Sunteți pe pagina 1din 49

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kulit
Secara mikroskopis struktur kulit manusia terdiri dari :
epidermis, dermis dan subkutis (Baumann et al., 2009). Dua
struktur yaitu epidermis dan dermis saling berhubungan
dibatasi dermal epidermal junction.
1. Lapisan epidermis
Merupakan lapisan terluar. Bervariasi ketebalannya
antara 0,04 mm (kulit kelopak mata) sampai 1,5 mm (kulit
telapak tangan) (Jain, 2012). Keratinosit atau dikenal juga
dengan sebutan korneosit, adalah sel utama pada lapisan
epidermis. Keratin filamen merupakan komponen utama
dari

keratinosit,

dan

berfungsi

sebagai

jaringan

pendukung. Keratinosit permulaan terdapat pada basal


epidermis dan di dermal-epidermal junction. Diproduksi
oleh

stem

cell,

dan

ketika

stem

cell

membelah,

menghasilkan sel serupa, dengan lambat berpindah ke


lapisan atas epidermis. Proses ini disebut keratinisasi
(Baumann et al., 2009). Lapisan epidermis dibagi menjadi
empat lapisan berdasarkan ciri-ciri bentuk sel dan protein
intraseluler yaitu dari luar ke dalam terdiri dari, stratum

basale, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum


korneum, membran basalis.

Gambar II.1 Struktur anatomi kulit (Dikutip dari : Anonim,


2009)
a. Stratum Basale
Lapisan terdalam kulit, terletak diatas membran
dasar, mengandung sel keratinosit, melanosit, sel
merkel, dan sel Langerhans (utamanya terletak di
stratum spinosum) 10% dari sel basal merupakan
stem cell, 50% amplifying cell, dan 40% postmitotic
cell (Baumann et al., 2009). Normalnya, stem cell
membelah

dengan

lambat,

tetapi

pada

kondisi

10

tertentu seperti pada proses penyembuhan luka atau


pengaruh growth factors, akan membelah dengan
cepat (Baumann et al., 2009)
b. Stratum Spinosum
Terdiri

dari

5-12

lapisan

dengan

bentuk

sel

polyhedral, inti sel bulat dan spiny. Lapisan ini


mengandung sel keratinosit dan sel Langerhans. Selsel mengandung granula lamellar yang membawa lipid
intraseluler, mengandung glikoprotein dan prekursor
lipid,

terlibat

kutaneus

dalam

(Jain,

pembentukan

2012).

Pelepasan

lapisan
lipid

barier

melapisi

permukaan memberikan fungsi barrier (Baumann et


al., 2009).
c. Stratum Granulosum
Lapisan tipis, terdiri dari 1-3 lapisan, merupakan
lapisan sel fusiform, datar dan mengandung granuler
keratohialin.
d. Stratum Korneum
Merupakan lapisan teratas dari epidermis, disebut
juga horny layer. Keratinosit menetap pada lapisan ini,
menjadi matang, dan terjadi proses keratinisasi yang
sempurna. Keratinosit tidak mengandung organel dan
tersusun menyerupai dinding batu bata (Baumann et

11

al., 2009). Melindungi kulit secara mekanik, kehilangan


cairan, dan impermeabiliti. Korneosit mengandung
keratin yang tertanam dalam matriks kaya filaggrin.
Hasil dari degradasi
yang

filaggrin adalah urocanic acid

mengabsorbsi

membentuk

secara

radiasi
alami

ultra

violet

moisturization

dan
factor,

sehingga terhindar dari kekeringan kulit. Seramid


merupakan barrier lipid utama untuk kulit, barrier lipid
lainnya meliputi cholesterol, cholesterol sulfat dan
asam lemak (Jain, 2012).
e. Membran Basalis
Barier selektif

antara epidermis dan dermis,

mengikat epidermis ke dermis. Ada dua membran


basalis yaitu dermo-epidermal junction dan dermal
pembuluh darah.
2. Lapisan Dermis
Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah
epidermis

dan

di

atasjaringan

subkutis.

Lapisan

ini

tebalnya 15 40 x tebal epidermis terdiri atas lapisan


elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular
dan folikel rambut, secara garis besar dibagi menjadi dua
bagian, yaitu jaringan ikat yang di lapisan atas terjalin
rapat (pars papillaris), sedangkan di bagian bawah terjalin

12

lebih longgar (pars retikularis). Lapisan pars papillaris


berisi

ujung

serabut

saraf

dan

pembuluh

darah,

sedangkan lapisan pars retikularis mengandung serabutserabut penunjang, seperti serabut kolagen, elastin, dan
retikulin. Dasar atau matriks lapisan ini terdiri atas cairan
kental asam hialuronat, kondroitin sulfat, dan fibroblas.
Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas yang membentuk
ikatan

mengandung

hidroksiprolin

dan

hidroksisiklin.

Retikulin memiliki sifat yang mirip dengan kolagen muda,


yaitu lentur dan makin stabil dengan bertambahnya umur
(Sherwood, 2001)
a. Fibroblas
Fibroblas merupakan sel yang paling banyak di
jaringan ikat dan bertugas menyintesis komponen
matriks ekstrasel, kolagen, elastin, glikosaminoglikan,
proteoglikan, dan glikoprotein multiadhesif. Di dalam sel
ini terdapat dua tahap aktifitas, yaitu aktif dan tenang.
Sel-sel dengan aktifitas sintesis yang tinggi secara
morfologis berbeda dari fibroblas tenang yang tersebar
dalam matriks yang telah disintesis sel-sel tersebut.
Beberapa ahli histologi memakai istilah fibroblas untuk
menyebut sel yang aktif dan fibrosit untuk sel yang
tenang (Junqueira, 2007).

13

Fibroblas aktif memiliki banyak sitoplasma yang


bercabang,

intinya

lonjong,

besar,

terpulas

pucat

dengan kromatin halus, dan anak inti yang nyata.


Sitoplasmanya
endoplasma

banyak
kasar

mengandung

dan

kompleks

retikulum
golgi

yang

berkembang baik (Junqueira, 2007). Fibroblas tenang


atau fibrosit memiliki ukuran lebih kecil dari fibroblas
aktif dan cenderung berbentuk kumparan, cabangnya
lebih sedikit, inti lebih kecil, gelap dan panjang.
Sitoplasmanya
endoplasma

asidofilik
kasar

dan

(Junqueira,

sedikit
2007).

retikulum
Fibroblas

menyintesis protein seperti kolagen dan elastin yang


membentuk serat kolagen, retikulin, dan elastin, serta
glikosaminoglikan, proteoglikan, dan glikoprotein dari
matriks ekstrasel. Fibroblas juga terlihat dalam produksi
faktor pertumbuhan yang mempengaruhi pertumbuhan
dan diferensiasi sel. Pada orang dewasa, fibroblas
dalam jaringan ikat jarang membelah, namun mitosis
akan terlihat bila organisme tersebut memerlukan
tambahan fibroblas (Junqueira, 2007).
Kapasitas regeneratif jaringan ikat tampak jelas bila
jaringan
traumatik.

dirusak
Pada

oleh

peradangan

keadaan

ini,

atau

ruang-ruang

cedera
yang

14

terbentuk akibat cedera pada jaringan dengan sel-sel


yang tidak membelah (otot jantung) akan diisi oleh
jaringan ikat yang membentuk suatu jaringan parut.
Penyembuhan

insisi

pada

operasi

tergantung

kemampuan perbaikan jaringan ikat. Jenis sel utama


yang terlibat dalam proses perbaikan adalah fibroblas.
Bila rangsangan yang timbul cukup, seperti selama
penyembuhan luka, fibrosit kembali menjadi fibroblas,
dan aktifitas sintesisnya pulih kembali. Dalam hal ini,
bentuk dan tampilan selnya kembali seperti fibroblas
(Junqueira, 2007).
b. Kolagen
Sedangkan kolagen merupakan satu dari sejumlah
protein alam terkuat dan jumlahnya terbanyak dan
berlimpah

pada

manusia

yaitu

di

bagian

kulit,

memberikan ketahanan dan daya lentur pada kulit


(Baumann et al., 2009). Merupakan protein fibrous, 70
-80% berat dari dermis, komponen terpenting dari
dermis (Jain, 2012). Kolagen disintesa dalam fibroblas
dalam bentuk prekursor kolagen yaitu prokolagen. Sisa
prolin

dalam

rantai

prokolagen

diubah

menjadi

hidroksiprolin oleh enzim prolyl hydroxylase. Sisa lisin


pada

rantai

prokolagen

juga

diubah

menjadi

15

hidroksilisin oleh enzim lysyl hydroxylase. Kedua reaksi


ini membutuhkan Fe++, vitamin C, dan -ketoglutarate
(Baumann et al., 2009). Kolagen dihancurkan oleh
metalloprotein,
retinoat,

sintesisnya

dihambat

oleh

dirangsang
IL-1,

oleh

asam

glukokortikoid,

D-

penicillamine, radiasi ultraviolet (Jain, 2012 ).

3. Lapisan subkutis
lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri
dari

lapisan

lemak,

terdapat

jaringan

ikat

yang

menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di


bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut
daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi
menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi
(Baumann et al., 2009).

B. Ulkus Diabetikum
1. Pengertian Ulkus Diabetikum
Ulkus Diabetikum adalah salah satu komplikasi utama
DM dengan sehingga memperlambat fungsi konversional
proses penyembuhan luka yang vaskularisasi gangguan

16

pada pembuluh darah dan gangguan neuropatik, infeksi


bakteri, bersama dengan hipoksia lokal jaringan, iskemia,
trauma berlanjut dan diubah respon stres selular dan
sistematik akan menyebabkan lama penyembuhan luka
sehingga merusak integiritas jaringan termasuk fibroblas
(Mathew et al, 2015). Ulkus diabetikum merupakan luka
yang

terjadi

pada

kaki

dengan

komplikasi

kronik

diakibatkan pengelolaan DM tidak tepat (SWRWC, 2011).


2. Etiologi Ulkus Diabetikum
Ulkus

diabetikum

pada

penderita

diabetes

terjadi

karena kekurangan sensasi proteksi dan memiliki aliran


darah yang tidak adekuat pada kaki. (Margolis, et al, 2002
dalam Foley, 2007). Berbagai komplikasi intrinsik dari
diabetes atau karena pengaruh ekstrinsik yang secara
langsung
ekstrinsik

menyebabkan
dapat

trauma.

berupa

Faktor

neuropati

intrinsik

perifer,

dan

penyakit

vaskular perifer, infeksi, deformitas kaki, adanya riwayat


ulkus, retinopati, nefropati, lama terpajan diabetes, usia,
berat

badan,

pengetahuan
pekerjaan,

riwayat
tentang

merokok,
perawatan

nonenzymatic

penggunaan
kaki

glikosilasi

dan

alkohol,
diabetes,

protein,

dan

keterbatasan gerakan sendi. Dari sekian banyak faktor


tersebut

(Handayani,

2010)

menyebutkan

neuropati

17

perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan daya


imunitas merupakan tiga faktor predisposisi yang tidak
diragukan lagi sebagai penyebab ulkus diabetikum.
3. Klasifikasi Ulkus Diabetikum
Klasifikasi
ulkus
bertujuan
untuk
memfasilitasi
pendekatan

pengobatan

yang

akan

digunakan

dan

memprediksi hasil akhir dari perawatan luka (Handayani,


2010). Klasifikasi ulkus terdiri dari klasifikasi wagner,
klasifikasi warna RYB, klasifikasi texas, dan klasifikasi WEI.
Aplikasi dari penggunaan klasifikasi ini sangat subjektif
sehingga dapat mempengaruhi reliabilitas penggunaan
instrumen ini dalam penelitian.
a. Klasifikasi Wegner
Klasifikasi ini dikembangkan oleh Profesor Wagner di
Universitas Southern California. Pengklasifikasian ulkus
didasarkan pada ada atau tidaknya lesi, kedalaman lesi,
infeksi dan gangren. Klasifikasi ini merupakan sistem
klasifikasi

yang

paling

umum

digunakan

karena

sederhana dan mudah, namun klasifikasi ini tidak dapat


mengidentifikasi neuropati dan ukuran luka. Kelemahan
lain dari sistem ini adalah tidak menggambarkan area
yang mengalami iskemia (Handayani, 2010). Derajat
luka menurut klasifikasi Wagner (dalam Igbinovia, 2009)
terbagi

atas

derajat,

yaitu:

Klasifikasi

ulkus

18

diabetikum

yang

sering

digunakan

adalah

menggunakan skala dari wagner (tabel 2.1)


Tabel II.1 Sistem Klasifikasi Ulkus DiabetikumWagner
Grade
0
1
2
3
4
5

Deskripsi
Tidak ada lesi, kemungkinan deformitas kaki atau
selulitis
Ulserasi superficial
Ulserasi dalam meliputi persedian, tendon atau
tulang
Ulserasi dalam dengan pembentukan abses,
osteomyelitis, infeksi pada persedian
Nekrotik terbatas pada kaki depan
Nekrotik pada seluruh bagian kaki

Sumber: Frykberg, et al. (2006); Bryant & Nix (2007);


Bentley & Foster (2007)
4. Patofisiologi Ulkus Diabetikum
Ada beberapa komponen penyebab sebagai pencetus
timbulnya ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes, dapat
dibagai dalam 2 faktor besar (Gibbons dkk., 1995 ; Singh
dkk., 2005) yaitu :
a. Faktor kausatif
1) Neuropati perifir (sensorik, motorik, autonom)
Merupakan

Faktor

kausatif

utama

dan

terpenting. Neuropati sensorik biasanya derajatnya


cukup

dalam

(>50%)

sebelum

mengalami

kehilangan sensasi proteksi yang berakibat pada


kerentanan

terhadap

trauma

fisik

dan

termal

sehingga meningkatkan resiko ulkus kaki. Tidak

19

hanya sensasi nyeri dan tekanan yang hilang, tetapi


juga propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki juga
menghilang.

Neuropati

motorik

mempengaruhi

semua otot-otot di kaki, mengakibatkan penonjolan


tulang-tulang

abnormal,

arsitektur

normal

kaki

berubah, deformitas yang khas seperti hammer toe


dan hallux rigidus. Sedangkan neuropati autonom
atau

autosimpatektomi,

kering,
pengisian

tidak

berkeringat,

kapiler

arteriovenous

ditandai

di

dan

sekunder
kulit,

hal

dengan

peningkatan

akibat
ini

kulit

pintasan

mencetuskan

timbulnya fisura, kerak kuli , semuanya menjadikan


kaki rentan terhadap trauma yang minimal
2) Tekanan plantar kaki yang tinggi
Merupakan faktor kausatif kedua terpenting.
Keadaan

ini

berkaitan

dengan

keterbatasan mobilitas sendi

dua

hal

yaitu

(ankle, subtalar,

and first metatarsophalangeal joints) dan deformitas


kaki. Pada pasien dengan neuropati perifir, 28%
dengan tekanan plantar yang tinggi, dalam 2,5
tahun kemudian timbul ulkus di kaki dibanding
dengan pasien tanpa tekanan plantar tinggi.

20

3) Trauma
Terutama trauma yang berulang, 21% trauma
akibat gesekan dari alas kaki, 11% karena cedera
kaki (kebanyakan karena jatuh), 4% selulitis akibat
komplikasi tinea pedis, dan 4% karena kesalahan
memotong kuku jari kaki.
b. Faktor kontributif
1) Aterosklerosis
Aterosklerosis karena penyakit vaskuler perifir
terutama

mengenai

pembuluh

darah

femoropoplitea dan pembuluh darah kecil dibawah


lutut, merupakan faktor kontributif terpenting.
Risiko ulkus, dua kali lebih tinggi pada pasien
diabetes dibanding dengan pasien non-diabetes.
2) Diabetes
Diabetes
penyembuhan
diantaranya

menyebabkan
luka

secara

gangguan

gangguan

intrinsik,

collagen

termasuk

cross-linking,

gangguan fungsi matrik metalloproteinase, dan


gangguan imunologi terutama gangguan fungsi
PMN. Disamping itu penderita diabetes memiliki
angka onikomikosis dan infeksi tinea yang lebih

21

tinggi, sehingga kulit mudah mengelupas dan


mengalami

infeksi.

hiperglikemia

Diabetes

berkelanjutan

mediator-mediator

Melitus
serta

inflamasi,

ditandai

peningkatan

memicu

respon

inflamasi, menyebabkan inflamasi kronis, namun


keadaan ini dianggap sebagai inflamasi derajat
rendah,

karena

hiperglikemia

sendiri

dapat

menimbulkan ganggguan mekanisme pertahanan


seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting
dalam penyembuhan luka, tetapi harus sekuensial,
self-limited, dan dikendalikan secara ketat oleh
interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi
akut dianggap lemah dan angiogenesis terganggu
terjadi

gangguan

penyembuhan

luka

seperti

terlihat pada gambar 2.1 (Tellechea dkk, 2010)


Diabetes

Sustained
hyperglycemi
a

Proinflamator
y
environme

Peripheral
vascular
disease

Altered immune cell


function
Ineffective inflammatory
response
Endothelial cell

Peripheral
neuropathy

22

ABNORMAL WOUND HEALING


Gambar II.2 Gangguan penyembuhan luka pada
diabtes (Dikutip dari Tellechea.,2010)
5. Penatalaksaan
Frykberg et al (2006) menyatakan tujuan utama penatalaksanaan ulkus
diabetikum

adalah

mencapai

penutupan

luka

secepat

mungkin.

Penatalaksanaan diabetic foot ulcer yang tepat dapat menurunkan kejadian


berulang, sehingga menurunkan kemungkinan amputasi pada ekstremitas
bagian bawah pasien DM.
Frykberg, et al. (2006) menyatakan area penting dalam manajemen
DFU meliputi manajemen komorbiditi, evaluasi status vaskuler dan
tindakan tepat pengkajian gaya hidup atau faktor psikologi, pengkajian dan
evaluasi ulser, manajemen dasar luka dan menurunkan tekanan.
a. Manajemen komorbiditi. DM merupakan penyakit multi organ, semua
komorbiditi yang mempengaruhi penyembuhan luka harus dikaji dan
dimanajemen multidisiplin untuk mencapai tujuan yang optimal pada
diabetic foot ulcer. Beberapa komorbiditi yang mempengaruhi
penyembuhan luka meliputi hiperglikemia dan penyakit vaskuler.
b. Evaluasi status vaskuler. Perfusi arteri memegang peranan penting
dalam penyembuhan luka dan harus dikaji pada pasien dengan ulkus,
selama

sirkulasi

terganggu

luka

akan

mengalami

kegagalan

penyembuhan dan berisiko amputasi. Adanya insufisiensi vaskuler


dapat berupa edema, karakteristik kulit yang terganggu (tidak ada
rambut, penyakit kuku, penurunan kelembahan), penyembuhan

23

lambat, ektremitas dingin, penurunan pulsasi perifer. Bryant dan Nix


(2007) menyatakan bahwa pemeriksaan diagnostik studi penting
sekali dilakukan pada pasien yang mengalami diabetic fot ulcer.
c. Pengkajian gaya hidup atau faktor psikososial. Gaya hidup dan faktor
psikologi dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Contohnya
merokok, alkohol, penyalagunaan obat, kebiasaan makan, obesitas,
malnutrisi dan tingkat mobilisasi dan aktivitas. Selain itu depresi dan
penyakit mental juga dapat mempengaruhi tujuan.
d. Pengkajian dan evaluasi ulkus. Pentingnya

evaluasi

secara

menyeluruh tidak dapat dikesampingkan. Penemuan hasil pengkajian


yang spesifik akan mempengaruhi secara langsung tindakan yang akan
dilakukan. Evaluasi awal dan deskripsi yang detail menjadi penekanan
meliputi lokasi, ukuran, kedalaman, bentuk, inflamasi, edema, eksudat
(kualitas dan kuantitas), tindakan terdahulu, durasi, kalus, maserasi,
eritema dan kualitas dasar luka.
e. Manajemen jaringan atau tindakan dasar ulkus. Tujuan dari
debridemen adalah membuang jaringan mati atau jaringan yang tidak
penting (Delmas, 2006). Debridemen jaringan nekrotik merupakan
komponen integral dalam penatalaksanaan ulkus kronik agar ulkus
mencapai penyembuhan. Proses debridemen dapat dengan cara
pembedahan. Enzimatik, autolitik, mekanik, dan biologi (larva).
Kelembaban akan mempercepat proses repitelisasi pada ulkus.
Keseimbangan kelembaban ulkus meningkatkan proses autolisis dan
granulasi. Untuk itu diperlukan pemilihan balutan yang menjaga
kelembaban luka. Dalam pemilihan jenis balutan, sangat penting

24

diketahui bahwa tidak ada balutan yang paling tepat terhadap semua
diabetic foot ulcer (Delmas, 2006)
f. Penurunan tekanan (off-loading). Menurunkan tekanan pada DFU
adalah tindakan yang penting. Of loading mencegah trauma lebih
lanjut dan membantu meningkatkan penymebuhan. Apelqvist dan
Larson (2000) dalam Delmas (2006) menyatakan diabetic foot
ulcermerupakan luka komplek yang dalam penatalaksanaannya harus
sistematik dengan pendekatan tim interdisiplin. Perawat memiliki
kesempatan signifikan untuk meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan kaki, mengidentifikasi masalah kegawatan yang muncul,
menasehati pasien terhadap faktor resiko, dan mendukung praktik
perawatan diri yang tepat.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
Terdapat

kelompok

faktor

yang

mempengaruhi

penyembuhan luka, yaitu faktorgeneral dan faktor lokal


(Carville,

2007).

Faktor

general

yang

mempengaruhi

penyembuhan luka yaitu :


a. Usia
Pada usia pertengahan maupun usia lanjut kulit
mengalami perubahan sebagaiakibat dari kemunduran
fungsi

sistemik

lingkungan.

dan

karena

Epidermis

menjadi

pengaruh
lebih

tipis,

paparan
dermis

menjadi atropi dan terjadi penurunan vaskularisasi.


Turgor kulit menurun karena berkurangnya kolagen dan

25

produksi elastic fibrin. Kolagen menjadi lebih tipis,


ditambah

lagi

dengan

penurunan

jaringan

adiposa

sehingga membuat kulit menjadi berkerut. Pada lansia


jumlah dan ukuran fibroblas menurun, begitu pula pada
motilitas, proliferasi, dan kemampuan respon hormon
dan faktor-faktor pertumbuhan (Norman, 2004 dalam
Carville, 2007).
b. Penyakit penyerta
1)
Diabetes mellitus
Efek dari hiperglikemia yang tidak terkontrol
adalah penebalan membran kapiler yang dapat
menyebabkan

kekakuan

(rigiditas)

sehingga

mencegah vasodilatasi pembuluh darah pada saat


terjadi luka (Renwick, et al., 2008 dalam Dealey,
2007).

Peningkatan

kadar

gula

darah

juga

menyebabkan eritrosit, platelet dan leukosit bersifat


lebih adesif sehingga cenderung untuk lengket pada
lumen vaskuler (Albert & Press, 1992 dalam Dealey,
2007). Selain itu terjadi penurunan jumlah respon
imun

yang

penyembuhan
namun

dibutuhkan
luka

yaitu

mekanismenya

tubuh
netrofil

masih

pada

proses

dan

makrofag

belum

diketahui

(Chbinou & Frenette, 2004 dalam Dealey, 2007).


Tidak

hanya

penurunan

pada

jumlah

netrofil,

26

penelitian yang dilakukan oleh (Kong, 2001 dalam


Dealey, 2007) menyebutkan kemampuan fagositosis
dan respon kemotaksis dari netrofil juga menurun
(King,

2001

dalam

Dealey,2007).

Bahkan

berdasarkan penelitian Hehenberger et al. (1998


dalam Dealey, 2007), kemampuan fibroblas untuk
berproliferasi,

angiogenesis

dan

sintesis

kolagen

berkurang.

2) Anemia
Anemia

menyebabkan

berkurangnya

suplai

sirkulasi sel darah merah yang membawa oksigen


(Carville, 2007).
3) Malignasi/keganasan
Penyakit
penyembuhan.
pertumbuhan

keganasan
Efek

dapat

lokal

progresif

dapat

dan

mempengaruhi
terlihat

degenerasi

pada
tumor.

Pembuluh darah lokal dan jaringan sekitar yang rusak


rentan untuk terjadi infeksi. Pasien keganasan juga
sering tidak mampu mempertahankan intake yang
adekuat. Penyembuhan luka juga akan terhambat

27

oleh karena radioterapi atau kemoterapi (Carville,


2007).
4) Rheumatoid arthritis
Arthritis

dapat

pembengkakan

menyebabkan

yang

dapat

inflamasi

menghambat

dan

proses

penyembuhan. Obat-obat anti inflamasi dan steroid


yang diberikan dapat menekan respon inflamasi dan
dapat

menjadi

predisposisi

terjadinya

infeksi

(Carville, 2007).
5) Auto immune disorder
Terhambatnya fase inflamasi dan berkurangnya
leukosit dapat menjadi predisposisi terhadap infeksi
(Carville, 2007).

6) Hepatic failure
Gangguan
hemoglobin

hepar

dapat

menjadi

membuat

rendah

dan

sirkulasi

mengurangi

eliminasi dari beberapa obat (Carvilee, 2007).


7) Uremia
Peningkatan

kadar

ureum

darah

dapat

menghambat granulasi jaringan (Carville, 2007).

28

8) Inflammatory bowel desease


Kondisi

ini

dihubungkan

dengan

sindrom

malabsorbsi dan kurangnya statusnutrisi yang dapat


membuat berkurangnya energy untuk perbaikan dan
pertumbuhan,

serta

berkurangnya

pertahanan

terhadap infeksi (Carville, 2007).


c. Vaskularisasi
Suplai darah merupakan hal yang sangat krusial
untuk

mempertahankan

kehidupan

jaringan.

Faktor

intrinsik dan ekstrinsik dapat menurunkan suplai darah


sehingga membuat jaringan mati. Yang termasuk dalam
faktor intrinsik adalah arteriosklerosis, syok dan hemoragi
yang menyertai trauma. Sedangkan yang termasuk
dalam

faktor

ekstrinsik

berhubungan

dengan

efek

tekanan, penggeseran dan merokok. Untuk merespon


adanya gangguan vaskuler terutama pada ekstremitas
bagian

bawah,

pemeriksaan

sederhana

yang

dapat

dilakukan adalah menghitung nilai Ankle Brachial Index.


Tekanan sistolik ankle 70 mmHg dan Ankle Brachial Index
dengan ratio dibawah 0.45, serta adanya kalsifikasi bila
nilai ABI lebih dari 1.2 mmHg pada pasien DM dapat
mengindikasikan

lambatnyapenyembuhan

amputasi lokal (Carville, 2007).


d. Nutrisi

ulkus

atau

29

Malnutrisi dapat menyebabkan terhambatnya proses


penyembuhan luka danmeningkatkakn resiko infeksi.
Malnutrisi dapat terjadi karena insufisiensi intakenutrisi,
sindrome malabsorbsi, atau banyaknya cairan yang
keluar dari fistula gastrointestinal. Malnutrisi juga dapat
terjadi karena gangguan atau intoleransi terhadap obatobatan yang mempengaruhi absorbsi dan metabolisme
nutrien (Carville, 2007). Untuk menilai status nutrisi
dapat diketahui melalui kadar albumin tubuh dan index
massa

tubuh

(IMT).

Untuk

mempercepat

proses

perbaikan dan regenerasi jaringan diperlukan diet yang


seimbang, dan zat-zatyang dibutuhkan pada proses
penyembuhan luka diantaranya yaitu:
1)

Asam

amino

sebagai

bahan

dasar

untuk

revaskularisasi, ploriferasi fibroblas,sintesis collagen


dan pembentukan limpatik. Asam amino ini dapat
dijumpai pada daging, ikan, ayam, produk susu, dan
lentil (Carville, 2007).
2)
Lipid merupakan sumber energi seluler. Lemak
jenuh

sangat

bertanggung

jawab

terhadap

peningkatan kadar kolesterol darah. Asam lemak


esensial seperti asam lemak linoleic dan asam
lemak lenolenic tidak disintesis oleh tubuh sehingga

30

harus dicerna (Wahlqvist, 1988 dalam Carville,


2007).
3)
Karbohidrat dibutuhkan untuk energi seluler
leukosit, fibroblas, DNA, RNA,persarafan jaringan,
eritrosit, regulasi glukosa darah, dan modulasi
asorbsinutrien. Serat juga dibutuhkan pada proses
pencernaan. Karbohidrat dapatdiperoleh dari sereal,
gula, tepung, kacang polong, daging, kentang,
kacang ercis, buncis, selada, daun sup, dan lobak
(Carville, 2007).
4)
Vitamin (asorbic
produksi

fibroblas,

acid)

diperlukan

angiogenesis

dan

untuk

merespon

imun. Intake vitamin yang direkomendasikan untuk


individu yang sehat adalah 40 mg perhari. Sumber
vitamin

yang

baik

meliputi

buah

kiwi,

melon,strawberi, tomat, jeruk (Carville, 2007).


e. Obesitas
Vaskularisasi jaringan adiposa sangat sedikit. Jaringan
adipose

yang

berlebihanakan

mempersulit

proses

penyembuhan luka karena menimbulkan regangan pada


jahitan luka. Hal ini dapat menyebabkan dehisense tepi
luka (Carville, 2007).
f. Gangguan sensasi atau pergerakan
Adanya oklusi pada aliran darah menyebabkan tekanan
atau

gesekan

sehingga

kapiler

menjadi

rapuh.

31

Pergerakan dapat membantu sirkulasi sistemik, terutama


aliran darah balik dari ekstremitas bawah (Carville, 2007).
g. Perawatan luka
Gagal mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebuah
luka, penggunaan antiseptik yang kurang bijaksana,
penggunaan antibiotik topikal yang kurang tepat dan
ramuan

obat

perawatan

luka

lainnya,

serta

teknik

pembalutan luka yang kurang hati-hati adalah penyebab


terlambatnya penyembuhan luka yang harus dihindari
(Morison, 2004).
h. Penggunaan terapi
Golongan obat-obat berikut ini dapat mempengaruhi
penyembuhan luka :
1) Non steroid anti inflamasi drugs (NSAID) dapat
menekan
sintesis

fase

inflamasi

prostaglandin

dengan
padahal

menghambat
prostaglandin

merupakan mediator inflamasi (Carville, 2007).


2) Agen sitotoksik tidak mengganggu secara spesifik
sel-sel yang tumbuh pada proses penyembuhan
luka, namun obat ini mengurangi daya rentang
pada jaringan scar (Carville, 2007).
3) Corticosteroid dapat mensupresi makrofag dan
produksi

kolagen,mengganggu

angiogenesis

dan

epitelisasi.

Obat

proses
ini

juga

menghambat kontraksi luka dan mengurangi daya

32

regang luka. Kortikosteroid dapat menekan respon


imun

sehingga

dapat

individu

terinfeksi (Carville, 2007).


4) Obat-obatan imunosupresi

dapat

lebih

rentan

mengurangi

aktivitas sel darah putih sehingga mengganggu


membersihkan

febris

dan

berakibat

pada

peningkatan resiko terinfeksi (Carville, 2007).


5) Nikotin
Nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah,

meningkatkan

agregasiplatelet,

menurunkan sintesis kolagen, dan menghambat


epitelisasi. Merokok bisa mengurangi oksigenasi
jaringan dengan terjadinya peningkatan perfusi
karbondioksida dan menurunkan oksihemoglobin
(Clarke, 1988 dalam Carvilee, 2007)
6) Antibiotik
Sebagian antibiotik dilaporkan mempunyai efek
negatif maupun positif pada proses penyembuhan
luka. Sebagai contoh penisiline yang melepaskan
penisilamine dapat mengurangi kekuatan luka
dengan mencegah persilangan kolagen (David,
1986 dalam Carville, 2007). Doxycycline dapat
mengurangi

matrix

metalloprotease,

dan

memperlambat degradasi kolagen. Penggunaan


antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan

33

resistensi bakteri, juga berefek pada reaksi alergi


atau sensitifitas. Namun antibiotik juga diperlukan
sebagai treatmen infeksi.

C. Konsep Penyembuhan Luka


1. Definisi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks
yang melibatkan interaksi yang terus menerus antara sel
dengan sel dan antara sel dengan matriks yang terangkum
dalam tiga fase yang saling tumpang tindih (Reddy et al.,
2012).

Proses penyembuhan luka merupakan proses

biologik dimulai dari adanya trauma dan berakhir dengan


terbentuknya luka parut. Tujuan dari manajemen luka
adalah

penyembuhan

luka

dalam

waktu

sesingkat

mungkin, dengan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan luka


parut yang minimal pada pasien (Soni and Singhai, 2012),
meminimalkan kerusakan jaringan, penyediaan perfusi
jaringan yang cukup dan oksigenasi, nutrisi yang tepat
untuk jaringan luka (Reddy et al., 2012). Pengobatan dari
luka bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor risiko yang
menghambat penyembuhan luka, mempercepat proses
penyembuhan

dan

menurunkan

terinfeksi (Soni and Singhai, 2012).

kejadian

luka

yang

34

2. Fase Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang
kompleks dibagi menjadi tiga fase yang saling overlapping
yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Disebut
overlapping karena mediator yang dikeluarkan pada fasefase tersebut sering sama. Ini menunjukkan seluruh fase
berjalan

secara

berurutan

dan

juga

menerangkan

hubungan secara linear mengenai penyembuhan luka


mulai dari terjadinya luka sampai dengan terjadinya
perbaikan, bahkan sampai bisa menjadi luka kronis. (Li et
al., 2007).
a. Fase Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi awal bila tubuh terkena
luka ( Li et al., 2007). Fase ini terjadi segera setelah
cedera

dan

dapat

berlangsung

sampai

4-6

hari

(Broughton et al., 2006). Reaksi awal adalah terjadinya


vasodilatasi lokal, keluarnya darah dan cairan menuju
ruangan

ekstravaskuler,

dan

terhambatnya

aliran

limfatik. Semua ini mengakibatkan timbulnya tandatanda utama untuk terjadinya suatu inflamasi, termasuk
bengkak, merah dan panas. Respon inflamasi akut ini
biasanya antara 24-48 jam dan dapat menetap diatas 2
minggu untuk beberapa kasus ( Li et al., 2007). Fase ini

35

merupakan tahap awal yang alami untuk mengangkat


jaringan debris dan mencegah infeksi yang invasif
(Gurtner, 2007).

Gambar II.3 Regenerasi Luka (Dikutip dari : Schafer,


2012)
Fase ini dibagi menjadi dua yaitu respon vaskular dan
respon seluler (Li et al., 2007).
1)

Respon vaskular
perdarahan

terjadi

segera

sesudah

jaringan

cedera sebagai akibat dari terganggunya atau


rusaknya pembuluh darah. Langkah pertama dari
proses

penyembuhan

Hemostasis

terdiri

luka

dari

adalah
dua

hemostasis.

proses

utama:

pembentukan fibrin clot dan koagulasi. Platelet


adalah sel pertama yang muncul sesudah terjadinya
cedera

dan

mengatur

hemostasis

normal.

36

Perubahan

trombin

menjadi

fibrinogen

dan

kemudian menjadi fibrin selama agregasi platelet,


menyebabkan

fibrin

clot

terbentuk

dan

menghentikan perdarahan.
Komponen ke dua dari hemostasis adalah
koagulasi

melalui

coagulation

intrinsik

pathways.

dan

Kerusakan

ekstrinsik
jaringan

melepaskan lipoprotein yang dikenal sebagai tissue


factor. Platelet meningkatkan pembentukan jaringan
baru melalui pelepasan beberapa growth factors
kuat yang berpengaruh pada perbaikan luka, seperti
transforming
transforming

growth
growth

factor
factor

alpha

beta

(TGF-),

(TGF-),

dan

platelet-derived growth factor (PDGF) ( Li et al.,


2007).
2) Respon seluler
ciri-ciri fase inflamasi adalah masuknya lekosit
ke daerah luka Segera setelah terjadinya luka sel
netrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler
menuju jaringan luka, kemudian jumlah netrofil
menurun

dan

digantikan

dengan

makrofag

(perubahan dari monosit). Monosit segera berubah


menjadi

makrofag

pada

jaringan

luka

fase

37

selanjutnya, kurang lebih dalam 48 sampai 72-96


jam setelah luka (Broughton et al., 2006; Gurtner,
2007). Monosit ini ditarik ke jaringan luka oleh
chemoattractans yang sama dengan netrofil, juga
oleh

monocyte

chemoattractant

protein

dan

macrophage inflammatory protein, oleh produk dari


degradasi matriks ekstraseluler seperti fragmen
kolagen, fragmen fibronectin, dan trombin ( Li et al.,
2007).
Makrofag berperan penting dalam pengaturan
sel

seperti

fungsi

fagositosis,

memakan

dan

mencerna serta membunuh organisme patogen,


membersihkan debris jaringan dan merusak sisa
netrofil, menarik fibroblas ke jaringan luka dan
memicu pembuluh darah baru. Makrofag merupakan
pabrik

produksi

growth

factors

seperti

PDGF,

fibroblast growth factor (FGF), vascular endothelial


growth factor (VEGF), TGF-, dan TGF-.
Dalam fase inflamasi ini, netrofil dan makrofag
menghasilkan
radikal,

sejumlah

yang

respiratory

sering

burst.

besar

anion

superoksid

digambarkan

Kemudian

sel

lain

sebagai
seperti

fibroblas dirangsang oleh sitokin pro inflamasi untuk

38

memproduksi reactive oxygen spesies (Keller et al.,


2006). Selain efek positif untuk membunuh bakteri,
ROS ini juga berdampak negatif, menghambat
migrasi sel, merusak jaringan dan bahkan berubah
menjadi neoplasma (Keller et al., 2006). Untuk
melindungi dari stres oksidatif, sel-sel mempunyai
beberapa sistem untuk mendetoksifikasi ROS, yaitu
secara non-enzimatik dan enzimatik. (Keller et al.,
2006).
Suatu luka disebut luka kronis bila fase inflamasi
menetap

berbulan-bulan

inflamasi

menetap

hipoksia,

infeksi,

obat-obatan

bahkan

pada

keadaan

defisiensi

tertentu,

tahunan.

atau

nutrisi,
faktor

luka

Fase
yang

penggunaan
lain

yang

dihubungkan dengan respon imun pasien (Reddy et


al., 2012). Luka kronis membentuk jaringan nekrotik
yang

tercemar

oleh

organisme

patogen

atau

mengandung material asing yang tidak dapat di


fagositosis selama fase akut inflamasi. Granulosit
tidak muncul, sebaliknya sel mononuklear terutama
limfosit, monosit, dan makrofag menetap pada
daerah inflamasi. Tidak ada tanda-tanda inflamasi.
Makrofag menarik fibroblas dan dalam waktu yang

39

lama

memproduksi

sejumlah

besar

kolagen,

membentuk masa encapsulated dari jaringan fibrous


dengan lambat, suatu granuloma (Li et al., 2007).
b. Fase Proliferasi
Pada fase ini aktifitas seluler lebih utama. Tahaptahap

utama

permeabilitas
(angiogenesis)

meliputi

(epitelisasi),
dan

pembentukan
kecukupan

pembentukan

barier

suplai

kembali

darah

jaringan

dermis pada jaringan yang luka (fibroplasia) (Li et al.,


2007). Ciri-ciri fase proliferasi adalah angiogenesis,
deposit

kolagen,

pembentukan

jaringan

granulasi,

epitelisasi, dan kontraksi luka (Nayak et al., 2007). Fase


ini akan dimulai pada hari ke 3 bersamaan dengan
memudarnya fase inflamasi dan terus sampai pada hari
ke 14, bahkan lebih setelah luka, didominasi dengan
pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi (Reddy
et al., 2012). Broughton et al. (2006) menyebutkan fase
proliferasi dimulai segera setelah fase inflamasi yang
berlangsung 4 - 6 hari.
1)

Fibroplasia
Adalah suatu proses proliferasi fibroblas, migrasi

fibrin clot ke daerah luka, dan produksi dari kolagen


baru dan matriks protein lainnya, yang terlibat

40

dalam pembentukan jaringan granulasi. Respon


awal saat terjadinya luka, fibroblas di pinggir luka
memulai proliferasi dan kira-kira hari ke 4 dimulai
migrasi menuju matriks dari bekuan luka yang kaya
kolagen, proteoglikan, dan elastin. PDGF, TGF-,
EGF dan FGF merangsang dan mengatur migrasi
fibroblas

dan

mengatur

ekspresi

dari

reseptor

integrin. Proliferasi fibroblas diatur dan dirangsang


oleh EGF, FGF, kondisi asam rendah oksigen yang
ditemukan

pada

bermigrasi

ke

berubah

pusat

daerah

fenotipnya

luka.
luka,

secara

Sekali

fibroblas

selanjutnya
bertahap

akan

menjadi

profibrotic phenotype yang fungsi utamanya juga


berubah yaitu untuk sintesa protein. Selain itu
fibroblas

juga

berubah

fenotipnya

menjadi

myofibroblast yang berperan pada kontraksi luka (Li


et al., 2007)

41

Gambar 2.4 Fase Inflamasi (1), Fase Proliferasi (2),


Fase Remodelling (3a, 3b) (dikutip dari : Romo,
2012)
Fibroblas tampak berbentuk fusiformis diantara
serabut-serabut jaringan, memiliki tonjolan-tonjolan
sitoplasma yang tidak teratur, inti bulat telur, besar,
kromatin halus, dan memiliki nukleus yang jelas
(Kalangi, 2004). Pada jaringan ikat longgar dijumpai
berbentuk bintang atau stelata sebagai akibat
serabut-serabut jaringan ikat yang tidak teratur.
Fibroblas memiliki banyak mikrofilamen proaktin
serta

mikrotubul.

Fibroblas

berfungsi

untuk

mensintesis matriks ekstraseluler seperti serabut


kolagen, serbut elastin, dan zat-zat amorf.
2)

Angiogenesis (Neovaskularisasi)
Angiogenesis

endotel

dan

ditandai

dengan

pembentukan

migrasi

kapiler.

sel

Terjadi

42

pertumbuhan

kapiler

baru

pada

daerah

yang

berdekatan dengan luka berupa tunas-tunas yang


terbentuk

dari

berkembang

pembuluhdarah

menjadi

dan

akan

baru

pada

endotelial

juga

percabangan

jaringan luka (Broughton et al., 2006).


Selama

angiogenesis,

memproduksi

dan

sel

mengeluarkan

substansi

biologikal aktif atau sitokin. Beberapa growth factor


terlibat

dalam

angiogenesis

adalah

VEGF,

angiopoietins, FGF, dan TGF-. Berbagai tipe sel


termasuk keratinosit, fibroblas, dan sel endotelial
menghasilkan endothelial growth factor. VEGF ini
terdapat dalam kadar rendah pada kulit normal,
sebaliknya

kadarnya

penyembuhan
timbulnya

luka.

growth

Angiogenesis

tinggi
Keadaan

factor

berlangsung

(Li

pada

waktu

mempengaruhi
et

al.,

2007).

proporsional

untuk

perfusi darah dan tekanan parsial oksigen arteri


(Ueno et al., 2006).
3)

Kontraksi Luka
Kontraksi dari luka dimulai segera sesudah

terjadinya perlukaan dan mencapai puncaknya 2


minggu.

Derajat

kontraksi

luka

bervariasi

43

tergantung kedalaman luka. Untuk luka yang dalam,


kontraksi

merupakan

bagian

penting

dari

penyembuhan dan lebih dari 40% menurun dalam


ukuran luka. Luka dengan kedalaman yang parsial,
kontraksi kurang penting ( Li et al., 2007).
Myofibroblast adalah mediator utama dari proses
kontraksi karena kemampuannya untuk meluas dan
menarik. Selama pembentukan jaringan granulasi,
secara

bertahap

myofibroblast

yang

fibroblas

berubah

memegang

menjadi

peranan

pada

kontraksi luka (Broughton et al., 2006), dengan ciri


ikatan mikrofilamen aktin (tidak terlihat pada kulit
yang normal) ( Li et al., 2007) yang mampu
meregenerasi

matriks

dan

kontraksi

(Gurtner,

2007). Fibronectin membantu dalam kontraksi luka.


c. Epitelisasi
Proses ini mengembalikan epidermis utuh seperti
semula. Faktor yang terlibat adalah migrasi keratinosit
pada jaringan luka, proliferasi keratinosit, diferensiasi
neoepitelium menjadi epidermis yang berlapis-lapis,
dan mengembalikan basement membrane zone (BMZ)
menjadi utuh yang menghubungkan epidermis dan
dermis (Li et al., 2007). Epidermal growth factor (EGF),

44

keratinocyte growth factor (KGF), dan TGF- merupakan


faktor penting untuk merangsang migrasi keratinosit,
proliferasi,

dan

epitelisasi.

Hari

ke

7-9

sesudah

epitelisasi, BMZ terbentuk. Struktur kulit pada BMZ


terdiri dari banyak protein matriks ekstraseluler seperti
kolagen dan laminins.
Pembentukan kembali dermis dimulai kira-kira hari ke
3-4 setelah perlukaan, dengan ciri klinik pembentukan
jaringan granulasi, meliputi pembentukan pembuluh
darah

baru

atau

angiogenesis,

dan

penumpukan

fibroblas atau fibroplasia ( Li et al., 2007).


d. Fase Remodeling
Merupakan fase terpanjang penyembuhan luka yaitu
pematangan proses, yang meliputi perbaikan yang
sedang berlangsung pada jaringan granulasi yang
membentuk lapisan epitel yang baru dan meningkatkan
tegangan pada luka (Ueno et al., 2006). Remodeling
meliputi deposit dari matriks ( Li et al., 2007), deposit
kolagen pada tempatnya (Broughton et al., 2006), dan
kontraksi scar (Gurtner, 2007).. Pada fase remodeling
kekuatan peregangan jaringan ditingkatkan karena
cross-linking

intermolekular

dari

kolagen

melalui

45

hidroksilasi yang membutuhkan vitamin C (Reddy et al.,


2012).
Satu

dari

ciri-ciri

fase

ini

adalah

perubahan

komposisi matriks ekstraseluler. Kolagen tipe III muncul


pertama kali sesudah 48 72 jam dan maksimal
disekresi antara 5 7 hari. Jumlah kolagen total
meningkat pada awal perbaikan, mencapai maksimum
antara 2 sampai 3 minggu sesudah cedera (Li et al.,
2007). Kolagen tipe III yang diproduksi oleh fibroblas
selama fase proliferasi akan diganti oleh kolagen tipe I
selama beberapa bulan berikutnya melalui proses yang
lambat dari kolagen tipe III (Gurtner, 2007).
Selama periode 1 tahun atau lebih, dermis secara
bertahap kembali kepada fenotip yang stabil seperti
sebelum cedera, dan komposisi terbanyak

adalah

kolagen tipe I. Kekuatan regangan yang merupakan


penilaian

dari

fungsi

kolagen,

meningkat

40%

kekuatannya dalam jangka waktu 1 bulan dan terus


meningkat sampai 1 tahun, mencapai lebih dari 70%
kekuatannya dari normal pada akhir fase remodeling
( Li et al., 2007).
Proses perubahan dari dermis dilaksanakan melalui
kontrol yang ketat antara sintesa kolagen baru dan lisis

46

dari

kolagen

lama

yang

dilakukan

oleh

matrix

metalloprotein (MMP). MMP biasanya tidak terdeteksi


atau kadarnya sangat rendah pada jaringan sehat, dan
timbul selama perbaikan luka. Aktifitas katalitik dari
MMP

juga

dikontrol

oleh

inibitor

jaringan

dari

metaloprotein. Keseimbangan antara aktifitas MMP dan


inhibitornya

juga

merupakan

hal

penting

dalam

perbaikan luka dan remodeling ( Li et al., 2007).


Ketidakseimbangan yang terjadi dapat menyebabkan
keterlambatan penyembuhan luka atau berlebihnya
jaringan fibrosis sehingga menyebabkan jaringan parut,
hipertropi scar atau bahkan keloid. Keadaan ini dapat
terjadi pada penderita diabetes, infeksi, usia lanjut, dan
nutrisi yang buruk ( Li et al., 2007).
3. Proses Fibroblas dalam Penyembuhan Luka
Fibroblas adalah sel yang mensintesis

matriks

ekstraseluler dan kolagen yang berperan penting dalam


penyembuhan luka. Fibroblas berfungsi mempertahankan
integritas struktur jaringan ikat dengan memproduksi
matriks

ekstraseluler.

Fibroblas

berasal

dari

derivat

mesenkim primitif. Fibroblas memiliki sitoplasma dengan


inti sel berbentuk elips dengan satu sampai dua anak inti
sel. Fibroblas memproduksi kolagen, glikosaminoglikan,

47

serat elastin dan glikoprotein yang membentuk matriks


ekstraseluler. Fibrosit sebagai bentuk inaktif fibroblas akan
diinduksi

oleh

makrofag

menjadi

fibroblas

pada

penyembuhan luka. Fibroblas terakumulasi di daerah luka


melalui angiogenesis antara dua sampai lima hari pasca
cedera. Jumlah fibroblas mencapai puncaknya sekitar 1
minggu pasca trauma dan merupakan sel dominan pada
minggu pertama fase penyembuhan luka (Falanga, 2004).
Pada

pemeriksaan

hematoxylin-eosin
membentuk
berwarna

suatu

histopatologi
fibroblas
garis

kemerahan

dan

dengan

umumnya

sejajar

pewarnaan
berkelompok

dengan

jumlahnya

sitoplasma

diukur

dengan

mikrometer graticule pada pembesaran 400x (Kiernan,


2008).
4. Proses Kolagen dalam penyembuhan Luka
Kolagen merupakan satu dari sejumlah protein alam
terkuat dan jumlahnya terbanyak dan berlimpah pada
manusia yaitu di bagian kulit, memberikan ketahanan dan
daya lentur pada kulit (Baumann et al., 2009). Kolagen
inilah yang memungkinkan terbentuknya tensile strength
pada kulit. Merupakan protein fibrous, 70 -80% berat dari
dermis, komponen terpenting dari dermis (Jain, 2012).
Kolagen disintesa dalam fibroblas dalam bentuk prekursor

48

kolagen

yaitu

prokolagen.

Sisa

prolin

dalam

rantai

prokolagen diubah menjadi hidroksiprolin oleh enzim prolyl


hydroxylase. Sisa lisin pada rantai prokolagen juga diubah
menjadi hidroksilisin oleh enzim lysyl hydroxylase. Kedua
reaksi

ini

membutuhkan

Fe++,

vitamin

C,

dan

ketoglutarate (Baumann et al., 2009). Kolagen dihancurkan


oleh metalloprotein, sintesisnya dirangsang oleh asam
retinoat,

dihambat

oleh

IL-1,

glukokortikoid,

D-

penicillamine, radiasi ultraviolet (Jain, 2012 ).Kolagen dapat


dilihat melalui pewarnaan HE sebagai zona rangkaian serat
berwarna merah muda cerah (King, 2010).
Pada penelitian ini ketebalan serat kolagen diukur
dengan cara mengambil rata-rata dari tiga serat kolagen
yang

tampak

utuh

pada

daerah

tepi

luka

dengan

menggunakan mikrometer di bawah mikroskop cahaya


dengan pembesaran 400x.

D. Air Alkali pH 8
1. Definisi Air Alkali pH8
Kandungan pH 8 pada air alkali dan pH asam asetatnya
secara

dramatis

membuat

pertumbuhan

pada

bakteri

terhambat sehingga bakteri tidak bisa berkembang dan

49

bertahan pada pH yang basa yaitu pH 8 (Hamptom, 2008). Air


alkaline mengandung beberapa komponen tertentu seperti
pH diatas 7, molekul air mikro kluster, nilai Oxidation
Reduction Potential (ORP ) sangat negatif dan hidrogen
terlarut sangat tinggi. Air alkali ini pertama kali digunakan di
Jepang dalam bidang medis. Studi tentang air alkaline telah
dimulai di Jepang sejak tahun 1931 dan pada tahun 1954
mulai digunakan dalam bidang pertanian. Tahun 1960 air
alkaline diterapkan untuk perawatan medis sebagai air yang
menguntungkan bagi kesehatan dan pada tahun 1966
Departemen Kesehatan Jepang mengakui air alkaline efektif
untuk diare kronis, gangguan pencernaan, antasida, dan
hiperasiditas.

Pada

tahun

1994,

untuk

mempromosikan

penggunaan air alkaline kepada masyarakat, dibentuklah


Fuctional Water Foundation (FWF) dibawah Departemen
Kesehatan Jepang. (Ignacio et al, 2012)
Air alkaline mengacu pada elektrolisis air yang dihasilkan
dari mineral seperti magnesium dan kalsium, yang dicirikan
oleh hidrogen yang sangat tinggi, pH tinggi, dan potensial
reduksi oksidasi negatif. Air yang kaya hidrogen ini telah
diperkenaylkan sebagai strategi terapi yang mungkin untuk
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Air dengan
hidrogen tinggi mampu membersihkan ROS, melindungi DNA

50

dari kerusakan oksidatif, dan memacu metabolisme (Ignacio


dan Kang et al, 2013 Ramadhani 2014).
Air alkaline diolah dengan cara electrolisis dan atau lewat
reaksi kimia dengan logam alkaline tanah. Di alam, berbagai
macam

mineral

termasuk

Mg,

Li,

dan

Ca,

memiliki

kemampuan untuk mengubah air biasa menjadi air alkaline


(Watanabe et al, 1995 dalam Ramadhani 2014). Elektrolisis
air menghasilkan keadaan pereduksi kuat di sekitar katoda,
karena sebagian besar tegangan diterapkan pada lapisan air
di dekat katoda, membentuk medan listrik yang sangat
tinggi. Titanium yang berlapis platina digunakan sebagai
elektroda yang sering digunakan untuk elektrolisis air dalam
mesin pembuat air alkaline yang banyak dijual. Di plat
platinum katodik, atom hidrogen dihasilkan. Nanopartikel
mineral dan nanopartikel mineral hidrida juga terbentuk.
Nanopartikel yang dihasilkan mengaktifkan atom hidrogen.
(Shirahata et al, 2012) merekomendasikan hidrogen aktif
dalam air alkaline sebagai mekanisme dasar kerja air alkaline.
2. Fungsi Air Alkali pH 8
Data

klinis

menunjukkan

bahwa

air

alkaline

dapat

memperbaiki penyakit yang diakibatkan oleh stres oksidatif


(Hayashi dan Kawamura, 2002). Air alkaline membersihkan

51

ROS dan mencegah kerusakan DNA yang ditimbulkan oleh


ROS secara in vitro (Shirahata et al, 2012)
Air alkaline memiliki efek untuk menekan radikal bebas di
dalam

tubuh

individu,

sehingga

dapat

mencegah

perkembangan penyakit. Air alkaline juga berfungsi sebagai


antioksidan

(Hanaoka,

2001

dalam

Ramadani,

2014),

mengurangi ROS (Shirahata et al, 1997 dalam Ramadhani


2014), dan mempercepat pertumbuhan dan metabolisme
(Watanabe et al, 1995 dalam Ramadhani, 2014). Kemampuan
dan

aktivitas

antioksidan

yang

dimiliki

oleh

air

alkali

disebabkan karena kandungan hydrogen yang sangat tinggi,


memiliki aktifitas menstimulasi sintesis fibroblas dan mampu
menurunkan produksi Reactive Oxygen Species(ROS) (Gill
dkk,

2000).

Meningkatnya

jumlah

sel

fibroblas

akan

meningkatkan jumlah stimulasi proliferasi fibroblas dan serat


kolagen yang akan mempercepat proses penyembuhan luka
sehingga

secara

tidak

langsung

air

alkali

merangsang

pembentukan kolagen (Robbin, 2007). Air alkali dengan pH 8


yang bersifat basa dapat mencegah tumbuhnya bakteri
sehingga dapat meminimalkan terjadinya infeksi pada luka
(Brocklesby, 2002)

52

E. Konservasi Myra Levine


1. Definisi Konservasi Myra E Levine
Myra Estrin Levine berfikir bahwa penyakit berubah
setiap waktu kewaktu dengan teori konservasi. Konservasi
berasal dari kata latin conservatio yang berarti to keep
together atau menjaga bersama- sama (Levine, 1973
dalam Rias 2015). Konservasi menggambarkan cara yang
dibutuhkan untuk melanjutkan fungsi, meskipun terdapat
hambatan berat sekalipun (Levine, 1990 dalam Rias 2015).
2. Tujuan Konservasi Myra E Levine
Kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi hambatan
dalam fungsi kesehatan untuk mempertahankan diri. Fokus
utama konservasi ini ialah menjaga aspek kesehatan untuk
keseimbangan masing- masing individu antara kebutuhan
energi, realitas biologi, maupun kebutuhan sosial.
3. Prinsip konservasi Myra E Levine
Ada 4 prinsip konservasi Myra E Levine, yaitu sebagai
berikut (Hartini, 2012 dalam Rias 2015).
a. Konservasi energi
Individu
membutuhkan
keseimbangan

dan

pembaharuan energi untuk mempertahankan aktivitas


hidup. Konservasi energi telah dipakai dalam praktik
keperawatan

meskipun

kebanyakan

pada

prosedur

dasar. Konservasi energi bertujuan untuk menajaga

53

keseimbangan energi sehingga input dan output akan


seimbangan

untuk

menghindari

kelelahan

yang

berlebihan. Keseimbangan energi dipengaruhi oleh faktor


pribadi

dan

lingkungan

eksternal

yang

dapat

menyebabkan berkurangnya energi dengan menghindari


kelelahan berlebihan dan termasuk istirahat, gizi dan
olahraga. Contoh: istirahat dan pemeliharaan gizi yang
cukup (Hartini, 2012).
b. Konservasi integritas struktur
Penyembuhan merupakan proses pemulihan integritas
struktur dan fungsi dalam mempertahankan diri dari
tekanan atau hambatan (Levine, 1991 dalam Rias 2015).
Ketidakmampuan dapat ditunjukkan dalam level baru
adaptasi (Levine, 1996 dalam Rias 2015). Perawat dapat
mambatasi dan minimalkan komplikasi atau dampak
penyakit dengan deteksi dini terhadap peruabahan
fungsi

melalui

intervensi

keperawatan.

Konservasi

integritas struktur tubuh sehingga mencegah terjadinya


kerusakan fisik dan meningkatkan proses penyembuhan.
Contoh: membantu pasien dalam latihan ROM dan
pemeliharaan kebersihan diri pasien (Hartini, 2012)
c. Konservasi integritas personal
Harga dini dan kepekaan identitas merupakan hal
yang penting dan sensitif. Harga diri rendah disebabkan
karena keterbatasan privasi dan kecemasan individu.

54

Perawat

harus

menunjukkan

caring

kepada

pasien

selama proses pengobatan berlangsung, memberikan


dukungan terhadap upaya pasien, dan pembelajaran.
Tujuan perawat adalah memberikan pengetahuan dan
kekuatan untuk lebih mandiri dan minimalkan atau
bahkan lepas dari ketergantungan akan orang lain
(Levine, 1990 dalam Rias 2015). Konservasi integritas
personal bertujuan untuk mengenali individu dalam
mendapatkan pengakuan, rasa hormat, kesadaran diri,
sehingga

menentukan

nasibnya

sendiri.

Contoh:

mengakui dan melindungi kebutuhan ruang pasien


(Hartini, 2012)
d. Konservasi integritas sosial
Makna hidup meningkat dengan mempertahankan
komunikasi sosial dan kesehatan. Perawat memiliki
peranan
kebutuhan

sebagai
religius,

anggota
dan

keluarga,

menggunakan

membantu
hubungan

interpersonal dalam mempertahankan integritas sosial


pasien. Integriats sosial melibatkan keberadaan dan
pengakuan dari interaksi orang lain sebagai sistem
dukungan terhadap pasien. Contoh: mengatur posisi
pasien di temapt tidur untuk memperkuat interaksi sosial
dengan pasien lain, penggunakan surat kabar, majalah,
radio dan TV (Hartini, 2012)

55

48
8

F. Kerangka Teori

Etiologi:
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
Neuropati sensori Usia
perifer
Infeksi
Penyakit penyerta
Deformitas kaki Vaskuarisasi
Penyaki vaskuler Nutrisi
Penurunan imunitas
Obesitas
Gangguan sensasi pergerakan

g. Perawatan luka

Model keperawatan Myra Elvine


Konservasi energi
Konservasi intergrites struktur

Air alkali pH8

Fase romedeling

Konservasi intergritas personal


Konservasi intergritas sosial
Care nursing sistem

Jumlah fibroblas dan ketebalan kolag

h. Penggunaan terapi

Ulkus Diabetikum

Klasifikasi Wegner
Klasifikasi RYD

Klasifikasi Texas
Klasifikasi Weri

Proses Penyembuhan luka


Fase inflamasi
Fase poliferasi

Kerusaka
n
jaringan

Fibroblas dan Kolagen


Penyembuhan luka

Grade 0 : Tidak ada lesi, kemungkinan deformitas kaki atau selulitis


Grade 1: Ulserasi superficial
Grade 2: Ulserasi dalam meliputi persedian, tendon atau tulang
Grade 3: Ulserasi dalam dengan pembentukan abses, osteomyelitis, infeksi pada persedian
Grade 4: Nekrotik terbatas pada kaki depan
Grade 5: Nekrotik pada seluruh bagian kaki

Gambar II.5 Kerangka Tori (Handayani, 2010; Igbinovia, 2009; Frykberg, et al, 2006; Bryant & Nix, 2007; Bentley & Foster, 2007; Hamptom,
2008;Dealy,2007;Li et al., 2007; Nayak et al., 2007; Reddy et al., 2012; Broughton et al., 2006; Kalangi, 2004; Carville, 2007

S-ar putea să vă placă și