Sunteți pe pagina 1din 3

Saifullah (d 101 14 559)

ANALISIS KASUS
sengketa tanah antara dua desa dan sebuah perusahaan perkebunan sawit

Awal pekan ini, masyarakat dan mahasiswa Kabupaten Nagan Raya berunjuk rasa ke
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mereka menuntut penyelesaian sengketa tanah
antara dua desa dan sebuah perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan itu diklaim
menyerobot tanah desa. Sengketa tersebut telah berlangsung sejak 1996.
Di kabupaten/kota lain juga muncul kasus serupa. Misalnya di Aceh Selatan, Aceh
Tamiang, Aceh Barat, Aceh Timur, dan beberapa daerah lain. Juga merupakan kasus saling
klaim kepemilikan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Umumnya adalah sengketa
antara masyarakat dan perkebunan swasta. Masyarakat mengklaim tanah dengan
beralaskan hak adat/ulayat. Sementara, perusahaan perkebunan mendaku dan menguasai
lahan berdasarkan hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah.
Menurut analisis saya :
Ini sangat memprihatinkan karena merugikan semua pihak. Sengketa tanah telah
membelenggu mereka. Masyarakat yang umumnya petani kecil terancam kehilangan
sumber nafkah. Bagi dunia usaha, kondisi ini membuat keamanan dan kenyamanan
berbisnis terganggu. Sengketa ini pun, antara lain, memunculkan gugatan atas efektivitas
eksistensi negara tentang kepastian hukum, khususnya agraria.
Kasus-kasus sengketa tanah di Aceh, ditengarai karena konflik selama puluhan tahun
yang puncaknya pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Kulminasi konflik ini membuat
masyarakat dan perkebunan swasta sama-sama stagnan. Masyarakat takut bertani atau
berkebun. Sementara, sektor perkebunan swasta enggan memperluas pengusahaan atas
lahan yang dikuasainya. Tanah menjadi terlantar dan seperti tak bertuan.
Ketika konflik Aceh berakhir damai dan masyarakat serta swasta bangkit beriringan,
justru sengketa hak atas tanah itu mencuat kembali. Kita sebut demikian karena
sebenarnya benih sengketa ini sudah ada sejak Orde Baru. Namun, karena pada masa itu
yang berkuasa adalah rezim yang represif, sengketa tidak berkembang ke arah perseteruan

dan konflik tajam seperti sekarang yang tak jarang berubah menjadi konflik sosial dan
horizontal. Sengketa kala itu ibarat api dalam sekam.
Realitas yang disampaikan tersebut harus diakui kebenarannya. Tapi, itu dipercayai
bukan satu-satunya faktor. Karena, masyarakat juga memendam persepsi negatif soal
pemberian HGU. Mereka mensinyalir, hak itu diberikan dengan cara membuat garis di
peta yang dibentangkan di atas meja tanpa melihat realitas di lapangan. Misalnya, bahwa
di kawasan yang dimasukkan dalam HGU ternyata sudah didiami masyarakat selama
puluhan tahun. Bahkan juga adalah suatu hak adat/ulayat. Semua pihak, khususnya
pemerintah, baru terkejut atas kondisi faktual itu dan kemudian kesulitan untuk
menyelesaikan masalah yang berkembang.
Memang, ini problem warisan dari pemerintahan sebelumnya. Tapi, pemerintahan
sekarang juga tidak bisa lepas tangan. Apalagi, Presiden Joko Widodo mengusung
kebijakan reformasi agraria sebagai salah satu program utamanya. Program itu termasuk
soal pengakuan dan penataan atas hak ulayat seperti yang diakui dalam Undang-Undang
Pokok Agraria. Karenanya, kita berharap program itu benar-benar terimplementasi optimal
dalam lima tahun ini.
Pemerintah Aceh juga sepatutnya bekerja keras menyelesaikan konflik ini. Apalagi,
sesuai Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan aturan turunannya, Pemerintah Aceh
berhak mengelola bidang agraria. Bukan cuma terkait penataan atau peruntukannya, tapi
juga kewajiban menyelesaikan berbagai konflik yang ada. Sehingga, masalah sengketa
tidak terus-menerus membelenggu tanpa berkesudahan.
Solusi saling menguntungkan bagi para pihak harus dikedepankan. Termasuk opsi
ganti rugi baik lahan maupun material apabila langkah itu menjadi pilihan paling realistis.
Memang, dibutuhkan keberanian sekaligus kearifan untuk menyelesaikan sengketa
pertanahan di Tanah Rencong. Karena, tanpa keduanya, bukan tidak mungkin akan
memicu berlakunya hukum rimba yang kian menihilkan eksistensi negara dan pemerintah.
Dalam menyelesaikan konflik pertanahan seharusnya kita kedepankan aspek mediasi.
Harus ada metode yang pas dalam menyelesaikan konflik pertanahan, agar mengguntungkan
dua bela pihak dan hak atas masyarakat tidak di tertindas.

S-ar putea să vă placă și