Sunteți pe pagina 1din 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Keselamatan Pasien


Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah
sakit. Ada 5 (lima) isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah
sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas
kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa
berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan
(green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan
keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait kelangsungan hidup rumah sakit.
Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada
pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan
(Depkes RI, 2008).
The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan keselamatan sebagai freedom
from accidental injury. Keselamatan dinyatakan sebagai ranah pertama dari mutu
dan definisi dari keselamatan ini merupakan pernyataan dari perspektif pasien
(Kohn, dkk, 2000 dalam Sutanto, 2014). Pengertian lain menurut Hughes (2008)
dalam Sutanto (2014), menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan
pencegahan cedera terhadap pasien. Pencegahan cedera didefinisikan sebagai
bebas dari bahaya yang terjadi dengan tidak sengaja atau dapat dicegah sebagai
hasil perawatan medis. Sedangkan praktek keselamatan pasien diartikan sebagai

menurunkan risiko kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan


paparan terhadap lingkup diagnosis atau kondisi perawatan medis.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/ KKP-RS (2008) mendefinisikan
bahwa keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko (hazard).
Keselamatan pasien (patient safety) adalah pasien bebas dari harm/ cedera yang
tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi
(penyakit, cedera fisik/ sosial/ psikologis, cacat, kematian dan lain-lain), terkait
dengan pelayanan kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/
2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Harus

diakui,

pelayanan

kesehatan

pada

dasarnya

adalah

untuk

menyelamatkan pasien sesuai dengan yang diucapkan Hippocrates kira-kira 2400


tahun yang lalu yaitu Primum, non nocere (First, do no harm). Namun diakui
dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan
khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya
Kejadian Tidak Diharapkan- KTD (Adverse Event) apabila tidak dilakukan
dengan hati-hati karena di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes

dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi
dan non profesi yang siap memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus.
Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik
dapat terjadi KTD (Depkes RI, 2008).
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya
disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian
Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat disingkat KNC adalah terjadinya insiden
yang belum sampai terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya
disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul
cedera. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius (Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).

2.2. Pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit


2.2.1. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 bahwa rumah
sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan
program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit. Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai

pelaksana kegiatan keselamatan pasien. TKPRS yang dimaksud bertanggung


jawab kepada kepala rumah sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen
rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit. TKPRS
melaksanakan tugas:
1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai
dengan kekhususan rumah sakit tersebut;
2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan
pasien rumah sakit;
3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi,
pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan
(implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit;
4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk
melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
5. Melakukan

pencatatan,

pelaporan

insiden,

analisa

insiden

serta

mengembangkan solusi untuk pembelajaran;


6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam
rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien rumah sakit; dan
7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.

2.2.2. Standar Keselamatan Pasien


Setiap rumah sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien.
Standar Keselamatan Pasien meliputi (Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/
2011):

a. hak pasien;
b. mendidik pasien dan keluarga;
c. keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
d. penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien;
e. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
f. mendidik staf tentang keselamatan pasien; dan
g. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.

2.2.3. Sasaran Keselamatan Pasien


Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa
setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien.
Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut :
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan syarat untuk diterapkan di
semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari World Health Organization (WHO) dalam Sutanto (2014) Patient

Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik
dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah
dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus
berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem
yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada
solusi-solusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah
tercapainya hal-hal sebagai berikut :
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
Standar SKP I
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan
ketelitian identifikasi pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran I
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir
semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien
bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit,
adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk
melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai
individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk
kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan

dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki


proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika
pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain.
Kebijakan

dan/atau

prosedur

memerlukan

sedikitnya

dua

cara

untuk

mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis,


tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor
kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/
atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang
berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau
ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu
proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur
agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.
Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/
prosedur.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.

Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif


Standar SKP II
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas
komunikasi antar para pemberi layanan.
Maksud dan Tujuan Sasaran II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami
oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan
keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/ atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (memasukkan ke
komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah;
kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil
pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca
ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga
menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read
back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat
di IGD atau ICU.

Elemen Penilaian Sasaran II


1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan
kembali secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau
yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.
Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
Standar SKP III
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan
obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert).
Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen
harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan
yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan yang
sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit
konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang

lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium
sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak
mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat
kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada
keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan
obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan
elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara
kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat
daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit.
Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang
membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta
pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di
area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak
sengaja/kurang hati-hati.
Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan
elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus


diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat
(restricted).
Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi
Standar SKP IV
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi,
tepat-prosedur, dan tepat- pasien.
Maksud dan Tujuan Sasaran IV
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien pada operasi, adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah
akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota
tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site
marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu,
asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat,
budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah,
permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca
(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi
yang sering terjadi. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan
suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah
yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di
The Joint Commissions Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong
Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan

pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus
digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/orang
yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi
operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur
(jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
a. memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
b. memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan
yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan
c. melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/ atau implantimplant yang dibutuhkan.
Tahap Sebelum insisi (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan
dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi.
Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas,
misalnya menggunakan checklist.
Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses
penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien

dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan
fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur sebelum
insisi/time-out tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan
pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang
seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,
termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar
operasi.
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Standar SKP V
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi
yang terkait pelayanan kesehatan.
Maksud dan Tujuan Sasaran V
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai
dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun
infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand
hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan

internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan


kebijakan dan/ atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di
rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran V
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO
Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Standar SKP VI
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien
dari cedera karena jatuh.
Maksud dan Tujuan Sasaran VI
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat
inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh
dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol,

gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran VI
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko
jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka
yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan
cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
4. Kebijakan

dan/atau

prosedur

dikembangkan

untuk

mengarahkan

pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah


sakit.

2.2.4. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit


Rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memonitor dan mengevaluasi

kinerja melalui

pengumpulan data,

menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk


meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut harus
mengacu pada visi, misi dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktorfaktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien (Permenkes 1691/ Menkes/ Per/
VIII/ 2011).

Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, rumah sakit


melaksanakan 7 (tujuh) langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit yang
terdiri dari (Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011) :
a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;
b. Memimpin dan mendukung staf;
c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
d. Mengembangkan sistem pelaporan;
e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien;
g. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

2.2.5. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien


Menurut Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa
sistem pelaporan insiden dilakukan di internal rumah sakit dan kepada Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit Pelaporan insiden kepada Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC
dilakukan setelah analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonim (tanpa identitas), tidak
mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden ditujukan untuk
menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming).
Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam
waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan yang ada. TKPRS

melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang
dilaporkan. TKPRS melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit.
Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit
melakukan pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas
laporan secara nasional (Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).

2.3. Rumah Sakit


2.3.1. Pengertian Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujudnya derajat kesehatan yang setinggitingginya serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat darurat.
Rumah

sakit

merupakan

salah

satu

sarana

kesehatan

tempat

menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan


untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan
derajat

kesehatan

yang

optimal

bagi

masyarakat.

Upaya

kesehatan

diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan


(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan

pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh,


terpadu,

dan

berkesinambungan.

Tempat

yang

digunakan

untuk

menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi


melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan upaya kesehatan
penunjang.

2.3.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah
pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, rumah
sakit umum mempunyai fungsi:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.3.3. Klasifikasi Rumah Sakit


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014, Klasifikasi rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan,
dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam
Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
a) Rumah Sakit Umum diklasifikasikan menjadi:
1. Rumah Sakit Umum Kelas A;
2. Rumah Sakit Umum Kelas B;
3. Rumah Sakit Umum Kelas C; dan
4. Rumah Sakit Umum Kelas D.
b) Rumah Sakit Umum Kelas D diklasifikasikan menjadi:
1. Rumah Sakit Umum Kelas D; dan
2. Rumah Sakit Umum Kelas D pratama.
c) Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi:
1. Rumah Sakit Khusus Kelas A;
2. Rumah Sakit Khusus Kelas B; dan
3. Rumah Sakit Khusus Kelas C.
d) Penetapan klasifikasi Rumah Sakit didasarkan pada:
1. pelayanan;
2. sumber daya manusia;
3. peralatan; dan
4. bangunan dan prasarana.

1. Rumah Sakit Umum Kelas A


A. Pelayanan
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas A paling sedikit
meliputi:
1) Pelayanan medik;
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari:
a) Pelayanan gawat darurat;
pelayanan ini harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari
secara terus menerus.
b) Pelayanan medik spesialis dasar;
Pelayanan medik spesialis dasar meliputi pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
c) Pelayanan medik spesialis penunjang;
Pelayanan medik spesialis penunjang meliputi pelayanan anestesiologi,
radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik.
d) Pelayanan medik spesialis lain;
Pelayanan medik spesialis lain meliputi pelayanan mata, telinga hidung
tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin,
kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan
kedokteran forensik.
e) Pelayanan medik subspesialis;
Pelayanan medik subspesialis meliputi pelayanan subspesialis di bidang
spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan

ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan


pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi,
urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan gigi mulut.
f)

Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.


Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut meliputi pelayanan bedah mulut,
konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti,
pedodonsi, dan penyakit mulut.

2) Pelayanan kefarmasian;
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
3) Pelayanan keperawatan dan kebidanan;
Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan keperawatan generalis
dan spesialis serta asuhan kebidanan.
4) Pelayanan penunjang klinik;
Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif
untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan
rekam medik.
5) Pelayanan penunjang nonklinik;
Pelayanan penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,
ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.

6) Pelayanan rawat inap.


Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b. jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c.

jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari


seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah
Sakit milik swasta.

B. Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas A terdiri atas:
1) Tenaga medis;
Tenaga medis paling sedikit terdiri atas:
a. 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
dasar;
d. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang;
e. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik
subspesialis; dan

g. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.
2) Tenaga kefarmasian;
Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 5 (lima) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian;
c. 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10
(sepuluh) tenaga teknis kefarmasian;
d. 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2
(dua) tenaga teknis kefarmasian;
e. 1 (satu) apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua)
tenaga teknis kefarmasian;
f. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan
g. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap
melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

3) Tenaga keperawatan;
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sama dengan jumlah tempat tidur
pada instalasi rawat inap. Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
4) Tenaga kesehatan lain;
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
5) Tenaga nonkesehatan.
Jumlah dan kualifikasi tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.
C. Peralatan
Peralatan Rumah Sakit Umum kelas A harus memenuhi standar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peralatan paling sedikit terdiri dari
peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat
intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan
darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
2. Rumah Sakit Umum Kelas B
A. Pelayanan
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas B paling sedikit
meliputi:
1) Pelayanan medik;
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari:
a) Pelayanan gawat darurat;

Pelayanan ini harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari


secara terus menerus.
b) Pelayanan medik spesialis dasar;
Pelayanan medik spesialis dasar meliputi pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
c) Pelayanan medik spesialis penunjang;
Pelayanan medik spesialis penunjang meliputi pelayanan anestesiologi,
radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik.
d) Pelayanan medik spesialis lain;
Pelayanan medik spesialis lain, paling sedikit berjumlah 8 (delapan)
pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang meliputi pelayanan mata,
telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah
plastik, dan kedokteran forensik.
e) Pelayanan medik subspesialis;
Pelayanan medik subspesialis, paling sedikit berjumlah 2 (dua) pelayanan
subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi pelayanan
subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak,
dan obstetri dan ginekologi.
f) Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, paling sedikit berjumlah 3 (tiga)
pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi,
dan orthodonti.

2) Pelayanan kefarmasian;
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
3) Pelayanan keperawatan dan kebidanan;
Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan keperawatan dan
asuhan kebidanan.
4) Pelayanan penunjang klinik;
Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif
untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan
rekam medik.
5) Pelayanan penunjang nonklinik;
Pelayanan penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,
ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
6) Pelayanan rawat inap
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari


seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah
Sakit milik swasta.
B. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri atas:
1) Tenaga medis;
Tenaga medis paling sedikit terdiri atas:
a. 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang;
e. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f. 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik
subspesialis; dan
g. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.
2) Tenaga kefarmasian;
Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;

c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
d. 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh
minimal 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
e. 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2
(dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
f. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi
yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap
atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah
Sakit; dan
g. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
3) Tenaga keperawatan;
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sama dengan jumlah tempat tidur
pada instalasi rawat inap. Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
4) Tenaga kesehatan lain;
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.

5) Tenaga nonkesehatan.
Jumlah dan kualifikasi tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.
C. Peralatan
Peralatan Rumah Sakit Umum kelas B harus memenuhi standar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peralatan paling sedikit terdiri dari
peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat
intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan
darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
3. Rumah Sakit Umum Kelas C
A. Pelayanan
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas C paling sedikit
meliputi:
1) Pelayanan medik;
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari:
a) Pelayanan gawat darurat;
Pelayanan gawat darurat harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam
sehari secara terus menerus.
b) Pelayanan medik umum;
Pelayanan medik umum meliputi pelayanan medik dasar, medik gigi
mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana.

c) Pelayanan medik spesialis dasar;


Pelayanan medik spesialis dasar meliputi pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
d) Pelayanan medik spesialis penunjang;
Pelayanan medik spesialis penunjang meliputi pelayanan anestesiologi,
radiologi, dan patologi klinik.
e) Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut paling sedikit berjumlah 1 (satu)
pelayanan.

2) Pelayanan kefarmasian;
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
3) Pelayanan keperawatan dan kebidanan;
Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan keperawatan dan
asuhan kebidanan.
4) Pelayanan penunjang klinik;
Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan bank darah, perawatan intensif
untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan
rekam medik.
5) Pelayanan penunjang nonklinik;
Pelayanan penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,

ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem


penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
6) Pelayanan rawat inap.
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari
seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah
Sakit milik swasta.
B. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas:
1) Tenaga medis
Tenaga medis paling sedikit terdiri atas:
a. 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang; dan
e. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.

2) Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas:


a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling
sedikit 4 (empat) orang tenaga teknis kefarmasian;
c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
d. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di
rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian
yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit.
3) Tenaga keperawatan
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan dihitung dengan perbandingan 2
(dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur. Kualifikasi dan kompetensi tenaga
keperawatan disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
4) Tenaga kesehatan lain
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.
5) Tenaga non kesehatan
Jumlah dan kualifikasi tenaga non kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.

C. Peralatan
Peralatan Rumah Sakit Umum kelas C harus memenuhi standar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peralatan paling sedikit terdiri dari
peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat
intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan
darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
4. Rumah Sakit Umum Kelas D
A. Pelayanan
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas D paling sedikit
meliputi:
1) Pelayanan medik;
Pelayanan Medik paling sedikit terdiri dari:
a) Pelayanan gawat darurat;
Pelayanan gawat darurat harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam
sehari secara terus menerus.
b) Pelayanan medik umum;
Pelayanan medik umum, meliputi pelayanan medik dasar, medik gigi
mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga berencana.
c) Pelayanan medik spesialis dasar;
Pelayanan medik spesialis dasar paling sedikit 2 (dua) dari 4 (empat)
pelayanan medik spesialis dasar yang meliputi pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, dan/atau obstetri dan ginekologi.

d) Pelayanan medik spesialis penunjang.


Pelayanan medik spesialis penunjang, meliputi pelayanan radiologi dan
laboratorium.
2) Pelayanan kefarmasian;
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
3) Pelayanan keperawatan dan kebidanan;
Pelayanan keperawatan dan kebidanan meliputi asuhan keperawatan dan
asuhan kebidanan.
4) Pelayanan penunjang klinik;
Pelayanan penunjang klinik meliputi pelayanan darah, perawatan high care unit
untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan
rekam medik.
5) Pelayanan penunjang nonklinik;
Pelayanan penunjang nonklinik meliputi pelayanan laundry/linen, jasa
boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan limbah, gudang,
ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
6) Pelayanan rawat inap
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut:
a.

jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;

b.

jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;

c.

jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari


seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah
Sakit milik swasta.

B. Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas D terdiri atas:
1) Tenaga medis
Tenaga medis paling sedikit terdiri atas:
a. 4 (empat) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar.
2) Tenaga kefarmasian
Tenaga kefarmasian paling sedikit terdiri atas:
a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu
oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
c. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di
rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian
yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit.

3) Tenaga keperawatan
Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dihitung dengan
perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur. Kualifikasi dan
kompetensi tenaga keperawatan) disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan
rumah sakit.
4) Tenaga kesehatan lain
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
5) Tenaga non kesehatan
Jumlah dan kualifikasi tenaga nonkesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit.
C. Peralatan
Peralatan Rumah Sakit Umum kelas D harus memenuhi standar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Peralatan paling sedikit terdiri dari
peralatan medis untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat
intensif, rawat operasi, persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan
darah, rehabilitasi medik, farmasi, instalasi gizi, dan kamar jenazah.
2.3.4. Akreditasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 012 Tahun 2012 tentang
Akreditasi Rumah Sakit, akreditasi adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang
diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh
menteri, setelah dinilai bahwa rumah sakit itu memenuhi Standar Pelayanan
Rumah Sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit

secara berkesinambungan. Standar Pelayanan Rumah Sakit adalah semua standar


pelayanan yang berlaku di rumah sakit antara lain standar prosedur operasional,
standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan. Instrumen akreditasi
selanjutnya disebut instrumen adalah alat ukur yang dipakai oleh lembaga
independen penyelenggara akreditasi untuk menilai rumah sakit dalam memenuhi
standar pelayanan rumah sakit.
Akreditasi bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit;
b. meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit;
c. meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi; dan
d. mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.
2.3.5. Penyelenggaraan Akreditasi
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, dilakukan
Akreditasi yang terdiri dari akreditasi nasional dan akreditasi internasional.
Rumah sakit wajib mengikuti akreditasi nasional. Dalam upaya meningkatkan
daya saing, rumah sakit dapat mengikuti akreditasi internasional sesuai
kemampuan. Rumah sakit yang akan mengikuti akreditasi internasional harus
sudah mendapatkan status akreditasi nasional. Bagi rumah sakit yang telah
mendapatkan status akreditasi nasional maupun internasional, harus sudah
mendapatkan status akreditasi yang baru sebelum masa berlaku status akreditasi
sebelumnya berakhir. Setiap rumah sakit baru yang telah memeroleh izin

operasional dan beroperasi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun wajib mengajukan


permohonan akreditasi.

2.4. Kerangka Pikir


Input

Output

1. Tenaga Kesehatan,
2. TKPRS
3. Sarana dan
Prasarana
4. Kebijakan

Kesiapan RSUD Dr.


R.M. Djoelham Binjai
dalam Implementasi
Sistem Keselamatan
Pasien

Process
Monitoring

Gambar 2.1 Kerangka Pikir


Berdasarkan gambar di atas, dapat dirumuskan definisi sebagai berikut :
1. Masukan

(input)

adalah

segala

sesuatu

yang

dibutuhkan

dalam

mengimplementasikan Keselamatan Pasien agar dapat berjalan dengan baik,


meliputi: Tenaga Kesehatan, TKPRS, Sarana dan Prasarana, dan Kebijakan.
a. Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan berfokus pada keselamatan
pasien.
b. TKPRS adalah Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang dibentuk oleh
rumah sakit dan bertanggungjawab kepada direktur rumah sakit.
c. Sarana, prasarana, dan peralatan yang termasuk di dalamnya yaitu: obat,
peralatan pemeriksaan, peralatan kebersihan, dan perlengkapan pemeriksaan
yang mendukung.
d. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak. Peraturan dan undang-undang yang berkaitan dan mendukung

sistem keselamatan pasien ini, yaitu Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/
VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit dan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 43 ayat (1) mewajibkan
rumah sakit menerapkan standar keselamatan pasien.
2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan, yaitu menggali informasi terkait sejauh mana kesiapan
RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai dalam mengimplementasikan sistem
keselamatan pasien.
3. Keluaran (output) hasil yang hendak dicapai, yaitu sejauh mana kesiapan
RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai dalam mengimplementasikan sistem
keselamatan pasien.

S-ar putea să vă placă și