Sunteți pe pagina 1din 16

1

CYSTOCENTESIS

Kelompok Va:
Septi Rubiyani B04061375 ( )
Septiani Purwanti H B04062593 ( )
Bahtiar Hidayat H B04062864 ( )
Khoirun Nisa B04063319 ( )
Ikrar Trisnaning H.U B04063461 ( )

Bagian Bedah dan Radiologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi


Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2010
BAB 1. PENDAHULUAN
2

A. Latar Belakang
Cystocentesis adalah suatu tindakan yang digunakan oleh dokter
hewan untuk mengkoleksi urin dari hewan. Jarum ditusukkan ke vesica
urinaria kemudian sampel urin diambil. Cystocentesis dapat dilakukan pada
hewan dengan posisi dorsal recumbency, lateral recumbency, atau oblique.
Posisi dari hewan tergantung dari pilihan operator saat melakukan
cystocentesis.
Cystocentesis biasanya menggunakan jarum berukuran 25 22, dan
spuid bervolume 3 ml, dengan posisi jarum saat pengambilan sampel urin
450. Cystocentesis dilakukan untuk mengambil sampel urin dari vesica
urinaria untuk pemeriksaan urinalysis, seperti adanya kontaminasi dari
bakteri, adanya ruptur sel, debris, atau infeksi saluran urinasi bagian bawah.
Cystocentesis juga dapat dilakukan tanpa melakukan pembedahan.
Tehnik ini lebih mengurangi rasa sakit yang dialami oleh hewan. Abdomen
dipalpasi untuk mengetahui posisi dari vesica urinaria dan ditahan agar tidak
bergeser. Cystocentesis sebaiknya dilakukan pada biagian apex dari vesica
urinaria. Area dilakukannya cystocentesis haruslah bersih dan steril,
sebelum dilakukan cystocentesis terlebih dahulu dibersihkan menggunakan
antiseptik.
Hal utama dari cystocentesis, jika sampel urin tidak diperoleh pada
tusukan pertama, percobaan berikutnya dilakukan tusukan sekitar 1- 2 cm
pada bagian cranial atau caudal dari tusukan yang pertama.
B. Tujuan
Mengetahui dan mampu mempraktekkan cystocentesis sebagai usaha
yang dilakukan oleh dokter hewan untuk mengkoleksi sampel urin untuk
pemeriksaan urinalysis, seperti adanya kontaminasi dari bakteri, adanya
ruptur sel, debris, atau infeksi saluran urinasi bagian bawah, serta sebagai
awalan sebelum melakukan cystotomi.

BAB 2. MATERIAL DAN METODE


A. Signalement Hewan

Nama hewan : Totori


Jenis Hewan : Kucing
Ras : Domestic House Cat (DHS)
Jenis Kelamin : Betina
Berat Badan : 2 kg
3

Umur : 6 Bulan
Warna : Abu-abu, putih
Tanda khusus : Ujung ekor bengkok

B. Bahan Praktikum
Bahan-bahan yang digunakan yaitu seekor kucing, alkohol 70%, NaCl
fisiologis, sediaan xilazine, sediaan ketamine, penisilin, betadine, antibiotik
oxytetracyclne, antibiotik amoxilin, sediaan atropin, revanol, benang catgut, dan
benang silk.
C. Alat Praktikum
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum yaitu seperangkat alat bedah
minor (4 buah towl clam, 2 buah pinset anatomis dan syrorgis, 1 gagang scalpel
dan balde, 3 buah gunting, 4 buah tang arteri lurus anatomis, 2 buah tang arteri
bengkok anatomis, 2 tang arteri lurus syrorgis, dan 1 buah needle holder),
perlengkapan operator dan asisten (2 buah penutup kepala, 2 buah masker, 4
buah sikat, 2 buah handuk, 2 pasang sarung tangan, dan 2 buah pakaian
bedah), needle berpenampang bulat, needle berpenampang segitiga, tampon,
spoit 3 ml, kain penutup, lap, koran, tali, timbangan, alat cukur, penggaris,
thermometer, dan stethoscope, dan stopwatch.
D. Langkah Kerja Praktikum
D.1. Persiapan Pra Operasi
1. Persiapan ruang operasi
Ruang operasi dibersihkan dari kotoran dengan disapu (dibersihkan dari
debu), kemudian disterilisasi dengan radiasi atau dengan desinfektan (alkohol
70%).
2. Persiapan peralatan
Satu set peralatan bedah minor disiapkan. Peralatan yang sudah dicuci
bersih dan dikeringkan ditata dalam wadah mulai dari needle holder, tang arteri,
gunting, scalpel, pinset syrorgis, pinset anatomis, dan towl clamp. Kemudian
wadah berisi peralatan tersebut dibungkus dengan dua lapis kain. Pertama, kain
lapis pertama disiapkan dan wadah diposisikan di tengah kain dengan posisi
sejajar. Sisi kain yang dekat dengan tubuh kita dilipat hingga menutupi wadah
dan ujung lainnya dilipat mendekati tubuh. Sisi kanan dilipat dilanjutkan dengan
sisi yang kiri. Kain lembar kedua disiapkan, wadah yang sudah terbungkus kain
lapis pertama diletakkan di tengah dengan posisi diagonal. Ujung kain yang
dekat tubuh dilipat hingga menutupi peralatan (wadah). Sisi kanan dilipat
4

dilanjutkan sisi kiri. Ujung lainnya dilipat mendekati tubuh dan diselipkan.
Peralatan yang sudah terbungkus dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu
100C selama 1 jam.
Selanjutnya pembukaan bungkusan sebelum operasi. Bungkusan paling
luar dibuka di belakang meja/jauh dari meja operasi. Kemasan diletakkan di
meja. Lipatan ditarik ke arah tubuh pembuka. Kemudian dilanjutkan dengan
menarik masing-masing ujung lipatan. Bungkusan diserahkan ke tim steril.
Bungkusan diletakkan ke meja steril/meja alat. Bungkusan yang lebih dalam
dibuka oleh tim steril dengan menarik lipatan ke arah tubuh. Diikuti dengan ujung
lipatan berikutnya kemudian kemudian diletakkan di atas meja alat yang steril.
3. Persiapan obat-obatan
Obat-obatan yang harus dipersiapkan adalah sebagai berikut:
- Desinfektan : Alkohol 70%
- Preanestesi : Atropin sulfa ( dosis 0,025 mg/kg BB )
- Sedatif : Xylazine ( dosis 2 mg/kg BB )
- Anestetik : Ketamin ( dosis 10-15 mg/kg BB )
- Anti pendarahan : Adona, vitamin K ( dosis 1-5 mg/kg BB )
- Cairan infus : NaCl Fisiologis, Ringer laktat
- Antibiotik : Oxytes ( dosis 14 mg/kg BB ), Amoxicillin ( dosis
20 mg/kg BB PO selama 5 hari post operasi ),
penicillin.
4. Persiapan perlengkapan operator dan asisten 1
Perlengkapan yang dibutuhkan operator dan asisten 1, yaitu tutup kepala,
masker, sikat tangan (2 buah per orang), handuk kecil, baju operasi, dan sarung
tangan. Perlengkapan-perlengkapan tersebut disterilisasi dengan urutan
tertentu. Baju operasi dilipat sedemikian hingga bagian yang bersinggungan
dengan pasien berada di dalam. Duk dilipat sedemikian hingga bagian yang
bersinggungan langsung dengan permukaan duk dilipat ke dalam. Baju operasi,
duk serta perlengkapan yang lain kemudian dibungkus dengan dua lapis kain
seperti membungkus peralatan dengan urutan dari bawah, yaitu sarung tangan
yang sudah dibungkus dengan kertas/plastik/alumunium foil, baju operasi yang
telah dilipat, handuk yang telah dilipat, dua sikat yang bersih, masker, dan yang
teratas penutup kepala. Kemudian perlengkapan yang sudah dibungkus
dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 60C selama 15-30 menit.
5

Pemakaian perlengkapan diawali dengan pembukaan bungkusan.


Perlengkapan yang telah disterilisasi dibuka bungkusnya sebagaimana
pembukaan bungkusan peralatan. Pertama operator dan asisten 1 mengenakan
penutup kepala (untuk operator dan asisten 1 berambut panjang, rambut diikat
dan dimasukkan). Kemudian operator dan asisten 1 mengenakan masker.
Operator dan asisten 1 mencuci tangan dengan prosedur yang tepat. Pertama
tangan kanan dan kiri dibasahi. Kemudian disikat dengan sikat yang sudah steril
dan sudah diberi sabun dari ujung jari dan sela-sela jari hingga siku. Kemudian
dibilas 10-15 kali, pembilasan juga dimulai dari ujung jari hingga siku. Setelah
mencuci tangan kanan dan kiri keran ditutup menggunaka siku. Tangan operator
dan asisten 1 dikeringkan dengan handuk. Masing-masing sisi handuk untuk satu
tangan. Operator dan asisten 1 memakai baju operasi, tangan operator dan
asisten 1 dimasukkan ke dalam baju yang masih terlipat. Kemudian dengan
dibantu asisten yang steril baju operasi dikancingkan. Operator dan asisten 1
memakai sarung tangan. Tangan kanan dimasukkan ke dalam sarung tangan,
hala yang harus diperhatikan adalah hindari tangan menyentuh bagian sarung
tangan yang akan bersinggungan dengan pasien. Dilanjutkan mengenakan
sarung tangan di tangan kiri. Operator dan asisten 1 siap melakukan operasi.
5. Persiapan Hewan
Kucing yang akan dioperasi terlebih dahulu diperiksa kondisi
kesehatannya. Kucing diukur suhu (suhu normal kucing 38-39,2C). Kucing
dihitung frekuensi nafas dan frekuensi jantungnya (frekuensi denyut jantung
normal kucing 120-130/menit, frekuensi nafas normal kucing 20-30/menit).
Kucing ditimbang berat badannya. Kucing diperhatikan limfonodusnya serta
mukosanya.
D.2. Operasi
Kucing diberi sediaan pre medikasi.
Atropin sulfas (0,25 mg)

Selang 10 menit, kucing diberi sediaan anestetikum


Xylazine (2%)
6

Ketamin HCl (10%)

Setelah kucing teranestesi, Bagian abdomen kucing dicukur rambutnya


dan didesinfeksi dengan alkohol 70%, dilanjutkan dengan pemberian iodium
tinctur. Pemberian Iodium tinctur diusap dari bagian tengah kemudian memutar
ke arah luar dan harus searah. keempat kakinya difiksir ke meja operasi. Kain
penutup dipasang pada hewan agar daerah orientasi terlihat dan difiksasi
menggunakan towl clam. Penyayatan dilakukan dengan metode laparotomi
medianus posterior. Sayatan dibuat pada garis tengah 1 cm di anterior os pubis
ke anterior sepanjang 3 cm. Unsur-unsur yang disayat dimulai dari kulit, lemak
subcutis, linea alba, dan peritoneum. Bladder/Vesika urinaria (VU) dikeluarkan
dan sekelilingnya diletakkan tampon kotak. Cystocentesis dilakukan
menggunakan spoit 1 ml dan jarum berukuran 22 G pada dinding dorsal yang
sedikit vaskularisasi. Setelah urin dikeluarkan, bladder direposisi dengan bagian
lokasi cystocentesis diselimuti menggunakan omentum. Penutupan sayatan pada
dinding abdomen diawali jahitan pertama untuk menutup sayatan peritoneum
(bagian yang mengkilat) sekaligus linea alba, jahitan kedua untuk menutup
sayatan pada lemak subcutis dan jahitan ketiga untuk lapisan kulit. Lapis jahitan
pertama menggunakan jahitan sederhana (simple suture), kedua dengan jahitan
bersambung (simple continuous suture), dan ketiga dengan jahitan subcutan.
Ketiga penjahitan menggunakan benang yang bisa diserap/absordable (catgut)
4/0. Penjahitan lapis pertama dan kedua menggunakan needle berpenampang
melingkar, sementara pada kulit digunakan needle berpenampang segitiga.
Hal-hal yang harus dikontrol pada waktu operasi, yaitu denyut jantung,
frekuensi nafas, frekuensi denyut jantung, diameter pupil, temperatur, tekanan
darah, warna membran mukosa, pendarahan, dan rasa nyeri. Selama
7

penyayatan hingga penutupan bagian sayatan tidak boleh dibiarkan kering


dengan memberi NaCl fisiologis. Sebelum penjahitan pada setiap lapisnya
ditetesi dengan antibiotik (penicillin) untuk menghindari terjadinya infeksi. Jahitan
ditutupi kasa dan perban kemudian dipakaikan gurita dari kain untuk
mengurangi beban tubuh kucing pada bagian jahitan dan jahitan pun cepat
melekat.
D.3. Perawatan Post Operasi
1. Perawatan kucing
Kucing diperiksa kesehatannya dan diukur lagi suhu, frekuensi nafas,
frekuensi denyut jantung, serta diameter pupil. Kemudian kucing diberi antibiotik.
Oxytetracyclin (20%)

Diperhatikan membran mukosa, limphonodus, dan selaput lendir. Selama


5 hari, kucing dimonitor suhu, frekuensi nafas, dan frekuensi denyut jantung pada
pagi, siang, dan malam. Kucing diberi makan dan minum serta antibiotik
Amoxicillin (dosis 20 mg/kg BB PO selama 5 hari post operasi).
Amoxicilin (25 mg/mL)

Bila perlu pasien kucing diberikan obat untuk mengatasi rasa nyeri
selama 1 sampai 3 hari setelah operasi serta antibiotik topikal (bioplasenton).
Plester dan perban diganti setelah 3 hari.
2. Pencucian peralatan
Alat setelah digunakan direndam dalam air yang diberi larutan pencuci.
Disikat, dimulai dari ujung yang paling steril (ujung yang pertama mengenai
pasien). Dibilas dengan air yang mengalir sebanyak 10-15 kali (dimulai dari ujung
yang pertama disikat). Dikeringkan dengan ditata di rak. Peralatan yang sudah
kering kemudian disterilisasi lagi seperti di awal tadi.
8

3. Pencucian perlengkapan
Masker, tutup kepala, handuk dan baju operasi yang telah selesai
digunakan dilaundri/dicuci dengan sabun, dibilas dan dikeringkan. Perlengkapan-
perlengkapan tersebut kemudian disterilisasi sebagaimana proses pra operasi
tadi.
4. Ruang operasi
Ruang operasi kembali dibersihkan dari kotoran/debu dengan disapu dan
disterilisasi baik dengan radiasi atauoun menggunakan desinfektan berupa
alkohol 70%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. DATA HASIL
Tabel 1 Hasil pengamatan terhadap suhu, frekuensi jantung, frekuensi nafas,
diameter pupil, warna mukosa, serta tonus otot pipi selama operasi

Status Menit Ke-


0 15 30 45 60 75 90 105
Suhu (oC) 38,6 38,3 36,1 35,9 35,7 35 34,9 34,3
Frek.jantung(x/menit) 100 120 128 104 100 92 92 104
Frek. Nafas(x/menit) 48 16 16 16 28 12 12 12
D Pupil (cm) 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9

Mukosa rose rose rose rose rose rose rose rose

Tonus otot pipi + - - - - - - -

Tabel 2 Hasil pengamatan terhadap suhu,frekuensi denyut jantung, frekuensi


nafas, nafsu makan, urinasi, dan defekasi selama 5 hari postoperatif
9

Pemeriksaan post operasi hari ke-

parameter I II III IV V

p s m p s m p s m p s m p s M

Nafas 48 - 40 48 40 40 44 48 44 44 44 44 24 36 40

Jantung 152 - 132 116 120 116 126 124 144 144 144 132 132 148 140

Suhu 39,4 - 39,8 39,5 40,1 39,5 39,5 39,1 39,1 38,1 38,8 39,2 38,2 39,2 -

Makan + +
+ + + + + + + + + + + + +

Minum +
- - + + + + + - + + + + + +

Urinasi +
+ + + + + + + + + + + + + +

Defekasi -
+ - - + + + + - + + + + + +

Skor
-
feses 4 - - 3 2 2 2 - 2 2 2 3 3 2

Jahitan basah basah kering kering kering

B. PEMBAHASAN

Cystocentesis adalah suatu tindakan yang digunakan oleh dokter hewan


untuk mengkoleksi urin dari hewan. Cystocentesis biasa dilakukan juga sebelum
cystotomi (penyayatan dinding bladder) bila kantung kemih (bladder/vesica
urinaria) penuh. Secara anatomis bladder terletak pada bagian hipogastrium
sehingga tindakan bedah diawali dengan laparotomi medianus posterior (lihat
lampiran 3 gambar 4 (A)). Lokasi penyayatan yakni pada 1 cm di anterior os
pubis sampai sepanjang 3 cm ke arah cranial atau tepat langsung pada posisi
bladder. Cystocentesis dilakukan dengan menarik keluar bladder dari rongga
perut sehingga bila sayatan tidak tepat di posisi bladder tentu akan menyulitkan.
10

Sumber: http://www.biologycorner.com/anatomy/digestive/cat/cat01.jpg
Gambar 1 Anatomi organ dalam kucing.

Sayatan dimulai dari kulit, kemudian lemak subcutis yang dalam hal ini
cukup tebal pada pasien (kucing bernama Totori). Setelah lapisan lemak subcutis
dikuakkan terlihat garis putih yang disebut linea alba, linea alba kemudian
disayat sekaligus dengan peritoneum. Omentum yang muncul ditarik keluar
untuk memudahkan eksplorasi. Setelah ditemukan, bladder langsung dikeluarkan
untuk mendapatkan dinding dorsal. Dalam mencari bladder diperlukan kehati-
hatian agar tidak tertukar dengan organ lain yang posisinya berdekatan. Perlu
dipahami bahwa dinding bladder pada umumnya tipis sehingga tampak
transparan dengan vaskularisasi yang banyak. Dinding bladder terdiri atas
empat lapis, yaitu lapis serosa yang bersinggungan dengan organ-organ lain,
lapisan muskular, lapisan submukosa, serta lapis mukosa yang berhadapan
dengan lumen bladder (Sahaja 2009).
Cystotomi ataupun cystocentesis sebaiknya dilakukan pada dinding
bagian dorsal bladder. Hal ini berkaitan dengan hukum gravitasi. Bladder
merupakan tempat penampungan urin, berdasarkan hukum gravitasi cairan
tentunya akan mengumpul di ventral. Bila sayatan dilakukan pada dinding bagian
ventral, tentu besar kemungkinan urin akan merembes ke rongga perut dan
menyebabkan peritonitis. Namun berdasarkan Duncan (2002) cystotomi dapat
dilakukan pada dinding bladder bagian ventral bila diperlukan identifikasi
dan/atau kateterisasi uretra terbuka. Pada operasi kali ini dilakukan tindakan
cystocetesis tanpa dilakukan cystotomi. Cystocentesis dilakukan pada dinding
bladder bagian dorsal dengan vaskularisasi yang sedikit (lihat lampiran gambar 4
(B)). Dalam hal ini seharusnya cystocentesis dilakukan dengan spoit 3 ml, namun
11

karena keterbatasan alat maka digunakan spoit 1 ml. Di sekitar bladder diberi
tampon agar urin tidak mengontaminasi rongga perut sehingga dapat
menimbulakan peritonitis. Volume urin yang dikeluarkan sekitar 3,5 ml. Volume
yang cukup sedikit ini dikarenakan pada saat bladder dikeluarkan, pasien urinasi.
Dari hasil pengamatan, bladder pasien normal dan tidak terdapat kalkuli.
Cystocentesis sebenarnya juga dapat dilakukan tanpa melakukan
pembedahan. Tehnik ini lebih mengurangi rasa sakit yang dialami oleh hewan.
Abdomen dipalpasi untuk mengetahui posisi dari vesica urinaria dan ditahan agar
tidak bergeser. Cystocentesis sebaiknya dilakukan pada bagian apex dari vesica
urinaria. Area dilakukannya cystocentesis haruslah bersih dan steril, sebelum
dilakukan cystocentesis terlebih dahulu dibersihkan menggunakan antiseptik. Hal
utama dari cystocentesis, jika sampel urin tidak diperoleh pada tusukan pertama,
percobaan berikutnya dilakukan tusukan sekitar 1- 2 cm pada bagian cranial atau
caudal dari tusukan yang pertama.
Cystotomi pada umunya dilakukan untuk mengeluarkan kalkuli yang
menyebabkan penyumbatan pada saluran kencing dan biasanya dibarengi
dengan biopsi mukosa serta kultur. Setelah dilakukan pembuangan kalkuli
melalui cystotomi, perlu dilakukan radiografi untuk memastikan semua kalkuli
sudah benar-benar dihilangkan dari bladder (Cornell 2000). Selain itu, cystotomy
juga dilakukan bila terdapat kista, untuk pengobatan kasus ureter ektopik, serta
untuk diagnosa infeksi saluran kencing resisten (Duncan 2002). Sayatan diawali
pada lapisan serosa sampai lapisan mukosa. Menurut Duncan (2002) penjahitan
pada cystotomy bisa dilakukan dengan jahitan tunggal, ganda, bahkan triplet
bergantung pada ketebalan dinding bladder. Bila dinding bladder cukup tebal
maka hanya dilakukan jahitan tunggal, dan jahitan sebaiknya tidak menembus
hingga ke lumen. Namun pada umumnya dilakukan jahitan ganda dengan lapis
pertama pada seromuskular menggunakan jahitan cushing diikuti jahitan lambert.
Bahkan kadang dilakukan tiga lapis jahitan, dalam hal ini mukosa dijahit
tersendiri menggunakan jahitan bersambung (simple continuous suture).
Sebelum dilakukan penjahitan peritoneum dan linea alba, bladder
direposisi dengan lokasi injeksi (cystocentesis) diselimuti dengan omentum untuk
mempercepat persembuhan. Peritoneum dan linea alba dijahit dengan jahitan
sederhana menggunakan benang catgut yang dapat diserap oleh tubuh serta
jarum (needle) berpenampang bulat untuk jaringan lunak (lihat lampiran 3
gambar 4 (C)). Jahitan selalu diawali dari ujung dan pangkal sayatan kemudian
12

tengah berlanjut hingga sayatan tertutup rapat. Selanjutnya dilakukan penjahitan


lemak subcutis karena lapisan lemak yang cukup tebal dengan simple
continuous suture yang tidak terlalu rapat. Pada lapis kulit dilakukan penjahitan
subcutan menggunakan benang absordable dan jarum berpenampang segitiga
(lihat lampiran 3 gambar 4 (D)). Penjahitan subcutan (subcuticular) untuk
menutup sayatan pada kulit menurut Fick (2005) dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya inflamasi (peradangan) pada luka postoperatif dan menurut Frishman
(1997) dari segi kosmetik jahitan subcutan terlihat lebih rapi dan estetis (lihat
lampiran 3 gambar 4 (E)). Seperti halnya pada operasi laparotomi, pemberian
antibiotik profilaksis tidak boleh diabaikan. Pada operasi kali ini, dilakukan
pemberian antibiotik penicillin secara topikal pada sayatan sebelum dan sesudah
penjahitan peritoneum dan linea alba. Juga pemberian oxytetracyclin secara
intramuskuler setelah selesai operasi.
Berdasarkan data hasil pengamatan (lihat tabel 1, lampiran 1 gambar 2
(A)), suhu pasien saat operasi menurun. Hal ini memang normal terjadi karena
rendahnya aktivitas metabolisme tubuh akibat anestesi. Efek sediaan
anestetikum juga terlihat dari frekuensi denyut jantung dan nafas yang relatif
menurun, serta adanya dilatasi pupil (lihat lampiran 1 gambar 2 (B),(C),(D)).
Untuk anestesi digunakan sediaan ketamine HCl sebagai sediaan anestetikum
general karena sediaan ini selain onsetnya yang cepat juga memiliki efek
analgesik (penghilang rasa nyeri), dikombinasikan dengan xylazine untuk
memberi efek sedatif karena bersifat muscle relaxant yang tidak dimiliki ketamine
HCl. Pada saat maintenance hanya diberikan sediaan ketamine HCl saja karena
durasi xylazine cukup lama yakni sekitar 1-2 jam (Plumb 2005).
Kondisi pasien postoperatif cukup baik. Pasien sadar pada menit ke-105
dari awal operasi dan dapat tengkurap pada menit ke- 110. Namun pada saat itu
pasien masih mengalami hipotermi, sampai menit ke-120 suhu tubuhnya masih
34,7C. Tapi kondisi ini tidak berlangsung lama. Tubuh pasien cepat beradaptasi
dan suhunya cenderung stabil hingga 5 hari postoperatif (lihat tabel 2; lampiran 2
gambar 3(A)). Frekuensi nafas serta denyut jantung memang tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan ukuran normal pada kucing, tapi pada pengukuran
sebelum operasi juga didapat nilai yang hampir sama dengan kata lain
dimungkinkan ini memang merupakan fisiologis kucing tersebut (lihat lampiran 2
gambar 3 (B), (C)).
13

Kondisi jahitan kulit dapat membuktikan bahwa jahitan subkutan memang


lebih baik jika dibandingkan dengan jahitan sederhana. Lapisan kulit terlihat rapi
dan estetis. Namun pada jahitan tampak ada sedikit benjolan, mungkin
dikarenakan jahitan pada lapisan linea alba dan peritoneum kurang baik.
Masalah penjahitan ini tidak mempengaruhi kesehatan pasien karena selain
suhu,frekuensi nafas, dan frekuensi denyut jantung yang normal; nafsu makan
kucing baik dan kucing juga tidak terlihat lemas. Pada hari ke-2 postoperatif
kucing konsistensi feses kucing sempat agak lembek, diduga pakan yang
diberikan basi. Kucing tidak diberikan terapi khusus melainkan penggantian
pakan saja, dan kondisi ini tidak berlangsung lama.

SIMPULAN
Cystocentesis dengan bedah dilakukan pada wilayah hipogastrium dan
diawali laparotomi medianus posterior. Cystocentesis sebaiknya dilakukan pada
dinding bladder bagian dorsal dengan vaskularisasi yang sedikit. Cystocentesis
merupakan cystotomi paling sederhana, yaitu mengeluarkan urin menggunakan
spoit 3 ml dan jarum 25-22 G.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Internal anatomy of Cat. [terhubung berkala]


http://www.biologycorner.com/anatomy/digestive/cat/cat01.jpg (16 Maret
2010)
Cornell KK. 2000. Cystotomy, partial cystectomy, and tube cystostomy. Abstract.
Clinical Techniques in Small Animal Practice 15(1):11-16.
Duncan LL. 2002. Small Animal Surgery. Missouri: Mosby.
Frishman GN, T Schwartz, JW Hogan. 1997. Closure of Pfannenstiel skin
incisions. Staples vs. subcuticular suture. Abstract. J Reprod Med.
42(10):627-30.
Fick JL, RE Novo, N Kirchhof. 2005. Comparison of gross and histologic tissue
responses of skin incisions closed by use of absorbable subcuticular
staples, cutaneous metal staples, and polyglactin 910 suture in pigs.
Abstract. American Journal of Veterinary Research 66(11):1975-1984.
Sahaja. 2009. The anatomy, histology and development of the ureter, urinary
vesicle and urethra. [terhubung berkala]
http://anatomytopics.wordpress.com/2009/01/06/36-the-anatomy-
histology-and-development-of-the-ureter-urinary-vesicle-and-urethra/ (16
Maret 2010).
14

LAMPIRAN
Lampiran I

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 2 Grafik hasil Pengamatan suhu (A), frekuensi


denyut jantung (B), frekuensi nafas (C), dan
diameter pupil (D) saat operasi.
15

Lampiran 2

Suhu (C)

(A)

(B)

(C)
16

Gambar 3 Grafik hasil pengamatan suhu (A), frekuensi


Lampiran 3 denyut jantung (B), frekuensi nafas (C) selama 5
hari postoperatif.

(A) (B)

(C) (D)

(E)

(F)

Gambar 4 Proses Operasi: Laparotomi medianus posterior


(A), Cystocentesis (B), Penjahitan linea alba dan
peritoneum (C), Penjahitan subkutan pada lapisan
kulit (D), hasil penjahitan subkutan (E).

S-ar putea să vă placă și