Sunteți pe pagina 1din 21

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
Nama Mahasiswa

: Patricia Jessika Babay

NIM

: 11-2013-040

Dokter Pembimbing

: dr. S.Basuki , Sp.KK

Tanda Tangan :

LAPORAN KASUS IMPETIGO KRUSTOSA DAN VESIKOBULOSA


I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. I

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 7 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: Kelas 1 Sekolah Dasar

Alamat

: Jakarta

Tanggal berobat

: 25 Maret 2014

RIWAYAT HIDUP
a.

Susunan Keluarga
Pasien merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara.

b.

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


Berada di lingkungan perumahan dengan sanitasi, hygiene dan ventilasi
yang kurang baik.

c.

Riwayat Sosio-Ekonomi
Ayah os bekerja serabutan menjadi kuli bangunan atau petani
dengan penghasilan yang kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan
1

sehari-hari.

Penghasilan hanya bersumber dari ayah, sedangkan ibu

adalah ibu rumah tangga.


Kesan : Keadaan ekonomi keluarga pasien kurang baik.
d.

Riwayat Kebiasaan
Pasien biasanya mandi teratur 2x sehari, pagi dan sore hari dengan
menggunakan sabun mandi. Namun setelah keluhan ini muncul, pasien
lebih jarang dimandikan, hanya diseka dengan kain lap basah 1x sehari.
Pasien juga mengganti pakaiannya 2x sehari setelah mandi dan
menggunakan handuk sendiri. Apabila pasien berkeringat, ibu pasien
jarang mengelap keringat pasien dan mengganti pakaian pasien.
Selain itu juga pasien jarang mencuci tangannya, sering tidur di
lantai namun pasien jarang bermain dengan teman-temannya. Temanteman di sekolah tidak ada yang mempunyai gejala penyakit seperti
pasien. Di sore hari, pasien sering menemani ayahnya untuk memberi
makan ayam peliharaannya.

III.

RIWAYAT PENYAKIT
Alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal 25 Maret 2014 pukul
10.30 WIB di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Tarakan.
A.

Keluhan Utama
Pasien mengeluh lepuh-lepuh sejak 10 hari SMRS.
Keluhan Tambahan
Lepuh terasa sangat gatal di wajah, leher, dan dada bagian atas.

B.

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak sepuluh hari SMRS, pada kulit hidung timbul lepuh-lepuh
seperti disundut rokok dengan bula kemerahan berisi cairan sebesar ujung
jarum pentul. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering menggarukgaruk kulitnya karena gatal. Bula-bula kemerahan berisi cairan tersebut
sebagian ada yang pecah dan membentuk keropeng. Ibu pasien tidak
2

mengeluhkan adanya demam. Semenjak bula-bula ini muncul, pasien


menjadi lebih rewel dari biasanya, susah makan dan sulit tidur.
Sembilan hari SMRS, ibu pasien mengatakan lepuh-lepuh dan bula
kemerahan ini semakin bertambah banyak di sekitar mulut serta meluas ke
dahi, pelipis dan dagu. Kemudian Ibu pasien membawa pasien berobat ke
Puskesmas dan diberikan obat minum dan salep (Ibu pasien tidak tahu
nama obat). Namun setelah diberikan obat, keluhan pasien tidak
berkurang.
Dua hari SMRS, ibu pasien mengatakan lepuh-lepuh dan bula
kemerahan meluas ke daerah leher, serta jumlahnya semakin banyak.
Ukurannya pun ada yang menjadi lebih besar.
Satu hari SMRS, Ibu pasien mengatakan keluhan pasien tidak
berkurang, tetapi semakin meluas ke dada bagian atas, sehingga Ibu pasien
membawa pasien ke Puskesmas kembali untuk kontrol, dan dirujuk ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Tarakan.
C.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami gejala penyakit seperti ini sebelumnya.

D.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ditemukan gejala penyakit yang sama dalam keluarga pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
1.

STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik, tampak sakit sedang.
Kesadaran

: Compos Mentis

Vital Sign

Tekanan Darah

: tidak dilakukan

Nadi

: 105 x/menit

Suhu

: 37 0C

Pernapasan

: Tidak dapat dievaluasi (pasien tidak kooperatif)


3

2.

Berat badan

: 22 kg

Tinggi Badan

: 85 cm

Status Gizi

: Cukup

STATUS DERMATOLOGIKUS
Distribusi

: Simetris, bilateral, multipel, regional

Lokasi

: dahi, hidung, sekitar mulut, dagu, leher dan dada bagian atas.

Lesi

: Pustul, vesikel-bula, eritema, tampak krusta dan ekskoriasi.


Multipel, diskret sebagian konfluen, bentuk bulat, tidak teratur,
ukuran miliar sampai numular, diameter bervariasi antara 0,2 2
cm, batas tegas, menimbul dari permukaan kulit. Tidak tampak tepi
yang aktif, sebagian kering dan sebagian basah.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan pewarnaan Gram untuk mengetahui adanya bakteri kokus Gram
positif (Staphylococcus atau Streptococcus). Namun pada pasien ini pemeriksaan ini
tidak dilakukan.
RESUME
Seorang penderita anak laki laki berusia 7 tahun, berobat ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Tarakan tanggal 25 Maret 2014 pukul 10.30 WIB dengan keluhan lepuhlepuh seperti disundut rokok dan terasa sangat gatal di wajah dan leher sejak 10 hari
SMRS (alloanamnesis dengan Ibu pasien). Pada anamnesis didapatkan sejak 10 hari
SMRS, pada kulit kepala dan dahi pasien timbul vesikel dan bula dengan jumlah
multipel, berukuran milier sampai numuler disertai pruritus yang meluas ke leher dan dan
dada bagian atas. Higiene pasien kurang.
Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan dermatologis didapatkan pada wajah, leher dan dada bagian atas tampak
pustul, vesikel-bula, eritema, tampak krusta dan ekskoriasi, lesi multiple diskret sebagian
konfluens, bentuk bulat, tidak teratur, ukuran miliar sampai numuler diameter 0,2 2 cm,
batas tidak tegas, menimbul dari permukaan kulit. Tidak tampak tepi yang aktif, kering.
DIAGNOSIS KERJA
Impetigo vesikobulosa dan impetigo krustosa
5

DIAGNOSIS BANDING
1.

Dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder

2.

Ektima

3.

Varisela

USULAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan mikrobiologis : Kultur biakan kuman.
PENATALAKSANAAN
1.

UMUM
a.

Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara pengobatannya.

b.

Menerangkan pada Ibu pasien untuk mencegah pasien menggaruk karena


dapat menyebabkan luka.

c.

Anjuran kepada Ibu pasien agar segera mengelap pasien bila berkeringat
dan mengganti pakaiannya.

d.

Menerangkan kepada Ibu pasien bahwa obat minum yang diberikan 4x 1


sendok teh sehari harus dihabiskan.

e.

Menerangkan kepada Ibu pasien untuk datang kembali (kontrol) stelah 5-7
hari.

2.

KHUSUS

PROGNOSIS
Quo ad Vitam

: ad bonam

Quo ad fungtionam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: ad bonam
ANALISA KASUS

Impetigo merupakan penyakit infeksi menular pada kulit yang sering dijumpai di
bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. Dapat mengenai semua umur, namun umumnya
menyerang anak-anak usia 2-5 tahun.1,2 Penyakit ini bukanlah penyakit yang serius dan
umunya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu apabila diobati secara teratur.3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi. Kultur
dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar, biopsi jarang
dilakukan. Biasanya diagnosa dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes
laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes
mikrobiologi pasti akan sangat menolong.2,3
Pada anamnesis pasien ini ditemukan rasa gatal dan timbulnya vesikel atau bula
yang awalnya muncul di daerah hidung dan sekitar mulut kemudian meluas ke daerah
dahi, leher dan dada bagian atas. Pasien sering tidur di lantai dan menemani ayahnya
memberi makan ayam peliharaannya. Apabila berkeringatnya pasien jarang mengelap
atau mengganti pakaian serta jarang mencuci tangannya, sehingga membuat higienitas
pasien menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gambaran klinis sesuai dengan tinjauan
pustaka dari impetigo krustosa dan vesikobulosa. Pada pemeriksaan dermatologis
didapatkan pada wajah, leher dahi bagian atas tampak pustul, vesikel-bula, eritema,
tampak krusta dan ekskoriasi, lesi multiple diskret sebagian konfluens, bentuk bulat, tidak
teratur, ukuran miliar sampai numuler diameter 0,2 2 cm, batas tidak tegas, menimbul
dari permukaan kulit, tidak tampak tepi yang aktif, sebagian terlihat kering dan sebagian
basah.
Diagnosis banding pada kasus ini antara lain adalah :
7

1. Dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder, karena memiliki beberapa kesamaan


antara lain keluhan gatal, dengan gambaran lesi eritema dan krusta yang tebal.
Namun pada dermatitis seboroik ditemukan gambaran klinis yang khas yaitu
skuama yang berminyak dan kekuningan serta berlokasi di tempat-tempat
seboroik, sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan skuama berminyak dan
kekuningan, sehingga dermatitis seboroik sebagai diagnosis banding dapat
disingkirkan.5
2.

Penyebab penyakit ini sama dengan penyebab penyakit ektima, gambaran


klinisnya (apabila bula sudah pecah) juga mirip yaitu berupa krusta tebal
berwarna kuning. Namun diagnosa banding ektima dapat disingkirkan karena lesi
ektima dapat mengenai anak dan dewasa, tempat predileksi di tungkai bawah, dan
dasarnya adalah ulkus.

3.

Pada varisela jika vesikel pecah juga membentuk krusta namun umumnya vesikel
berdinding tipis, ukuran kecil, pada daerah dasar yang eritem yang awalnya
berlokasi di badan dan menyebar ke wajah dan ekstremitas.
Untuk menegakkan diagnosis impetigo krustosa dan vesikobulosa adalah dengan

pewarnaan Gram untuk melihat adanya bakteri kokus Gram positif (Staphylococcus atau
Streptococcus). Adapun untuk menegakkan diagnosis pasti pada kasus impetigo adalah
dengan biakan atau kultur dari eksudat yang diambil di bagian bawah krusta dan cairan
yang berasal dari bula. Hasil kultur bisa memperlihatkan S. aureus, S. Pyogenes atau
keduanya. Tes sensitivitas antibiotik dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistan S.
aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotik yang sesuai. Namun pada
pasien ini tidak dilakukan, hanya berdasar anamnesis teliti serta pemeriksaan dermatologi
yang sangat mendukung ke arah penyakit impetigo krustosa.3,6
Tujuan dari pengobatan antara lain meredakan rasa nyeri dan memperbaiki
penampilan kosmetik dari lesi, mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut dalam diri
pasien dan orang lain, dan mencegah kekambuhan. Sasaran terapinya yaitu infeksi bakteri
streptokokus atau stafilokokus.9 Perawatan idealnya harus efektif, tidak mahal, dan
memiliki efek samping terbatas. Antibiotik topikal memiliki kelebihan yaitu hanya
diberikan jika dibutuhkan, yang mana meminimalisir efek samping sistemik. Akan tetapi,
8

beberapa antibiotik topikal bisa menyebabkan sensitisasi kulit pada orang-orang yang
rentan.7
Penatalaksanaan pada kasus impetigo dapat dilakukan baik secara medikamentosa
maupun non-medikamentosa sebagai berikut:2,3
1. Terapi non medikamentosa
Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai

mengelupaskan krusta dengan handuk basah


Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah
yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak
Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh
Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran lokal
Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo
krustosa.3

2. Terapi medikamentosa
a. Terapi topikal
Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit
dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo
bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik.
1). Antiseptik
Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo
terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan
menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah
triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh
setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30, 60, 90, dan 120 adalah
sebanyak 0 koloni.
Sehingga

dapat

dikatakan

bahwa

triklosan

2%

mampu

untuk

mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus.


2). Antibiotik Topikal

Mupirocin

Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai


digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat
sintesis RNA dan protein dari bakteri.

Fusidic Acid
Tahun 2001 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang

dibandingkan dengan plasebo (dikombinasi dengan sampo iodine-povidone)


pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien impetigo dan
didapatkan hasil bahwa penggunaan fusidic asid jauh lebih baik dibandingkan
dengan menggunakan plasebo.8

Ratapamulin
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and

Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo.


Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun
vankomisin resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada
protein L3 dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan
menghambat protein sintesis dari bakteri.
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo
yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100
cm2 atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada
pasien tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada
pasien-pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari
terapi. Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan
didapatkan luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar
telah membaik tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan
menggunakan ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya
52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo.4

Dicloxacillin
Penggunaan dicloxacillin merupakan firstline untuk pengobatan impetigo,

namun akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai tergeser oleh


penggunaan ratapamulin topikal karena diketahui ratapamulin memiliki lebih
sedikit efek samping bila dibandingkan dengan dicloxacillin.
10

b. Terapi sistemik
1) Penisilin dan turunannya1,4
a.Penicillin G procaine injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari
Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari
b.Ampicillin
Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac
c.Amoksicillin
Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac
d.Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal penicillin)
Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac
Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac
e.Phenoxymethyl penicillin (penicillin V)
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac
Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac
2) Eritromisin (bila alergi penisilin)1,2,4
Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc
Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc
3) Klindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna)4
Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari
Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari
Pada pasien ini obat yang dipilih untuk kausa penyakit adalah sirup augmentin
yang mengandung kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat. Kombinasi kedua obat
tersebut diharapkan dapat melawan resistensi bakteri terhadap antibiotik betalaktam.
Indikasinya untuk infeksi kulit yang disebabkan oleh beta-laktamase turunan
Stafilokokus aureus. Sedangkan untuk obat topikal diberikan bactroban ointment yang
mengandung mupirocin karena dapat menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri.

11

Indikasinya untuk infeksi kulit primer akut, misalnya impetigo, folikulitis, furunkulosis. 9 Obat
tersebut dioles 3x/hari selama 10 hari.

Penatalaksanaan non-medikamentosa ialah dengan memberikan edukasi kepada


pasien sebagaimana yang telah disampaikan dalam penatalaksanaan umum di depan.

PENDAHULUAN
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada
kulit yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut
rokok/api.

Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering

dijumpai di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Terdapat dua jenis impetigo
yaitu impetigo bulosa yang disebabakan oleh Stafilokokus aureus dan non-bulosa
yang disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus. 1,2 Dasar infeksinya adalah
kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.4
Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering
mengenai usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun
tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan
wanita sama. Di Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah kulit yang
dijumpai pada klinik anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4
tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Impetigo
nonbullous atau impetigo krustosa meliputi kira-kira 70 persen dari semua kasus
impetigo. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta
pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya
masih tergolong lemah atau miskin.3
Tempat predileksi tersering pada wajah terutama sekitar mulut dan hidung,
pada ketiak, dada serta punggung. Gambaran klinisnya berupa vesikel, bula atau

12

pustul yang apabila pecah membentuk krusta tebal kekuningan seperti madu atau
berupa koleret di pinggirnya.3
Terapi umumnya berupa medikamentosa dan non medikamentosa dengan
prinsip tetap menjaga higiene tubuh penderita agar tidak mudah terinfeksi
penyakit kulit. Prognosis umumnya baik. Impetigo umumnya sembuh tanpa
penyulit dalam 2 minggu apabila diobati secara teratur. Komplikasi berupa radang
ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6
tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa
bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna
the. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi
muncul. Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang
(osteomielitis), radang paru-paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal
scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening.3
Dalam makalah ini dilaporkan kasus seorang anak berusia 7 tahun yang
menderita penyakit impetigo krustosa dan vesikobulosa. Diharapkan makalah ini
dapat membantu dokter umum dalam menegakkan diagnosis, mengobati penyakit
ini dengan baik dan mengedukasi pasien dengan benar sehingga penyakit ini tidak
menyebabkan komplikasi lain yang serius.
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Definisi

Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada


kulit yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
13

terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut


rokok/api.

Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering

dijumpai di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Terdapat dua jenis impetigo
yaitu impetigo bulosa yang disebabakan oleh Stafilokokus aureus dan non-bulosa
yang disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus. Dasar infeksinya adalah
kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.1,3
B.

Sinonim
Impetigo bulosa umumnya dikenal sebagai cacar monyet.

Sedangkan

impetigo non bulosa dikenal sebagai impetigo krustosa/kontagiosa/Tillbury


Fox/vulgaris.3
C.

Etiologi
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus betahemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi
keduanya. Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman
ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta.
Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian
menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal
dengan kolonisasi kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada
isolasi kuman di kulit pada sekitar 11 hari kemudian.4
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit
yang terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang
lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada
sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang
buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk. Faktor predisposisi antara lain
kontak langsung dengan pasien impetigo, kontak tidak langsung melalui handuk,
selimut, atau pakaian pasien impetigo, cuaca panas maupun kondisi lingkungan
yang lembab, kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit, pasien
dengan dermatitis.4

D.

Patofisiologi
Pada impetigo krustosa (non bullous), infeksi ditemukan pada bagian
minor dari trauma (misalnya : gigitan serangga, abrasi, cacar ayam, pembakaran).
14

Trauma membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri mudah melekat,


menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Pada epidermis muncul neutrofilik
vesikopustules. Pada bagian atas kulit terdapat sebuah infiltrat yang hebat yakni
netrofil dan limfosit. Bakteri gram-positif juga ada dalam lesi ini. Eksotoksin
Streptococcus pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada daerah berbintik
merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari Streptococcal toxic shock
syndrome. Kira-kira 30% dari populasi bakteri ini berkoloni di daerah nares
anterior. Bakteri dapat menyebar dari hidung ke kulit yang normal di dalam 7-14
hari, dengan lesi impetigo yang muncul 7-14 hari kemudian.4
E.

Gejala Klinis dan Diagnosis


1.

Impetigo Krustosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di
wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber
infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu
anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi
umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi. Kelainan kulit
didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera
terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi.
Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna
kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti madu (honey
colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit
disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi
yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara autoinokulasi.3,5

2.

Impetigo Bulosa
Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak,
dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada
anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan
dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan
kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan
yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah
dan meninggalkan gambaran collarette pada pinggirnya. Krusta
15

varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan


memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang
ditemukan karena sangat rapuh.3,5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi.
Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi
standar, biopsi jarang dilakukan. Biasanya diagnosa dari impetigo dapat
dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun demikian, apabila
diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan sangat
menolong.2,3
F.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari impetigo antara lain adalah ektima, dermatitis
atopi, dermatofitosis, pemfigus vulgaris, dermatitis seboroik dengan infeksi
sekunder, varisela.2,3

G.

KOMPLIKASI
1. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke epidermis
menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan kutan yang ditandai
dengan adanya ulkus dan krusta tebal.
2. Selulitis dan Erisepelas
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya selulitis
dan erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis merupakan peradangan akut kulit
yang mengenai jaringan subkutan (jaringan ikat longgar) yang ditandai dengan
eritema setempat, ketegangan kulit disertai malaise, menggigil dan demam.
Sedangkan erisepelas merupakan peradangan kulit yang melibatkan pembuluh
limfe superfisial ditandai dengan eritema dan tepi meninggi, panas, bengkak, dan
biasanya disertai gejala prodromal.
3. Glomerulonefritis Post Streptococcal
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya disebabkan
oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu glomerulonefritis akut (2%5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak usia kurang dari 6 tahun.
Tidak ada bukti yang menyatakan glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang
16

disebabkan oleh Staphylococcus. Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada


setiap individu, tergantung dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik.
Faktor yang berperan penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe Streptococcus
strain 49, 55, 57,dan 60 serta strain M-tipe 2. Periode laten berkembangnya
nefritis setelah pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis
GNAPS ini terdiri dari hematuria makroskopik atau mikroskopik, edema yang
diawali dari regio wajah, dan hipertensi.
4. Rheumatic Fever.
Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi infeksi
streptokokus yang tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi tersebut
dapat mempengaruhi otak, kulit, jantung,dan sendi tulang.
5. Pneumonia.
Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap tahun. Penyakit ini
biasa terjadi pada perokok dan seseorang yang menggunakan obat yang menekan
sistem imunitas.
6. Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA).
MRSA adalah sebuah strain bakteri stafilokokus yang resisten terhadap sejumlah
antibiotik. MRSA dapat menyebabkan infeksi serius pada kulit yang sangat sulit
diobati. Infeksi kulit dapat dimulai dengan sebuah eritem, papul, atau abses yang
mengeluarkan pus. MRSA juga dapat menyebabkan pneumonia dan bakterimia.
7. Osteomielitis
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi biasanya berasal dari
bagian tubuh yang lain yang berpindah ke tulang melalui darah.
8. Meningitis
Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang melingkupi otak
dan medula spinalis. Meningitis merupakan sebuah penyakit serius yang dapat
mempengaruhi kehidupan dan menghasilkan komplikasi permanen seperti koma,
syok, dan kematian.
H.

Penatalaksanaan
A. Umum
17

Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.

Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area kulit yang
terkena untuk mencegah infeksi.

Mengurangi kontak dekat dengan penderita

Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo diharapkan dapat
melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa:
-

Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan air
mengalir serta membalut lesi.

Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak
menggunakan peralatan harian bersama-sama.

Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan setelah itu
mencuci tangan sampai bersih.

Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang memperberat lesi.

Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.

B. Khusus
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk memberikan
kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan
kekambuhan.
1. Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila terdapat lesi
yang luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.
a. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
o Amoksisilin+ Asam klavulanat
Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.
Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)
o Sefaleksin
Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10 hari.3
o Kloksasilin
Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.
18

b. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
o Eritromisin
Dosis 30-50mg/kgBB/hari.
o Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk
hari ke-2 sampai hari ke-4.
2.Terapi Topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada wajah
dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini dapat sebagai
profilaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan aktivitas
disekolah atau tempat lainnya. Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali sehari
selama 7-10 hari.
o Mupirocin
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari
Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu menghambat
sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-tRNA sintetase
sehingga

menghambat

aktivitas

coccus

Gram

positif

seperti

Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap mupirocin 2%


diindikasikan

untuk

pengobatan

impetigo

yang

disebabkan

Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.


o Asam Fusidat
Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium
coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis
protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan kuman gram
positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin topikal.
o Bacitracin
Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari Strain
Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat sintesis
dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan membran
lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif seperti
19

Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk


pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit seperti impetigo.
o Retapamulin
Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan
dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil
transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima oleh Food and Drug
Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai terapi impetigo pada
remaja dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah menunjukkan aktivitasnya
melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat seperti metisilin,
eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.2,3

PENUTUP
Telah dilaporkan kasus impetigo pada anak usia 7 tahun. Ditegakkan diagnosa
melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik berdasarkan gejala klinis yang terlihat. Pada
pasien ini obat yang dipilih untuk kausa penyakit adalah Augmentin syrup yang
mengandung kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat. Untuk obat topikal diberikan
bactroban ointment yang mengandung mupirocin karena dapat menghambat sintesis RNA
dan protein dari bakteri. Penatalaksanaan non-medikamentosa ialah dengan memberikan
edukasi kepada pasien sebagaimana yang telah disampaikan dalam penatalaksanaan
umum di depan. Sehingga diharapkan dapat membantu pasien dalam proses terapi dan
usaha preventif secara individu.

20

DAFTAR PUSTAKA
1.

Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial
Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7th Ed. New York: McGraw Hill. 2008.
p.1695-1705.

2.

Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.p.36-8

3.

Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston
D.M (eds). Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada:
Saunders Elsevier. 2006. p.255-6.

4.

Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N,
Griffiths C (eds). Rooks Text Book of Dermatology. 7th ed. Turin: Blackwell.
2004. p.27.13-15.

5.

Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of Dermatology.


Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341. 2005.

6.

Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff (Editor), K.


Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen Katz (Editor).
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol. Set). 6th edition (May
23, 2003): By McGraw-Hill Professional.

7.

Norrby A, Teglund, Kotb M. Host Microbe Interactions in The Pathogenesis of


Invasive Group A Streptococcal Infections. Journal Medical Microbiology.
Vol.49. 2005. p.849-52.

8.

Sukanto, martodihardjo, dan Zulkarnain. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi


Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. p.26-30

9.

Guldbakke KK, Khachemoune A. Treatment of Impetigo: A Brief Review.


Dematol Nurs. 2005;17(5):361-364

21

S-ar putea să vă placă și