Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
Virus campak berada di secret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama
masa tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif
minimal 34 jam pada temperature kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku,
minimal 4 minggu disimpan dalam temperature 35C, dan beberapa hari pada suhu
0C. Virus tidak aktif pada pH rendah.4
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi
yang kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri
dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat
lonjong, terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) yang
merupakan struktur heliks nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar
seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung luar
berfungsi sebagai hemaglutinin.4
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan paling tinggi.
Apabila berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperature
kamar ia akan kehilangan 60% sifat inefektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37C
waktu paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu 56C hanya satu jam. Sebaliknya
virus ini mampu bertahan dalam keadaan dingin. Pada suhu -70C dengan media
protein ia dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya
mampu bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar
ultraviolet.4
Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi melalui droplet yang
terbawa melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari
setelah timbul ruam. Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangatlah minimal
dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik local, bebas
maupun berhbungan dengan sel mononuclear, kemudian mencapai kelenjar getah
bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan
dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikuler seperti limpa. Sel mononuclear
yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin),
sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap
infeksi turut aktif membelah.4
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahu secara
lengkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuknya focus infeksi yaitu ketika
virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring,
konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus.4
Pada hari ke 9-10, focus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan
konjungtiva akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel.
Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan
menimbulkan manifestasi klinis dari system saluran nafas diawali dengan keluhan
batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respons imun yang
terjadi ialah proses peradangan epitel pada system saliran nafas diikuti dengan
manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu
ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat tanda pasti
untuk menegakkan diagnosis.4
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14
sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibody humoral dapt dideteksi pada kulit.
Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami deficit sel-T.4
Focus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian
dengan imunofluoresens dan histologik menunjukkan adanya antigen campak dan
diduga terjadi suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan
saluran pernafasan memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneumonia, otitis media dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu pneumonia juga
dapat terjadi, selain itu campak dapat menyebabkan gizi kurang.4
Manifestasi Klinik
Diagnosis morbili dibuat berdasarkan kelompok gejala klinis yang sangat
berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi dalam
beberapa hari, diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari
belakang
bersamaan
meningkatnya
suhu
tubuh
dan
selanjutnya
mengalami
di
(bercak Koplik).4
mukosa
pipi
vang
Diagnosa Banding
o Rubela
Tidak diawali dengan masa prodromal yang spesifik. Eksantema pada rubella
berwarna merah muda, dan mulai timbul di leher dan muka dan menyebar ke seluruh
tubuh lebih cepat dari campak, biasanya dalam 24-48 jam sudah menyeluruh. Pada
hari ke 3 biasanya eksantema di bagian tubuh mulai memudar dan tinggal menyisakan
bagian ekstremitas saja, yang menghilang tanpa deskuamasi.
o Demam Skarlatina:
Kelainan kulit pada demam skarlatina biasanya timbul dalm 12 jam pertama sesudah
demam, batuk dan muntah. Gejala prodromal ini dapat berlangsung selama 2 hari.
o Eksantema subitum:
Ruam akan timbul bila suhu badan menjadi normal.
o Infeksi enterovirus
Ruam kulit cenderung kurang jelas dibandingkan dengan morbili. Sesuai dengan
derajat demam dan berat penyakitnya.
o Penyakit Ricketsia
Disertai batuk tetapi ruam kulit yang timbul biasanya tidak mengenai wajah yang
secara khas terlihat pada penyakit campak.
o Meningokoksemia
Disertai
ruam
kulit
yang
mirip
dengan
morbili,
tetapi
biasanya
tidak
Ruam kulit tidak disertai dengan batuk dan umumnya ruam kulit timbul setelah ada
riwayat penyuntikan atau menelan obat.5
Komplikasi
a) Laringitis akut
Laringitis timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas,
yang bertambah
parah
pada
saat
demam
mencapai
puncaknya.
Ditandai
dengan distress pernafasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika demam turun keadaan
akan membaik dan gejala akan menghilang.
b) Bronkopneumonia
Dapat disebabkan oleh virus morbili maupun akibat invasi bakteri. Ditandai dengan
batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanva ronki basah halus. Pada saat
suhu turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan menghilang,
kecuali batuk yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu
tidak juga turun pada saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus
berlangsung dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan
invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrat pada foto
toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Di
negara
sedang
Pada ibu hamil dapat terjadi abortus, partus prematurus dan kelainan kongenital pada
bayi
l) Aktivasi tuberculosis
m) Pneumomediastinal
n) Emfisema subkutan
o) Apendisitis
p) Gangguan gizi sampai kwasiorkhor.4
PENGOBATAN
Pasien morbili tanpa penyulit dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup
cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian
antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan.
Sedangkan pada morbili dengan penyulit, pasien perlu dirawat inap. Di rumah sakit
pasien campak dirawat di bangsal isolasi sistem pernafasan, diperlukan perbaikan
keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
Vitamin A 100.000 IU per oral diberikan satu kali, apabila terdapat malnutrisi
dilanjutkan 1500 IU tiap hari.
Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi penyulit
yang timbul, yaitu :
o Bronkopneumonia
Diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis intravena
dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalarn 4 dosis,
sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral selama 7-10
hari. Oksigen 2 liter/menit. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberkulin
dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji
tuberkulin bisanya negatif (anergi) pada saat anak menderita morbili. Gangguan reaksi
delayed hipersensitivity disebabkan oleh sel limfosit- T yang terganggu fungsinya.
o Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian cairan intravena
dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi.
o Otitis media
Seringkali disebabkan karena infeksi sekunder, sehingga perlu diberikan antibiotic
kotrimoksazol-sulfametoksazol (TMP 4 mg/ kgBB / hari dibagi dalam 2 dosis).
o Ensefalopati
Perlu reduksi jumlah pemeberian cairan hingga kebutuhan untuk mengurangi
edema otak, di samping pemberian kortikosteroid. Perlu dilakukan koreksi elektrolit
dan gangguan gas darah.4
Pencegahan
Pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulan. Program imunisasi
morbili secara luas baru dikembangkan pelaksanaanya pada tahun 1982. Pada tahun
1963 dibuat dua macam vaksin morbili, yaitu: (1) vaksin yang berasal dari virus
morbili yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonstone) (2) vaksin yang berasal dari
virus morbili yang dimatikan (virus morbili yang berada dalam larutan formalin yang
dicampur dengan garam alumunium), Walau demikian, vaksinasi tidak berarti
penyakit morbili tidak akan muncul tetapi mencegah keparahan dari penyakit
morbili.1,4
Sejak 1967 vaksin yang berasal dari virus morbili yang dimatikan
tidak
digunakan lagi karena efek proktesinya bersifat sementara dan menimbulkan gejala
atypical measles yang hebat. Sebaliknya, vaksin morbili yang berasal dari virus hidup
yang dilemahkan, dikembangkan dari Edmonstone strain menjadi strain Schwarz
(1965) dan kemudian menjadi strain Moraten (1968) dengan mengembang biakan
virusnya pada embrio ayam. Vaksin Edmonstone Zagreb merupakan hasil biakan
dalam human diploid cell yang dapat digunakan secara inhalasi atau aerosol dengan
hasil yang memuaskan.4
Dosis baku minimal pemberian vaksin morbili yang di lemahkan adalah 1.000
TCID-50 atau sebanyak 0,5 mL. Tetapi dalam hal vaksin hidup, pemberian dengan 20
TCID-50 saja mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Cara pemberian
yang dianjurkan adalah subkutan, walaupun dari data yang terbatas dilaporkan bahwa
pemberian secara intramuskular tampaknya mempunyai efektivitas yang sama dengan
subkutan.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo Sumarmo S Poorwo. Garna Herry. Hadinegoro Sri Rezeki S. Satari Hindra
Irawa. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed 2. Jakarta : Ilmu Kesehatan Anak
FKUI; 2012. 109-118.
2. Rahayu Tuti. Tumbelaka Alan R. Gambaran Klinis Penyakit Eksantema Akut Pada
Anak. Vol 4. No 3. Jakarta : Sari Pediatri; 2002. 104-113
3. Behrman Richard E. Kliegman Robert M. Arvin Ann M. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Ed 15. Vol 2. Jakarta : EGC. 2000. 1068-1071.
4. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ed
2. Jakarta : UKK infeksi & penyakit tropis IDAI; 2015. 109-118