Sunteți pe pagina 1din 22

KONSEP DASAR DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DIABETES MELITUS
1. Proses DM
Diabetes tipe 1. Pada diabetes tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pancreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat produksi g;ukosa yang
tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan
yang tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
dieksresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (polyuria) dan rasa haus (polididsia).
Definisi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalamkeadaan normal
insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan gluconeogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia.
Diabetes Tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama
yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa si dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi

intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk


menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
dieksresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika selsel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes
tipe II. Meskipun demikian diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka diabetes
tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala
tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,
polyuria, polydipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat
badan, karena resistensi insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan
merupakan unsur yang penting pula untuk meningkatkan efektivitas insulin.
Obat hipoglikemia oral dapat ditambahkan jika diet dan latihan tidak berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah. Jika penggunaan obat oral maksimal
tidak berhasil maka insulin dapat digunakan.

2. Tanda dan Gejala


Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita Diabetes
Melitus atau kencing manis yaitu dapat dilihat langsung dari efek peningkatan
kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai 160180 mg/dL dan urine penderita kencing manis yang mengandung gula
(glucose), sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala
dibawah ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita, yakni:
a. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)
b. Sering atau cepat merasa haus (Polydipsia)
c. Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)
d. Kadar gula yang tinggi dalam air seni (Glycossuria)
e. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
f. Kesemutan/mati rasa pada ujung saraf ditelapak tangan dan kaki
g. Cepat lelah dan lemah setiap waktu
h. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
i. Apabila luka/tergores proses penyembuhan akan berlangsung lambat.
j. Lebih mudah terkena infeksi pada kulit.

3. a. Patofisiologi

b. Komplikasi Diabetes Mellitus


Secara garis besar komplikasi Diabetes Mellitus dibagi menjadi dua yaitu
Komplikasi Akut dan Komplikasi Kronis.
Komplikasi Akut diantaranya:
1) Hipoglikemi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa)
secara abnormal rendah.Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan
kadar gula darah antara 70-110 mg/dL. Sementara pada penderita
diabetes, kadar gula darahnya tersebut berada pada tingkat terlalu tinggi
dan pada penderita hipoglikemia, kadar gula darahnya berada ( antara <
50 mg/dL ) atau < 80 mg/dL dengan gejala klinis.
Hipoglikemi pada diabetes mellitus terjadi karena:
a) Kelebihan obat/dosis obat terutana insulin atau obat hipoglikemia oral
b) Kebutuhan tubuh akan insulin yang relative menurun saat gagal ginjal
kronis, pasca persalinan
c) Asupan makanan yang tidak adekuat seperti julah kalori atau waktu
makan tidak tepat.
d) Kegiatan jasmani yang berlebihan.
Gejala dan tanda klinis hiperglikemi:
a) Fase Subliminal: kadar glukosa 50-75 mg/dL, Sekresi insulin menurun
dan glucagon meningkat, gejala klinis tidak ada.
b) Fase Aktival: kadar glukosa 20-50 mg/dL, gejala klinisnya seperti
berkeringat banyak, tremor, ketakutan, lapar, dan mual.

c) Fase neurologis: kadar glukosa <20 mg/dL, gangguan fungsi otal,


pusing, pandangan kabur, ketajaman mental menurun, motoric halus
menurun, kesadaran menurun, koma.
Pada klien, pemeriksaan fisik dengan gejala-gejala hipoglikemia
ditemukan muka pucat, tekanan darah rendah, penurunan kesadaran,
deficit neurologic fokal transien.
2) Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi
metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemi, asidosis, dan ketosis.
Terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau relative. KAD
atau hipoglikemi merupakan komplikasi akut dari diabetes mellitus yang
serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Tidak adanya insulin
atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, dapat disebabkan oleh:
a) Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
b) Keadaan sakit atau infeksi
c) Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis
dan tidak diobati.
Apabila jumlah insulin berkurang jumlah glukosa yang memasuki
sel akan berkurang juga . disamping itu produksi glukosa oleh hati
menjadi

tidak

terkendali.

Kedua

faktor

ini

akan

menimbulkan

hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan


dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air
dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diurisis osmotik yang ditandai
oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan
kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat
kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium,
kalium serta klorida selam periode waktu 24 jam. Akibat defisiensi insulin
yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak
bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton
oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang
berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan
mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila
bertumpuk dalam sirkulais darah, badan keton akan menimbulkan asidosis
metabolik.

Hiperglikemi pada ketoasidosis diabetik akan menimbulkan poliuri


dan polidipsi (peningktan rasa haus). Disamping itu pasien dapat
mengalami pengkihatan yang kabur, kelemahan dan sakit kepala . Pasien
dengan penurunann volume intravaskuler yang nyata mungkin akan
menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar
20 mmHg atau lebih pada saat berdiri). Penurunan volume dapat
menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi lemah dan cepat.
Ketosisi dan asidosisi yang merupakan ciri khas diabetes ketoasidosis
menimbulkan gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah dan
nyeri abdomen. Nyeri abdomen dan gejala-gejala fisik pada pemeriksaan
dapat

begitu

berat

sehingga

tampaknya

terjadi

sesuatu

proses

intrabdominal yang memerlukan tindakan pembedahan. Nafas pasien


mungkin berbau aseton (bau manis seperti buah) sebagai akibat dari
meningkatnya kadar badan keton. Selain itu hiperventilasi (didertai
pernapasan yang sangat dalam tetapi tidak berat/sulit) dapat terjadi.
Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi
asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton.
3) Hiperosmolar Non Ketotik
Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu sindrom yang ditandai
dengan hiperglikemia berat, hyperosmolar, dehidrasi berat tanda
ketoasidosis dan disertai penurunan kesadaran. Hiperosmolar Non Ketotik
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of
Awareness). Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis
osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari
intrasel keruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka
akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.
Komplikasi Kronis diantaranya:
1) Retinopati Diabetik
Kecurigaan akan diagnosis Diabetes Mellitus terkadang berawal
dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada
mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi

dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati Non Proliferatif dan Retinopati


Proliferatif. Retinopati Non Proliferatif merupakan stadium awal dengan
ditandai dengan adanya mikroaneurisma, sedangkan retino proliferative
ditandai dengan adanya pertumnuhan pembuluh darah kapiler, jaringan
ikat dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan control gula
darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak
dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, namun mungkin
menjadi lebih buruk jika dilakukan penurunan kadar gula darah yang
terlalu singkat.
2) Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu
faktor risiko coroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70%
penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi
koroner atau angina pectoris (nyeri dada paroksismal serta tertindih
benda berat dirasakan didaerah rahang, bahu, lengan, hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah
beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius
adalah infark miokardium, dimana nyeri menetap dan lebih hebat dan
tidak mereda dengan pemberian nitrat.
3) Neuropati Diabetik
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering
terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM.
Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom.
Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi
serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang
terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati
disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur saraf akibat
adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myoinositol,
penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur
syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.
Neuropati diabetikum melibatkan baik saraf perifer maupun saraf
pusat. Dulu perubahan neurologis ini dianggap sebagai efek sekunder
karena perubahan vasa nervosu, sampai akhirnya Thomas dan Lascelles

menemukan bahwa jarang sekali terjadi perubahan pada system vaskuler


lokal yang mendarahi saraf. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
neuropati perifer pada pasien DM disebabkan karena abnormalitas
metabolisme intrinsik sel Schwan yang melibatkan lebih dari satu enzim.
Nilai ambang proteksi kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf
sensorik kaki. Pada keadaan normal, rangsang nyeri yang diterima kaki
cepat mendapat respon dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih besar. Neuropati terjadi hampir 50%
pasien diabetes, berdampak pada deficit fungsi sensori. Destruksi serabut
saraf kecil memulai terhadap nyeri diabetes neuropati dan hampir sering
ditandai dengan disturbansi sensorik dan memacu progesi kearah ulkus
kaki. Proses ini akan menyebabkan Charcot kaki dan beberapa
komplikasi lain. Pada penderita DM, adanya neuropati diabetikum akan
menyebabkan seorang penderita DM kurang atau tidak merasakan
adanya trauma baik mekanik, kemis maupun termis, keadaan ini
memudahkan terjadinya lesi atau ulserasi yang kemudian masuknya
mikroorganisme menyebabkan infeksi terjadilah selulitis atau gangrene.
Perubahan yang terjadi yang mudah ditunjukkan pada pemeriksaan rutin
adalah penurunan sensasi (rasa raba, panas, dingin, nyeri), nyeri
radikuler, hilangnya reflex tendon, hilangnya rasa vibrasi dan posisi,
anhidrosis, pembentukan kalus pada daerah tekanan, [erubahan bentuk
kaki karena atrofi otot, perubahan tulang dan sendi.
Pathogenesis neuropati diabetikum belum diketahui jelas. Ada
beberapa teori yang beredar seperti:
a) Teori Metabolik
Hiperglikemis menjadi pokok

masalahnya.

Hiperglikemia

mengakibatkan peningkatan glukosa intraselular dalam saraf,


sehingga memicu saturasi pada jalur glikolitik norma. Glukosa yang
berlebih akan masuk ke dalam jalur polyol dan diubah menjadi
sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reduktase dan sorbitol
dehydrogenase. Akumulasi sorbitol dan fruktosa menyebabkan
berkurangnya saraf myoinositol melalui mekanisme yang belum
jelas.

Meskipun

terjadi

penurunan

aktivitas

membran

Na+/K+ATPase, kerusakan transport aksonal, dan kerusakan struktur


saraf. Akhir dari semua itu adalah terganggunya perambatan
potensial aksi saraf.
b) Reactive Oxygen Species (ROS)
Merupakan radikal bebas dimana pada DM terbentuk dari
mekanisme glikolisasi (advanced glycosylationend product). Jalur
polyol aktivitas protein jinase C, aktivitas MAPK, dan dalam
mitokondria. ROS merusak mikrovaskular melalui beberapa cara
yaitu penebalan membrane basalis, thrombosis pada arteriol
intraneural, peningkatan agregasi trimbosit dan berkurangnya
deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran darah saraf dan
peningkatan resistensi vascular, statis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Iskemia merupakan
penyebab berkembangnya gangrene pasien DM yang meliputi
makroangiopati. Peningkatan stress menyebabkan kerusakan endotel
vascular dan mengurangi biovaibilitas nitrit oksida. Nitrit oksida
yang berlebihan akan memicu terbentuknya peroxynitrit dan
merusak endothelium dan saraf. Proses itu dikenal dengan stress
nitrosative.
c) Autoimun
Dugaan autoimun berperan dalam neuropati diabetic karena dalam
sebuah populasi DM ditemukan antineural antibodies yang beredar
dan secara langsung dapat merusak saraf motoric dan sensorik yang
dapat dideteksi dengan imunofluoresens indirek. Berkurangnya
neurotrophic growth factors, defisiensi asam lemak esensial, dan
terbentuknya hasil akhir glikosilasi yang menumpuk di pembuluh
darah endoneurial juga mengurangi aliran darah endoneuril dan
hipoksia saraf.
Klasifikasi Neuropati Diabetikum
Berdasarkan perjalanan penyakit, neuropati diabetik awal muncul
sebagai akibat dari perubahan biokomiawi dimana belum terdapat
kelainan patologik dan masih reversible. Fase itu dikenal dengan
neuropati fungsional (subklinis). Selanjutnya ketika gagal sudah dapat

dikeluhkan oleh pasien berarti kerusakan sudah melibatkan struktur


serabut saraf, namun masih terdapat komponen reversible. Fase itu
disebut neuropati struktur (klinis). Kerusakan struktur yang dibiarkan
begitu saja lama kelamaan akan mencapai tahap akhir yaitu kematian
neuron yang sifatnya irreversible. Di sisi lain, berdasarkan serabut saraf
yang terkena, neuropati diabetik dibagi menjadi 2 yaitu neuropati
sensormotor dan neuropati otonom.
a) Neuropati Sensorimotor
Kerusakan pada saraf sensori biasanya pertama akali mengenai
akson terpanjang, menimbulkan pola kaos kaki dan sarung tangan.
Kerusakan pada serabut saraf kecil akan mengganggu persepsi
pasien akan sensasi suhu, raba halus, pinprick, dan nyeri. Sedangkan
pada serabut saraf besar, pasien dapat kehilangan sensasi getar,
posisi, kekuatan otot, deskriminasi tajam-tumpul, dan deskriminasi
dua titik. Di samping itu, pasien dapat mengeluh nyeri pada bilateral
disertai atrofi otot iliopsoas, quadriceps dan adductor. Secara objektif
kita dapat menilai adanya gangguan sensori sesuai segmen L2, L3,
dan L4. Sementara itu, elektromiografi (EMG) memperlihatkan
gambaran poliradikulopati.
b) Neuropati otonom.
Neuropati otonom umumnya ditemukan pada pasien yang menderita
diabetes jangka lama. Neuropati otonom terjadi pada 40% kasus
setelah menderita DM lebih dari 10 tahun. Apabila kasus
asimtomatik dimasukkan maka jumlahnya mencapai 50%. Distribusi
saraf otonom memelihara system dan oragan organ tubuh internal
seperti

system

kardiovaskuler,

gastrointestinal,

urogenital,

termoregulasi, dan ocular. Bersama dengan kelenjar endokrin


aktivitas saraf otonom diperlukan untuk menjaga kestabilan
lingkungan termis dan biokimiawi internal tubuh yang disebut
homeostasis. Dengan demikian komplikasi neuropati otonom dapat
mempengaruhi fungsi banyak system dan organ yang sangat
membahaykan

penderita,

seandainya

melibatkan

system

kardiovaskuler. Pada ekstremitas bawah, neuropati otonom dapat


menyebabkan arteriovenosus shunting, dan dapat juga menyebabkan

vasodilatasi di arteri-arteri kecil. Anomalitas pada neuropti otonom


juga bertanggung jawab terhadap penurunan aktivitas kelenjar
keringat di kaki. Perubahan ini pada kaki pasien diabetik akan
menyebabkan kulit kering dan timbul fisura yang menjsdi
predisposisi terhadap infeksi kaki. Neuropati motorik di kaki
menyebabkan lemahnya otot-otot intrinsik kecil yang secara klasikal
disebut intrinsicminus kaki.

Hal ini akan memicu adanya

ketidakseimbangan muscular dengan tanda yang khas yaitu infeksi


pada plantar kaki. Kepentingan gangguann otot intrinsic pada caput
metatarsal dan digiti berperan sebagai titik tekanan pada kaki dengan
kemungkinan iritasi dari terhadap sepatu atau peralatan lain yang
dipakai dikaki sebagai salah satu penyebab ulkus kaki diabetik.
Pasien diabetik mengalami kerentanan terhadap abnormalitas
musculoskleletal kaki, seperti neuropati atropi. Neuropati atropi
ditandai dengan kronik, progresif, proses degenerative dari 1 atau
lebih sendi dan ditandai pembengkakan, perdarahan, peningkatan
suhu, perubahan tulang dan instabilitas sendi. Polineuropati
simetrikal pada bagian distal merupakan sebuah komplikasi dari
diabetes dan berperan sebagai penyebab utama ulkus kaki diabetes
dan berdampak pada bagian sensorik dan motoric system saraf tepi.
Terdapat hubungan signifikan antara neuropati dengan atropi otot
pada tungkai bawah pada pasien diabetes mellitus.
4. Asuhan Keperawatan pada Pasien Diabetes Mellitus
A. PENGKAJIAN
1. Data Subyektif
a. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan, kebangsaan,
suku, pendidikan, no register, diagnose medis
b. Keluhan Utama
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada
kulit yang disertai bisul/lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan/rasa
berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga
mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB

menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri perut, kramotot,


gangguan

tidur/istirahat,

haus-haus,

pusing-pusing/sakit

kepala,

kesulitan orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria.


c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
2) Riwayat Penyakit Dahulu
a) Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional
b) Riwayat ISK berulang
c) Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin
dan penoborbital.
d) Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan
e) Riwayat Kesehatan Keluarga.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
a) Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM
d. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit

yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta


respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat
2. Data Obyektif
a. Keadaan Umum
Meliputi keadaan sakit pasien (akut, kronik, ringan, sedang, berat),
tingkat kesadaran, dan tanda-tanda vital
b. Pemeriksaan Sistem Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek,
pembesaran tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak,
lesi/ulserasi/ulkus.
c. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
d. Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek


menelan ada.
e. Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak oedema.
f. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
g. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
h. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
i. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
j. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
k. Paru
1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
l. Jantung
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural,
hipertensi dysritmia, krekel, DVJ (GJK)
m. Abdomen
1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
n. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan BAB.
o. Pemeriksaan Kardiovaskuler

Klien fraktur mengalami denyut nadi meningkat terjadi respon nyeri


dan kecemasan, ada tidaknya hipertensi, takikardi perfusi jaringan dan
perdarahan akibat trauma
p. Pemeriksaan Sistem Muskuluskeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek
tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai.
q. Pemeriksaan Sistem Gastro Intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah
meringis pada palpitasi, bising usus lemah/menurun.
r. Pemeriksaan Sistem Ganitourinaria
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti produksi urin, warnaurin,
apakah ada hematovia/tidak, adakah disuria, kebersihan genital
s. Pemeriksaan Sistem Endokrin
Tidak ada perubahan yang menonjol seperti ada tidaknya pembesaran
thyroid/struma serta pembesaran kelenjar limfe.
t. Pemeriksaan Sistem Persyarafan
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan
mental, reflek tendon menurun, aktifitas kejang.
3. Pemeriksaan Diagnostik.
a. Gula darah meningkat > 200 mg/dl
b. Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
c. Osmolaritas serum: meningkat tapi < 330 m osm/lt
d. Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)
e. Alkalosis respiratorik
f. Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis,
hemokonsentrasi, menunjukkan respon terhadap stress/infeksi.
g. Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan
fungsi ginjal.
h. Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut.
i. Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I),
normal sampai meningkat pada tipe II yang mengindikasikan
insufisiensi insulin.
j. Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat
meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
k. Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin
l.

meningkat.
Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran
kemih, infeksi pada luka.

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda dan


gejala hiperglikemia dan pada faktor fisik, emosional, serta social yang
dapat mempengeruhi kemampuan pasien untuk mempelajari dan
melaksanakan berbagai aktivitas perawatan mendiri diabetes. Pasien dikaji
dan diminta menjelaskan gejala yang mendahului diagnosis diabetes,
seperti polyuria, polydipsia, polifagia, kulit kering, penglihatan kabur,
penurunan berat badan, dan ulkus yang lama sembuh.
Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk
mendeteksi tanda tanda ketoasidosis diabetic, dan letargi. Pasien ditanya
tentang gejala ketoasidosis diabetic seperti mual, muntah dan nyeri
abdomen, hasil lab dipantau untuk mengenali tanda asidosis metabolic
seperti penurunan nilai pH serta kadar bikarbonat dan untuk mendeteksi
tanda gangguan keseimbangan elektrolit.
Pasien diabetis tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda tanda
sindrom HHNK, mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan
turgor kulit, nilai laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda
hiperosmolaritas

dan

ketidakseimbangan

elektrolit.

Jika

pasien

memperlihatkan tanda dan gejala ketoasidosis diabetic atau sindrom


HHNK, asuhan keperawatan harus berfokus pada terapi komplikasi akut,
setelah semua komplikasi tersebut diatasi, asuhan keperawatan kemudian
diarahkan kepada penanganan diabetes jangka panjang. Pasien dikaji untuk
menemukan faktor-faktor fisik yang dapat mengganggu kemampuan dalam
mempelajari atau melakukan perawatan mandiri.
Perawat mengevaluasi situasi sosial pasien untuk mengidentifikasi
faktor

yang

dapat

mempengaruhi

terapi

diabetes

dan

rencana

pendidikannya, seperti:
a. Penurunan kemampuan membaca (mengkaji gangguan penglihatan
dengan cara menginstruksikan pasien untuk membaca bahan ajaran).
b. Keterbatasan sumber-sumber finansial/tidak memiliki asuransi
kesehatan
c. Ada tidak dukungan dari keluarga

d. Jadwal harian yang khas (pasien diminta untuk menyebutkan waktu


makan serta jumlah makanan yang biasa dikonsumsi setiap hari,
jadwal kerja serta olahraga, rencana untuk bepergian).
Status emosional pasien dikaji dengan mengamati sikap atau
tingkah laku yang tampak misalnya sikap menarik diri, cemas, dan bahasa
tubuh misalnya menghindari kontak mata. Tanyakan kepada pasien tentang
kekhawatiran yang utama dan ketakutannya terhadap penyakit diabetes
mellitus, pendekatan ini memungkinkan perawat mengkaji setiap
kesalahpahaman atau informasi keliru berkenaan dengan penyakitnya.
Keterampilan dalam mengatasi persoalan dikaji dengan menanyakan cara
pasien menghadapi berbagai situasi sulit yang dialami di masa lampau.

B. DIAGNOSA
Berdasarkan data hasil pengkajian, diagnosa keperawatan diagnose
keperawatan meliputi:
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan keseimbangan insulin, makanan dan akivitas
2)
3)
4)
5)

jasmani.
Resiko syok
Kerusakan integritas jaringan kulit bd perubahan kondisi metabolik
Resiko infeksi
Retensi urine berhubungan dengan inkomplit pengosongan kandung

kemih, sfingter kuat dan poliuri


6) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan sirkulasi darah ke perifer, proses penyakit Diabetes
Melitus.
7) Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan gejala
polyuria dan dehidrasi.
C. PERENCANAAN
NO

DX

TUJUAN DAN KRITERIA


HASIL

INTERVENSI

Ketidakseimbangan NOC
NIC
Nutritional
Status:
Nutritional Management:
nutrisi kurang dari
- Nutritional Status: food and - Kaji adanya alergi makanan
kebutuhan tubuh
fluid intake
- Kolaborasikan dengan ahli
- Nutritional Status: nutrient
gizi
untuk
menentukan
intake
jumlah kalori dan nutrisi
Kriteria hasil
yang dibutuhkan pasien
- Adanya peningkatan berat - Yakinkan diet yang dimakan
badan sesuai dengan tujuan
mengandung tinggi serat
- Berat badan ideal sesuai dengan
untuk mencegah konstipasi
tinggi badan
- Berikan
makanan
yang
- Mampu
mengidentifikasi
terpilih
(sudah
kebutuhan nutrisi
dikonsultasikan dengan ahli
- Tidak ada tanda malnutrisi
gizi)
- Menunjukkan
peningkata - Ajarkan pasien bagaimana
fungsi
pengecapan
dari
nenbuat catatan makanan
menelan
harian.
- Tidak terjadi penurunan berat - Monitor jumlah nutrisi dan
badan yang berarti.
kandungan kalori
- Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
- Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan.
Nutrition Monitoring
- Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang bisa dilakukan
- Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
- Monitor kalori dan intake
nutrisi

Resiko Syok

NOC
NIC
- Syok prevention
Syok prevention
- Syok management
- Monitor status sirkulasi BP,
Kriteria hasil:
warna kulit, suhu kulit,
- Nadi dalam batas yang
denyut jantung, HR, dan
diharapkan
ritme, nadi perifer dan
- Irama jantung dalam batas yang
kapiler refill.
diharapkan
- Monitor tanda inadekuat
- Frekuensi nafas dalam batas
oksigenasi jaringan
yang diharapkan
- Monitor suhu dan pernafasan
- Irama pernapasan dalam batas - Monitor input dan output
yang diharapkan
- Pantau nilai labor: HB, HT,

- Natrium serum dbn


- Kalium serum dbn
- Klorida serum dbn
- Kalsium serum dbn
- Magnesium serum dbn
- PH darah serum dbn
Hidrasi
Indikator:
- Mata cekung tidak ditemukan
- Demam tidak ditemukan
- TD dbn
- Hematokrit dbn

Kerusakan

AGD, dan elektrolit


Monitor hemodinamik invasi
yang sesuai
- Monitor tanda dan gejala
sites
- Monitor tanda awal syok
- Tempatkan
pasien
pada
posisi supine, kaki elevasi
untuk peningkatan preload
dengan tepat
- Lihat dan pelihara kepatenan
jalan nafas
- Berikan cairan iv dan atau
oral yang tepat
- Berikan vasodilator yang
tepat
- Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala
datangnya syok
- Ajarkan keluarga dan pasien
tentang
langkah
untuk
mengatasi gejala syok
Syok management
- Monitor fungsi neurologis
- Monitor fungsi renal
- Monitor tekanan nadi
- monitor status cairan input
dan output
- Catat gas darah arteri dan
oksigen dijaringan
- Monitor EKG
- Memantau
tren
dalam
parameter hemodinamik
- Memantau faktor penentu
pengiriman jaringan oksigen
- Memantau tingkat karbon
dioksida sublingual dan atau
tonometry lambung
- Memonitor gejala gagal
pernafasan.
-

NOC
NIC
- Tissue integrity: skin and Pressure
ulcer
prevention
integritas jaringan
mucous
wound care
kulit bd perubahan - Wound healing: primary and - Anjurkan
pasien
untuk
secondary intention
menggunakan pakaian yang
kondisi metabolik
Kriteria hasil:
longgar
- Perfusi jaringan normal
- Jaga kulit agar tetap bersih

Tidak ada tanda-tanda infeksi


Ketebalan dan tekstur jaringan
normal
Menunjukkan
pemahaman
dalam proses perbaikan kulit
dan mencegah terjadinya cidera
berulang
Menunjukkan terjadinya proses
penyembuhan luka

Resiko infeksi

NOC :
-

dan kering
Mobilisasi pasien setiap dua
jam sekali
Monitor kulit akan adanya
kemerahan
Monitor
aktivitas
dan
mobilisasi pasien
Monitor status nutrisi pasien

NIC :

Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control

Pertahankan teknik aseptif


Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum
dan

Kriteria hasil:
- Pasien bebas dari tanda dan
gejala infeksi
- Menunjukkan

kemampuan

keperawatan
Gunakan baju, sarung tangan

sebagai alat pelindung


Ganti letak IV perifer dan
dressing

genitourinaria
normal

dalam

sesuai

dengan

petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi

normal
- Menunjukkan perilaku hidup
sehat.
- Status imun, gastrointestinal,

tindakan

untuk mencegah timbulnya


infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas

sesudah

kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotic
Monitor tanda dan gejala

infeksi sistemik dan local


Pertahankan teknik isolasi

k/p
Inspeksi kulit dan membran

batas

mukosa

terhadap

kemerahan, panas, drainase


Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga

tanda dan gejala infeksi.


Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam

Retensi

urine NOC

NIC

berhubungan

- Urinary elimination
Urinary Retention Cara
- Urinary continency
- Monitor intake dan output
dengan inkomplit
Kriteria hasil:
- Monitor penggunaan obat
pengosongan
- Kandung kemih kosong secara
antikolionergik
penuh
- Monitor derajat distensi
kandung
kemih,
- Tidak ada residu urin >100-200
bladder
sfingter kuat dan
cc
- Instruksikan pada pasien dan
- Bebas dari ISK
keluarga untuk mencatat
poliuri
- Tidak ada spasme bladder
output urine
- Balance cairan seimbang
- Sediakan
privacy
untuk
eliminasi
- Stimulasi refleks bladder
dengan kompres dingin pada
abdomen
- Monitor tanda dan gejala ISK
Urinary
Eliminationt
Management
6

Ketidakefektifan
perfusi
perifer

jaringan 1. Circulation status


2. Tissue Prefusion : cerebral
Kriteria Hasil :

berhubungan
dengan penurunan
sirkulasi darah ke
perifer,
penyakit

NOC :

proses

Mendemonstrasikan status

NIC :
Peripheral
Management

terhadap

dalam rentang yang


diharapkan

b
c

b Tidak ada ortostatik hipertensi


d

lesi atau laserasi


Gunakan sarung

untuk proteksi
Batasi gerakan pada kepala,

f
g

leher dan punggung


Monitor kemampuan BAB
Kolaborasi
pemberian

analgetik
Monitor

tromboplebitis
Diskusikan

intrakranial (tidak lebih dari


15 mmHg)
Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang
ditandai dengan:
a

Berkomunikasi dengan jelas


dan sesuai dengan
kemampuan

Menunjukkan perhatian,

panas/dingin/tajam/tumpul
Monitor adanya paretese
Instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada

c Tidak ada tanda tanda


peningkatan tekanan

daerah

tertentu yang hanya peka

a Tekanan systole dan diastole

Melitus.

(Manajemen

sensasi perifer)
a Monitor adanya

sirkulasi yang ditandai dengan :

Diabetes

Sensation

tangan

adanya
menganai

penyebab perubahan sensasi

konsentrasi dan orientasi


c

Memproses informasi

Membuat keputusan dengan


benar.

Menunjukkan fungsi sensori


motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran mambaik,
tidak ada gerakan gerakan
7

involunter.
Resiko
NOC
NIC
- Fluid Balance
Fluid management
ketidakseimbangan
- Hydration
- Timbang
popok/pembalut
elektrolit
- Nutritional status: food and
jika diperlukan
fluid intake
- Pertahankan
intake
dan
berhubungan
Kriteria hasil
output
dengan
gejala - Mempertahankan urine output - Monitor status dehidrasi
sesuai dengan usia, BB, BJ - Monitor status nutrisi
polyuria
dan
urine norml, HT normal
- Berikan
penggantian
dehidrasi.
- TD, nadi, suhu tubuh dbn
nasogastric sesuai tujuan
- Tidak
ada
tanda-tanda Hypovolemia Management
dehidrasi, elastis turgor baik, - Monitor
status
cairan
membrane mukosa lembab,
termasuk intake dan output
tidak ada rasa haus yang
cairan
berlebihan
- Monitor tingkat Hb dan
hematokrit
- Monitor adanya gagal ginjal
- Monitor berat badan

D. IMPLEMENTASI
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan sesuai
dengan intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam
mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan secara mandiri
maupun kolaborasi dan rujukan.
E. EVALUASI

Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien


dan tujuan dengan melihat perkembangan klien. Evaluasi klien diabetes
mellitus dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
pada tujuan.

S-ar putea să vă placă și