Sunteți pe pagina 1din 12

Metode dan Pendekatan Ilmu Politik

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ilmu Politik
Dosen pengampu : Syamsul Ridwan, S.Ag, SH, MH.

Disusun oleh :
Muhammad Syafiun Najib

(1401026020)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015

I. Pendahuluan
Pendekatan dalam ilmu politik merupakan suatu cara atau
sudut pandang yang digunakan oleh para ilmuwan politik
dalam menelaah politik itu sendiri. Pendekatan-pendekatan
yang

digunakan

akan

menimbulkan

berbagai

implikasi

terhadap metode-metode yang digunakan pengkajian ilmu


politik sendiri. Tak jarang

terdapat pertentangan antara

pendekatan yang satu dengan pendekatan lainnya, hal

ini

disebabkan oleh karena keanekaragaman pemikiran manusia


itu sendiri. Namun demikian, ada pula pendekatan yang satu
menyokong atau melengkapi pendekatan sebelumnya.
Dari
sejarah perkembangan ilmu politik

telah

bermunculan berbagai pendekatan yang dipergunakan dalam


kajian politik, hal dilakukan dalam rangka menyempurnakan
kedudukan ilmu politik displin ilmu yang mempunyai dasar,
kerangka, obyek serta ruang lingkup yang jelas.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa
metode pendekatan ilmu

politik, diantaranya pendekatan

legal/Institusioanal, pendekatan perilaku, pendekatan NeoMarxis, teori ketergantungan dan pendekatan institusional
baru.
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep
2. Bagaimana konsep
3. Bagaimana konsep
4. Bagaimana konsep
5. Bagaimana konsep

pendekatan legal/Institusioanal?
pendekatan perilaku?
pendekatan Neo-Marxis?
teori ketergantungan?
pendekatan institusional baru?

III. Pembahasan
A. Pendekatan Legal/Institusioanal
Pendekatan Legal/institusioanal, yang sering dinamakan
pemdekatn tradisional, mulai berkembang abad 19 pada
masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini
negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional

dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara


lain sifat dari Undang-undang dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan

dan

lembaga-lembaga
eksekutif,

dan

kekuasaanformal
kenegaraanseperti
badan

yudikatif.

serta

yuridis

parlemen,
Dengan

dari
badan

demikian

pendekatan tradisional ini mencakup baik unsur legal


maupun unsur institusional.
Pendekatan ini lebih

bersifat

normatif

dengan

mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat, dengan


Negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma
konstitusional yang formal dengan contoh karyanya R
Kranenburg

berjudul

Algeemene

Stastsleer.

Namun

penelitian mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat


sukar untuk dilaksanakan dan kurang berkembang pada
masa

itu.

Sekalipun

demikian,

pandangan

untuk

memusatkan perhatian pada kekuasaan dari kedudukan


sebagai satu-satunya factor penentu, sehingga menjadi
hanya salah satu dari sekian banyak factor (sekalipun
dinilai penting) Dalam proses membuat dan melaksanakan
keputusan. Pendobrakan terrhadap pendekatan tradisional
terjadi dengan tumbuhnya Pendekatan Perilaku (Behavioral
Approaches).1
B. Pendekatan Perilaku
Pendekatan Perilaku timbul dari mulai berkembang di
Amerika tahun 1950 seusai Pernag Dunia II; dengan sebab
kemunculan, yaitu sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap
tidak memuaskan; kekhawatiran ilmu politik tidak akan
maju; dan muncul keraguan mengenai kemampuan para
sarjana ilmu politik menerangkan fenomena politik.
1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 2008, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama), hlm. 72-74

Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga


formal sebagai titik sentral (actor independent) tetapi
hanya kerangka bagi kehidupan manusia. Pendekatan ini
menampilkan

suatu

cirri

khas

yang

revolusioner,

sebagaimana diuraikan David Easton (1962) dan Albert


Sumit (1967), yaitu perilaku politik menampilkan ketentuan
sebagai generalisasi harus ada usaha membedakan norma
dengan fakta, analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh
nilai-nilai pribadi si peneliti, penelitian harus sistematis dan
menuju pembentukan teori dan ilmu politik harus bersifat
murni, serta ilmu politik harus tetap terbuka bagi dan
terintegrasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Pendekatan ini
dipelopori oleh Gabriel Abraham Alham dan David Easton,
Karl Deutsch, Robert Dahl, serta David Apter. System politik
menyelenggarakan dua fungsi, yaitu fungsi masukan dan
keluaran yang terpengaruh oleh sifat dan kecenderungan
para aktor politik.
Perbedaan antara

para

tradisionalis

dengan

para

behavioralis dapat disimpulkan , yaitu para tradisionalis


menekankan

nilai-nilai

dan

norma-norma

maka

para

behavioralis menekankan fakta. Jika para tradisionalis


menekanakan

fungsi

filsafat

maka

para

behavioralis

menekankan penelitian empiris. Jika para tradisionalis


memperjuangkan ilmu yang bersifat terapan maka para
behavioralis memperjuangkan ilmu bersifat murni. Jika para
tradisionalis menonjolkan aspek historis-yuridis maka para
behavioralis mengutamakan aspek sosiologis-psikologis.
Jika para tradisionalis memilih metode kualitatif maka para
behavioralis lebih mementingkan metode kuantitatif. Pada
tahun 1969 David Easton, pelopor Pendekatan Perilaku
yang kemudian mendukung Pendekatan Pasca-Perilaku

merumuskan pokok pikirannya dlam suatu Credo Of


Relevance, yaitu: 1)dalam usaha mengadakan penelitian
empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak
dant tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi; 2)
Pendekatan
konservatif;

Perilaku
3)

dalam

secara

terselubung

meneliti

niali-nilai

bersifat

tidak

boleh

dihilangkan; ilmu yidak boleh bebas nilai (value free) dalam


evaluasinya; dan 4) mereka harus merasa commited untuk
aktif mengubah masyarakat menjadi lebih baik; sarjana
harus berorientasi pada tindakan (action-centered).2
C. Pendekatan Neo-Marxis
Kebanyakan kalangan Neo-Marxis adalah cendekiawan
yang

berasal

dari

kalangan

borjuis

dan

seperti

cendekiawan yang dipihak satu, menolak komunisme Uni


Soviet yang bersifat represif, tapi di pihak lain tidak
menyetujui banyak aspek masyarakat kapitalis. Mereka
beranggapan

pemikiran

Marx

sangat

menarik

karena

ramalan Marx tentang runtuhnya kapitalisme yang tak


terelakkan dan etika humanis yang meyakini bahwa
manusia

pada

hakikatnya

baik,

dan

dalam

keadaan

tertentu yang menguntungkan akan dapat membebaskan


diri dari lembaga-lembaga yang menindas, menghina, dan
menyesatkan. Fokus analisa Neo-Marxis adalah kekuasaan
serta konflik yang terjadi dalam negara. Bagi kalangan ini,
konflik

antarkelas

merupakan

proses

dialektis

paling

penting dalam mendorong perkembangan masyarakat dan


semua gejala politik harus dilihat dalam rangka konflik
antarkelas ini. Kalangan ini merumuskan fleksibilitas dan
keluasan dengan mencanangkan adanya dua himpunan
2 Miriam, Dasar-dasar, hlm. 74-78.

massa (aggregates) yang sedikit banyak kohesif serts


memiliki banyakl fasilitas (the advantages) dan mereka
yang tidak memiliki fasilitas (the disanvantages). Sarjana
ilmu politik arus utama (mainstreams) mengkritik bahwa
Neo-Marxis lebih cenderung mengecam pemikiran sarjana
borjuis daripada membentuk atau membangun teori
sendiri, kritik lainnya bahwa Neo-Marxis kontemporer
merupakan ciptaan dari teoritisi sosial yang berasal dari
kampus. Namun, mulai tahun 1970-an pemikiran kelompok
Neo-Marxis juga dicantumkan dalam kurikulum jurusanjurusan ilmu poliyik di Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Pada awal dasawarsa 1990-an situasi politik telah banyak
berubah.

Komunisme

di

negara-negara

Eropa

Timur

terbukti gagal untuk menjelmakan surga dunia yang lebih


lama dijanjikannya. Tahun 1970 yang oleh Khruschchev
dengan penuh optmisme dicangangkan sebagai saat Uni
Soviet

akakn

melampaui

Amerika

Serikat

di

bidang

perekonomiannya dan terpecahnya negara itu menjadi


beberapa negara tahun 1989. Akhirnya, kejatuhan pamor
komunisme dengan sendirinya mempunyai dampak negatif
pada pemikiran Marx, baik yang bersifat klasik maupun
yang

bersifat

Neo-Marxis.

Semua

argumentasi

yang

tadinya dianggap sebagai suatu alternatif yang cukup


tangguh, mulai disangsikan validitasnya.3
D. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Kalangan ini berhaluan toeri kiri yang mengkhususkan
penelitiannya

pada

hubungan

antara

negara

Dunia

Pertama dengan Dunia Ketiga; inipun menarik perhatian di


tahun 1970-an dan 1980-an dengan Paul Bacan disusul
3 Miriam, Dasar-dasar, hlm. 81-90.

dengan Andre Gunder Frank sebagai perintisnya. Bertolak


dari teori Lenin mengenai imperialisme, kelompok ini
berpendapat bahwa imperialisme masih hidup, tetapi
dalam bentuk lain. Pertama, negara bekas jajahan dapat
menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya
alam. Kedua, negara kurang maju dijadikan pasar produksi.
Mereka berpendapat bahwa gejala ketergantungan ini
sudah menjadi gejala dunia; mereka melihat adanya suatu
mata

rantai

hubungan

metropolitan-satelit

(chain

of

metropolitan-satellite) dalam struktur sistem dunia yang


melampaui batas-batas negara.
E. Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan
ini
muncul
pendekatan-pendekatan

akibat

sebelumnya

pertentangan

dengan

pendapat

bahwa mereka telah meningkatkan olmu politik menjadi


suatu ilmu yang benar-benar science, Manusia Politik
(Homo Politicus) berubah menjadi Manusia Ekonomi (Homo
Economicus)

dalam

Kalangan

ini

memakai

model

hal

membuat

penentuan
simplikasi

matematika

kebijakan
yang

untuk

publik.

radikal

dan

menjelaskan

dan

menafsirkan gejala-gejala politik. Pelaku Rational Choice


ini, terutama politisi, birokrat, pemilih dalam pemilu, dan
aktor

ekonomi,

pada

dasarnya

egois

dan

segala

tindakannya berdasarkan kecenderungan ini, yaitu mencari


cara yang peling efisien untuk mencapai tujauannya.
Namun, golongan ini tidak luput oleh kritikan, seperti oleh
para penganut structural-fungtionalism karena dianggap
tidak memerhatikan kenyataan bahwa manusia dalam
perilaku
preferensi

poltitiknya
yang

sering

tegas

dan

tidak
stabil.,

mempunyai
dan

bahwa

skala
ada

pertimbangan lain yang turut meenentukan sikapnya,


seperti faktor budaya, agama, sejarah, dan moralitas,
tindakan manusia terinspirasi oleh apa yang baik dan apa
yang

mungkin;

kritik

lainnya

seperti

memaksimalkan

kepentingan sendiri cenderung secara tidak langsung


mengabaikan

unsur

etika

lagipula

skala

preferensi

manusia dapat saja berubah sepanjang masa.


Di sisi lain pendekatan ini sangat berjasa dalam
mendorong usaha kuantitattif dalam ilmu politik dan
mengembangkan

sifat

empiris

yang

dibuktikan

kebenarannya, ketimbang studi abstrak dan spekulatif. John


Rawls,

dalam

Theory

of

Justice

(1971)

mengargumentasikan bahwa nilai-nilai seperti keadilan,


persamaan hak, dan moralitas merupakan sifat manusia
yang

perlu

diperhitungkan

dan

dikembangkan,

iapun

memperjuangkan suatu keadilan yang dapat dinikmati oleh


semua warga, termasuk mereka yang rentan dan miskin;
dinamakannya equtiy atau distinctive justice; ia pun
mendambakan

suatu

masyarakat

yang

mempunyai

konsensus kuat mengenai asas-asas keadilan yang harus


dilaksanakan oleh institusi-institusi politik.4
F. Pendekatan Institusional Baru
Pendekatan ini lahir dari paradigma teori-teori societycentered

menjadi

paradigma

state-centered;

lebih

merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan


lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain,
seperti sosiologi dan ekonomi. Teori ini lebih melihat negara
sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan
tertentu

yang

memerlukan

4 Miriam, Dasar-dasar, hlm. 90-1

sebuah

rencana

praktis.

Kelompok ini menakankan konsensus bahwa inti dari


institusi politik adalah rules of the game (aturan main).
Jan-Erik Lane dan Svante Erson mendefinisikan institusi
mencakup:
1. Struktur fisik,
2. Struktur demografis,
3. Perkembangan historis,
4. Jaringan pribadi, dan
5. Struktur sementara (keputusan sementara).
Institusi memengaruhi dan menetukan cara para aktor
berusaha mencapai tujuannya; menentukan: a) siapa aktor
yang sah, b) jumlah aktor, c) siapa menentukan tindakan.
Manusia dari manusia yang rasional (memakai akal)
menjadi manusia yang reasonable (memikirkan apa yan
layak) untuk kepentingan bersama.
Inti dari teori pendekatan ini dirumuskan oleh Robert E
Goodin, yaitu:
1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyek dalam
suatu konteks terbatas secara kolektif.
2. Pembatasan itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu: a)
pola norma dan pola peran yang telah berkembang
dalam kehidupan sosial dan b) perilaku pemegang
peran tersebut yang telah ditentukan secara sosial dan
selalu berubah.
3. Pembatasan ini

dalam

banyak

hal

memberikan

keuntungan individu atau kelompok dalam mengejar


proyek.
4. Faktor-faktor

pembatas

itu

memengaruhi

pembentukan preferensdi dan motivasi dari aktor dan


kelompok-kelompok.
5. Pembatasan berakar historis.
6. Pembatasan mewujudkan, memelihara, dan memberi
peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu
dan kelompok masing-masing.

Penganut teori ini memiliki poko masalah bagaimana


membentuk institusi yang dapat menghimpun secara
efektif sebanyak mungkin preferensi dari para aktor untuk
menentukan kepentingan klolektif, teori ini memiliki proses
yang

disebut

institutional

engineering

(rekayasa

institusional) melalui suatu institutional design (rancangan


institusional); merupakan suatu rencana aksi analisis yang
sangat penting.5
IV. Penutup
1. Kesimpulan
Ada banyak pendekatan dalam ilmu politik, beberapa
diantaranya adalah pendekatan legal/Institusioanal yaitu
pendekatan lebih bersifat normatif dengan mengasumsikan
norma-norma demokrasi Barat, dengan Negara ditafsirkan
sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang
formal.
Sedangkan

pendekatan

Neo-Marxis

adalah

pendekatan yang tidak menganggap lembaga-lembaga


formal sebagai titik sentral (actor independent) tetapi
hanya kerangka bagi kehidupan manusia.
Adapun pendekatan Institusional Baru, teori ini lebih
melihat negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah
suatu tujuan tertentu yang memerlukan sebuah rencana
praktis.
2. Penutup
Demikian

makalah

ini

kami

buat,

semoga

dapat

menambah ilmu wawasan bagi kita semua. Tidak ada


gading yang tak retak. Oleh karena itu kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
sebagai acuan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
5 Miriam, Dasar-dasar, hlm. 96-100.

Daftar Pustaka
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 2008, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama

S-ar putea să vă placă și