Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
TUBERKULOSIS
A. Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai
tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru
pada tahun 1779. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang
terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh
penyebaran melalui hematogen (Epi, Purniti, Subanada, & Astawa, 2008).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondilitis TB
merupakan kejadian TB ekstrapulmonal ke bagian tulang belakang tubuh (Brunner,
Suddart, & Smeltzer, 2008). Spondilitis TB merupakan infeksi tulang belakang yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Paramarta et al., 2008). Tulang
belakang tubuh manusia terdri dari 7 ruas cervikal, 12 ruas thorakal, 5 ruas lumbal
dan 5 ruas sakrum (Bono & Garfin, 2004). Pada masing-masing ruas tulang belakang
terdiri rangkaian saraf spinal yang mengatur sistem kerja beberapa bagian tubuh lain
(Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2008). Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu
pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal (T8-L3), kemudian daerah
torakal atas, servikal dan daerah sakrum (Garfin & Vaccaro, 1997 dalam Moesbar
2006).
Ruas tulang belakang mengatur sistem kerja pada bagian tubuh lain. Ruas
servikal mengatur kerja melebar dan mengerutkan mata dan pengeluaran air liur serta
ekstremitas (Bono & Garfin, 2004). Ruas thorakal berfungsi mengatur mengerutkan
bronkiolus, mempercepat dan melambatkan denyut jantung dan meningkatkan sekresi
asam lambung (Vaccaro & Albert, 2009). Ruas lumbal mengatur menurunkan dan
meningkatkan gerak peristaltik usus (Bono & Garfin, 2004). lima ruas sakrum
mengatur dalam pengosongan kandung kemih (Vaccaro & Albert, 2009).
B. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan
famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah
yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus
walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal
ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang
terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat
pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar
2-4 m (Epi, Purniti, Subanada, & Astawa, 2008).
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile
dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan
teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat
dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik
Mycobacterium
tuberculosis
dan
dapat
membantu
untuk
tuberculous
sequestra,
terutama
di
regio
torakal.
Discus
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien
dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari
munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu.
Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka pathogenesis TB
umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan
(Zuwanda & Janitra, 2013).
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin
antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda
equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati).
Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena
dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n.
laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas
(disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku
leher atau nyeri leher yang tidak spesifik (Zuwanda & Janitra, 2013).
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter
distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut
salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan
paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya
dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula
spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat
b. CT Scan
CT-scan
dapat
memperlihatkan
dengan jelas
destruksi
badan vertebra,
sklerosis
abses
epidural,
fragmentasi
tulang,
tulang,
dan
c. MRI
2) Laboraturium
a. Darah
Secara umum, sama
penyakit
ditemukan
dengan
kronik
penderita
lainnya,sering
anemia
hipokrom.
Hitung-
jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada hitung jenis
ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat
menjadi indicator aktivitas penyakit.
b. Tes Tuberkulin
Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi
pada tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes
Mantoux negatif. Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif ; sedangkan
indurasi 5 9 mm meragukan dan perlu diulang.
c. Bakteriologi
Untuk pemeriksaan
balteriologik
dan
histopatologik
diperlukan
akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat
mengalami resistensi sekunder (Vitriana, 2002).
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Di bawah adalah
penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
a) Isoniazid (INH)
1. Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
2. Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
3. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
4. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
5. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak
pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi
piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian
suplemen piridoksin).
6. Relatif aman untuk kehamilan
7. Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari
b) Rifampin (RMP)
1. Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun
lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
2. Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling
rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
3. Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia
dalam bentuk sediaan oral dan intravena.
4. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
5. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose
dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila
dikombinasi dengan INH.
6. Relatif aman untuk kehamilan
7. Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.
c) Pyrazinamide (PZA)
2) Terapi Operatif
Tujuan
terapi
operatif
adalah
menghilangkan
sumber
infeksi,
DAFTAR PUSTAKA
1. Epi, I. G., Purniti, P. S., Subanada, I. B., & Astawa, P. (2008). Spondilitis
Tuberkulosis. Sari Pediatri , 177-183.
2. Moesbar, N. (2006). Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah Kedokteran
Nusantara Volume 39 , 279-289.
3. Vitriana. (2002). Spondilitis Tuberkulosa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi FK-UNPAD.
4. Zuwanda, & Janitra, R. (2013). Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK-208 , 661-673.