Sunteți pe pagina 1din 16

LAPORAN PENDAHULUAN SPONDILITIS

TUBERKULOSIS

A. Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai
tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru
pada tahun 1779. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang
terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh
penyebaran melalui hematogen (Epi, Purniti, Subanada, & Astawa, 2008).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondilitis TB
merupakan kejadian TB ekstrapulmonal ke bagian tulang belakang tubuh (Brunner,
Suddart, & Smeltzer, 2008). Spondilitis TB merupakan infeksi tulang belakang yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Paramarta et al., 2008). Tulang
belakang tubuh manusia terdri dari 7 ruas cervikal, 12 ruas thorakal, 5 ruas lumbal
dan 5 ruas sakrum (Bono & Garfin, 2004). Pada masing-masing ruas tulang belakang
terdiri rangkaian saraf spinal yang mengatur sistem kerja beberapa bagian tubuh lain
(Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2008). Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu
pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal (T8-L3), kemudian daerah
torakal atas, servikal dan daerah sakrum (Garfin & Vaccaro, 1997 dalam Moesbar
2006).
Ruas tulang belakang mengatur sistem kerja pada bagian tubuh lain. Ruas
servikal mengatur kerja melebar dan mengerutkan mata dan pengeluaran air liur serta
ekstremitas (Bono & Garfin, 2004). Ruas thorakal berfungsi mengatur mengerutkan
bronkiolus, mempercepat dan melambatkan denyut jantung dan meningkatkan sekresi
asam lambung (Vaccaro & Albert, 2009). Ruas lumbal mengatur menurunkan dan
meningkatkan gerak peristaltik usus (Bono & Garfin, 2004). lima ruas sakrum
mengatur dalam pengosongan kandung kemih (Vaccaro & Albert, 2009).

B. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan
famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah

yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus
walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal
ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang
terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat
pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar
2-4 m (Epi, Purniti, Subanada, & Astawa, 2008).
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile
dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan
teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat
dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik

Mycobacterium

tuberculosis

dan

dapat

membantu

untuk

membedakannnya dengan spesies lain (Vitriana, 2002).


C. Cara Penularan TB
Sumber penularan TB adalah penderita TB BTA postif. Bakteri TB menular
melalui udara ketika penderita TB batuk dan menyebarkan bakteri ke udara dalam
bentuk percikan dahak (Arias, 2009). Akibat sinar matahari dan suhu yang panas
percikan dahak akan menguap ke udara dibantu terbang oleh angin sehingga bakteri
TB yang terkandung dalam percikan dahak terbang ke udara (Muttaqin, 2008). Faktor
yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB akan ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Wulandari, 2012).
Penderita tuberkulosis dapat menularkan penyakit tersebut kepada 10-15 orang dalam
setahun (Depkes, 2008).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular (Epi, Purniti, Subanada, & Astawa, 2008).
D. Perjalanan Infeksi TB

Bakteri TB menyebar di dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan


saluran cerna, denga perjalanan infeksi berlangsung dalam 4 fase (Ramachandran &
Paramaisvan, 2003 dalam Moesbar, 2006):
1. Fase Primer
Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Jaringan paru
timbul reaksi radang yang melibatkan sistem pertahanan tubuh, dan membentuk
afek primer. Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul
limfadenitis primer, suatu granuloma sel epiteloid dan nekrosis perkijuan. Afek
primer dan limfadenitis primer disebut kompleks primer. Sebagian kecil dapat
mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan bekas atau sembuh melalui
fibrosis dan kalsifikasi.
2. Fase Miliar
Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran
hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran
bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus dan
menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung terus
sampai menimbulkan kematian, mungkin juga dapat sembuh sempurna atau
menjadi laten atau dorman.
3. Fase Laten
Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami
resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi dorman. Fase
ini berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama bertahun tahun. Bila
terjadi perubahan daya tahan tubuh maka kuman dorman dapat mengalami
reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi. Bila bakteri TB memasuki tulang
belakang maka bakteri TB berdublikasi dan berkoloni kemudian mendestruksi
korpus vetebra dan terjadi penyempitan ringan pada diskus. Setelah itu, terjadi
destruksi massif pada korpus vetebra dan terbentuk abses dingin yang kemudian
terjadi kerusakan pada diskus intervetebralis dan terbentuk gibus (penonjolan
tulang) sehingga bentuk badan kifosis (Agrawal, Patgaonkar, & Nagariya, 2010).
4. Fase Reaktivasi
Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, reaktifasi
penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan kalsifikasi
atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi sarang infeksi dapat
menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal merupakan organ kedua yang
paling sering terinfeksi ; selanjutnya kelenjar limfe, tulang, sendi, otak, kelenjar
adrenal, dan saluran cerna. Tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi,
ditularkan melalui vena umbilical atau cairan amnion ibu yang terinfeksi.
E. Patofisiologi

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen


atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke
tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.
Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber
infeksi yang paling sering adalah berasal dari system pulmoner dan genitourinarius.
Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama , jalur arteri dan jalur vena
serta jalur tambahan.
Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer
masuk kedalam korpus vertebra ; berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri
segmental lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan,
dimana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri
ini berakhir sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering
dimulai didaerah paradiskal (Moesbar, 2006).
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, suatu anyaman vena epidural dan
peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah
perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus pada dasar otak,
dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson
berasal dari daerah-daerah tersebut diatas. Jika terjadi aliran retrograd akibat
perubahan tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar
dari infeksi tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena tersebut
(Moesbar, 2006).
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang
telah terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudial anterior dan postrior
ke korpus vertebra yang berdekatan. Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu
vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial
korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan
osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks
epifisis, diskus intervertebral dan ke korpus yang berada didekatnya (Moesbar, 2006).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra
yang terkena.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area
infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks
tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau
lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal

anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat


ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau
infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru
dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga
menimbulkan

tuberculous

sequestra,

terutama

di

regio

torakal.

Discus

intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.


Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam
ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena
perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin
terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan
sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan
lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis
yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi
dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut
merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan
menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis
dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu
mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan
kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan
tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan
berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian
berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan
tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya (Vitriana, 2002).

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifi k pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai
umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien
dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi HIV positif, rata-rata durasi dari
munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan adalah selama 28 minggu.
Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka pathogenesis TB
umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan
(Zuwanda & Janitra, 2013).
Defisit neurologis terjadi pada 12 50 persen penderita. Defisit yang mungkin
antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda
equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati).
Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena
dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n.
laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas
(disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku
leher atau nyeri leher yang tidak spesifik (Zuwanda & Janitra, 2013).
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter
distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut
salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Potts paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita. Potts
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan
paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya
dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula
spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat

penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya


disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat
destruksi tulang sebelumnya (Zuwanda & Janitra, 2013).
1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3) Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi
dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya
gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher
atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi
leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal
notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang
terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara
yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya
serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.

Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap


mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test) Jika terdapat abses, maka
abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan
tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini
berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis.
7) Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10) Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa (Vitriana,
2002).
G. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling
menunjang untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung
kelainan fi sik pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis
yang dapat digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan),
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
a. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak
lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional.

Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan


diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran
Fusiformis.
Pada fse lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan
membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang
paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun,
sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik.
Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan
metode Konstam.

b. CT Scan
CT-scan

dapat
memperlihatkan

dengan jelas
destruksi

badan vertebra,

sklerosis
abses

epidural,

fragmentasi

tulang,

tulang,

dan

penyempitan kanalis spinalis. CT myelography juga dapat menilai dengan


akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke
dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk
memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan
tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak.

c. MRI

MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi


badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk
abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini.Untuk
mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial,
dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya
lesi noncontiguous.
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal- T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian
jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis (Zuwanda & Janitra, 2013).

2) Laboraturium
a. Darah
Secara umum, sama
penyakit
ditemukan

dengan

kronik

penderita

lainnya,sering

anemia

hipokrom.

Hitung-

jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada hitung jenis
ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat
menjadi indicator aktivitas penyakit.
b. Tes Tuberkulin
Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi
pada tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes
Mantoux negatif. Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif ; sedangkan
indurasi 5 9 mm meragukan dan perlu diulang.
c. Bakteriologi
Untuk pemeriksaan

balteriologik

dan

histopatologik

diperlukan

pengambilan bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan


dengan cara fine needle aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted
thoracoscopy. Pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan yang diambil
dengan biopsi dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik biasa,

mikroskopik fluoresen atau biakan. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat


dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan Thiam Hok, Kinyoun-Gabbet atau
denagn metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan auramine dan
rhodamine.
Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per ml sputum..
Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan
apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian
pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas
hasil pemeriksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation
dari bahan pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium
hypochloride diikuti dengan sedimentasi selama satu malam.
Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa
lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada
pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.
5. Kultur
Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi
melalui media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan
mikroskopis, dapat mendeteksi hingga 10 bakteri per ml ; kultur dapat
melihat perkembangan organisme yang diperlukan untuk identifikasi yang
akurat dan dengan pembiakan kuman dapat dilakukan resistensi tes terhadap
obat-obat anti tuberkulosa.
6. Histopatologi
Secara histopatologik, hasil biopsi member gambaran granuloma
epiteloid yang khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid
yang khas.
7. PCR
Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu
yang berbeda. Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah
suatu proses amplifikasi DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang
dihasilkan bertindak sebagai template untuk siklus berikutnya sehingga setiap
siklus menghasilkan produk secara eksponensial. Dengan kemampuan ini
PCR dapat mendeteksi basil tuberkulosa yang jumlahnya tidak cukup untuk
bisa diperiksa secara mikroskopis atau bakteriologis. Jumlah kuman 10
1000 sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan ini.
Target yang paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah
IS6110. Deteksi dengan menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum
(pada tuberkulosa paru) dan darah (pada tuberkulosa diluar paru).
Pemeriksaan PCR memberikan sensitifitas 94.7% , spesifisitas 83.3% dan

akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari spondilitis


tuberkulosa.
8. ICT Tuberkulosis
Tes immunokromatografi untuk mendeteksi mikobakterium tuberkulosa
atau ICT Tuberkulosis adalah suatu pemeriksaan serodiagnostik dengan
mengembangkan antigen untuk mendetekdi antibodi yang dihasilkan oleh
tubuh penderita. Pemeriksaan ini menggunakan membran atau strip
nitroselulose yang disensitisasi dengan antigen. Teknik pemeriksaan dengan
metode ini cepat dan mudah. Strip dapat dibaca secara manual atau dibaca
oleh densitometer. Antigen yang paling sering digunakan untuk mendiagnosa
tuberkulosis adalah antigen 38 kDa dengan sensitifitas 45% 85% dan
spesifisitas 98% (Moesbar, 2006).
H. Penatalaksanaan
1) Terapi Konservatif
a. Pemberian nutrisi yang bergizi
b. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi
pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini
obat antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang
menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang
menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk
kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi
ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi
bakteri tidak harus menunda pemberian terapi (Vitriana, 2002).
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan
untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah
kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6
9 bulan (Vitriana, 2002).
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini
atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat
diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya
resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah
masalah kepatuhan pasien (Vitriana, 2002).
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal
yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan
ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat

akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat
mengalami resistensi sekunder (Vitriana, 2002).
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Di bawah adalah
penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
a) Isoniazid (INH)
1. Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
2. Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
3. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
4. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
5. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak
pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi
piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian
suplemen piridoksin).
6. Relatif aman untuk kehamilan
7. Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari

b) Rifampin (RMP)
1. Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun
lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
2. Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling
rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
3. Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia
dalam bentuk sediaan oral dan intravena.
4. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
5. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose
dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila
dikombinasi dengan INH.
6. Relatif aman untuk kehamilan
7. Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.
c) Pyrazinamide (PZA)

1. Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan


yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam
makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
2. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
3. Efek samping :
Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah
bila diberikan dalam jangka pendek. Asam urat akan meningkat, akan
tetapi kondisi gout jarang tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi
tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
4. Dosis : 15-30mg/kg/hari
d) Ethambutol (EMB)
1. Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
2. Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
3. Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya
kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya
central scotoma.
4. Relatif aman untuk kehamilan
5. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
6. Dosis : 15-25 mg/kg/hari
e) Streptomycin (STM)
1. Bersifat bakterisidal
2. Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
3. Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
4. Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan
vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
5. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
6. Dosis : 15 mg/kg/hari 1 g/kg/hari (Vitriana, 2002)
c. Istirahat di tempat tidur
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan
akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 4 minggu,
sampai dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris.
Nyeri akan berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu
makan pulih dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara
laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10 mm. Pada
pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi
ataupun sekuester (Moesbar, 2006).
d. Imobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat
dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal,
torakolumbal dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips
korset disertai fiksasi pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya

berlangsung 6 bulan, dimulai sejak penderita diizinkan berobat jalan


(Moesbar, 2006).

2) Terapi Operatif
Tujuan

terapi

operatif

adalah

menghilangkan

sumber

infeksi,

mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan


lebih lanjut. Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang
bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan
jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.
Indikasi operasi :
1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara
klinis dan radiologis memburuk.
2. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, terdapat abses paravertebral
4. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak.
Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak
dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.
5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Epi, I. G., Purniti, P. S., Subanada, I. B., & Astawa, P. (2008). Spondilitis
Tuberkulosis. Sari Pediatri , 177-183.
2. Moesbar, N. (2006). Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah Kedokteran
Nusantara Volume 39 , 279-289.
3. Vitriana. (2002). Spondilitis Tuberkulosa. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi FK-UNPAD.
4. Zuwanda, & Janitra, R. (2013). Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK-208 , 661-673.

S-ar putea să vă placă și