Sunteți pe pagina 1din 28

LAPORAN KASUS

MYESTENIA GRAVIS

PEMBIMBING :
Dr. Handedi, Sp.S, M.kes
PENYUSUN :
Dani Adrian
61111058

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM
PERIODE 12 DESEMBER 2016 15 JANUARI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
BATAM

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan makalah laporan kasus dengan judul Myastenia Gravis.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
bagian Neurologi RSUD Embung Fatimah Kota Batam
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1
2

Dr. Handedi, Sp.S, M.Kes , selaku pembimbing laporan kasus penulis


Rekan-rekan kepaniteraan klinik Neurologi RSUD Embung Fatimah Kota Batam atas
bantuan dan dukungannya

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh
karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang
Neurologi.
Batam , Desember 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi


neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah
satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri
adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri.
Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah
otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi
wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu
pernafasan juga dapat terserang1,5.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis
sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet
adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang
berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat3.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan
fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan
sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi
neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh5.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbedabeda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru
diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat
kurang5.

BAB II
LAPORAN KASUS
I IDENTITAS

II

No. RM

: 166955

Nama

: Tn. AY

Jenis kelamin

: Laki- Laki

Tempat, tanggal lahir

: Bandung, 16 September 1969

Pekerjaan

:-

Pendidikan

: Tamat SLTA

Agama

: Islam

Status perkawinan

: menikah

Alamat

: Perumahan Delta Villa Blok K no 1,Tiban Baru Batam

ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 18 Desember 2016
Keluhan Utama : Sulit Menelan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Embung Fatimah dengan keluhan tidak bisa
menelan sejak 3 hari yang lalu. Kedua kelopak mata turun dan tidak bisa membuka mata
terutama sebelah kiri sejak tiga hari yang lalu serta mengeluh sesak nafas hal tersebut
dialami terutama saat beraktivitas dan membaik saat istirahat. Kedua lengan terasa lemas,
bicara pelo, Pusing, mual dan muntah di sangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan
dan minum seperti biasa hanya pelan-pelan karena pasien batuk-batuk. BAB dan BAK
biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnnya. Pasien
memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak sekitar 7 bulan
4

yang lalu dan pasien juga mempunyai riwayat tumor timus. Pasien tidak memiliki riwayat
Hipertensi. Riwayat kencing manis atau DM dan batuk-batuk lama disangkal. Riwayat
alergi terhadap obat dan makanan disangkal. Penyakit Asma juga di sangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga :


keluarga tidak ada yang memiliki keluhan seperti inin. Riwayat darah tinggi dan
kencing manis dalam keluarga disangkal. Tidak ada riwayat Hipertensi , diabetes dan
asma pada keluarga pasien. Pasien tidak merokok, pasien tidak mengkonsumsi alkohol
dan pasien jarang melakukan berolahraga.
III

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Desember 2016 pada pukul 07.00 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran

:Compos Mentis

Sikap

: Berbaring

Koperasi

: Kooperatif

Keadaan Gizi

: Baik

Tekanan Darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Suhu

: 36,6oC

Pernapasan

: 21 x/menit

Keadaan Lokal
Trauma Stigmata

:-

Perdarahan perifer

: Capilary refill time < 2 detik

KGB

: Tidak teraba membesar

Columna vertebralis

: Letak ditengah, skoliosis ( - ), lordosis ( - )

Kulit

: Warna kuning langsat, sianosis ( - ), ikterik ( - )

Kepala

: Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak


mudah dicabut, jejas ( - ), nyeri tekan perikranial ( - )

Mata

: Konjungtiva anemis - / -, sklera ikterik - / -, ptosis + / +,


lagoftalmus - / -, pupil bulat isokor, diameter 5mm/5mm,
refleks cahaya langsung + / +, refleks cahaya tidak
langsung + / +
5

Telinga

: Normotia + / +, perdarahan - / -

Hidung

: Deviasi septum - / -, perdarahan - / -

Mulut

: Bibir sianosis ( - ), lidah kotor ( - ),

Leher

: Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba


pembesaran KGB dan tiroid

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tampak di ICS V 2 jari medial linea midklavikularis


sinistra

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V 2 jari medial linea midklavikularis


sinistra

Perkusi

: Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra, batas kanan ICS
IV linea sternalis dextra, batas kiri ICS V5 2 jari medial linea
midklavikularis sinistra

Auskultasi

: S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pemeriksaan Paru
Inspeksi

: Pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis

Palpasi

: Vocal fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler + / +, ronkhi + / +, wheezing - / -

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Supel, nyeri tekan ( - ), hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus ( + ), 3x/menit

Pemeriksaan Ekstremitas

IV

Superior

: Akral hangat + / +, edema - / -

Inferior

: Akral hangat + / +, edema - / -

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS

: E4V5M6 = 15

FKL

: bahasa terganggu

Tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk

:-

Kerniq

:6

Brudzinsky I

:-

Brudzinsky II

:-

Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Normosmia

:+/+

N. II (Optikus)
Acies visus

: Baik / baik

Visus campus : Baik / baik


Lihat warna

: Baik / baik

Funduskopi

: Tidak dilakukan

N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)


Kedudukkan bola mata

: Ortoposisi + / +

Pergerakkan bola mata

: Baik ke segala arah

Oculi Dextra

Oculi Sinistra

Lagofthalmus

:-/-

Ptosis

:+/+

Nystagmus

:-/-

Pupil
Bentuk

: Pupil Bulat, isokor, diameter

4mm/4mm
Reflek cahaya langsung

:+/+

Reflek cahaya tidak langsung

:+/+

N. V (Trigeminus)
Cabang Motorik
Gerakan rahang

: Baik

Menggigit

: Baik

Cabang sensorik
Ophtalmicus

: Baik / baik

Maksilaris

: Baik / baik
7

Mandibularis

: Baik / baik

Refleks
Kornea

:+/+

Jaw reflex

:-/-

N. VII (Fascialis)
Motorik
Sikap wajah

: Kesan mencong tidak ada

Angkat alis

: Baik / baik

Mengerutkan dahi

: Baik / baik

Menutup mata

: Baik / baik

Menyeringai

: Baik / baik

Plika nasolabialis

: Tidak ada bagian yang lebih mendatar

Sensorik
Pengecapan lidah 2/3 depan

: Baik

N. VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular
Vertigo

:-

Nistagmus

:-

Koklearis

: Baik / baik

N. IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)


Motorik
Kedudukan uvula

: Berada di tengah

Kedudukan arcus faring

: Tidak ada deviasi

Menelan

: Terganggu

Sensorik

: Baik

N. XI (Accesorius)
Mengangkat bahu

: Baik / baik

Menoleh

: Baik / baik

N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah

: Baik

Menjulurkan lidah

: Lurus ke depan

Atrofi

:-

Fasikulasi

:-

Tremor

:8

Sistem Motorik
Trofi

: eutrofi

Tonus

: normotonus

Kekuatan otot

Ekstremitas superior

: 5555/5555

Ekstremitas inferior

: 5555/5555

Gerakkan involunter :
Tremor

:-/-

Chorea

:-/-

Atetose

:-/-

Miokloni

:-/-

Tics

:-/-

Sistem Sensorik
Propioseptif
Getar : Tidak dilakukan
Sikap : Baik / baik
Eksteroseptif
Nyeri : Baik / baik
Suhu : Tidak dilakukan
Raba : Baik / baik
Refleks Fisiologis
Kornea

:+

Biseps
Triseps
KPR
APR
Dinding perut

: ++/++
: ++/++
: ++/++
: ++/++
: ++/++

Refleks Patologis
Hoffman Tromer

:-/-

Babinsky

:-/-

Chaddok

:-/-

Gordon

:-/-

Schaefer

:-/-

Klonus patella

:-/-

Klonus achilles

:-/9

Fungsi Serebelar
Ataxia

:-

Tes Romberg

: Baik

Disdiadokokinesia

: Baik

Jari-jari

: Baik

Jari-hidung

: Baik

Tumit-lutut

: Baik

Rebound phenomenon

: Baik

Hipotoni

:-/-

Fungsi Otonom
Miksi

: Baik

Defekasi

: Baik

Sekresi keringat

: Baik

V PEMERIKSAAN PENUNJANG
18 Desember 2016
Pemeriksaan
Hematologi
Hb
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Fungsi Ginjal
Ureum darah
Kreatinin darah
Diabetes
Gula Darah Sewaktu
Elektrolit Darah
Natrium
Kalium
Klorida
VI

Hasil

Nilai Rujukan

13,7
41
14.000
248
5,9

11,0 16,5 g/dL


33-45 %
3500-10.000/uL
150-500 ribu/uL
4,40-5,90 juta/uL

29
0,8

10-50 mg/dL
P: 0,7-1,2. W: 0,5-1,0

89

< 200 mg/dL

138
4,3
106

135-147 mmol/L
3,5-5,1 mmol/L
95.107mmol/L

RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Embung Fatimah dengan keluhan tidak bisa menelan sejak
3 hari yang lalu. Kedua kelopak mata turun dan tidak bisa membuka mata terutama
sebelah kiri sejak tiga hari yang lalu lalu serta mengeluh sesak nafas hal tersebut dialami
terutama saat beraktivitas dan membaik saat istirahat,. Kedua lengan terasa lemas, bicara
10

pelo, Pusing, mual dan muntah di sangkal oleh pasien, pasien dapat tidur, makan dan
minum seperti biasa hanya pelan-pelan karena pasien batuk-batuk. BAB dan BAK biasa.
Pasien memiliki riwayat panyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak sekitar
7 bulan yang lalu dan pasien juga mempunyai riwayat tumor timus. Pada pemeriksaan
fisik Tekanan darah : 130/90 , nadi: 80 x/menit , RR: 21x/i, suhu : 36,6. kondisi umum
baik dan pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan laboratorium terkahir didapatkan leukositosis ringan.
VII DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis

: Disfagia, ptosis dextra dan sinistra.

Diagnosis etiologis

: Myastenia gravis, Tymoma

Diagnosis topis

: Neuromuscular Junction(motor end plate)

VIII PENATALAKSANAAN
Non-medikaMentosa :
-

RL 500CC 20 tpm + 1 Ampul Neurobion/ 24 jam

MedikaMentosa :
-

Neostigmine (prostigmine) 3x1 Amp


Metylprednisolon 3x 125 mg
Omeprazole 1vial/ 12 jam
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam

Oral:

IX

Mestinon (Pyridostigmine) 5 x 1 tablet PO


Pasang NGT

PROGNOSIS
Ad vitam

: Dubia ad bonam

Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
19 Desember 2016 : onset 4, waktu 1
S/ Sulit menelan (+), mata kiri tidak bisa dibuka (+),bicara pelo, Batuk (+)
O/
11

KU
Kesadaran
Sedang
CM
Status neurologis :
GCS

TD
130/90

Nd
80x/menit

Nf
20 x/menit

T
36,30C

: E4 M6 V5

RM

: Kaku kuduk (-),kernig (-/-), brudzinsky I (-/-), brudzinsky II (-/-)

N.Cranial

: Pupil bulat isokhor, 2,5 mm/2,5 mm, RCL +/+ RCTL +/+

Motorik

a. Kekuatan : 5/5/5/5
b. Pergerakan : kesan menurun
c. Tonus
: kesan normal
RF

: +/+/+/+

RP

: -/-

Sensorik

: dbn

Otonom

: BAK (+) , BAB (+)

Hasil Labor (19/12/2016)


-

Natrium : 138
Kalium : 4,3
Klorida :106

A/ - Myasthenia Gravis
-

Disfagia, ptosis dextra dan sinistra.


Thymoma

P/
Non-medikaMentosa :
-

RL 500CC 20 tpm + 1 Ampul Neurobion/ 24 jam


MedikaMentosa :

Neostigmine (prostigmine) 3x1 Amp


Metylprednisolon 3x 125 mg
Omeprazole 1vial/ 12 jam
Ceftriaxone 1 gr / 12 jam
Mestinon (Pyridostigmine) 5 x 1 tablet PO
NGT Gagal terpasang

Konsul THT

20 Desember 2016 : onset 5, waktu 2


12

S/ Sulit menelan (+), mata kiri tidak bisa dibuka (+),bicara pelo, Batuk (+)
O/
KU
Kesadaran
Sedang
CM
Status neurologis :

TD
130/90

Nd
80x/menit

Nf
20 x/menit

T
36,30C

GCS

: E4 M6 V5

RM

: Kaku kuduk (-),kernig (-/-), brudzinsky I (-/-), brudzinsky II (-/-)

N.Cranial : Pupil bulat isokhor, 2,5 mm/2,5 mm, RCL +/+ RCTL +/+
Motorik

:
a. Kekuatan
: 5/5/5/5
b. Pergerakan : kesan menurun
c. Tonus : kesan normal

RF

: +/+/+/+

RP

: -/-

Sensorik

: dbn

Otonom

: BAK (+) , BAB (+)

A/ -

Myasthenia Gravis

Disfagia, ptosis dextra dan sinistra.


Thymoma

Lanjut
Codein 2x 10 mg

P/

21 Desember 2016 : onset 6, waktu 3


S/ Sulit menelan (+), mata kiri tidak bisa dibuka (+),bicara pelo, Batuk (+)
O/
KU
Kesadaran
Sedang
CM
Status neurologis :

TD
110/80

Nd
82x/menit

Nf
20 x/menit

T
36,50C

GCS

: E4 M6 V5

RM

: Kaku kuduk (-),kernig (-/-), brudzinsky I (-/-), brudzinsky II (-/-)

N.Cranial : Pupil bulat isokhor, 2,5 mm/2,5 mm, RCL +/+ RCTL +/+
13

Motorik

:
d. Kekuatan
: 5/5/5/5
e. Pergerakan : kesan menurun
f. Tonus : kesan normal

RF

: +/+/+/+

RP

: -/-

Sensorik

: dbn

Otonom

: BAK (+) , BAB (+)

A/ -

Myasthenia Gravis

Disfagia, ptosis dextra dan sinistra.


Thymoma

Lanjut
Metylprednisolon 1x 125 mg
Prednisone 0-2-2
Pemeriksaan dengan barium esofagus jika keadaan umum membaik

P/

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction,2,4.
2. Epidemiologi

15

Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang


ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan
suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 510 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika
Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang
jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja
dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang
terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya
adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG adalah
penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat
karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis kelamin5.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di
Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus.
Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.
Sebelum dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia
yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat, dan
sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya tandatanda biasanya setelah usia 505.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari
ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi
adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu
setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular.
Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga
yang sama5.
3. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction
a. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiaptiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga
hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu

16

sambungan

yang

disebut

neuromuscular

junction

atau

sambungan

neuromuskular9.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction9.
b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin

asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA


2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
17

tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka
saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan
menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial
aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi
otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran
18

post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat
pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial
lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan
terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan
kontraksi otot
4. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik5,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
19

menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi


area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang
baru disintesis8.
5. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain4,5 :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan


tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas4.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu
bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.
6. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
20

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-

21

gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini
:
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
7. Diagnosis Miastenia Gravis
a. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal4,8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
22

Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat

diperlukan.

menyebabkan

Kelemahan

retensi

otot-otot

karbondioksida

interkostal

sehingga

serta

akan

diafragma

berakibat

dapat

terjadinya

hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran


napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan8.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu
mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8.
b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7
1

Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive antiAChR antibody

Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma

23

dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.


Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein
titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.

Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.

c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3

Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i.

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,


sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
ii.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

24

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam


serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya
defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber
density yang normal.
c.

Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain8:
-

Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :

Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

Paralisis pasca difteri

Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan


adanya suatu sklerosis multipleks.

Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otototot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering
kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran
postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

25

8. Penatalaksanaan4,5,7
a.

Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram
atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini
merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya
harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung
paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih
dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

b.

Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
26

perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan


tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon
secara mendadak harus dihindari.
c.

Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.

d.

Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.

e.

Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan
sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang
jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita
mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

27

BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1.

Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:


http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses pada tanggal 08
April, 2013.

2.

Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi,


Fisiologi, Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.

3.

Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :


http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.
Diakses pada tanggal 08 April, 2013.

4.

Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.

5.

Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myastheniagravis.html. Diakses pada tanggal 08 April 2013.

6.

Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia
Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. ssEdisi 29. EGC. Jakarta.

7.

Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University


Press.

8.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

9.

Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.

28

S-ar putea să vă placă și