Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
HEMOTORAKS MASIF
RSUD SUNGAILIAT
Pembimbing:
dr.Zulkarnain, Sp.B
Oleh:
dr. Clarissa Elysia
1. DATA PASIEN
Nama
: Tn. AR
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 32 tahun
Pendidikan
: SD
Agama
: Islam
Alamat
: Kp. Jawa
Masuk RS
: 18-12-2016, pk.00.05
2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 6 Desember 2016 pukul
14.00 WIB di ruang rawat inap Garuda
Keluhan Utama:
Nyeri di seluruh lapang perut sejak 2 hari terakhir
Keluhan Tambahan:
Batuk berdahak
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien awalnya datang ke UGD RSUD Sungailiat pada tanggal 2 Desember 2016
pukul 20:55 WIB dengan keluhan batuk sejak 4 hari yang lalu. Batuk dirasakan
semakin memberat disertai dahak berwarna putih. Pasien juga mengeluh sesak nafas
yang terutama dirasakan pada malam hari dan bertambah berat saat tidur. Pasien
memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dan memiliki riwayat merokok
selama 10 tahun, namun sudah berhenti sejak 4 tahun terakhir. Pemeriksaan fisik di
UGD didapatkan tekanan darah 190/110 mmHg dan didapatkan adanya rhonki basah
halus dan wheezing pada kedua lapang paru. Pasien didiagnosis dengan observasi
dispnoe ec suspek PPOK dd/ CHF disertai hipertensi urgensi. Di UGD, pasien
diberikan tatalaksana awal berupa nebulizer ventolin 1 ampul, ambroxol 3x1 Cth,
amlodipin 1x10 mg, serta dilakukan pemeriksaan darah rutin, rontgen thorax, dan
EKG. Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang rawat inap Garuda.
Di bangsal pasien masih tampak sesak (rhonki +/+, wheezing +/+) dan dari
pemeriksaan fisik lanjutan didapatkan adanya asites yang didukung dari pemeriksaan
abdomen yang tampak cembung dan pemeriksaan shifting dullness (+), sehingga
pasien diberikan tambahan terapi berupa lasix 2x1 ampul, dipasang oksigen 2 L/m
melalui nasal kanul, dipasang DC, ISDN 3x1 tab, dan ramipril 1x5 mg.
Setelah pemberian lasix, pasien mengatakan merasa lebih baik, namun pada tanggal 4
Desember 2016 pasien mengeluh perutnya terasa kencang. Pemeriksaan abdomen
tampak abdomen cembung, namun tidak ada nyeri tekan. Dari hasil foto polos
abdomen 3 posisi dan foto thoraks didapatkan kesan pneumoperitonium. Pasien
dikonsulkan ke bagian bedah dan disarankan untuk dipasang NGT dan dilakukan
operasi cito, namun pasien menolak.
Pada tanggal 6 Desember 2016 pasien akhirnya menyetujui untuk dilakukan operasi.
Saat dilakukan anamnesis lanjutan, pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapang perut.
Pasien mengatakan sebenarnya pasien sudah merasakan nyeri perut sejak 3 bulan
terakhir namun tidak dihiraukan. Nyeri perut terutama dirasakan apabila pasien batuk
dan apabila sesudah makan. Pasien juga mengatakan ia tidak bisa makan banyak
karena perutnya menjadi cepat kenyang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan abdomen
tampak cembung, bising usus meningkat, nyeri tekan (+) pada seluruh kuadran
abdomen, shifting dullness (+) dan defans muskular (+).
Riwayat Penyakit Dahulu:
-
Riwayat hipertensi (+), tidak terkontrol, hanya minum obat bila dirasa pusing.
Riwayat DM disangkal.
Riwayat Keluarga:
-
Tidak ada riwayat hipertensi, DM, ataupun riwayat keganasan di dalam keluarga
pasien.
Riwayat Pribadi/Kebiasaan:
-
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 6 Desember 2016, di ruang rawat inap Garuda.
Pemeriksaan Umum:
-
Kesadaran
: Compos mentis
Kooperasi
: Kooperatif
Tekanan darah
: 180/100 mmHg
Nadi
: 82x/menit
Suhu
: 36.60C
Wajah : Simetris
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, RC +/+
Leher
-
Kaku kuduk
: (-)
Paru
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
-
Inspeksi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
-
Inspeksi
: Cembung
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: BU (+) meningkat
Ekstremitas
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 2 Desember 2016
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Hematokrit
GINJAL-HIPERTENSI
Urea
Creatinin
ELEKTROLIT DARAH
Na+
K+
Cl-
Hasil
Nilai Rujukan
9,1
12.000
485.000
3,7 jt
27
42
0,6
20-40 mg/dL
0,5-1,2 mg/dL
134
3,7
98
135-148 mmol/L
3,5-5,3 mmol/L
98-107 mmol/L
Interpretasi EKG
Speed
Amplitudo
Irama
Laju
Regularitas
Gelombang P
Interval PR
Kompleks QRS
Interval QRS
Segmen ST
Gelombang T
Aksis
25 mm/sec
10mm/mV
Sinus
115 x/menit (takikardi)
Regular
Gelombang P mengarah ke atas pada lead II dan terbalik di lead
aVR, lebar < 2,5mm, tinggi < 2,5mm
2 kotak kecil (0,08 detik), interval sama
Tidak terdapat Q patologis
2 kotak kecil (0,08 detik)
Terletak sejajar garis isoelektris
Sandapan ekstremitas tinggi < 5mm, sandapan precordial tinggi
< 10 mm
Normal aksis
Foto toraks PA
Cor : besar dan bentuk normal
Pulmo : tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan bronkovaskuler normal
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Tampak area luscent di subhemidiafragma kanan kiri
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan: Pneumoperitoneum
Supine
Setengah duduk
LLD
Foto Abdomen
Bayangan gas usus tampak meningkat
Tak tampak gambaran coilled spring, herring bone sign (+)
Tampak gambaran udara bebas sub diafragma dan suprahepatal
Tampak gambaran step ladder pathologis
Pre peritoneal fat line tak tampak kelainan
Kesimpulan : sesuai gambaran pneumoperitonium
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 5 Desember 2016
Pemeriksaan
Hasil
IMUNO SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg
Negatif
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Perdarahan
3
Waktu Pembekuan
8
Golongan Darah
O/+
Nilai Rujukan
Negatif
1-3 menit
5-7 menit
5. DIAGNOSIS
Diagnosis pre-operatif : Peritonitis
Diagnosis post-operatif : Perforasi Gaster ec Suspek Ca Adenocarcinoma Gaster
6. TATALAKSANA
Pada tanggal 6 Desember 2016 dilakukan operasi terhadap pasien. Adapun operasi
yang dilakukan adalah : Laparatomi Eksplorasi, Simple Closure Perforasi Gaster,
Biopsi Insisi, dan STAMM Gastrostomi.
Prosedur Operasi :
Insisi midline 2 jari di bawah processus xyphoideus sampai dengan 2 jari di
Stamm Gastrostomy
Terapi Medikamentosa :
Omeprazole 1x1
Levofloxacin 1x1
Ondansetron 3x8 mg
Tramadol 3x100 mg (drip dalam NaCl 100 cc)
Pronalges supp 2x1
Prosogan 1x1
Analtram 2x1
7. PERJALANAN PENYAKIT
Har
i
ke1
Tanggal
Hasil Pemeriksaan
Terapi
02/12/16
IGD
21.15
- Nebulizer Ventolin 1 ampul
- IVFD RL 24 tpm
- Ambroxol syrup 3 x CI
- Amlodipin 1x 10 mg
TD : 190/110 mmHg
N : 94 x/m
RR : 30x/m
S : 36.3 C
Kesadaran : CM
Ronkhi +/+, Wheezing +/+
22.00
- Pasang DC
02/12/16
Garuda
03/12/16
04/12/16
TD : 170/90 mmHg
N : 85 x/m
RR : 20x/m
S : 36.5 C
Perut terasa kencang
Abd : cembung, NT (-), BU (+),
perkusi timpani
- RL 20tpm
- Pasang NGT alirkan
- BNO 3 posisi
- Nuzym 3x1
- Ambacin 2x1
- Ramipril 1x5mg
- Omeprazole 1x1
- Pasang NGT alirkan
- RL 20tpm
- Nuzym 3x1
- Ambacin 2x1
- Ramipril 1x5mg
- Omeprazole 1x1
Dx: Hipertensi
Pneumoperitoneum
4
05/12/16
- Omeprazole 1x1
- Analtram 2x1
- Levofloxacin 1x1
Dx: Hipertensi
Perforasi gaster
Pneumoperitoneum
21.20
Lapor hasil laboratorium ke dr.
Zulkarnain, Sp.B
Setelah diberikan penjelasan,
keluarga menolak operasi
06/12/16
TD : 180/100 mmg
N : 82 x/m
RR : 26 x/m
S : 36.6 C
10.00
- Puasa
- Pro Laparatomi Cito
- Lapor jika setuju operasi
10.50
Lapor dr. Zulkarnain, Sp.B
keluarga setuju dilakukan operasi
(rencana operasi pk 16.00 WIB)
10.52
Lapor dr. Edi, Sp.An advice :
puasakan
PDL :
Hipertensi acc operasi jika TD
< 150/90 mmHg
P:
-Drip Nikardipin 2 ampul dalam
100 cc D5%, Bolus 10 cc 20
tpm
07/12/16
TD : 100/60 mmHg
N : 84 x/m
RR : 22 x/m
S : 37 C
Diagnosis : Post Laparatomi atas
indikasi Perforasi Gaster et causa
Suspek Adenocarcinoma Gaster +
Obstruksi Gastroesophageal
Junction oleh Tumor Gaster
P:
-Puasa
-Inj. Levofloxacin 1x1
-Inj. Ondansetron 3x8 mg
-Inj. Tramadol 3x100 mg (drip
cepat dalam 100 ml NaCl)
-Pronalges supp 2x1
-Lain-lain sesuai TS PDL
PDL :
Syok Sepsis
Th/ :
-KAEN 3B : Aminofluid = 2:1
30 tpm
-Prosogan 1x1
7
08/12/16
TD : 110/80 mmHg
N : 82 x/m
RR : 20 x/m
S : 37 C
Drain : 500 cc darah
Urine : 1200 cc
S : nyeri perut (+) di luka bekas
operasi, flatus (+) 6x
O:
Mata : CA-/- SI -/Thoraks :
Cor : BJ I & II reg, M (-), G (-)
Pul : SN ves +/+, Rh -/-, Wh -/Abd : datar, NT (+), BU (+) normal
Ekst : akral hangat, CRT <2 detik
A : Post Laparatomi H+1 a.i
perforasi gaster ec susp.
Adenocarcinoma gaster
P:
-Diet via selang gastrostomy :
D5% 50 ml/ 4 jam, bilas dulu
dengan air minum 50 ml
-Advice dr. Zul, Sp.B : diet cair
250 ml via kateter gastrostomy
(bilas dulu, tutup/klem)
PDL
Syok sepsis perbaikan
P : lepas rawat
8
09/12/16
TD : 130/80 mmHg
N : 90 x/m
RR : 24 x/m
S : 36,8 C
Drain : 20 cc darah
Gastric : 800 cc
Urin : 400 cc
S : nyeri perut (+) di luka bekas
operasi
O:
Abdomen : datar, NT (+) di
kuadran kiri atas, BU (+) normal
A : Post laparatomi H+2 a.i
perforasi gaster e.c susp.
Adenocarcinoma gaster
P:
-Diet cair via selang gastrostomy
-Terapi lain lanjutkan
Advice dr. Zulkarnain, Sp.B :
-Gastrostomi tube bilas dulu prefeeding, lalu ditutup pasca diet cair
(350 cc/ 4 jam), observasi 3 jam
jika distended buka, jika tidak
kembung terus ditutup
-Informed consent untuk dirujuk
ke Sp.B-KBD di Palembang untuk
terapi lanjut
9
10/12/16
TD : 150/80 mmHg
N : 87 x/m
RR : 22 x/m
S : 36,2 C
Drain : 20 cc
Gastric 10 cc
Urin : 200 cc
S : tidak ada
O:
Abdomen : supel, datar, NT (-)
10
11/12/16
11
12/12/16
12
13/12/16
13
14/12/16
TD : 140/90 mmHg
N : 88 x/m
RR : 22 x/m
S : 36 C
TD : 110/80 mmHg
N : 82 x/m
RR : 21 x/m
S : 36 C
TD : 110/80 mmHg
N : 84 x/m
RR : 20 x/m
S : 36 C
TD : 120/80 mmHg
N : 80 x/m
RR : 20 x/m
S : 36 C
A : H+8 op laparatomi a/i
peritonitis ec perforasi gaster ec
susp. Ca gaster
P:
-Terapi lanjut
-Informed consent keluarga
tidak ada
14/12/16
TD : 70/ palpasi
Th/ :
Pk. 15.20
Pk. 16.15
TD : 90/ palpasi
RR : 1 : 1
Pk. 16.30
TD : 90/ palpasi
SpO2 : 93%
N : 157 x/m
-Pasang OPA
-Bagging, O2 10 lpm
-Lapor dr. Zulkarnain, Sp.B via
telp advice : Acc intubasi, pro
ICU
-Lapor dr. Edi, Sp.An via telp
advice : Drip Nor-epinefrin dalam
RL 20 tpm/mikro TD ulang/ 10
menit, jika TD meningkat, tetesan
dikecilkan Acc ICU
Pk. 17.30
8. DISKUSI
PERITONITIS
Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen
dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus
bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat
perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi,
misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada
perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi
atau ruptur ovarium.1,2
Anatomi
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling kompleks yang terdapat
dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan
batas-batas: 1,2
a
b
c
d
Peritoneum parietal
Peritoneum viseral
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena
trauma abdomen. 3,4
a Bakterial
Pneumococus,
Bacteroides,
proteus,
kelompok
E.Coli,
Streptococus,
Enterobacter-Klebsiella,
Mycobacterium Tuberculosa.
b Kimiawi
:
getah lambung,dan pankreas, empedu, darah,
urin, benda asing (talk, tepung).
Klasifikasi
1 Menurut Agen
a Peritonitis Kimia
Misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu, cairan pankreas
yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
b
Peritonitis Septik
Merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus, sehingga
kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan peradangan.
2
a
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara hematogen.
Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk
yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural)
dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.
Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif
( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif ( streptococcus
pneumonia, staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
1
Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa.
2
Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya kuman penyebab
pneumonia yang tidak spesifik.
Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, di antaranya adalah:
1
Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus genitourinarius
ke dalam rongga abdomen, misalnya pada perforasi appendiks, perforasi gaster, perforasi
kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
Dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan efektif sebagai terapi,
bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari organ visera akibat infeksi
intra-abdomen.
2
Secara operatif
Dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat infeksi intra
abdomen.
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok septik, abses,
perlengketan intraperitoneal.
c
Peritonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD),
dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di
kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida,
mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada
dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan
dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan
tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal.
Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.
Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang
kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. 2,5
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 2
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem.
Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. 2,4
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan
intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi. 2
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus. 2
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir
dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. 1,2,4
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi
pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk
dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum
yang merosot karena toksemia.2
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium
dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu
dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis
kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi
tersebut
menyebabkan
mukus
yang
diproduksi
mukosa
mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan
kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,
misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan
terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak
terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru
setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.
Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. 4
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada
setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif
berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya. 4,5
Diagnosis
1
Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme
yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis
yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam,
nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran
klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini
tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi
menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mulamula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus
infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,
vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri
tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus
melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan
peritonitis bakterial. 1,8
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat
malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis
granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya
tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.
Pada pemeriksaan fisik.
1
Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan,
diperhatikan.
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini
harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran
usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis
biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.
Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit
di abdomen. 1,2
Auskultasi, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuk
pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising
usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang
sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi
7
bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat. 3,5
Perkusi, Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi. 7,8
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar
berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. Pemeriksaan radiologis
merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan
abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 5,8
a
anteroposterior.
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 3543 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan
pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:
a Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring
bone appearance).
Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.4,9
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk
menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil
kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus
tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang
selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi.
Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke
seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi
ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi
maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terusmenerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis,
salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dan lain-lain.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu: 10,11
1
Komplikasi dini
a Septikemia dan syok septik
b Syok hipovolemik
c Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem
d Abses residual intraperitoneal
e Portal Pyemia (misal abses hepar)
Komplikasi lanjut
a Adhesi
b Obstruksi intestinal rekuren
DAFTAR PUSTAKA
1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah;
221-239, EGC, Jakarta.
6. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta : EGC.
7. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
8. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
9. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen dalam
Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma, Binarupa
Aksara, Jakarta
10. Rosalyn
Carson-De
Witt
MD,
Peritonitis
Health
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
11. Putz R & Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia:Sobotta, jilid.2.Jakarta :EGC
Article,