Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Audit
Pos
KU : Tampak sakit
AT : Pasien anak perempuan berumur 3 tahun datang di antar orang tuanya dengan
keluhan sesak nafas.Orang tua pasien mengatakan sesak nafas pada anaknya sejak
3 hari SMRS. Sesak nafas bertambah parah menjelang jam 6 sore dan ketika
diberikan obat yang sehari-hari dikonsumsi ketika sesak dari dokter spesialis anak
di Palu tidak berkurang sesaknya sehingga orang tua pasien jam 12 malam
membawa anaknya ke RSUD Kabelota. Orang tua pasien mengaku sebelum sesak
pasien panas badan , flu dan batuk kurang lebih 1 minggu, dan tidak pernah
diminumkan obat. Panas badan naik turun , kadang - kadang pasien sesak tetapi
setelah minum obat dari dokter di Palu sesak mereda.
Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien mempunyai asma sejak umur 2 tahun
dan sering berobat ke dokter spesialis anak di Palu. Dalam sebulan ini Asma
pasien sering kambuh, Asma kambuh saat pasien kelelahan, batuk-pilek, hawa
dingin dan setelah makan ice cream. Saat kambuh pasien hanya bisa duduk,
menangis dan berkata-kata.
2. Obyektif :
Keadaan umum : Tampak sakit dan lemas
Kesadaran
: Compos mentis, GCS: E4 M6 V5
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
Suhu aksila
Denyut nadi
RR
TB
BB
IMT
: 110/80 mmHg
: 38.2 oC
: 98 x/menit, isi dan tegangan cukup, reguler
: 42 x/menit
: 96 cm
: 20 kg
: Berat Badan Normal
Palpasi
Dinding perut
Hati
Limpa
Ginjal
Ekstremitas
:
:
:
:
Sianosis
Edema
Akral dingin
Clubbing Finger
Superior
Inferior
-/-/-/-/-
-/-/-/-/-
Tremor
-/-
-/-
Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorak
Pemeriksaan fisik
-
Sedangkan episodik sering ditegakkan dari tingkat kekambuhan asma pasien yang frekuensi
serangan yang lebih dari 1 kali dalam sebulan dan lama serangan bisa timbul dalam 1-2 hari
setelah serangan sebelumnya lebih dari 1 minggu. Mengganggu aktifitas pasien, dan
membutuhkan obat pereda asma.
Penanganan disesuaikan dengan penanganan asma serangan berat
Pemberian oksigen
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan
dikoreksi asidosisnya.
Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar
menjadi tiap 4-6 jam.
bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal
(inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan 1/2nya.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
steroid serta aminofilin diganti peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat betaagonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid
oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana.
Rawat ICU
4. Plan :
Penatalaksanaan awal di Unit Gawat Darurat untuk Asma bronchiale serangan berat episodik
sering.
-
O2 2 liter/menit
IVFD RL 18 tpm/macro
Aminofilin 6-8 mg/kgbb iv bolus 15 menit lambat selanjutnya 7 mg/8 jam/iv
Nebulisasi combivent / 2jam
Metilprednisolon 0,1-0,5mg/kgbb/8jam/iv
Rawat ICU [karena keterbatasan tempat di ruang perawatan ICU pasien
sementara dirawat di ruang perawatan]
5. Follow up
Jam 01.30 : Menunggu rawat ICU
Jam 01.50 : ICU Penuh, turun ke ruang rawat inap
Jam 02.00 : Tiba di ruang perawatan bintang, O2 terpasang, obs TTV N: 130 x/menit RR :
34x/menit S:38,2 pernapasan dalam , perwata bintang konsul dr. Ummy SpA via sms
Jam 02.45 : Memberikan nebu combivent /2 jam
Jam 04.45 : Memberikan nebu combivent /2jam RR:34 x/menit [keluarga pasien menolak
dengan alasan anak tidur]
Jam 05.00 : Pasien di nebu, intruksi dr. ummy sp.A tambah Farmadol bolus 200 mg iv
Jam 06.00 : Obs TTV N: 130x/menit RR: 36x/menit S:38,4
Jam 08.00 : Nebu Combivent /2 jam
Jam 09.00 : Obs TTV N:134x/menit RR: 34x/menit S: 38, inj metilprednisolon 5 mg iv,
aminophilin 7 mg iv.
Jam 10.00 : Nebu combivent/ 2 jam, Konsul dr. Ummy sp.A via telephone tambah
ceftriakson 500 mg iv/ 12 jam , tambah aminophilin 2,5 cc + 20 cc d5% dalam 20 menit.
Rujuk Pasien.
Jam 11.35 : Memberikan inj aminophilin 2,5 cc + 20 cc d5% dalam 20 menit
Jam 11.55 : Skin test Ceftriakson cocok
Jam 12.00 : N: 132x/menit RR: 34x/menit S:38 , injeksi ceftriakson 500 mg iv
Jam 12.30 : Nebu combivent / 2 jam
Pendidikan:
Kita menjelaskan prognosis dari pasien, serta komplikasi yang mungkin terjadi.
Konsultasi:
Konsultasi dengan spesialis anak untuk penanganan lebih lanjut
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi lebih serius yang harusnya ditangani di rumah sakit
dengan sarana prasarana yang lebih memadai.
ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk
anak tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus Internasional dalam
pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama yaitu: Mengi berulang dan/
atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan
sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Konsensus Nasional juga
menggunakan batasan yang praktis ini dalam batasan operasionalnya. Sehubungan
dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dengan ber-tambahnya umur,
khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk
anak di atas umur 6 tahun definisi GINA dapat digunakan.
b. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya
umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak
yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi
paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan
dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas
dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih
lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah
berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.
Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik
di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan
sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan
peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda
atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik
saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding bronkus dan
konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya
gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat
serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol.
Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis
gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat
dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan
penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada
pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai
normal.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada
pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan
histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive
dapat ditegakkan.
c. Klasifikasi
Klasifikasi derajat asma pada anak
NO
1
Parameter klinis,
kebutuhan obat,dan
faal paru asma
Frekuensi serangan
Asma Episodik
Jarang
<1x/bulan
Asma Episodik
Sering
>1x/bulan
Asma Persisten
Sering
Lama serangan
<1 minggu
>1 minggu
Intensitas serangan
Biasanya ringan
Diantara serangan
Tanpa gejala
Tidak terganggu
Pemeriksaan fisik
diluar serangan
Normal (tidak
ditemukan
kelainan)
Obat pengendali
(anti inflamasi)
Uji faal paru (diluar
serangan)
Variabilitas faal paru
(bila ada serangan)
Tidak perlu
Biasanya
sedang
Sering ada
gejala
Sering
terganggu
Mungkin
terganggu
(ditemukan
kelainan)
Perlu
8
9
PEF atau
FEV1>80%
Variabilitas >15%
hampir sepanjang
tahun, tidak ada
periode bebas
serangan
Biasanya berat
Gejala siang dan
malam
Sangat terganggu
Tidak pernah
normal
Perlu
PEF atau FEV1
<60
Variabilitas 20
30 %, Variabilitas
> 50%
Ringan
Sedang
Berat
Sesak napas
Posisi
Berjalan
Dapat tidur
terlentang
Satu kalimat
Berbicara
Duduk
Istirahat
Duduk
membungkuk
Kata demi kata
Cara berbicara
Kesadaran
Mungkin
gelisah
Frekuensi napas
<20 /menit
Nadi
Pulsus
paradoksus
Otot bantu napas
dan retraksi
suprasternal
Mengi
< 100
10 mmHg
-
APE
Akhir
ekspirasi
paksa
>80%
Beberapa
kata
Gelisah
Gelisah
20 30
/menit
100 - 120
+/- 10- 20
mmHg
+
>120
+
>25 mmHg
+
Akhir
ekspirasi
Inspirasi dan
ekspirasi
60 80%
<60%
Keadaan
mengancam
jiwa
Mengantuk,
gelisah,
kesadaran
menurun
>30/ menit
Bradikardia
Kelelahan otot
Torakoabdominal
paradoksal
Silent Chest
PaO2
>80 mmHg
PaCO2
SaO2
<45 mmHg
>95%
80 60
mmHg
<45 mmHg
91 95%
<60 mmHg
>45 mmHg
<90%
d. Tatalakasana
Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk:
meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin
mengurangi hipoksemia
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan
Tatalaksana Serangan
GINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di
rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di
rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan
teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah,
disebutkan terapi awal berupa inhalasi beta-agonis kerja pendek hingga 3x dalam satu jam.
Kemudian pasien atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan
derajat serangan yang kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di
negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas berisiko, dan kemampuan
melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan demikian agaknya tatalaksana di
rumah ini belum dapat diterapkan di Indonesia.
Penanganan Serangan Asma di Klinik atau Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Seorang anak penderita asma jika mengalami serangan akan dibawa mencari pertolongan
ke rumah sakit yang kemungkinan datang ke Klinik Rawat Jalan atau IGD. Pasien asma yang
datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di
atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa
pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral
penilaian penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia
penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian beta-agonis secara nebulisasi. Garam
fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat
diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat
antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk
penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat
dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan berat, langsung berikan
nebulisasi beta-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat
yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau
refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi beta-agonis. Pasien seperti ini
cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat
intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
Serangan ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons
tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau
oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika
sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.
Serangan sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu
perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika serangannya memang termasuk
serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS).
Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di
IGD pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral.
Serangan berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor
response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka
pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal
termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian
awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan
beta-agonis dan antikolinergik.
Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman
henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum.
Penanganan di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik
oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3
kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi beta-agonis +
antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan
dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari Klinik / IGD. Bila dalam
12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk
mendapat steroid dan aminofilin parenteral.
Penanganan di Ruang Rawat Inap
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan
dikoreksi asidosisnya.
Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar
menjadi tiap 4-6 jam.
bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal
(inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan 1/2nya.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
steroid serta aminofilin diganti peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat
beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu
steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam
untuk reevaluasi tatalaksana.
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan
asma yang cepat.
Adanya kebingungan, pusing, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya
kesadaran.
Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2
<60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam
kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
Pendamping