Mbah Parni sebagai menjadi hiburan
langka.
Kasihan Mbah Parni, dia janda tua
yang sengsara, keluh warga.
***
ARUS sungai pada malam hari terasa
sunyi. Mbah Parni menyendiri. Dia ingin
menghabiskan sisa hidupnya di pinggir
sungai yang jauh dari keramaian atau
usikan orang-orang yang tidak suka lantunan tetembangan Jawanya.
Mungkin tempat ini yang paling

Jumari HS, lahir di Kudus,


24 November 1965. Puisi dan cerpen
dimuat di beberapa media masa, antologi
bersama. Penyair ini sering diundang dan
aktif terlibat dalam forum sastra nasional
maupun internasional seperti Forum
Sastrawan Nusantara ASEAN di Brunei
Darussalam, dan forum sastra di
Palembang, Aceh, Tanjung Pinang,
Jakarta, Yogyakarata, Solo dan lainnya.
Pada pertengahan 2012 dia diundang
membaca dan membedah puisinya di
Universitas Hankuk Seoul, Korsel.
Dalam waktu dekat akan menerbitkan
antologi puisi tunggalnya bertajuk
Tembang Tembakau.

Retour: Sebuah Novel Jawaban


Oleh Joss Wibisono
KRITIK SASTRA
ovel Pulang karya Leila Chudori
diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis. Maka inilah jawaban
seorang novelis Indonesia kepada
seorang penulis Prancis yang pernah menulis
novel tentang Jawa.
Pada 1832 terbit novel berjudul Voyage de
Paris a Java (Perjalanan dari Paris ke Jawa)
karya penulis Prancis Honore de Balzac.
Walaupun dikenal sebagai penulis realis,
Balzac sebenarnya belum pernah melawat ke
Jawa. Novel itu semata-mata fantasinya belaka
tentang sebuah wilayah eksotis di belahan
bumi lain. Balzac misalnya mencatat bahwa di
Jawa tumbuh pohon beracun upa yang bisa
menewaskan siapa saja yang menghirup aromanya.
Novel khayalan ini ditulis waktu Eropa
tengah bergulat menghadapi industrialisasi yang
keras dan tak kenal welas asih. Akibatnya, khalayak Eropa suka membayangkan dunia lain
yang masih murni dan suci. Pembaca disuguhi
cerita-cerita petualangan seperti Robinson
Crusoe atau Sinbad. Tidaklah mengherankan
bahwa Balzac juga berniat menulis kisah seperti
itu. Pada akhir novel dia mengaku mendasarkan bukunya pada penuturan seorang
bangsawan Prancis yang suka berpetualang,
walau tidak jelas apakah sang bangsawan

benar-benar pernah ke Jawa.


Berkat imajinasi Balzac, Jawa mulai dikenal
orang Prancis. Mungkin inilah yang mendorong
penyair revolusioner Prancis Arthur Rimbaud
melawat ke Jawa. Pada 1876, dia sempat dua
bulan tinggal di Salatiga. Sayang waktu itu
Rimbaud sudah tidak menulis lagi, sehingga
tak ada yang tahu bagaimana kesannya tentang Jawa. Tidaklah mengherankan bahwa
banyak penulis tergoda mereka-reka perlawatan ini, termasuk Triyanto Triwikromo yang
menulis cerpen fantasi berjudul Hantu di
Kepala Arthur Rimbaud.
Pada abad ke-19 itu, orang Paris akhirnya
berkesempatan juga untuk menyaksikan le village javanais (desa Jawa) tatkala berlangsung
lExposition universelle (pameran semesta)
yang digelar di kota tersebut pada 1889 untuk
memperingati seabad Revolusi Prancis. Paviliun
Belanda yang bernama Desa Jawa itu dihuni
oleh penabuh gamelan Sari Oneng yang
didatangkan dari Desa Parakan Salak, dekat
Sukabumi; penari Keraton Mangkunegara, Solo;
dan beberapa pengrajin serta pembatik yang
berasal dari Surabaya dan Yogyakarta.
Tidaklah berlebihan kalau disimpulkan
Jawa sudah tertanam pada kalbu orang
Prancis. Sekali-sekali, pada zaman lain,
ingatan tentang Jawa itu muncul lagi. Pada
tahun 1963, misalnya, penyanyi Serge
Gainsbourg mencipta sebuah lagu pop berjudul
La javanaise yang berarti perempuan Jawa.
Inilah konteks yang melatarbelakangi pen-

erjemahan novel Pulang karya Leila S Chudori


ke dalam bahasa Prancis. Retour, begitu judul
bahasa Prancisnya, diluncurkan pertengahan
Oktober lalu di Paris, saat berlangsung acara
dua tahunan Semaine de litterature
Indonesienne alias Pekan Sastra Indonesia.
Penyelenggaranya adalah Association francoindonesienne (Perhimpunan Indonesia-Prancis)
Pasar Malam. Bergerak di bidang sastra
Indonesia, perhimpunan inilah yang juga
menerbitkan Retour.
Butuh waktu nyaris dua abad (persisnya
182 tahun), sebelum akhirnya novel imajinatif
Honore de Balzac memperoleh jawaban dari
seorang penulis Indonesia. Jawaban? Benar,
bagi publik pembaca Prancis, Pulang adalah
jawaban, karena di dalamnya Leila Chudori
bertutur tentang orang-orang Indonesia yang
hidup dalam pengasingan di Paris. Kalau dulu
Balzac menulis tentang Jawa maka sekarang
Leila menulis tentang Paris. Bedanya, si sastrawan Prancis menuliskan imajinasinya, Leila
mendasarkan novelnya pada penelitian yang
saksama.
***
DALAM Pulang bertebaran uraian tentang
Paris dan warganya, tak ketinggalan pula
sejarahnya, itulah sejarah tahun 1960-an
tatkala protes mahasiswa mengguncang ibukota Prancis. Uraian Balzac tentang perempuan
Jawa menggugah imajinasi pembaca, seolaholah mereka menyaksikan sendiri kecantikan
perempuan Timur yang diliputi misteri.
Harus diakui Paris bukan satu-satunya kota
tempat kejadian (setting) Pulang. Di bagian
akhir novelnya Leila juga menulis tentang

Jakarta Mei 1998 ketika rezim Orde Baru diruntuhkan. Tapi tak pelak lagi, Paris adalah alasan
utama mengapa novel ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Prancis, mendahului terjemahan
ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris
yang baru akan terbit bulan-bulan mendatang.
Merasa tersanjung, Leila sangat bersyukur
novelnya diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis, hanya dua tahun setelah terbit pada
2012. Itu memang periode yang relatif pendek,
apalagi karena ini baru novel pertamanya.
Kumpulan cerpen pertamanya, yang berjudul
Malam Terakhir (1989) sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman. Salah satu cerpen dari
kumpulan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Denmark. Sedangkan kumpulan cerpen keduanya Sembilan dari Nadira (2010) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Yang bagi Leila Chudori juga istimewa
adalah peluncuran Retour. Pertama, peluncuran itu berlangsung di Paris, kota latar belakang
sebagian besar novelnya. Leila menegaskan
ibukota Prancis itu adalah kota yang punya arti
penting bagi penciptaan Pulang. Kedua, peluncuran Retour berlangsung dalam acara khusus
yang mengkajinya dari pelbagai segi oleh pelbagai ahli. Pulang misalnya dibandingkan
dengan fiksi-fiksi Indonesia lain yang menggunakan setting Paris atau Prancis. Dengan begitu Pulang tidak hanya menerima pujian tapi
juga kritik.
Salah satu pujian pada Leila adalah kelihaian dan ketelitiannya menggambarkan perasaan
kaum pria. Banyak kalangan bertanya-tanya
bagaimana mungkin seorang penulis perempuan bisa melakukan hal itu? Di lain pihak,
pakar sastra Indonesia Philippe Granger yang
secara khusus mewawancarai Leila, bertanya
mengapa Pulang tidak juga menampilkan

Surat
1
:esperansa
Kutulis namamu pelan-pelan
setelah kata kepada
Kutebalkan namamu sekali lagi
Sebelum kububuhkan alamat yang susah kueja
Aku tahu,seberapa menyakitkan ketika tak bisa
melipat jarak
Meski aku selalu berkata ada kesabaran yang
bisa kita bentangkan
Apakah selamanya tentang kau dan aku cukup
kata-kata saja
Atau inikah ladang agar sajak dan prosaku tumbuh?
Kembali kutebalkan namamu
Kubaca sekali lagi alamat yang susah
kulafalkan itu
Dan, kubiarkan suratku terbang, menuju
negerimu
Dimana kata-kataku tumbuh, dimana sajak dan
prosaku bermula
Desember 2014

Surat 2
Hujan turun di Ermera
begitu kata pertama yang kubaca dalam suratmu
bunga kopi telah berguguran
kubayangnya anak buahnya yang mencengkeram lengan-lengan batang
Sungai Gleno penuh kembali
Tulismu di baris ketiga
Madrecacao menguning dengan bunga-bunga
kecil
Tergambar di kepalaku pohon pelindung yang
menjulang itu
jalan-jalan yang membelah kebun kopi telah
dikontruksi
Dan aku mencium aroma aspal
:Pada bait-bait kisahmu, pada potongan-potongan gambarmu
Kau kirim aroma, perihal hamparan tanah
Yang tergambar pada sebuah peta
Yang terpotong oleh teritori manusia
Esperansa kububuhkan tagar pada sajak
yang kutuliskan.

Surat 3
setumpuk surat cinta, yang berdesakan di kotak
suara
saling berkisah, bagaimana sang pecinta menitipkan harapannya
setumpuk surat cinta, saling berbagi rahasia
mereka menjadi saksi tentang dialog hati-hati
rakya jelata
setumpuk surat cinta yang diangkut dengan
truk-truk
berceceran di jalan-jalan
hanyut bersama hujan-hujan
tersangkut di pagar
di akar kayu
terlindas kendaraan
setumpuk surat cinta,
pergi mencari takdir yang lain
September 2014

Jarak
Pandangi saja bulan yang tepat teriris di tengahnya
seperti jiwa yang hanya separuh tinggal
Dan jika jarak membentang luas di hadapan
Maka masih ada kesabaran yang semestinya
direntangkan
Karena kau dan aku tak bisa melipat ruang dan
waktu
Shabrina Ws, tinggal di Sidoarjo, menyukai
pagi, fabel, dan puisi. Beberapa novelnya yang
telah terbit yaitu PING (Bentang Pustaka),
Always Be in Your Heart (Mizan), dan Betang,
Cinta yang Tumbuh dalam Diam (Elexmedia)

Kirimkan cerpen, sajak, esai budaya,


dan biodata Anda ke
swarasastra@gmail.com.

G30S dalam versi Orde Baru. Dari awal Leila


memang sudah menegaskan tidak berniat ikutikutan menyebarkan sejarah versi Orde yang
sudah disingkirkan itu. Tapi tentu saja Granger
ingin tahu mengapa Pulang tidak menampilkan
karakter yang mewakili Orde Baru. Dengan
para korban sebagai tokoh utama, Orde Baru
hanya tampil dalam diri tokoh-tokoh figuran.
Misalnya satu keluarga tak penting yang begitu
mendukung Orde Baru tapi salah satu anaknya
ternyata berpacaran dengan seorang anak
tapol. Karakter (dan bukan versi) Orde Baru
tetap penting karena dengan begitu bisa
diungkap bagaimana penguasa tangan besi iniharus menghadapi keruntuhan sejarah
versinya.
***
SEKARANG tatkala Pulang sudah bisa
dinikmati oleh publik pembaca Prancis, Leila
berharap mereka tidak hanya akan berkenalan
dengan Indonesia, tetapi terutama dengan periode kelam 1965/1966. Selama ini dari kalangan generasi muda pembaca Indonesia, Leila
juga mendapati bahwa novel pertamanya ini
merupakan pintu gerbang yang membuka niat
memahami G30S. Dia mendengar banyak
pembaca muda mencari bacaan lebih lanjut
mengenai peristiwa kelam ini, begitu selesai
membaca Pulang.
Sambil menanti terjemahan-terjemahan
selanjutnya ke dalam bahasa Belanda, Jerman
dan Inggris, Leila sudah mendengar selentingan tentang niat memfilmkan novelnya. Kalau itu
benar-benar terlaksana, ia berharap film itu
akan merupakan produksi bersama IndonesiaPrancis. (62)
Joss Wibisono, pemerharti sastra
Indonesia yang menetap di Amsterdam,
Belanda.

S-ar putea să vă placă și