Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
MYESTENIA GRAVIS
PEMBIMBING :
Dr. Handedi, Sp.S, M.kes
PENYUSUN :
Dani Adrian
61111058
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan makalah laporan kasus dengan judul Myastenia Gravis.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
bagian Neurologi RSUD Embung Fatimah Kota Batam
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1
2
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh
karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang
Neurologi.
Batam , Desember 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
I IDENTITAS
II
No. RM
: 166955
Nama
: Tn. AY
Jenis kelamin
: Laki- Laki
Pekerjaan
:-
Pendidikan
: Tamat SLTA
Agama
: Islam
Status perkawinan
: menikah
Alamat
ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 18 Desember 2016
Keluhan Utama : Sulit Menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Embung Fatimah dengan keluhan tidak bisa
menelan sejak 3 hari yang lalu. Kedua kelopak mata turun dan tidak bisa membuka mata
terutama sebelah kiri sejak tiga hari yang lalu serta mengeluh sesak nafas hal tersebut
dialami terutama saat beraktivitas dan membaik saat istirahat. Kedua lengan terasa lemas,
bicara pelo, Pusing, mual dan muntah di sangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan
dan minum seperti biasa hanya pelan-pelan karena pasien batuk-batuk. BAB dan BAK
biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnnya. Pasien
memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak sekitar 7 bulan
4
yang lalu dan pasien juga mempunyai riwayat tumor timus. Pasien tidak memiliki riwayat
Hipertensi. Riwayat kencing manis atau DM dan batuk-batuk lama disangkal. Riwayat
alergi terhadap obat dan makanan disangkal. Penyakit Asma juga di sangkal oleh pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Desember 2016 pada pukul 07.00 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran
:Compos Mentis
Sikap
: Berbaring
Koperasi
: Kooperatif
Keadaan Gizi
: Baik
Tekanan Darah
: 130/90 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Suhu
: 36,6oC
Pernapasan
: 21 x/menit
Keadaan Lokal
Trauma Stigmata
:-
Perdarahan perifer
KGB
Columna vertebralis
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
: Normotia + / +, perdarahan - / -
Hidung
Mulut
Leher
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra, batas kanan ICS
IV linea sternalis dextra, batas kiri ICS V5 2 jari medial linea
midklavikularis sinistra
Auskultasi
Pemeriksaan Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Pemeriksaan Ekstremitas
IV
Superior
Inferior
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS
: E4V5M6 = 15
FKL
: bahasa terganggu
:-
Kerniq
:6
Brudzinsky I
:-
Brudzinsky II
:-
Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Normosmia
:+/+
N. II (Optikus)
Acies visus
: Baik / baik
: Baik / baik
Funduskopi
: Tidak dilakukan
: Ortoposisi + / +
Oculi Dextra
Oculi Sinistra
Lagofthalmus
:-/-
Ptosis
:+/+
Nystagmus
:-/-
Pupil
Bentuk
4mm/4mm
Reflek cahaya langsung
:+/+
:+/+
N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang
: Baik
Menggigit
: Baik
Cabang sensorik
Ophtalmicus
: Baik / baik
Maksilaris
: Baik / baik
7
Mandibularis
: Baik / baik
Refleks
Kornea
:+/+
Jaw reflex
:-/-
N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah
Angkat alis
: Baik / baik
Mengerutkan dahi
: Baik / baik
Menutup mata
: Baik / baik
Menyeringai
: Baik / baik
Plika nasolabialis
Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan
: Baik
N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo
:-
Nistagmus
:-
Koklearis
: Baik / baik
: Berada di tengah
Menelan
: Terganggu
Sensorik
: Baik
N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu
: Baik / baik
Menoleh
: Baik / baik
N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah
: Baik
Menjulurkan lidah
: Lurus ke depan
Atrofi
:-
Fasikulasi
:-
Tremor
:8
Sistem Motorik
Trofi
: eutrofi
Tonus
: normotonus
Kekuatan otot
Ekstremitas superior
: 5555/5555
Ekstremitas inferior
: 5555/5555
Gerakkan involunter :
Tremor
:-/-
Chorea
:-/-
Atetose
:-/-
Miokloni
:-/-
Tics
:-/-
Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : Baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : Baik / baik
Suhu : Tidak dilakukan
Raba : Baik / baik
Refleks Fisiologis
Kornea
:+
Biseps
Triseps
KPR
APR
Dinding perut
: ++/++
: ++/++
: ++/++
: ++/++
: ++/++
Refleks Patologis
Hoffman Tromer
:-/-
Babinsky
:-/-
Chaddok
:-/-
Gordon
:-/-
Schaefer
:-/-
Klonus patella
:-/-
Klonus achilles
:-/9
Fungsi Serebelar
Ataxia
:-
Tes Romberg
: Baik
Disdiadokokinesia
: Baik
Jari-jari
: Baik
Jari-hidung
: Baik
Tumit-lutut
: Baik
Rebound phenomenon
: Baik
Hipotoni
:-/-
Fungsi Otonom
Miksi
: Baik
Defekasi
: Baik
Sekresi keringat
: Baik
V PEMERIKSAAN PENUNJANG
18 Desember 2016
Pemeriksaan
Hematologi
Hb
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Fungsi Ginjal
Ureum darah
Kreatinin darah
Diabetes
Gula Darah Sewaktu
Elektrolit Darah
Natrium
Kalium
Klorida
VI
Hasil
Nilai Rujukan
13,7
41
14.000
248
5,9
29
0,8
10-50 mg/dL
P: 0,7-1,2. W: 0,5-1,0
89
138
4,3
106
135-147 mmol/L
3,5-5,1 mmol/L
95.107mmol/L
RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Embung Fatimah dengan keluhan tidak bisa menelan sejak
3 hari yang lalu. Kedua kelopak mata turun dan tidak bisa membuka mata terutama
sebelah kiri sejak tiga hari yang lalu lalu serta mengeluh sesak nafas hal tersebut dialami
terutama saat beraktivitas dan membaik saat istirahat,. Kedua lengan terasa lemas, bicara
10
pelo, Pusing, mual dan muntah di sangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan dan
minum seperti biasa hanya pelan-pelan karena pasien batuk-batuk. BAB dan BAK biasa.
Pasien memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak sekitar
7 bulan yang lalu dan pasien juga mempunyai riwayat tumor timus. Pada pemeriksaan
fisik Tekanan darah : 130/90 , nadi: 80 x/menit , RR: 21x/i, suhu : 36,6. kondisi umum
baik dan pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan laboratorium terkahir didapatkan leukositosis ringan.
VII DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis
Diagnosis etiologis
Diagnosis topis
VIII PENATALAKSANAAN
Non-medikaMentosa :
-
MedikaMentosa :
-
Oral:
IX
PROGNOSIS
Ad vitam
: Dubia ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
X. FOLLOW UP
19 Desember 2016 : onset 4, waktu 1
S/ Sulit menelan (+), mata kiri tidak bisa dibuka (+),bicara pelo, Batuk (+)
O/
11
KU
Kesadaran
Sedang
CM
Status neurologis :
GCS
TD
130/90
Nd
80x/menit
Nf
20 x/menit
T
36,30C
: E4 M6 V5
RM
N.Cranial
: Pupil bulat isokhor, 2,5 mm/2,5 mm, RCL +/+ RCTL +/+
Motorik
a. Kekuatan : 5/5/5/5
b. Pergerakan : kesan menurun
c. Tonus
: kesan normal
RF
: +/+/+/+
RP
: -/-
Sensorik
: dbn
Otonom
Natrium : 138
Kalium : 4,3
Klorida :106
A/ - Myasthenia Gravis
-
P/
Non-medikaMentosa :
-
Konsul THT
S/ Sulit menelan (+), mata kiri tidak bisa dibuka (+),bicara pelo, Batuk (+)
O/
KU
Kesadaran
Sedang
CM
Status neurologis :
TD
130/90
Nd
80x/menit
Nf
20 x/menit
T
36,30C
GCS
: E4 M6 V5
RM
N.Cranial : Pupil bulat isokhor, 2,5 mm/2,5 mm, RCL +/+ RCTL +/+
Motorik
:
a. Kekuatan
: 5/5/5/5
b. Pergerakan : kesan menurun
c. Tonus : kesan normal
RF
: +/+/+/+
RP
: -/-
Sensorik
: dbn
Otonom
A/ -
Myasthenia Gravis
Lanjut
Codein 2x 10 mg
P/
TD
110/80
Nd
82x/menit
Nf
20 x/menit
T
36,50C
GCS
: E4 M6 V5
RM
N.Cranial : Pupil bulat isokhor, 2,5 mm/2,5 mm, RCL +/+ RCTL +/+
13
Motorik
:
d. Kekuatan
: 5/5/5/5
e. Pergerakan : kesan menurun
f. Tonus : kesan normal
RF
: +/+/+/+
RP
: -/-
Sensorik
: dbn
Otonom
A/ -
Myasthenia Gravis
Lanjut
Metylprednisolon 1x 125 mg
Prednisone 0-2-2
Pemeriksaan dengan barium esofagus jika keadaan umum membaik
P/
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction,2,4.
2. Epidemiologi
15
16
sambungan
yang
disebut
neuromuscular
junction
atau
sambungan
neuromuskular9.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction9.
b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi
otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran
18
post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat
pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial
lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan
terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan
kontraksi otot
4. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik5,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
19
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu
bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.
6. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
20
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-
21
gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini
:
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
7. Diagnosis Miastenia Gravis
a. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal4,8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
22
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat
diperlukan.
menyebabkan
Kelemahan
retensi
otot-otot
karbondioksida
interkostal
sehingga
serta
akan
diafragma
berakibat
dapat
terjadinya
Pemeriksaan Laboratorium
23
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.
Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3
Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i.
24
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain8:
-
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otototot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran
postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
25
8. Penatalaksanaan4,5,7
a.
Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram
atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini
merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya
harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung
paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih
dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
b.
Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
26
Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d.
Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.
e.
Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan
sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang
jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita
mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
27
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
5.
Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myastheniagravis.html. Diakses pada tanggal 08 April 2013.
6.
Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia
Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. ssEdisi 29. EGC. Jakarta.
7.
8.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.
9.
Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
28