Sunteți pe pagina 1din 11

Nama

: Hafiz Arqursoy

NPM

: 1102011115

IKF 234

1. Jelaskan dasar hukum Ver dilihat dari sejarah perundang-undangan hindia belanda,
hingga undang-undang yang berlaku saat ini, yaitu KUHP, KUHAP, undang-undang
yang berkaitan dengan kekerasan seperti perlindungan anak dan UU perhapusan
KDRT!
Nama Visum Et Repertum tidak pernah disebut dalam KUHAP maupun hukum acara
pidana sebelumnya (RB= Regumen Indonesia yang diperbaharui). Nama Visum Et
Repertum disebut dalam statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi
1. Visa Reperta
Dari dokter-dokter, dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu
menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau Indinesia, atau atas
sumpah khusus sebagai dimaksud dengan pasal 2 mempunyai daya bukti dalam
perkara-perkara pidana, sejauh tu mengandung keterangan tentang yang dilihat
oleh dokter pada benda yang diperiksa
2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di negeri Belanda
maupun di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1, boleh
mengikrarkan sumpah/janji sebagai berikut, psfs Stasblad 1882 no 97 pasal 38
Dari bunyi Stb tahun 1937 terlihat bahwa
1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang
dilihat atau ditemukan saja terhadap korban. Dalam hal demikian, dokter hanya
diannggap memberikan kesaksian mata saja
2. VER hanya sah apabila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti yang
tertera pada Statsblad no 97 pasal 38 tahun 1882
Pasal pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan VER
adalah psal 186 dan 187, yang berbunyi
Pasal 186 keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan
Pasal 187 (c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendpat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
kepadany.
Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
KUHAP.
Pasal 184(1) alat bukti yang sah adalah Keterangan saksi,keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dari pasal-pasal di atas nampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli
maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan VER dalam STB no 35
tahun 1937.
Perbedannya adalah bahwa keterangan ahli adalah keterangan atau pendapat yang
dibuat oleh ahli (dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak hanya terbartas pada apa
yang dilihat dan ditemukan oleh si pembuat. Oleh karena berdasarkan keilmuannya,

maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus dibuat atas
dasar pemeriksaan medik.
VER adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal
184 KUHAP. Oleh karena VER dibuat atas kehendak undang-undang, maka dokter
tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana yang diatur
dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50
KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakn
ketentuan undang undang, tidak dipadana, sepanjang VER tersebut hanya diberikan
kepada isntasni penyidik yang memintanya, untuk selanjutnya diberikan dalam proses
peradilan
Undang Undang perlindungan anak :
bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif
terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2. Jelaskan mengenai asal kata forensik dan apa manfaat ilmu kedokteran forensik bagi
individu, masyarakat, dan negara?
Ilmu Kedokteran Forensik, juga dikenal dengan nama Legal Medicine, adalah salah
satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan.
Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh
dan nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah
hukum ini di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan,
diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk membuat jelas jalannya
peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu dengan yang lain dalam
rangkaian peristiwa tersebut. Dalam hal terdapat korban, baik yang masih hidup
maupun yang meninggal akibat suatu peristiwa, diperlukan seorang ahli dalam bidang
kedokteran untuk memberikan penjelasan bagi para pihak yang menangani kasus
tersebut. Dokter yang diharapkan membantu dalam proses peradilan ini akan berbekal
pengetahuan kedokteran yang dimilikinya yang terhimpun dalam kazanah Ilmu
Kedokteran Forensik.
Dalam bentuknya yang masih sederhana, ilmu kedokteran forensik telah dikenal sejak
zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa dokter saat itu mempunyai
kewajiban untuk memberi kesembuhan bagi para pasiennya dengan ketentuan ganti
rugi bila hal tersebut tidak tercapai. Sejarah mencatat Anthitius, seorang dokter di
zaman Romawi kuno yang pada suatu Forum, semacam institusi peradilan waktu itu,

menyatakan bahwa dari 21 luka yang ditemukan pada tubuh maharaja Julius Caesar,
hanya satu luka saja, yang menembus sela iga ke-2 sisi kiri depan yang merupakan
luka yang mematikan. Nama kedokteran Forensik dikatakan berasal dari forum ini.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, ternyata ilmu kedokteran forensik tidak
semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan hukum dan keadilan di lingkup
pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain,
misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil, baik bagi pihak
yang diasuransi maupun pihak yang mengasuransi, dalam membantu pemecahan
masalah paternitas, membantu upaya keselamatan kerja dalam bidang industri dan
otomotif dengan pengumpulan data korban kecelakaan industri maupun kecelakaan
lalu lintas, dan sebagainya.
Tugas dokter selain sebagai tenaga medis, juga dituntut kewajibannya untuk
membantu aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan. Perbedaan mendasar
antara tujuan ilmu kedokteran forensik dengan kedokteran umum ialah tugas dari
kedokteran forensik menentukan hubungan kausal dalam suatu tindak pidana yang
menyebabkan kecederaan atau gangguan kesehatan, berbeda dengan kedokteran
umum yang lebih sering memeriksa dan mengobati.
Manfaat ilmu kedokteran forensik bagi individu, yaitu membantu seseorang dalam
menegakkan keadilan, baik untuk orang hidup maupun orang yang sudah meninggal.
Contohnya pada kasus penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga, seorang
korban meminta untuk dilakukan visum. Sebagai seorang dokter, selain berkewajiban
untuk melakukan pemeriksaan diagnostik dan memberikan perawatan atau
pengobatan yang sesuai, dokter juga wajib untuk melakukan pemeriksaan diagnotik
secara menyeluruh, dan diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada
tubuh korban, apa penyebabnya, dan akibat yang timbul terhadap kesehatan korban.
Sedangkan pada korban yang meninggal, dokter diharapkan dapat mengidentifikasi
korban dan dapat menjelaskan penyebab kematian, mekanisme terjadinya kematian,
perkiraan saat kematian, dan perkiraan cara kematian.
Bagi masyarakat dan negara, manfaat ilmu kedokteran forensik yaitu untuk membantu
menegakkan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati. Untuk itu, dalam
bidang ilmu kedokteran forensic dipelajari tatalaksana medikolegal, tanatologi,
traumatology, toksikologi, teknik pemeriksaan, dan segala sesuatu yang terkait, agar
semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu penyidik, dapat benar-benar
memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan peradilan serta
kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
3. Kompetensi dasar apa saja yang harus dikuasi oleh dokter umum ketika ia mendapat
kasus death on arrival di ruang IGD dan bagaimana cara menentukan, pakah kematian
tersebut wajar atau tidak wajar?
Pada pasien death on arrival, sebagai dokter umum kita harus memastikan apakah
pasien sudah benar-benar meninggal atau tidak. Hal ini dapat kita pastikan dengan
menentukan apakah terdapat tanda-tanda kematian.
Tanda tanda kematian:

1. Terhentinya pernafasan dan sirkulisasi, kulit pucat, tonus otot menghilang, dan
relaksasi, dilatasi pupil dan pupil sudah tidak reaktif terhadap cahaya, adanya
segementasi pembuluh darah retina dan pengeringan kornea
2. Pada kematian yang diperkirakan kurang dari 20 menit, dapat kita pastikan
dengan melakukan pemeriksan ECG untuk memastikan henti jantung.
3. Tanda tanda pasti kematian: seperti livor mortis, rigor mortis, dan algor mortis.
Melalui pemeriksaan ini dapat kita perkirakan time of death.
4. Berdasarkan tanda tanda kematian seperti livor mortis, apabila ditemukan warna
yang tidak wajar dapat menunjukan etiologi kematian.
5. Apakah sudah ada tanda-tanda pembusukan.
Selain pemeriksaan tanda-tanda kematian, kita lakukan anamnesis dengan keluarga/
pengantar dan pemeriksaan fisik lain untuk menentukan arah etiologi dari kematian
pasien; wajar atau tidak wajarnya kematian pasien.
1. Berdasarkan anamnesis dapat kita verifikasi apakah estimasi time of death sesuai
dengan keterangan pengantar/keluarga, riwayat penyakit pasien , apakah pasien
memiliki underlying disease yang dapat menyebabkan kematian secara
mendadak. Faktor usia pasien juga harus dipertimbangkan.
2. Selain itu, pada saat meninggal apakah pasien sedang beraktivitas, sedang tidur
atau beristirahat, apakah pasien mengalami gejala-gejala seperti nyeri dada, mual
muntah setelah mengkonsumsi makanan atau minuman tertentu.
3. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh, selain untuk mencari tandatanda kematian, namun juga untuk menilai apakah ada tanda tanda kekerasan,
keracunan, usaha bunuh diri, kecelakaan, dll.
4. Apabila dicurigai penyebab kematian tidak wajar, sebisa mungkin kita ambil
sample darah dan urin dari pasien dan segera konsultasikan ke dokter forensik.
5. Diagnosis pasien didasarkan apa yang kita dapatkan pada pemeriksaan yang kita
lakukan di IGD.
4. Apakah yang menjadi dasar pemikiran bahwa seorang dokter dapat melakukan
pemeriksaan medis pada seorang pasien jika tidak membawa surat keterangan visum.
Apa dasar dokter tetap memeriksa pasien tersebut?
Orang tersebut dihadapan dokter berstatus sebagai pasien yang memiliki hak untuk
diperiksa, diobati atau dirawat. Sebagaimana tercantum dalam UU Republik
Indonesia no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dan pernyataan SK PB IDI
yang dua diantaranya :
Nomer 2
Hak pasien untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan
standar profesi kedokteran atau kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.
Nomer 5
Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan
pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
Sebagai pasien, orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul akibat
hubungan dokter-pasien (kontak terapeutik). Sehingga dokter dapat melakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, kemudian menuliskannya


sebagai rekam medis. Dan dokter dapat memberikan terapi jika memang dibutuhkan
sesegera mungkin. Sebagai korban hidup, orang tersebut juga berstatus sebagai
korban untuk dibuatkan visum et repertum (VeR). VeR merupakan surat keterangan,
jadi dapat dibuat berdasarkan rekam medis.
Pemeriksaan dokter yang dilakukan tanpa adanya surat permintaan visum (SPV) dapat
menyelamatkan barang bukti dalam waktu yang lebih cepat, agar kemungkinan
hilangnya barang bukti lebih sedikit. Jika SPV memang belum ada atau datang
terlambat.

5. Apakah prinsip dasar identifikasi didalam kacamata kedokteran forensik? Kapan


seorang dokter menyatakan bahwa seorang korban sudah teridentifikasi?
Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHP
pasal 133
1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaanbketerangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangaran ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksa.
3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak
dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain
badan mayat.
Seorang dokter menyatakan bahwa korban sudah teridentfikasi, apabila dari semua
metode identifikasi korban yang telah dilakukan, minimal dua pemeriksaan,
memberikan hasil positif atau tidak meragukan. Maksud disini tidak meragukan
adalah sesuai dengan data antemortem yang didapat dari keluarga dan sanak saudara
pasien/korban.
Identifikasi forensik dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan. Pemeriksaan ini
memiliki tujuan untuk mnentukan identitas personal, metode yang digunakan antara
lain :
Identifikasi sidik jari.
Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan sidik jari antemortem.
Ketepatan dari pemeriksaan ini lumayan diakui tepat.
Visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah ke orang-orang
yang merasa kehilangan anggota keluarganya. Efektif jika korban belum
membusuk.
Dokumen

Metode ini dilakukan dengan melihat semua dokumen yang ditemukan


bersama pasien, dokumen tersebut seperti KTP, SIM, dan kartu-kartu identitas
lainnya.
Pakaian dan perhiasan
Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi pakaian dan perhiasan yang
digunakan korban, yang nantinya dicocokkan dengan pakain terakhir pasien
sebelum hilang.
Medik
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna
mata, cacat/kelainan khusus, dan tatoo.
Gigi
Data gigi korban nantinya dicocokkan dengan ciri khas yang dimiliki pasien
Serologik
Untuk penentuan golongan darah korban
Eksklusi
Biasanya digunakan untuk identifikasi korban dari kecelakaan massal.
Identifikasi DNA

Akan lebih baik jika pemeriksaan yang lain juga menghasilkan hasil positif, sehingga
makin tegak bahwa korban yang ditemukan sesuai dengan orang yang dicari.
6. Apa itu etika dan apa yang dimaksud etika kedokteran, jelaskan mengenai cara dan
bagaimana mengurai dilema etika di dunia kedokteran?
Kata etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak
kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika berkaitan dengan konsep yang
dimiliki individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan yang telah
dikerjakan salah atau benar, buruk atau baik. Etika juga dapat di definisikan sebagai
refleksi dari apa yang disebut dengan self control, karena segala sesuatunya dibuat
dan diterapkan dari dan untuk kepentingan orang atau kelompok profesi itu sendiri.
Etika bermula saat manusia merefleksikan unsur etis dalam menyampaikan pendapat
spontan. Kebutuhan refleksi itu dirasakan, karena pendapat etis seseorang tidak jarang
berbeda dengan pendapat orang lain. Karenanya diperlukan etika, dengan tujuan
mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia.
Etika kedokteran adalah seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran dalam
hubungannya dengan klien/pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya serta
merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan
medik ditinjau dari segi norma-norma/nilai-nilai moral. Tujuan dari etika profesi
dokter adalah untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya perkembangan yang
buruk terhadap profesi dokter dan mencegah agar dokter dalam menjalani profesinya
dapat bersikap profesional maka perlu kiranya membentuk kode etik profesi
kedokteran untuk mengawal sang dokter dalam menjalankan profesinya tersebut agar
sesuai dengan tuntutan ideal. Tunutan tersebut kita kenal dengan kode etik profesi
dokter.
Ada beberapa prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh dokter dalam
pendekatan penyelesaian masalah/dilema etik yaitu seperti penerapan prinsip otonomi
didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan memutuskan.
Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat keputusan

sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai, dengan
itu dokter menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan tentang pengobatan
dirinya sebagai pasien. Kedua prinsip beneficience yaitu seorang dokter selalu
berusaha mengerjakan suatu tindakan dengan sebaik-baiknya. Kebaikan juga
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain, ketiga prinsip keadilan
(justice) oleh dokter untuk terapi yang sama dan adil terhadap semua pasien yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan
dalam praktek profesional ketika dokter bekerja untuk terapi yang benar sesuai
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas
pelayanan kesehatan, lalu prinsip nonmalaficience yaitu dokter berusah melakukan
tindakan agar tidak menimbulkan bahaya/cedera secara fisik dan psikologik pada
pasien lalu prinsip veracity (kejujuran) yaitu dokter menyampaikan kebenaran pada
setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti, dan kebenaran
adalah dasar dalam membangun hubungan saling antara dokter-pasien, lalu prinsip
kerahasiaan yaitu dokter harus menjaga informasi tentang pasien nya tersebut tak ada
satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien
dengan bukti persetujuannya seperti diskusi tentang klien diluar area pelayanan,
menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang pasien dengan tenaga kesehatan
lain harus dicegah. Prinsip-prinsip tersebut yang harus selalu di pertimbangkan,
dipahami dan dijalankan oleh seorang dokter.
7. Apa definisi hukum dari istilah malpraktek medis, jelaskan prinsip-prinsip atau kaidah
menegakan bahwa suatu kasus kelalaian dalam praktek kedokteran adalah kasus
malpraktek medis?
Makna atau pengertian malpraktik tidak terdapat pada peraturan perundang-undangan,
namun terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga
Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (UU Praktik Kedokteran);
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka
terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal
sebagai berikut:
1. Melalaikan kewajiban;
2. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang
tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatan;
3. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
4. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 360 KUHP lazim digunakan untuk menuntut dokter atas dugaan malpraktek
medis. Pasal 359 digunakan bila menyebabkan kematian. Dua macam tindak pidana
menurut Pasal 360 yakni: (1) ...karena kesalahannya menyebabkan orang lain
mendapat luka berat... (2) ...karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu...
Dari Ayat (1) dapat dirinci unsur-unsurnya:

a)
b)
c)
d)

Adanya kelalaian;
Adanya wujud perbuatan;
Adanya akibat luka berat;
Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan.

Ayat (2) mengandung unsur-unsur:


a) Adanya kelalaian;
b) Adanya wujud perbuatan;
c) Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit; luka yang menjadikan
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu
tertentu;
d) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat.
8. Apakah yang dimaksud dengan kematian dalam kacamata kedokteran forensik,
apakah berbeda dengan kematian dari kacamata hukum, yaitu sesuai dengan undangundang tentang kesehatan?
Dalam kedokteran forensik terdapat istilah tanatologi yaitu bagian dari Ilmu
Kedokteran Forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah
kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Dalam tanatologi
dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat
terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu susunan saraf pusat,
sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan yang menetap (irreversible). Secara
klinis tidak ditemukan refleks-refleks, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak
terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidaj terdengar pada
pemeriksaan auskultasi. Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah
terhentinya ketiga sistem kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran
sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa
ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus
keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam. Mati seluler (mati
molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat
setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan
berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan.
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak yang
irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu
sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati
otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan seluruh isi
neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.
Sedangkan definisi kematian menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal
117, kematian didefinisikan sebagai:
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirkulasi dan sistem
pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang
otak telah dibuktikan
Kematian menurut kacamata Kedokteran Forensik dan Undang-Undang Kesehatan
terdapat perbedaan dimana dalam kedokteran forensik menjelaskan secara lengkap

tanda kematian yang dibagi menjadi dua yaitu tanda pasti dan tidak pasti, sedangkan
dalam Undang-Undang Kesehatan kematian hanya mendefinisikan bahwa tanda
kematian apabila fungsi sistem tubuh terbukti telah terhenti dimana tanda kematian
tersebut merupakan diantaranya adalah tanda tidak pasti dalam kematian menurut
kacamata Kedokteran Forensik sehingga kurang menguatkan bukti kematian menurut
keterangan medis.

9. Jelaskan sejarah Ver, beserta batasan dan substansinya dikaitkan dengan ilmu
kedokteran?
Nama visum et repertum tidak pernah disebut di dalam KUHAP maupun hukum acara
pidana sebelumnya (RIB=Reglemen Indonesia yang diBarui). Nama visum et
repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang
berbunyi :
1. Visa reperta dari dokter-dokter yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan
pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Belanda atau di Indonesia, atau
sumpah khusus sebagai yang dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti
dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang
dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Belanda maupun di
Indonesia sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah
(janji) sebagai berikut :
Sedangkan bunyi sumpah dokter yang dimaksud dalam pasal 1 di atas adalah lafal
sumpah seperti pada Statsblad 1882 No 97, pasal 38 (berlaku hingga 2 Juni 1960)
yang berbunyi :
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu kedokteran,
bedah, dan kebidanan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undangundang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya dan bahwa saya tidak akan
mengumumkan kepada siapapun juga segala sesuatu yang dipercayakan kepada saya
atau yang saya ketahui karena pekerjaan saya, kecuali kalau saya dituntut untuk
memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di muka pengadilan atau selain itu saya
berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk memberi keterangan."
Dari bunyi Stb 350 tahun 1937 terlihat bahwa :
1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang dilihat
atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya dianggap
memberikan kesaksian mata saja.
2. Visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan
sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter
seperti yang tertera pada Statsblad No 97 pasal 38 tahun 1882. Lafal sumpah
dokter ini digunakan sebagai landasan pijak pembuatan visum et repertum.
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan
visum et repertum adalah pasal 186 dan 187. Pada pasal 186 dijelaskan bahwa
keterangan ahli ialah segala hal yang dinyatakannya di sidang pengadilan. Artinya

keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Sedangkan pada
pasal 187, butir (c) dinyatakan bahwa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang
diminta secara resmi kepadanya. Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah
sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1) yang menyatakan bahwa
alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa. Dari pasal-pasal tersebut tampak bahwa yang dimaksud dengan
keterangan ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang
dimaksud dengan visum et repertum dalam Stb no.350 tahun 1937.
Perbedaannya adalah bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah keterangan
atau pendapat yang dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak
hanya terbatas pada apa yang dilihat dan ditemukan oleh si pembuat. Oleh karena itu
berdasarkan keilmuannya maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh
dokter harus dibuat atas dasar pemeriksaan medik.
Nama visum et repertum hingga saat ini masih dipertahankan walaupun dengan
konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama visum et repertum ini
digunakan untuk membedakan surat/keterangan ahli yang dibuat dokter dengan
surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter
substansi visum et repertum, yaitu:
1. Pembukaan
kata pro justitia yang diletakan di bagian atas. kata ini menjelaskan bahwavisum et
repartum khusus di buat utntuk tujuan peradilan .
2. pendahuluan
bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repartum dan instansi
kesehatannya, unstasi penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal surat
permintaanya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang
diperiksa.
3. pemberitaan
bagian ini berisi hasil pemeriksaan medis tentang keadaan kesehatan atau sakit atau
luka korban yang berkaitan dengan perkaranya . Apa yang dilihat, dan ditemukan
sepanjang pengetahuan kedokteran, tindakan medis yang dilakukan. bila korban
meninggal dan dilakukan autopsy, maka diuraikan keadaan seluruh alat dalam yang
berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut.
4. kesimpulan
bagian ini berisikan pendapat dokter berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis
perlukaan/ cedar yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta
derajat perlukaan atau sebab kematiannya.
5. Penutup
bagian ini berisikan kalimat baku semikianlah visum et repartum ini saya
buatdengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan mengingat sumpah
sesuai kitab undang-undang hokum acara pidana.
Batasan visum et repartum:

ada 8 hal yang harus diperhatikan pihak berwenang meminta dokter untuk visum et
repartum korban hidup yaitu:
1. harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. langsung menyerahkan kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban atau
keluarganya. juga tidak boleh melalui jasa pos.
3. bukan kejadian yang sudah lewat lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4. ada alasan mengapa korban dibawa ke dokter.
5. ada identitas korban.
6. ada identitas pemintanya.
7. mencantumkan tanggal permintaanya.
8. orban diantar oleh penyidik/polisi/jaksa.
dan ada 8 hal juga yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
untuk membuat visum et repartum jenazah:
1. harus tertulis tidak boleh lisan.
2. harus sedini mungkin.
3. tidak bisa permintaanya hanya untuk pemeriksaan luar.
4. ada keterangan terjadinya tindakan kejahatan.
5. memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6. ada identitas pemintanya.
7. mencantumkan tanggal permintaanya.
8. korban diantar oleh polisi.
saat menerima permintaain embuat Visum et repartum, dokter harus mencatat tanggal
dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mecatat nama petugas yang mengantar
korban. batas waktubagi dokter untuk menyerahkan hasil visum et repartum kepada
penyidik selama 20 hari. bila belum selesai batas waktu menjadi 40 hari dan atas
persetujuan penuntut umum.

S-ar putea să vă placă și