Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
DIAGNOSIS KEMISKINAN
Kemiskinan tidak hanya ditentukan oleh ukuran pendapatan, tetapi juga menyangkut
pemenuhan hak-hak dasar dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.
Pemahaman terhadap suara masyarakat miskin merupakan bagian integral dari
penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan.
2.1
Definisi Kemiskinan
berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang
dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai.
54,2
47.9
50
40
43.2
40.1
35
30
30
28.6
27.2
37.4
18.2
17.4
2002
2003
25.9
22.5
23.4
21.6
20
38.4
34.5
17.4
17.5
15.1
13.7
11.3
1990
1993
1996
10
0
1976
1980
Sumber : BPS
1984
1987
1996
1999
% penduduk miskin
2.3
Permasalahan kemiskinan
10
Gambar
2.3 Me nurut
Metode
Direvisi
Pe rse
ntase
Balita
2 0 .0 %
1 8 .0 %
1 6 .0 %
1 4 .0 %
1 2 .0 %
1 0 .0 %
8 .0 %
6 .0 %
4 .0 %
2 .0 %
0 .0 %
Buruk
Kurang
Asupan gizi anggota keluarga dalam satu
rumahtangga miskin berbeda antara perempuan dan
2002
2003
anak perempuan dengan laki-laki dan anak laki-laki.
Hal ini terjadi karena dalam hal makan, budaya masyarakat lebih mendahulukan
bapak, kemudian anak laki-laki, baru kemudian anak perempuan dan terakhir ibu.
Buruknya kondisi gizi ibu hamil akibat kebiasaan tersebut mengakibatkan tingginya
angka kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.
Buruknya kondisi gizi ibu juga terlihat dari hasil pengukuran lingkar lengan
atas. Berdasarkan ukuran ini, perempuan usia subur (PUS) yang berstatus gizi kurang
pada tahun 2003 adalah sekitar 17%, yaitu 18% di perdesaan dan 16% di perkotaan.
Perbedaan status gizi perempuan antardaerah terlihat cukup besar. Angka prevalensi
gizi kurang pada PUS di Nusa Tenggara Timur mencapai 30%, tetapi di Kalimantan
Tengah dan Sulawesi Utara hanya 8%.
2.3.1.2
Kondisi badan yang sehat merupakan modal masyarakat miskin untuk bekerja
dan mencari nafkah, tetapi akses mereka terhadap layanan kesehatan masih sangat
terbatas. Selain kecukupan pangan, masalah utama yang menyebabkan rendahnya
derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadap layanan
kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman
terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.
Pada umumnya tingkat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Angka
kematian bayi (AKB) pada kelompok berpendapatan rendah masih selalu di atas
AKB masyarakat berpendapatan tinggi, meskipun telah turun dari 61 (per 1000
kelahiran) pada tahun 1999 menjadi 64 pada tahun 2000, dan 53 pada tahun 2001.
Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih tingginya penyakit
menular seperti malaria, TBC, dan HIV/AIDS. Sekitar 46,3% penduduk atau lebih
dari 90 juta orang hidup di daerah endemik malaria, dan beban penyakit terberat
11
terjadi di kawasan timur Indonesia. Jumlah penderita TBC setiap tahun bertambah
hampir 600.000 atau 280 kasus baru per 100.000 penduduk. Kerugian ekonomi yang
dialami masyarakat miskin akibat penyakit TBC sangat besar karena penderita TBC
tidak dapat bekerja selama 3-4 bulan. Penyakit HIV juga berpengaruh langsung
terhadap penduduk usia produktif dan para pencari nafkah dengan kasus yang terus
meningkat dan tercatat 345 kasus HIV pada tahun 2002. Kematian laki-laki dan
perempuan pencari nafkah yang disebabkan oleh penyakit tersebut berakibat pada
hilangnya pendapatan masyarakat miskin dan meningkatnya jumlah anak
yatim/piatu.
Rendahnya tingkat kesehatan miskin juga disebbakan oleh perilaku hidup
mereka yang tidak sehat. Sekitar 62,2% laki-laki berusia 15 tahun atau lebih
merokok, dan persentase di perdesaan lebih besar, yaitu sekitar 67%. Pengeluaran
rumahtangga untuk tembakau diperkirakan sekitar 4%, dengan tingkat konsumsi
yang meningkat sejalan dengan tingkat pendapatan. Kebiasaan merokok
menyebabkan meningkatnya beban biaya pengobatan kronis untuk orang yang
menderita kanker paru-paru dan penyakit lain yang berhubungan dengan tembakau,
dan menurunkan tingkat produktivitas pekerja.
Jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh dan biaya yang mahal merupakan
faktor penyebab utama rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap layanan
kesehatan yang bermutu. Masalah lainnya dalah rendahnya mutu layanan kesehatan
dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan
kurangnya sarana kesehatan. Indikator ketiadaan akses, sebagai ukuran tingkat
kesulitan menjangkau tempat layanan kesehatan terdekat, meningkat dari 21,6% pada
tahun 1999 menjadi 23,1% pada tahun 2002, dan indikator ketiadaan akses di Jakarta
(0,7%) jauh lebih rendah daripada di Way Kanan-Lampung (89%). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat miskin sulit untuk menjangkau layanan kesehatan
dan adanya kesenjangan antarwilayah dalam layanan kesehatan.
Pemanfaatan layanan kesehatan oleh kelompok masyarakat miskin umumnya
jauh lebih rendah dibanding kelompok kaya. Bagi 20% masyarakat berpenghasilan
terendah, layanan kesehatan yang sering digunakan adalah praktek petugas kesehatan
(34,3%) dan praktek dokter (19,7%). Praktek petugas kesehatan yang paling sering
dimanfaatkan oleh masyarakat miskin adalah bidan dan mantri yang lokasinya
terdekat dari tempat tinggal mereka. Kecenderungan penyebaran tenaga kesehatan
yang tidak merata dan terpusat di daerah perkotaan mengurangi akses terhadap
pelayanan kesehatan bermutu. Daerah dengan rata-rata jumlah dokter per 100.000
penduduk terendah adalah Maluku dan Kalimantan Barat (0,4), sedangkan rata-rata
jumlah dokter di Sulawesi Utara 1,5, di DKI 2,1, dan di Bali 3,2. Ketersediaan
sarana layanan kesehatan rujukan juga sangat timpang. Rasio tempat tidur Rumah
Sakit (RS) per 100.000 penduduk di DKI mencapai lebih dari 160, sementara di NTB
kurang dari 25.
Mahalnya biaya pengobatan merupakan salah satu keluhan utama masyarakat
miskin. Bertambahnya jumlah penduduk miskin yang diakibatkan oleh pengeluaran
kesehatan menunjukkan peningkatan dari 1,8 juta orang pada tahun 1999 menjadi 2,3
juta orang pada tahun 2001. Di samping itu jangkauan, jaminan kesehatan yang ada
masih sangat rendah. Data Susenas 2001 menunjukkan hanya 16% penduduk yang
memiliki salah satu bentuk jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya
12
sekitar 11,2% memiliki Kartu Sehat (KS) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh
pemegang KS masih rendah. Penyebab utama rendahnya pemanfaatan tersebut
adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan KS dan kurang jelasnya pelayanan
terhadap pemegang KS.
Rendahnya mutu dan terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan reproduksi
mengakibatkan tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka aborsi. Angka
kematian ibu (AKI) pada tahun 2001 tercatat 347 tiap 100.000 kelahiran hidup.
Angka ini terhitung tinggi dibanding negara-negara ASEAN. Secara umum terlihat
adanya peningkatan pemanfaatan tenaga kesehatan dalam persalinan oleh keluarga
miskin. Angka persalinan keluarga termiskin yang ditolong oleh tenaga kesehatan
meningkat dari 21% pada tahun 1995 menjadi hampir 40% pada tahun 2001.
Pemanfaatan tenaga kesehatan oleh kelompok terkaya adalah sekitar 82%, jauh lebih
tinggi dibanding pemanfaatan oleh kelompok miskin yang hanya sekitar 39%.
Pemanfaatan tenaga kesehatan tertinggi di DKI (96%) dan terendah (28,5%) di
Sulawesi Tenggara. Perbedaan antarkabupaten/kota bahkan lebih tajam. Perbedaan
tersebut menunjukkan rendahnya akses masyarakat miskin di perdesaan terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi. Distribusi tenaga bidan desa, sebagai tenaga
kesehatan yang diharapkan dapat membantu proses persalinan yang aman dan mudah
dijangkau juga masih belum merata. Angka Susenas 2001 memperlihatkan bahwa
hanya 45,83% kelahiran yang ditolong bidan di perdesaan. Jumlah bidan saat ini
sekitar 80.000 orang, namun jumlah bidan terus menurun dari 62.812 bidan pada
tahun 2000 menjadi 39.906 pada tahun 2003. Saat ini sekitar 22.906 desa tidak
memiliki bidan desa.
Rendahnya layanan kesehatan juga disebabkan oleh mahalnya alat kontrasepsi
sehingga masyarakat miskin tidak mampu mendapatkan layanan kesehatan
reproduksi. Peranan swasta cukup besar dalam layanan kesehatan reproduksi.
Sebagian besar perempuan (63%) mendapat layanan kontrasepsi dari swasta. Bagi
masyarakat miskin, layanan kesehatan reproduksi swasta terlalu mahal dan sulit
dijangkau. Sebagai akibat dari mahalnya biaya layanan kesehatan reproduksi, angka
prevalensi KB hanya sebesar 55%. Angka ini masih lebih rendah dari tingkat yang
diperlukan untuk mencapai Angka Fertilitas Total 2,1 sebesar 70%. Penggunaan
kontrasepsi pada kelompok masyarakat termiskin (52,4%) lebih rendah dibanding
kelompok terkaya (63,5%). Tidak terpenuhinya kebutuhan (unmet need) KB pada
tahun 2002/2003 tidak berbeda dengan angka tahun 1997. Hal ini menunjukkan
bahwa perempuan sebagai pengguna kontrasepsi terbesar menghadapi masalah
rendahnya mutu pelayanan dan efek samping penggunaan kontrasepsi.
2.3.1.3
13
belajar siswa, angka putus sekolah, sarana belajar, termasuk ketersediaan dan koleksi
perpustakaan.
Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan pendidikan dasar
terutama disebabkan terbatasnya jangkauan fasilitas pendidikan, tingginya beban
biaya pendidikan, terbatasnya prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah
sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, dan terbatasnya jumlah SLTP di
daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan.
Berdasarkan data Susenas, biaya pendidikan merupakan salah satu bagian yang
cukup besar dari pengeluaran rumahtangga berpendapatan rendah. Bagi rumhatangga
yang termasuk 20% dengan pengeluaran terendah, persentase biaya pendidikan per
anak terhadap total pengeluaran adalah 10% untuk SD, 18,5% untuk SLTP dan
28,4% untuk SLTA. Dari biaya pendidikan tersebut, 20% untuk transportasi, 10%
untuk membeli seragam dan biaya pendaftaran, dan pengeluaran lain-lain 11%.
Dari sisi ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan, meskipun jumlah
gedung SD/MI meningkat tetapi sebagian rusak parah, dan sebagian lagi rusak tapi
masih bisa digunakan. Persoalan mengenai terbatasnya peralatan penunjang kegiatan
belajar, jumlah guru yang kurang, rendahnya kemampuan guru yang dikemukakan
oleh masyarakat miskin, terutama di kalangan nelayan, petani lahan kering, dan
buruh tani pada akhirnya berdampak pada rendahnya mutu pendidikan yang
diperoleh anak-anak keluarga miskin.
Ditinjau dari jumlah dan persebaran SLTP/MTs, masih terjadi ketimpangan
terutama di daerah perdesaan. Hal ini mengakibatkan rendahnya APK dan APM
untuk jenjang SLTP/MTs di perdesaan. Pendidikan nonformal merupakan
pendidikan alternatif bagi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, baik yang putus
sekolah, tidak sekolah, buta huruf, dan orang dewasa yang menganggur. Pengalaman
menunjukkan bahwa Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP yang
diselenggarakan melalui pendidikan nonformal hampir 100% diikuti oleh warga
belajar dari keluarga miskin. Begitu juga program keaksaraan fungsional, beasiswa
anak keluarga miskin dan program kejar usaha sangat diperlukan oleh keluarga
miskin.
Mutu pendidikan ditunjukkan oleh rasio siswa dengan guru. Pada tahun ajaran
2004/2005 rasio siswa per guru untuk jenjang pendidikan SD 20 orang, sedangkan
MI 16 orang. Rasio siswa per guru untuk jenjang pendidikan SLTP adalah 22 orang
pada SMP dan 11 orang pada MTs. Rasio siswa per guru untuk jenjang pendidikan
SLTA adalah 20 orang SM (SMA dan SMK), dan MA 9 orang. Guru yang
memenuhi kelayakan mengajar di satuan SD Negeri hanya 42,4%, SD swasta 39,5%,
dengan rata-rata 33,81%. Sedangkan pada jenjang SLTP rata-rata hanya 48,29%.
Rendahnya rata-rata mutu guru tersebut akan mempengaruhi mutu pendidikan untuk
jenjang SD dan SLTP. Prestasi belajar siswa SD untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Matematika, dan IPA pada tahun 1976 adalah 49, 55, dan 45. Prestasi
belajar untuk mata pelajaran yang sama pada tahun 1989 adalah 59, 44, dan 53. Hal
ini menunjukkan tidak adanya kenaikan prestasi yang berarti dalam 13 tahun
penyelenggaraan pendidikan nasional. Rendahnya mutu pendidikan juga disebabkan
oleh keterbatasan jumlah dan mutu sarana belajar siswa, termasuk ketersediaan dan
14
koleksi perpustakaan. Berdasarkan temuan diketahui bahwa 40% siswa kelas 16,
43% siswa kelas 13, dan 38% siswa kelas 46 tidak memiliki buku.
Keterbatasan akses terhadap layanan pendidikan berdampak pada angka
partisipasi sekolah dan angka putus sekolah. Perkembangan partisipasi sekolah pada
jenjang SD, SLTP, dan SLTA dapat dilihat pada APK/APM untuk masing-masing
jenjang pendidikan tersebut. Pada tahun ajaran 2004/2005 APK untuk jenjang SD
dan MI telah mencapai 114,75%, sedangkan APM untuk jenjang pendidikan tersebut
mencapai 94,18%. Pada jenjang pendidikan SLTP, APK pada tahun ajaran
2004/2005 mencapai 80,33%, sedangkan APM mencapai 61,72%. Pada jenjang
pendidikan SLTA (SM dan MA), APK pada tahun ajaran 2004/2005 mencapai
51,42%, sedangkan APM mencapai 41,89%.
Angka putus sekolah juga merupakan salah satu indikator mutu pendidikan
yang terkait dengan kondisi kemiskinan masyarakat. Putus sekolah umumnya terjadi
karena ketidakmampuan membayar berbagai bentuk biaya sekolah yang berdampak
pada pilihan untuk tidak melanjutkan setelah menamatkan SD atau keluar dari
sekolah pada jenjang pendidikan tertentu. Angka putus sekolah tingkat SD dan MI
cenderung menurun, dari 3,1% pada tahun 1995/1996 menjadi 2,58% pada tahun
2000/2001 dan 2,35% pada tahun 2004/2005. Pada tingkat SMP dan MTS juga
menunjukkan kecenderungan yang sama, yakni 3,8% pada tahun 1995/1996 menjadi
3,53% pada tahun 2000/2001, dan turun kembali menjadi 2,60% pada tahun
2004/2005.
Angka partisipasi sekolah anak laki-laki dan perempuan cenderung makin kecil
pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, tetapi penurunan angka partisipasi sekolah
anak perempuan lebih besar dibanding laki-laki pada usia sekolah SMP ke SMA. Hal
ini mengakibatkan partisipasi perempuan pada usia SMA dan perguruan tinggi lebih
rendah dari laki-laki. Dengan kata lain, masih ada ketimpangan gender dalam hal
pemenuhan hak memperoleh pendidikan.
Ketimpangan gender dalam pendidikan masih menjadi masalah dalam
pemenuhan hak atas pendidikan, meskipun telah terjadi peningkatan pendidikan bagi
perempuan. Pada tahun 2000, persentase perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak
pernah sekolah juga masih jauh lebih tinggi daripada laki-laki, baik di perdesaan
maupun di perkotaan (Gambar 2.4). Peningkatan pendidikan bagi perempuan
tercermin dari turunnya tingkat buta huruf perempuan usia 10-44 tahun pada tahun
1997-2000, meskipun tingkat buta huruf pada perempuan masih lebih tinggi daripada
laki-laki (Gambar 2.5).
15
10 0
90
70
80
60
70
50
60
40
50
40
30
30
20
20
10
10
0
19 9 7
2000
19 9 7
Peremp uan
Umur 7-12
SD ke SM P
2000
SM P ke
SM A
Laki-laki
Sumber:BPS
Umur 13 -15
Laki-laki
SM A ke
Perg uruan
Ting g i
Peremp uan
Gambar 2.5
Persentase Penduduk Yang Buta Huruf Menurut Kelompok Umur, Jenis
Kelamin, dan Perdesaan-Perkotaan, 2003
42,9
Laki-laki P erko taan
P erempuan P erko taan
Laki-laki P erko taan
P erempuan P erko taan
23,33
20,73
18,41
7,87
10,29
9,14
3,06
> 15 Thn
2,44
3,41
8,53
4,91
1,24
16-24 Thn
25-44 Thn
>45 Thn
Kelom pok Um ur
16
sekitar 7,8% sedangkan laki-laki sekitar 2,6%. Perempuan yang tidak tamat SD di
perdesaan 30,0% dan di perkotaan 17,9% sementara laki-laki yang tidak tamat SD
29,8% di pedesaan dan 15,7% di perkotaan.
Ada berbagai alasan anak perempuan tidak menamatkan sekolah atau tidak
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, antara lain masih kuatnya
budaya kawin muda bagi perempuan perdesaan, anggapan bahwa sekolah tidak akan
bermanfaat bagi perempuan karena pada akhirnya mereka tidak akan bekerja dan
harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumahtangganya.
17
rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pemberi kerja.
Kesulitan ekonomi juga memaksa anak dan perempuan untuk bekerja. Pekerja
perempuan, khususnya buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga, serta
pekerja anak menghadapi resiko yang sangat tinggi untuk dieksplotasi secara
berlebihan, tidak menerima gaji atau digaji sangat murah, dan diperlakukan secara
tidak manusiawi.
Kecenderungan perempuan untuk memasuki pasar kerja jauh lebih kecil
dibanding laki-laki. Perempuan yang memasuki pasar kerja memiliki peluang yang
lebih kecil untuk memperoleh pekerjaan daripada laki-laki (Tabel 2.1). Hal ini terjadi
karena pengaruh lingkungan yang kurang mendukung seperti pengambilan keputusan
dan penguasaan aset yang didominasi laki-laki, perlunya ijin suami bila istri ingin
bekerja atau berusaha, dan perempuan yang bekerja tetap bertanggung jawab
mengelola urusan keluarga. Pekerja perempuan juga mengalami diskriminasi dalam
hal penggajian dan kurang terlindungi dari pelecehan dan kekerasan seksual serta
kurang mendapat hak-hak yang menyangkut kesehatan reproduksi di tempat kerja.
Tingkat upah rata-rata laki-laki (Rp. 742.423,- per bulan) lebih tinggi dibanding
perempuan (Rp. 528.432 per bulan). Perbedaan ini terjadi pada semua tingkat
pendidikan pekerja (Tabel 2.2). Menurut hasil studi ketenaga kerjaan perbedaan upah
laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama dengan persyaratan yang sama
adalah 70%.
Tabel 2.1
Jumlah Penduduk Usia Produktif, Angkatan Kerja
dan Pekerja Tahun 2003
Uraian
Jumlah penduduk usia produktif diatas 15 tahun
Angkatan kerja
Pekerja
Perempuan
76,7 (juta)
35,5 (juta)
30,9 (juta)
Laki-laki
76 (juta)
64,8 (juta)
59,9 (juta)
Tabel 2.2
Rata-rata upah/gaji/pendapatan pekerja* sebulan menurut tingkat pendidikan dan
jenis kelamin, tahun 2001 dan 2002 (dlm rupiah)
Tingkat
Pendidikan
< SD
SD
SLTP
SMU/SMK
>SMU/SMK
JUMLAH
Perempuan
172.018
232.726
340.685
555.175
914.036
442.928
2001
Laki-laki
326.394
388.502
489.951
711.013
1.203.660
623.904
Rasio
Upah**
52,7
59,9
69,5
78,1
75,9
67,22
2002
Laki-laki
Perempuan
187.059
264.112
399.176
640.035
977.652
493.607
367.284
435.676
558.648
809.694
1.348.203
703.901
Rasio
Upah**
51,1
60,6
71,5
79,0
72,5
66,94
Sumber: Sri Harijati Hatmadji, diolah dari data Sakernas tahun 2001 dan 2002
Keterangan: *) Pekerja buruh/karyawan dan pekerja bebas
**) Rasio upah adalah upah perempuan dibagi upah laki-laki
18
Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas untuk memulai dan
mengembangkan usaha. Pada tahun 2002, sekitar 60% dari 35,7 juta rumahtangga
miskin, kepala keluarganya melakukan usaha sendiri atau dengan dibantu,
kebanyakan di sektor pertanian (lebih dari 50%) dan sebagian lain di sektor jasa dan
industri. Permasalahan yang dihadapi antara lain adalah kurangnya dukungan sistem
keuangan yang mampu memberi akses pada modal, besarnya hambatan untuk
memperoleh ijin usaha, kurangnya sistem yang mampu melindungi keberlangsungan
usaha mereka, rendahnya kapasitas kewirausahaan dan terbatasnya informasi dan
akses terhadap pasar, bahan baku, serta bantuan teknis dan teknologi. Modal yang
tersedia, dengan tingkat suku bunga pasar, masih sulit diakses oleh pengusaha kecil
dan mikro yang sebagian besar miskin dan dilakukan oleh perempuan. Mereka
terpaksa memperoleh dari rentenir dengan tingkat bunga yang sangat tinggi.
Perempuan pelaku usaha mempunyai masalah khusus dibanding laki-laki. Pada saat
usaha yang dibangun oleh perempuan tersebut mulai berkembang maka kepemilikan
usaha tersebut beralih kepada suaminya dengan berbagai alasan seperti kemudahan
untuk mendapatkan kredit dan mengurus surat perijinan dan alasan lainnya.
Masyarakat miskin juga menghadapi masalah lemahnya perlindungan terhadap aset
usaha, terutama perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya
aset usaha akibat penggusuran.
19
jauh dari pusat kota tempat mereka bekerja sehingga biaya transport akan sangat
mengurangi penghasilan mereka.
Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan
pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan
lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan
permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan
menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah seringkali dijumpai
lebih dari dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai. Hal ini
terjadi pada masyarakat perkebunan yang tinggal di dataran tinggi seperti
perkebunan teh di Jawa. Mereka jauh dan terisiolasi dari masyarakat umum.
Sementara itu, bagi penduduk lokal yang tinggal di pedalaman hutan, masalah
perumahan dan permukiman tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masalah
keutuhan ekosistem dan budaya setempat.
Perbaikan sanitasi telah banyak dilakukan sehingga persentase penduduk yang
mendapat akses terhadap fasilitas sanitasi untuk pembuangan kotoran meningkat dari
54% pada tahun 1990 menjadi 63,5% pada tahun 2002. Namun masyarakat miskin
masih menghadapi masalah buruknya sanitasi yang berdampak pada mutu kesehatan
mereka. Lebih dari 57% rumahtangga di perdesaan belum mempunyai fasilitas
sanitasi yang memadai.
2.3.1.6
20
dan limbah industri. Berkurangnya air waduk akibat penggundulan hutan dan
pendangkalan, serta menurunnya mutu saluran irigasi mengakibatkan berkurangnya
jangkauan irigasi. Masalah ini membuat lahan tidak dapat diusahakan secara
optimal, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan petani. Sementara itu,
perkembangan industri tanpa disertai pengawasan pembuangan limbah secara ketat
telah menyebabkan terjadinya pencemaran sungai yang merupakan sumber air utama
bagi masyarakat miskin perkotaan.
21
menanggung akibat dari eksploitasi sumber daya alam, khususnya usaha produksi
hutan (HPH/HTI), perkebunan dan pertambangan. Hilangnya kesempatan untuk
memanfaatkan tanah dan hutan tersebut membuat mereka tergantung pada pihak luar.
Konflik agraria, sebagai realitas ketidakadilan agraria, akan terus terjadi sejalan
dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Jawa dan Sumatera yang
memerlukan lahan untuk pengembangan hutan produksi, pertambangan dan taman
nasional, serta di luar Jawa dan Sumatera yang menggunakan tanah ulayat
masyarakat setempat. Berbagai konflik agraria tersebut perlu penyelesaian yang jelas
dan tuntas agar dapat memecahkan kemiskinan dan tidak menimbulkan kemiskinan
baru.
Masalah ketimpangan gender juga terlihat dalam penguasaan tanah. Secara
umum, penguasaan tanah lebih sering dipegang oleh laki-laki dibanding perempuan.
Dalam berbagai kasus pembuatan sertfikat tanah yang dibeli setelah pernikahan,
sertifikat umumnya dibuat atas nama suami sebagai kepala rumahtangga dengan
kesepakatan bersama. Dari suatu survai terhadap 1.500 peserta program sertifikasi
tanah ternyata hanya sedikit sertifikat yang dibuat atas nama istri (Tabel 2.3). Tanpa
menguasai sertifikat tanah, perempuan akan sulit menggunakan tanah sebagai
jaminan untuk mendapatkan kredit usaha. Hal ini berdampak pada terbatasnya
peluang bagi perempuan dalam pengembangan usaha.
Tabel 2.3.
Pemilikan Sertifikkat Tanah
Menurut Perempuan dan Laki-laki
Penguasaan Assest
Daerah Perkotaan
Daerah Pinggiran
Daerah Perdesaan
Perempuan
14,3%
17,4%
20,4%
Laki-laki
76,9%
67,4%
66,7%
22
2.3.1.8
23
hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha (67,7% dari luas daratan) pada
tahun 1993 menjadi 123,4 juta ha (64,2% dari luas daratan) pada tahun 2001.
Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk
kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Sekitar
35% dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak berat. Hutan yang dapat
dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha. Apabila dengan laju konversi tetap seperti saat
ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan konversi akan habis. Saat ini laju
deforestasi hutan Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta hektar per tahun. Dampak
lanjutan dari kerusakan ini adalah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh
erosi. Selain itu, kerusakan hutan juga berdampak bagi masyarakat miskin dalam
bentuk menyusutnya lahan yang menjadi sumber penghidupan, dan terjadinya erosi
dan tanah longsor yang menyebabkan hilangnya tempat tinggal mereka.
Masyarakat miskin nelayan juga menghadapai masalah kerusakan hutan bakau
dan terumbu karang. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan
mencari makan dan bertelur. Hutan bakau menyusut menjadi setengah dalam waktu
sekitar 11 tahun. Terumbu karang saat ini dalam kondisi rusak dan sangat kritis.
Degradasi lingkungan wilayah pesisir mengakibatkan menurunnya populasi ikan dari
5-10% kawasan perikanan tangkap, dan meningkatnya kesulitan nelayan dalam
memperoleh ikan.
Selain itu, penggunaan bahan kimia yang intensif seperti pestisida dan pupuk di
daerah pertanian selama beberapa dasawarsa juga menyebabkan terjadinya
pencemaran air, menurunnya mutu lahan garapan, dan meningkatnya kekebalan
hama dan penyakit tanaman yang justru. Hal ini menyebabkan ketergantungan petani
terhadap bahan kimia yang semakin besar dan meningkatnya beban pengeluaran
petani.
24
perburuhan. Kekerasan oleh publik mengalami eskalasi yang luar biasa antara 19971999. Kekerasan tadi telah merusak tatanan sosial yang ada, menciptakan rasa tidak
aman dari masyarakat, mengurangi minat orang asing untuk mengunjungi Indonesia,
dengan seluruh dampak sosial eknomi yang sangat luas.
Situasi keamanan yang memburuk ini menimbulkan dampak pada kondisi
kemiskinan. Rata-rata penghasilan rumah tangga di Aceh dan Poso mengalami
penurunan drastis masing-masing 50% dan 34%. Setelah konflik jumlah penduduk
miskin meningkat, keluarga kehilangan anggota rumah tangga dan harta benda.
Selain itu, aliran pengungsi dari daerah konflik ke daerah yang lebih aman
menimbulkan masalah sosial-ekonomi di daerah penampungan. Permasalahan
kemanan lain yang terjadi adalah aksi terorisme, seperti aksi teror bom di beberapa
kota di Indonesia. Aksi teror tersebut mempunyai dampak yang signifikan pada rasa
aman masyarakat, iklim investasi, dan pariwisata.
Konflik telah menyebabkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya
kerja dan usaha sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan
individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya
infrastuktur ekonomi yang menyebabkan langkanya ketersediaan bahan pangan,
menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih,
rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa
amarah, putus asa dan trauma kolektif. Hal ini dirasakan oleh masyarakat Desa Sarre
di Kabupaten Pidie-Aceh, masyarakat Desa Galuga di Kabupaten Tojo Barat
Sulawesi Tengah, masyarakat desa Somanhode di Kota Tidore-Maluku Utara. Oleh
karena itu, kemiskinan di daerah konflik tidak dapat disamakan dengan kemiskinan
di daerah bukan konflik karena adanya ancaman dari terjadinya kekerasan secara
berkelanjutan dan tidak adanya jaminan keamanan.
Konflik tidak saja menyebabkan hilangnya harta benda, tetapi seringkali juga
hilangnya hak sebagai pemilih dan hak sebagai warga komunitas. Dampak konflik
yang dialami oleh laki-laki dewasa, perempuan dewasa dan anak anak berbeda
dengan beban terberat dialami oleh anak-anak dan perempuan. Bagi laki-laki dewasa,
konflik membatasi atau menghilangkan kesempatan untuk bekerja dan berusaha, dan
meningkatkan persaingan kerja dengan pengungsi. Bagi anak-anak, hancurnya
berbagai sarana pendidikan dan kesehatan telah menghilangkan hak mereka untuk
mendapat layanan pendidikan dan kesehatan, yang pada akhirnya memperburuk
masa depan mereka. Di samping itu, mereka mengalami trauma yang mengarah
pada tumbuhnya budaya kekerasan. Bagi perempuan, konflik menyebabkan
hilangnya akses pada matapencaharian, tempat tinggal yang hancur, dan masa depan
yang tidak pasti. Konflik seringkali memaksa perempuan untuk menjadi pencari
nafkah utama dan menanggung beban keluarga yang lebih besar. Mereka harus
menanggung anak yatim karena ayahnya meninggal. Beban ini semakin berat dengan
terbatasnya peluang kerja dan berusaha. Peluang yang tersedia biasanya hanya
sebatas berdagang yang tidak jelas keberlanjutannya. Hal ini disebabkan oleh
ketidakamanan, ketidakmampuan, dan terbatasnya pasar dan bahan baku. Di
samping itu, selama ini mobilitas sosial, ekonomi dan politik untuk perempuan
hampir tertutup.
Lemahnya jaminan rasa aman sebagai pemicu terjadinya konflik kekerasan dan
non kekerasan menunjukkan lemahnya sistem politik dan pemerintahan pada saat
25
krisis 1998. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan sistem pemerintahan dari
sentralis, otoriter dan militersitik menjadi sistem pemerintahan desentralis dan
demokratis. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial menjadi salah
satu penyebab kerentanan masyarakat miskin. Hal ini juga diperkuat dengan tidak
berjalannya penegakan hukum secara adil terhadap pelanggaran korupsi, pelanggaran
HAM, dan pelaku pelanggaran kekerasan lainnya. Kurangnya jaminan rasa aman
juga disebabkan oleh terbatasnya kapasitas aparat keamanan terutama polisi. Rasio
jumlah polisi terhadap penduduk adalah 1 : 1.500 lebih rendah dibanding Malaysia (1
: 400), Singapore (1:250) dan Cina (1:750).
Anak dan perempuan dari keluarga miskin seringkali mendapat diskriminasi
dan perlakuan yang lebih buruk. Anak jalanan dan perempuan yang diperdagangkan
merupakan kelompok yang mengalami kondisi kemiskinan terburuk sebagai akibat
tidak terjaminnya hak-hak dasar mereka. Anak jalanan mulai muncul sejak 1970an
di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogjakarta. Jumlah anak jalanan
berfluktuasi dan cenderung meningkat. Krisis ekonomi mengakibatkan
bertambahnya jumlah anak jalanan dari sekitar 50.000 menjadi sekitar 150.000200.000. Pada tahun 2002, jumlah anak terlantar, anak nakal dan anak jalanan
diperkirakan sekitar 3,7 juta jiwa.
Anak jalanan timbul akibat tidak terpenuhinya hak-hak dasar anak, baik oleh
keluarga maupun oleh masyarakat dan negara. Kompleksitas kemiskinan memaksa
mereka berlaku sebagai orang dewasa kecil yang harus mencari uang untuk
mempertahankan hidup dan mengatasi berbagai ancaman. Mereka juga harus
berhadapan dengan para pesaing dan pemerasan oleh para preman. Mereka seringkali
dijerumuskan ke dalam penyalahgunaan narkoba, seks bebas, menjadi korban
perdagangan untuk prostitusi, diperkosa dan obyek pornografi. Mereka juga sering
mengalami kekerasan baik oleh masyarakat di lingkungan, pihak yang
memanfaatkan maupun petugas ketertiban umum. Penanganan kriminalitas anak
jalanan seringkali lebih keras dari penanganan kriminalitas orang dewasa. Selain itu,
ketiadaan identitas menyebabkan mereka dianggap masyarakat liar dan tidak berhak
memperoleh layanan publik. Data Unicef tahun1998 memperkirakan jumlah anak
yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan mencapai 40.000-70.000 anak dan
tersebar di lebih dari 75.000 tempat di seluruh Indonesia. Suatu studi memperkirakan
sekitar 30% dari seluruh jumlah pekerja seks yang ada adalah anak perempuan
berusia kurang 18 tahun.
26
27
1998
2002
Kekerasan Fisik
33 Kasus
86 Kasus
Kekerasan Psikis
119 Kasus
250 Kasus
Kekerasan Ekonomi
58 Kasus
135 Kasus
Kekerasan Seksual
3 Kasus
7 Kasus
28
1999
2000
2001
Jumlah
Laki-laki
124.828
137.949
14.198
296.975
28,61
Perempuan
302.791
297.270
91.224
691.285
71,39
Total
427.619
435.219
105.422
968.260
100,0
29