Sunteți pe pagina 1din 16

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS DAN FAKTOR PENENTU INEFISIENSI USAHA

PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN GORONTALO

Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo


Jl. Muh Van Gobel No. 270, Iloheluma, Bone Bolango, Gorontalo, Indonesia
Email: ariabdrouf@gmail.com

Diterima: 12 Januari 2016; Perbaikan: 21 Maret 2016; Disetujui untuk Publikasi: 30 Juni 2016

ABSTRACT

Technical Efficiency Analysis and The Determinants of Inefficiency Factors of Beef Cattle Fattening in
Gorontalo District. Beef cattle farming in Gorontalo Province generally is managed by household farmers. However,
smallholder cattle operations have several problems like low productivity, small bussiness scale and traditional
management. The objectives of this study are to estimate level of technical efficiency of beef cattle production and to
assess the effect of socio-economic factors on the technical efficiency. Thirty respondents in Tolangohula Sub district,
Gorontalo District, Gorontalo Province were selected by accidental sampling method and analyzed using stochastic
frontier production function. Results of the analysis showed that the beef cattle farming was feasible but the level of
technical efficiency was low with an average efficiency index of 0.690. There were chances to increase in efficiency
by 31%. Factors that affected the production of beef cattle were labors, forages and feeder cattleweight while the
inefficiency was determined by the ownership status of the beef cattle and the intensity of the extension. Therefore, an
access to resources such as technical training and access to an increased number of cattles through a capital increase
needed to be developed.
Keywords: beef cattle, technical efficiency, Gorontalo

ABSTRAK

Secara umum budidaya penggemukan sapi potong di Provinsi Gorontalo dikelola oleh peternak rakyat
dengan ciri-ciri diantaranya produktivitas usaha rendah, skala usaha kecil dan pengelolaan tradisional. Usaha ini
menjadi unggulan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi. Tujuan penelitian adalah menganalisis tingkat
efisiensi teknis dan faktor penentu inefisiensi usaha penggemukan sapi potong. Pengambilan data dilaksanakan di
Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo pada bulan Oktober-November 2013. Penelitian menggunakan data
primer yang diperoleh dari 30 peternak yang dipilih dengan metode accidental sampling. Data kemudian dianalisis
menggunakan fungsi produksi stokhastic frontier. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong
layak diusahakan namun capaian efisiensi teknis usaha sapi potong masih rendah dengan nilai indeks efisiensi rata-
rata sebesar 0,690. Faktor yang mempengaruhi produksi sapi potong yaitu tenaga kerja, pakan hijauan dan bobot
bakalan. Sementara inefisiensi usahatani ditentukan oleh status kepemilikan sapi dan intensitas penyuluhan. Oleh
karena itu, akses terhadap sumber informasi seperti pelatihan teknis dan akses terhadap peningkatan jumlah sapi
melalui peningkatan modal perlu terus dikembangkan.
Kata kunci: efisiensi teknis, penggemukan sapi potong, faktor-faktor penentu inefisiensi etani

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 103
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
PENDAHULUAN menunjukkan bahwa penggemukan sapi potong
diusahakan oleh 25.903 orang atau setara 99,8%,
sedangkan sisanya diusahakan oleh pedagang.
Sapi potong merupakan salah satu Rata-rata skala usaha peternak tersebut adalah
komoditas unggulan sub sektor peternakan di tiga ekor/peternak. Sementara itu, Tawaf dan
Provinsi Gorontalo. Sapi menduduki peringkat Kuswaryan (2006) berpendapat bahwa peternak
pertama sebagai komoditas unggulan, diikuti oleh rakyat memiliki ciri produktivitas usaha rendah,
ayam dan kambing (Mantau et al., 2012). skala usaha kecil, pola usaha tradisional, dan
Berdasarkan potensi pasarnya, terdapat peluang belum berorientasi ekonomi. Prihandini et al.
pemenuhan permintaan daging sapi karena (2005) menyatakan bahwa produktivitas
produksi domestik belum mampu memenuhi peternakan dipengaruhi oleh faktor genetik (30%)
kebutuhan nasional. Pusdatin (2014) dan lingkungan (70%). Sementara faktor yang
memproyeksikan, tahun 2014 pemenuhan daging mempengaruhi produktivitas sapi potong adalah
domestik masih defisit sebesar 19.680 ton atau pakan, bibit, dan manajemen (Rohaeni et al.,
meningkat dibandingkan tahun 2013 yang hanya 2006).
mencapai 7.800 ton. Berdasarkan aspek ekonomi,
Permasalahan yang dihadapi oleh
usaha penggemukan sapi potong tergolong layak
peternak penggemukan sapi potong di Kabupaten
dengan nilai benefit cost ratio (BCR) sebesar
Gorontalo tidak jauh berbeda dengan di daerah
2,03 dan internal rate of return (IRR) 12,3%
lainnya, seperti: 1) umumnya merupakan usaha
(Steflyando et al., 2014; Siregar, 2012). Hasil
sambilan, 2) pengelolaannya masih tradisional, 3)
penelitian Muslianti (2009) menyimpulkan
pakan yang diberikan sebagian besar hijauan,
bahwa peningkatan konsumsi daging ayam dan
sehingga berdampak rendahnya pertambahan
daging sapi merupakan faktor pendorong
bobot badan harian sapi yaitu sekitar 100-200
berkembangnya sub sektor peternakan di Provinsi
gr/ekor/hari (Widiastuti, 2014). Orientasi
Gorontalo. Hal tersebut dicerminkan dari nilai
penggemukan sapi potong masih bersifat
rata-rata Location Quotient (LQ) tahun 2001-
sambilan karena peternak memelihara sapi
2008 subsektor peternakan sebesar 2,3 yang
potong sebagai tabungan yang akan dijual ketika
berarti sub sektor ini memiliki keunggulan
dibutuhkan. Orientasi usaha yang masih sambilan
komparatif dibandingkan sub sektor lainnya.
belum memberikan hasil produksi optimal.
Berdasarkan aspek teknis, Provinsi Terkait produktivitas yang relatif rendah, Coelli
Gorontalo masih berpeluang meningkatkan et al. (1998) menyatakan bahwa terdapat tiga
populasi sapi potong sampai 707.956-795.258 sumber pertumbuhan produktivitas yaitu
satuan ternak (ST) karena carrying capacity perubahan teknologi, efisiensi teknis, dan skala
pakan hijauan yang masih sangat berlebih (Rouf usaha ekonomis. Dengan demikian, usaha
dan Sariubang, 2010; Sariubang et al., 2011). peningkatan produksi melalui peningkatan
Sementara itu, khusus Kabupaten Gorontalo efisiensi teknis sangat dimungkinkan, terlebih
peningkatan kapasitas tampung sapi dapat efisiensi pertanian adalah penyokong utama
mencapai 367.488 ST (Azhar, 2014). terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian
Berdasarkan bangsa sapi yang diternakkan, Sapi dan alokasi efisien sumberdaya ekonomi
Bali dan Peranakan Ongole (PO) sudah sesuai (Darkuet et al., 2013). Hal ini didukung beberapa
dengan kondisi di Gorontalo atau Indonesia hasil penelitian sebelumnya yang menyimpulkan
(Ilham dan Rusastra, 2009; Sariubang et al., bahwa masih terdapat peluang peningkatan
2011). efisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong
Sebagian besar pengusaha penggemukan sekitar 23% (Indrayani 2011; Isyanto et al., 2013)
sapi potong di Kabupaten Gorontalo diusahakan Penelitian terkait peningkatan efisiensi
oleh peternak rakyat. Data BPS (2011) usaha penggemukan sapi penting dilakukan

104 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
karena sapi potong merupakan salah satu Pemilihan metode ini dilakukan karena tidak
komoditas strategis yang menjadi perhatian tersedianya kerangka contoh peternak
pemerintah, dengan pelaku usaha dominan penggemukan sapi potong berorientasi ekonomi.
peternak rakyat. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan informasi peluang peningkatan
produksi melalui peningkatan efisiensi Analisis Data
berdasarkan alokasi sumber daya yang ada. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Potong
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
penelitian ini bertujuan mengetahui faktor Analisis pendapatan usaha penggemukan
penentu efisiensi produksi sapi potong dan sapi dilakukan berdasarkan atas biaya tunai dan
mengukur tingkat efisiensi usaha sapi potong di atas biaya total. Analisis usaha penggemukan
Kabupaten Gorontalo. sapi dihitung berdasarkan lama periode
pemeliharaan rata-rata dari responden yaitu
selama 123 hari (+ 4,1 bulan). Analisis dihitung
untuk periode penjualan yang berakhir pada
bulan Oktober 2013. Hal ini bertepatan dengan
METODOLOGI
hari raya Idul Adha, sehingga banyak peternak
yang menjual sapi. Perhitungan usaha
penggemukan dianalisis dalam dua cara
Tempat dan Waktu
perhitungan yaitu: 1) usaha untuk per satu ekor
Penelitian dilakukan di Kecamatan sapi dan 2) usaha berdasarkan rata-rata
Tolangohula, Kabupaten Gorontalo, Provinsi kepemilikan sapi responden yaitu tiga ekor sapi
Gorontalo pada bulan Oktober-November 2013. per responden. Menurut Soekartawi (2003)
Lokasi ditentukan secara sengaja (purposive) pendapatan dihitung dengan rumus:
dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut
perdagangan sapi potong cukup aktif. Hal ini
dicerminkan dari intensitas pedagang sapi potong
di Kecamatan Tolangohula tertinggi
Dimana:
dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten
Gorontalo (38,09) = Pendapatan atas biaya tunai (Rp)
= Pendapatan atas biaya total (Rp)
= Penerimaan (Rp)
Jenis Data dan Metode Pengambilan Contoh = Biaya tunai (Rp)
Data yang dikumpulkan meliputi = Biaya total (Rp) = ( + )
karakteristik peternak (umur, pendidikan, = Biaya yang diperhitungkan (Rp)
pengalaman beternak, dan jumlah anggota
keluarga) input dan output produksi ternak (bobot Revenue Cost Ratio (R/C) dihitung
sapi potong, jumlah sapi, jumlah pakan, jumlah dengan membagi penerimaan dari usaha
jam kerja dan lama penggemukan) serta harga penggemukan sapi potong dengan biaya yang
input-output produksi yang dikeluarkan peternak dikeluarkan. R/C dikatakan layak jika bernilai
selama satu tahun terakhir antara tahun 2012- lebih dari satu. Biaya tunai dihitung berdasarkan
2013. Pengumpulan data dilakukan menggunakan biaya yang riil, sedangkan biaya yang
instrumen kuesioner. Pengambilan contoh diperhitungkan adalah biaya yang sesungguhnya
dilakukan dengan metode non probability harus dikeluarkan oleh peternak untuk membeli
sampling yaitu accidental sampling sebanyak 30 input produksi dalam waktu penggemukan sapi.
orang peternak sapi potong sebagai responden.

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 105
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor X3 = Bobot awal sapi bakalan (kg)
Penentunya 0 = Intersep
Analisis efisiensi usaha penggemukan (0-3) = Koefisien regresi faktor produksi
sapi potong pada penelitian ini menggunakan Vi- i = error term (Vi adalah noise effect; i
fungsi produksi stochastic frontier Cobb- adalah inefisiensi teknis model)
Douglas. Analisis fungsi produksi dan efisiensi
teknis diperoleh dengan bantuan software Front Nilai koefisien yang diharapkan adalah
versi 4.1. Coelli et al. (1998) berpendapat bahwa 1, 2, dan 3 > 0 artinya nilai koefisien fungsi
fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi penduga produksi frontier usaha penggemukan
yang menggambarkan output maksimum yang sapi potong diharapkan memberikan nilai
dapat dicapai dari setiap penggunaan input. parameter dugaan positif. Dengan semakin
Beberapa sifat yang dimiliki adalah: 1) homogen, meningkatnya jumlah curahan kerja, pakan
2) bentuknya sederhana, 3) bisa diubah kebentuk hijauan, dan bobot awal bakalan maka
fungsi linear, dan 4) jarang menyebabkan diharapkan akan meningkatkan bobot akhir sapi
masalah serta paling banyak digunakan potong.
(Debertin, 2012). Bentuk persamaan umum Sementara itu, efisiensi teknis menurut
fungsi produksi frontier Cobb-Douglas sebagai Coelli et al. (1998) adalah ukuran relatif antara
berikut: output produksi dari suatu produsen dengan
output yang dapat dihasilkan pada kondisi efisien
sempurna pada penggunaan input yang sama.
Nilai ini berkisar antara nol dan satu. Efisiensi
teknis dihitung dengan persamaan berikut:

Dimana: Efisiensi teknis adalah output produksi


yang dihasilkan secara efisien dari sejumlah
Q = Output produksi kombinasi input (Farrel, 1957). Ilustrasi kurva
= Koefisien efisiensi teknis dapat dilihat pada Gambar 1. Pada
= Faktor produksi i ilustrasi tersebut, titik P mewakili penggunaan
vi = noise effect (berkaitan dengan faktor dua faktor input output oleh suatu produsen.
eksternal seperti cuaca dan serangan hama) Sementara kurva SS (isoquant frontier)
i = inefficiency effect (berasal dari faktor mewakili jumlah unit produksi yang sama yang
internal) dihasilkan dari kombinasi dua faktor yang efisien
sempurna. Titik Q menunjukan kondisi produsen
Berdasarkan rumus umum tersebut, yang efisien dengan menggunakan dua faktor
model persamaan penduga fungsi produksi input yang sama dengan produsen P. Oleh karena
frontier Cobb-Douglas usaha penggemukan sapi itu, titik Q menghasilkan output yang sama
potong dirumuskan sebagai berikut: dengan P, namun menggunakan input sebesar
ln Y = ln 0 + 1 ln X1 + 2 ln X2 + 3 ln X3 + OQ/OP kali. Dengan demikian, efisiensi teknis
(vi- i) produsen P didefinisikan sebagai rasio OQ/OP,
menggunakan satuan unit atau persentase.
Dimana:
Penggunaan fungsi stochastic frontier
Y = Bobot akhir sapi potong (kg) akan memberikan dua hasil sekaligus, yaitu
X1 = Jumlah curahan tenaga kerja (HOK) faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis
X2 = Jumlah pakan hijauan (kg) dan inefisiensi teknis usaha. Efisiensi teknis pada

106 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
menurunkan inefisiensi pada usaha atau
meningkatkan efisiensi usaha yang dijalankan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak dan Usaha


Penggemukan Sapi Potong
Karakteristik peternak sapi potong
Pembahasan karakteristik peternak
Gambar 1. Kurva isoquant produksi dan efisiensi meliputi umur, pendidikan, pengalaman usaha
teknis (Sumber: Farrel, 1957) ternak sapi, dan tanggungan keluarga. Gambaran
karakreristik peternak sapi dapat dilihat pada
Tabel 1.
setiap petani ke-i dari sisi ouput, diperoleh
melalui output observasi terhadap output Usia peternak sapi potong secara rata-rata
stochastic frontiernya. Nilai efisiensi teknis sekitar 39 tahun, sementara yang tertua berusia
berhubungan terbalik dengan nilai efek 76 tahun. Dengan demikian, rata-rata usia
inefisiensi teknis. Nilai efisiensi teknis petani peternak masih dalam rentang usia produktif.
dikategorikan cukup efisien jika bernilai 0,7 Padmowihardjo dalam Yusuf (2010)
dan dikategorikan belum efisien jika bernilai < menyimpulkan bahwa kemampuan belajar
0,7 (Coelli et al., 1998). Untuk menentukan nilai seseorang akan semakin cepat dengan bertambah
parameter distribusi ( i) efek inefisiensi teknis usia namun akan menurun ketika berusia 55
usaha penggemukan sapi potong digunakan tahun. Dengan usia peternak yang umumnya
rumus: masih produktif maka kemampuan menerima dan
mengadopsi inovasi teknologi diharapkan lebih
i = 0 + 1Z1 + 2Z2 + 3Z3 + 4Z4 cepat. Suppadit et al. (2006) memiliki
Dimana: kesimpulan yang berbeda bahwa usia peternak
tidak berkorelasi terhadap adopsi teknologi
i = efek inefisiensi teknis
penerapan usaha ternak yang baik (Good
0 = intersep atau konstanta Agricultural Practices-GAP). Hal ini karena
Z1 = umur peternak (tahun) kesempatan memperoleh pengetahuan
Z2 = dummy mengikuti penyuluhan (d1= 0, pemeliharaan sapi pada waktu lampau dan saat
peternak belum pernah mengikuti kegiatan ini adalah sama.
penyuluhan dan d2=1, peternak pernah
mengikuti kegiatan penyuluhan) Pendidikan peternak pada umumnya
Z3 = Pengalaman beternak (tahun) masih rendah, yaitu enam tahun atau tamat SD,
Z4 = dummy kepemilikan (d1=0, ternak milik bahkan ada pula yang tidak bersekolah. Semakin
sendiri dan d2=1, ternak milik orang lain) tinggi pendidikan maka adopsi teknologi
penggemukan sapi semakin tinggi (Suppadit et
Jika parameter penduga inefisiensi al., 2006). Hal ini diduga karena pemahaman dan
bernilai positif maka variabel tersebut kemampuan belajar yang lebih baik dimiliki
berpengaruh terhadap peningkatan inefisiensi peternak yang berpendidikan lebih tinggi.
usaha. Namun, jika parameter penduga inefisiensi Sebaliknya, Yusuf (2010) menyimpulkan bahwa
bernilai negatif maka variabel tersebut

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 107
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
Tabel 1. Karakteristik peternak sapi di Kabupaten Gorontalo
Karakteristik Responden Minimum Maksimum Rata-rata
Umur (th) 20 76 39,7
Lama pendidikan (th) 0 12 6,0
Pengalaman usaha ternak sapi (th) 1 33 6,3
Tanggungan keluarga (orang) 0 4 2,0

tingkat pendidikan peternak di Kabupaten keluarga, yang pada akhirnya mampu memenuhi
Konawe berkorelasi negatif dengan kompetensi kebutuhan pangan dan bukan pangan bagi seluruh
peternak, karena semakin tinggi pendidikan anggota keluarga. Namun demikian, hasil kajian
peternak cenderung meninggalkan usaha sebelumnya menunjukkan tidak terdapat korelasi
ternaknya guna mencari pekerjaan yang dianggap antara jumlah tanggungan keluarga dengan
lebih bergengsi. pendapatan sapi potong (Saleh et al., 2006)
maupun adopsi teknologi (Hendayana, 2012).
Pengalaman usaha penggemukan sapi
potong sekitar 6,3 tahun, namun terdapat seorang
peternak yang memiliki pengalaman lebih dari 20
Karakteristik usaha penggemukan sapi potong
tahun. Pengalaman di bidang peternakan akan
berdampak positip pada usaha penggemukan sapi Karakteristik usaha sangat terkait dengan
potong, karena peternak akan lebih banyak kemampuan manajerial peternak yang akan
mengetahui cara pemeliharaan ternak dengan mempengaruhi efisiensi usaha penggemukan.
baik. Namun demikian, ternyata hasil kajian yang Gambaran curahan tenaga kerja dan aktivitas
dilakukan oleh Suppadit et al. (2006); Mukson et usaha penggemukan sapi potong dapat dilihat
al. (2008), dan Yusuf (2010) menunjukkan pada Tabel 2.
bahwa pengalaman beternak tidak berkorelasi Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian
positif terhadap adopsi teknologi GAP usaha besar alokasi tenaga kerja usaha penggemukan
pengembangan sapi potong atau kompetensi sapi potong di lokasi pengkajian untuk mencari
peternak. Hal ini diduga terkait dengan relatif rumput yang mencapai 45,1% atau setara dengan
tetapnya pengelolaan penggemukan sapi potong. 14,3 HOK/ekor/periode. Curahan waktu
Dalam arti, dari dulu hingga kini pemeliharaan selanjutnya dialokasikan relatif merata untuk
sapi belum intensif, digembalakan di padang memberi makan (16,1%), membersihkan kandang
rumput dan masih sebagai usaha sambilan (belum (13,6%), dan memberi minum (15,9%).
berorientasi ekonomi). Keseluruhan alokasi waktu yang dibutuhkan
Karakteristik peternak lainnya adalah untuk memelihara sapi adalah 31,8
jumlah anggota keluarga. Rerata jumlah anggota HOK/ekor/periode. Mengingat rata-rata lama satu
keluarga responden relatif kecil sekitar tiga kali penggemukan sebesar 4,1 bulan atau setara
orang. Besaran anggota keluarga dapat dengan 123 hari, maka dibutuhkan curahan
memberikan dorongan positif terhadap tenaga kerja sebesar 0,259 HOK/ekor/hari.
peningkatan adopsi teknologi usaha Dengan demikian, apabila dikonversi dalam satu
penggemukan sapi potong. Dengan adopsi yang HOK maka dapat menangani sekitar empat ekor
tepat akan mampu meningkatkan pendapatan sapi.

108 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
Tabel 2. Alokasi tenaga kerja usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, tahun 2013
Curahan Tenaga Kerja
Kegiatan (%)
HOK1)/ekor/periode
Mencari rumput 14,3 45,1
Memberi makan 5,1 16,1
Bersihkan kandang 4,4 13,6
Memberi minum 4,9 15,9
Memandikan 2,9 9,1
Menjual 0,1 0,2
Jumlah 31,8 100,0
1)
HOK : hari orang kerja

Tabel 3. Jumlah sapi, lama pemeliharaan dan pemberian pakan pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten
Gorontalo, tahun 2013
Keterangan Jumlah
Rataan Simpangan
Jumlah sapi (ekor) 3 1,1
Lama pemelihraan (hari) 123 71,9
Pakan hijaun (kg/ekor/hari) 30,8 8,2
Pakan konsentrat (kg/ekor/hari) 2,6 2,1

Nilai ini lebih rendah dibandingkan Skala usaha penggemukan sapi potong di
temuan Sidauruk et al. (2001) yang menyebutkan lokasi pengkajian relatif kecil dengan jumlah sapi
satu HOK dapat menangani 47 ekor sapi. Namun yang dipelihara rata-rata tiga ekor untuk setiap
hasil kajian lain menyebutkan bahwa seorang peternak. Kecenderungan ini searah dengan data-
pekerja dapat menangani 2-5 ekor sapi (Marawali data pada tabel sebelumnya yang menunjukkan
et al., 2004; Indrayani, 2011; Luanmase et al., usaha penggemukan sapi potong merupakan
2011). Perbedaan kemampuan menangani jumlah usaha sampingan keluarga dengan tenaga kerja
sapi diduga karena pelaku penggemukan juga dalam keluarga yang terlibat juga terbatas. Skala
berbeda. Sidauruk et al. (2001) melakukan kajian usaha yang kecil ini merupakan kondisi umum
di sebuah perusahaan penggemukan, melaporkan keadaan peternakan sapi potong di Indonesia.
bahwa curahan waktu diduga utamanya hanya Hadi dan Ilham (2002) menyatakan skala usaha
digunakan untuk pemeliharaan sapi (pemberian kepemilikan sapi Indonesia beragam. Dengan
pakan, kebersihan, dan pengobatan). Sedangkan pola pemeliharaan intensif berkisar 1-3
curahan waktu mencari rumput sangat kecil atau ekor/peternak, sedangkan di daerah dengan pola
bahkan sedikit sebab biasanya sebuah perusahaan pemeliharaan ekstensif, skala usaha dapat
memiliki kebun rumput sendiri atau terdapat mencapai ratusan ekor, walaupun skala usaha
pekerja lain yang membantu menangani usaha ratusan tersebut tidak banyak dimiliki oleh
kebutuhan rumput. Hal tersebut berbeda dengan peternak. Lebih lanjut dikatakan bahwa skala
peternakan rakyat. Umumnya peternak belum kepemilikan yang kecil disebabkan terbatasnya
memiliki kebun rumput sendiri, sehingga kepemilikan modal, ketersediaan tenaga kerja,
ketersediaan rumput akan bergantung pada iklim dan manajemen pemeliharaan.
atau alam serta jarak pengambilan rumput.
Roessali et al. (2011) mengkaji faktor
Gambaran karakteristik usaha penggemukan
penentu peningkatan skala usaha sapi potong
lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 109
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
dengan menerapkan model persamaan Tobit. Selama 8-9 bulan apabila bakalan berumur
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kurang dari 1 tahun; 2) Selama 6-7 bulan bila
terdapat korelasi positif antara tenaga kerja bakalan berumur 1-2 tahun, dan 3) Antara 4-6
keluarga serta harapan peningkatan pendapatan bulan jika bakalan berumur 2-2.5 tahun (Sugeng,
terhadap skala usaha sapi potong. Artinya, 2006).
peningkatan skala usaha sapi potong berpeluang
Pakan merupakan salah satu faktor
lebih tinggi terjadi jika tenaga kerja keluarga dan
penting yang menentukan keberhasilan usaha
harapan peningkatan pendapatan semakin
sapi potong selain bibit dan manajemen. Pakan
meningkat. Sebaliknya, peningkatan skala
yang diberikan di lokasi pengkajian terdiri dari
berkorelasi negatif dengan kepemilikan sapi,
dua macam yaitu hijauan dan konsentrat. Pakan
tingkat pendidikan, pendapatan tahunan, dan
hijauan yang digunakan antara lain rumput gajah,
risiko usaha. Hal ini bermakna dengan semakin
sedangkan sumber energi bagi ternak berasal dari
sedikitnya jumlah sapi yang dipelihara,
dedak dan ampas tahu. Tabel 3 memperlihatkan
rendahnya pendidikan, pendapatan tahunan, dan
bahwa peternak memberikan pakan hijauan
risiko usaha yang rendah maka dapat
sebesar 30,8+8,6 kg/ekor/hari, sedangkan
menyebabkan peluang peningkatan skala usaha
konsentrat sebesar 2,6+2,1 kg/ekor/hari. Pakan
semakin tinggi.
ini diberikan sebanyak 2-3 kali/hari. Penelitian
Skala usaha dianggap penting sebab yang dilakukan Marawali et al. (2004) dan
dengan semakin tingginya skala usaha jumlah Indrayani (2011) menunjukkan bahwa hijauan
sapi yang dijual semakin banyak, sehingga dan konsentrat berkorelasi positif dengan
diharapkan pendapatan peternak dapat pertambahan bobot badan. Apabila asupan pakan
meningkat. Kesimpulan penelitian terdahulu hijauan meningkat 10% maka bobot badan akan
menunjukan bahwa skala usaha berasosiasi bertambah sebesar 1,19% atau 5,2%.
positif dan signifikan terhadap pertambahan
bobot badan harian (Marawali et al., 2004),
tingkat kesejahteraan peternak (Trigestianto et Analisis Usahatani Penggemukan Sapi Potong
al., 2013), dan adopsi teknologi usaha sapi Perhitungan usaha penggemukan
potong (Suppadit et al., 2006; Hendayana, 2012; berdasarkan biaya dan penerimaan rata-rata
Carrer et al., 2013). Oleh karena itu, upaya selama satu periode penggemukan yaitu 123 hari
peningkatan skala usaha sapi potong khususnya untuk satu ekor sapi. Selain itu, analisis usahatani
peternakan rakyat perlu terus didorong, misalnya juga dilakukan untuk rata-rata setiap responden
dengan peningkatan akses terhadap bank atau atau setara tiga ekor sapi pada periode yang
lembaga keuangan, kredit tanpa agunan atau sama. Struktur rata-rata biaya yang dikeluarkan
bunga kredit yang rendah. dan pendapatan yang diperoleh peternak dalam
Lama pemeliharaan sapi potong satu periode penggemukan ditampilkan pada
bergantung pada umur bakalan yang dipelihara. Tabel 4.
Semakin muda umur sapi bakalan, maka semakin Biaya usaha penggemukan sapi potong
lama pula penggemukan sapi yang harus yang utama dikeluarkan adalah pembelian sapi
dilakukan guna mencapai bobot badan akhir siap bakalan atas biaya tunai mencapai 93,38%,
jual. Tabel 3 menunjukkan bahwa lama sedangkan apabila berdasarkan analisis biaya
pemeliharaan sapi potong rata-rata selama 123 total mencapai 72,12%. Pengeluaran biaya
hari, sedangkan sebagian kecil lainnya terbesar selanjutnya adalah biaya tenaga kerja
melakukan penggemukan lebih dari enam bulan (11,98%) dan pakan (10,78%). Berdasarkan
dengan lama pemeliharaan tertinggi selama 365 analisis biaya tunai, pengeluaran terbesar
hari. Lama penggemukan sapi bervariasi menurut selanjutnya adalah konsentrat (3,96%) dan
umur sapi bakalan yang dipelihara, yaitu: 1)

110 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
pembelian bensin untuk transportasi (1,12%). satu satuan akan menurunkan pendapatan sebesar
Struktur pengeluaran biaya yang didominasi oleh 0,98 satuan (Mlote et al., 2013). Penelitian
pembelian bakalan, pakan, dan tenaga kerja (Mandaka and Hutagaol, 2005) menyimpulkan
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang bahwa korelasi antara pakan hijauan dan tenaga
menyimpulkan bahwa pengeluaran bakalan kerja usaha perah bersifat negatif, sehingga
merupakan biaya utama usaha penggemukan sapi kenaikan harga pakan atau upah tenaga kerja
dengan persentase mencapai 62,15-83,72% akan menurunkan keuntungan petani.
sedangkan biaya pakan antara 10,46-26,93%
Analisis pendapatan menunjukkan usaha
(Sahala et al., 2016; Sukanata et al., 2014).
penggemukan sapi potong dapat memberikan
Biaya-biaya tersebut merupakan keuntungan. Nilai keuntungan yang diperoleh
pengeluaran utama, sehingga peternak perlu lebih peternak berdasarkan biaya total sebesar
mencermatinya agar usaha pengggemukannya Rp441.079 ekor/periode. Keuntungan ini lebih
lebih efisien, dengan pertimbangan pendapatan sedikit dibandingkan keuntungan berdasarkan
peternak lebih sensitif dipengaruhi biaya tersebut. biaya tunai yang mencapai Rp2.436.579
Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa ekor/periode. Oleh karena itu, secara keseluruhan
harga bakalan berkorelasi negatif dengan usaha penggemukan sapi potong disimpulkan
pendapatan, sehingga dengan kenaikan harga layak diusahakan karena nilai pendapatannya
bakalan akan menurunkan pendapatan peternak. bernilai positif.
Peningkatan harga pembelian bakalan sebesar
Tabel 4. Struktur rata-rata biaya dan penerimaan usaha penggemukan per satu ekor sapi dan per peternak di
Kabupaten Gorontalo, tahun 2013
Harga Nilai % thdp biaya % thdp biaya
Input/output produksi Kuantitas
(Rp/unit) (Rp) tunai total
Penerimaan (A)
Penjualan sapi 1 ekor 9.209.004 9.209.004
Biaya Tunai
Bakalan 1 ekor 6.323.856 6.323.856 93,38 72,12
Konsentrat 268kg 1.000 268.000 3,96 3,06
Ampas tahu 15 kg 375 5.625 0,08 0,06
Obat cacing 1,2 butir 14.000 16.800 0,25 0,19
Vitamin 6,0 cc 150 900 0,01 0,01
Garam 0,7 kg 5.000 3.500 0,05 0,04
Mineral mix 1,0 kg 8.000 8.000 0,12 0,09
BBM 12,6l 6.000 75.600 1,12 0,86
Penyusutan kandang dan peralatan 69.640 1,03 0,79
Sewa lahan 504 0,01 0,01
Jumlah biaya tunai (B) 6.772.425 100,00
Biaya diperhitungkan
Tenaga kerja 17,5 HOK 60.000 1.050.000 11,98
Pakan rumput 3782 kg 250 945.500 10,78
Jumlah biaya diperhitungkan (C) 1.995.500 -
Biaya total (D=B+C) 8.767.925 100,00
Pendapatan atas biaya tunai (A-B) 2.436.579
Pendapatan atas biaya total (A-D) 441.079
R/C atas biaya tunai (A/B) 1,36
R/C atas biaya total (A/D) 1,05
Pendapatan rata-rata atas biaya tunai per
peternak (3 ekor) 7.309.737
Pendapatan rata-rata atas biaya total per
peternak (3 ekor) 1.323.237

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 111
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
Analisis R/C berdasarkan atas biaya tunai terdapat peluang peningkatan bobot akhir sapi.
maupun biaya total menunjukkan bahwa usaha Status usaha penggemukan sapi potong hasil
penggemukan sapi di Kabupaten Gorontalo layak penelitian sejalan dengan penelitian sebelumnya
diusahakan dengan nilai R/C 1,36 untuk biaya yaitu bahwa RC rasio atau benefit cost ratio
tunai dan 1,05 untuk biaya total. Nilai 1,36 dan (BCR) usaha penggemukan sapi lebih dari satu
1,05 bermakna bahwa dari setiap pengeluaran (Nisa et al., 2014; Darmawi, 2011).
satu rupiah biaya tunai maka akan diperoleh
tambahan penerimaan sebesar Rp1,36. Demikian
pula, setiap pengeluaran biaya total sebesar satu Tingkat Efisiensi serta Faktor Penentu
rupiah akan dihasilkan Rp1,05 tambahan Efisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong
penerimaan. Namun demikian, jika dibandingkan
Hasil pendugaan fungsi produksi dan sebaran
kedua nilai RC rasio tersebut, maka nilai RC tingkat efisiensi
rasio atas biaya tunai lebih tinggi dibandingkan
RC rasio atas biaya total. Hal ini disebabkan pada Pendugaan fungsi produksi penggemukan
RC rasio biaya total memiliki jumlah pengeluaran sapi potong di lokasi kajian dilakukan dengan
yang lebih tinggi, karena telah memasukkan model stochastic frontier dengan metode
pengeluaran untuk pakan dan tenaga kerja yang Maximum Likelihood Estimation (MLE)
sebenarnya tidak benar-benar dibayar oleh ditunjukkan oleh Tabel 5.
peternak. Tabel 5 menunjukkan bahwa fungsi
Nilai R/C atas biaya total yang hanya produksi dengan metode MLE sudah baik dan
1,05 mengindikasikan bahwa peternak memiliki sesuai dengan kondisi di lapang. Hal tersebut
risiko mengalami kerugian jika terdapat dicerminkan oleh nilai log likehood function
perubahan biaya input atau penurunan produksi. dengan metode MLE sebesar 22,480 lebih tinggi
Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan dibandingkan nilai log likehood function dengan
antara lain peningkatan produksi melalui metode OLS sebesar 17,210. Hasil analisis juga
pemberian pakan berkualitas, sehingga bobot memperlihatkan bahwa distribusi error term
akhir sapi potong dapat lebih tinggi dibandingkan inefisiensi terdistribusi secara normal, karena
capaian rata-rata saat ini (259 kg/ekor). nilai sigma squared bernilai kecil yaitu 0,01.
Berdasarkan laporan Ditjen PKH (2012), secara Terkait dengan ada tidaknya efek inefisiensi yang
nasional bobot akhir sapi bali potong dapat dicerminkan oleh nilai gamma, maka
mencapai 275,56 + 61,93 kg/ekor sehingga masih disimpulkan bahwa error term dalam fungsi
Tabel 5. Pendugaan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas usaha penggemukan sapi potong di
Kabupaten Gorontalo, 2013
Variabel Koefisien Standard error t-ratio
Konstanta -0,406 0,670 -0,606
Tenaga kerja 0,255* 0,053 4,829
Pakan hijauan 0,477* 0,972 4,914
Bobot awal 0,751* 0,103 7,270
Sigma-squared 0,01
Gamma 0,999
Log-likehood function OLS 17,210
Log-likehood function MLE 22,480
LR test of the one-sided error 10,540
Ket : * berpengaruh nyata pada = 0,01

112 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
produksi berasal dari efek inefisiensi. Hal penggemukan sapi potong dapat dilihat pada
tersebut berdasarkan nilai gamma yang Tabel 6.
mendekati satu yaitu sebesar 0,999. Nilai gamma
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebaran
sebesar 99,9% bermakna bahwa 99,9% error
efisiensi tertinggi berada pada kisaran antara
term dalam fungsi produksi berasal dari efek
0,50-0,69 sebanyak 16 orang atau 53,33%,
inefisiensi sedangkan sisanya berasal dari iklim,
sedangkan terendah ada pada kisaran >0,90
cuaca, hama penyakit, dan sebagainya.
sebesar 3,34%. Coelli et al. (1998) berpendapat
Pengaruh masing-masing variabel bebas bahwa suatu usaha dikatakan efisien apabila nilai
dapat diketahui dengan melakukan uji-t. indek efisiensi lebih tinggi dari 0,7. Berdasarkan
Berdasarkan uji t, maka masing-masing variabel hasil tersebut, 16 peternak belum efisien dalam
bebas disimpulkan berpengaruh sangat nyata usahanya yang ditunjukkan oleh nilai inefisiensi
terhadap bobot akhir sapi potong. Hal tersebut lebih kecil dari 0,7 sedangkan 14 peternak telah
ditunjukkan oleh nilai t-hitung variabel tenaga efisien dalam usaha penggemukan sapi. Nilai
kerja (4,829), pakan hijauan (4,914), dan bobot rata-rata efisiensi teknis usaha sapi potong
awal sapi (7,270) lebih tinggi dibandingkan nilai bernilai 0,690, sehingga dapat disimpulkan
t-tabel sebesar 2,5 pada =1% dan df=26. usahatani sapi potong belum efisien karena nilai
rata-ratanya masih dibawah 0,70.
Tabel 6. Sebaran efisiensi teknis produksi penggemukan sapi potong di Kabupaten Gorontalo, 2013
Sebaran efisiensi Jumlah (orang) (%)
0,50-0,69 16 53,3
0,70-0,89 13 43,3
>0,90 1 3,4
Jumlah 30 100,00
Rata-rata 0,690
Minimum 0,508
Maksimum 0,974

Koefisien curahan tenaga kerja bernilai Nilai tersebut juga bermakna bahwa
0,255 bermakna kenaikan curahan tenaga kerja masih terdapat peluang peningkatan efisiensi
sebesar 10% akan meningkatkan produksi sapi usaha sapi potong sebesar 31,0%. Peningkatan
potong sebesar 2,55%. Hal ini sesuai dengan efisiensi tersebut dapat dilakukan melalui
kajian Isyanto et al. (2013) dan Kusnadi et al. manajemen perbaikan pada variabel bebas yang
(2011) yang menyatakan bahwa peningkatan berpengaruh yaitu curahan tenaga kerja, pakan
tenaga kerja dapat meningkatkan produksi usaha. dan bobot awal sapi, maupun perbaikan pada
Sementara koefisien pakan hijauan bernilai 0,477 faktor sumber inefisiensi. Hal yang paling
berarti kenaikan pakan hijauan sebesar 10% akan penting diperhatikan adalah kondisi bakalan dan
meningkatkan bobot akhir sapi sebesar 4,77%. pakan yang diberikan. Bakalan yang dipilih
Koefisien bobot awal sebesar 0,751 bermakna adalah bakalan yang relatif kurus namun sehat.
peningkatan bobot awal sebesar 10% akan Pemilihan bakalan yang kurus dimaksudkan agar
meningkatkan produksi sapi potong sebesar selama proses penggemukan terdapat
7,51%. Hal ini sejalan dengan kajian Yunus pertambahan bobot badan yang lebih tinggi jika
(2014) yang menyebutkan bahwa peningkatan dibandingkan sapi bakalan berkondisi gemuk.
bobot awal dan pakan hijauan akan menurunkan Pemberian pakan tidak sekedar memenuhi jumlah
inefisiensi atau akan meningkatkan efisiensi. asupan namun juga perlu memperhatikan kualitas
Adapun sebaran tingkat efisiensi usaha pakan yang diberikan, sehingga nutrisi yang

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 113
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
tersedia untuk hidup dan pembentukan daging terus ditingkatkan, sehingga memiliki
lebih terjamin. keterampilan dan pengetahuan terbaru.
Faktor kepemilikan sapi diketahui
berpengaruh terhadap inefisiensi. Semakin tinggi
Sumber-sumber inefisiensi teknis
kepemilikan sapi atau jika sapi merupakan milik
Faktor internal peternak yang sendiri maka akan menurunkan tingkat
berpengaruh nyata terhadap inefisiensi adalah inefisiensi. Hal tersebut diduga karena
penyuluhan dan kepemilikan sapi, sementara meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging)
umur dan pengalaman berusaha ternak tidak peternak/petani dibandingkan jika memelihara
berpengaruh terhadap inefisiensi (Tabel 7). sapi orang lain atau mengerjakan lahan orang lain

Tabel 7. Faktor penentu inefisiensi usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo


Variabel Koefisien t-ratio
Konstanta 0,250 0,843
Umur 0,118 0,116
Penyuluhan -0,910** -2,056
Pengalaman -0,559 -1,105
Kepemilikan -0,636*** -1,409
Ket : ** berpengaruh nyata pada = 0,05; *** berpengaruh nyata pada = 0,10

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sehingga pengelolaan usahataninya dilakukan


penyuluhan memiliki nilai koefisien yang dengan lebih baik (Gultom et al., 2014;
bertanda negatif. Hal tersebut bermakna bahwa Suharyanto dan Rinaldi, 2014; dan Kusnadi et
peningkatan pengetahuan melalui pendidikan al., 2011). Oleh karena itu, kebijakan pemerintah
informal khususnya mengenai budidaya sapi dalam upaya peningkatan produksi sapi melalui
potong akan meningkatkan efisiensi. Kesimpulan pemberian bantuan sapi perlu didampingi dengan
ini sejalan dengan kajian Mlote et al. (2013) yang peningkatan pengetahuan peternak. Jumlah
menyatakan bahwa semakin intensif pertemuan kepemilikan sapi sangat dipengaruhi modal
dengan penyuluh, maka efisiensi usaha akan peternak, sehingga akses peternak terhadap
meningkat melalui peningkatan pengetahuan. peningkatan modal usaha melalui lembaga
keuangan dengan administrasi peminjaman yang
Penyuluhan merupakan salah satu faktor sederhana atau skim kredit perlu ditingkatkan.
yang mempengaruhi efisiensi teknis usaha sapi
potong. Oleh karena itu, peran penyuluh dalam Variabel umur berkorelasi positif dengan
mendiseminasi teknologi budidaya sapi potong inefisiensi dengan nilai koefisien 0,118 namun
atau teknologi lainnya sangatlah penting. tidak signifikan. Hal ini bermakna semakin
Kelembagaan penyuluhan masih diperlukan bertambah umur peternak maka terdapat
sebagai wadah penyuluh dalam menjalankan kecenderungan inefisiensi usaha tani akan
berbagai perannya terkait penyuluhan termasuk semakin meningkat. Penurunan efisiensi ini
mengemas teknologi yang akan disampaikan ke diduga karena semakin bertambah umur maka
petani/peternak. Kelembagaan penyuluhan perlu pengelolaan ternak mulai kurang terperhatikan.
didukung dengan peralatan atau infrastruktur Hal ini dimungkinkan karena keterbatasan tenaga
informasi untuk memudahkan dalam atau kemampuan untuk pemeliharaan ternak
mendapatkan dan sekaligus menyampaikan maupun pencarian hijauan. Hal ini sejalan dengan
teknologi di bidang peternakan. Di sisi lain, hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan
pengetahuan dan kapasitas penyuluh juga perlu bahwa semakin meningkatnya umur maka

114 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
inefisiensi akan semakin meningkat (Bahta dan UCAPAN TERIMA KASIH
Baker, 2015; Suharyanto dan Rinaldi, 2014).
Penulis menyampaikan terimakasih
Variabel pengalaman berkorelasi negatif
kepada Badan Litbang Pertanian, Kementerian
dengan inefisiensi namun tidak signifikan dengan
Pertanian atas bantuan dana penelitian yang telah
nilai koefisien sebesar 0,559. Hal ini berarti
diberikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan
dengan semakin meningkatnya pengalaman maka
pada Ir. Hatta Muhammad, M.Si atas
akan meningkatkan efisiensi. Pengalaman akan
dukungannya dalam penyelesaian makalah ini.
memberikan pembelajaran bagi peternak dalam
meningkatkan kinerja usaha maupun mengurangi
kesalahan. Melalui pengalaman maka
pengetahuan peternak akan bertambah dan DAFTAR PUSTAKA
keterampilan akan meningkat. Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa Azhar, MN. 2014. Pengembangan sapi potong
pengalaman akan menurunkan inefisiensi berbasis sumberdaya lahan di Kabupaten
(Indrayani, 2011; Gultom et al., 2014). Gorontalo. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Bahta, Sirak, dan D. Baker. 2015. Determinants
of profit efficiency among smallholder
KESIMPULAN beef producers in Botswana. International
Food and Agribusiness Management
Usaha penggemukan sapi potong di Review. Vol. 18 (3): 10730.
Kabupaten Gorontalo memberikan keuntungan BPS. 2011. Pendataan sapi Potong, sapi perah,
bagi peternak. Namun demikian, pendapatan atas dan kerbau 2011 Kabupaten Gorontalo.
biaya total yang diperoleh relatif kecil (R/C Badan Pusat Statistik.Gorontalo.
mendekati satu), sehingga peternak berpeluang
mengalami kerugian jika terdapat kenaikan harga Carrer, M.J., H. M. de Souza Filho, dan M. B.
input atau penurunan produksi. Kondisi tersebut Vinholis. 2013. Determinants of feedlot
sejalan dengan analisis efisiensi teknis yang adoption by beef cattle farmers in the State
menunjukkan bahwa para peternak belum efisien of Sao Paulo.R Bras Zootec. Vol. 42 (11):
secara teknis, sehingga peternak perlu melakukan 82430.
efisiensi pengelolaan sumber daya produksi yang Coelli, T.J., D.S.P. Rao, C.J. ODonnell, dan
digunakan atau meningkatkan output produksi. G.E. Battese. 1998. An introduction to
Adapun produksi usaha sapi potong di Kabupaten efficiency analysis and productivity
Gorontalo dipengaruhi secara nyata dan positif analysis. Springer Science and Business
oleh faktor tenaga kerja, pakan hijauan, dan Media, Inc, New York.
bobot awal bakalan.
Darku, A.B., S. Malla, and K.C. Tran. 2013.
Historical review of agricultural efficiency
studies, Saskatchewan.
Darmawi, D. 2011. Pendapatan usaha
pemeliharaan sapi bali di Kabupaten
Muaro Jambi.Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Peternakan. Vol. 15 (1): 1422.

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 115
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
Debertin, D.L. 2012. Agricultural Production Kusnadi, N., N. Tinaprilla, S.H. Susilowati, dan
economics. Macmillan Publishing Adreng Purwoto. 2011. Analisis efisiensi
Company, New Jersey. usahatani padi di beberapa sentra produksi
padi di Indonesia. JAE. Vol. 29 (1): 2548.
Ditjen PKH. 2012. Survei karkas 2012.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Luanmase, C.M., S. Nurtini, dan F.T. Haryadi.
Kesehatan Hewan, Kementerian 2011. Analisis motivasi beternak sapi
Pertanian. Jakarta. potong bagi peternak lokal dan transmigran
serta pengaruhnya terhadap pendapatan di
Farrel, M. J. 1957. The measurement of
Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram
productivity efficiency. Journal of the
Bagian Barat. Buletin Peternakan.Vol. 35
Royal Statistical Society. Vol. 120 (3):
(2): 11323.
253290.
Mandaka, S., dan M.P. Hutagaol. 2005. Analisis
Gultom, L., R. Winandi, dan S. Jahroh. 2014.
fungsi keuntungan, efisiensi ekonomidan
Analisis efisiensi teknis usahatani padi
kemungkinan skema kredit bagi
semi organik di Kecamatan Cigombong
pengembangan skala usaha peternakan sapi
Bogor. Informatika Pertanian. Vol. 23 (1):
perah rakyat di Kelurahan Kebon Pedes
718.
Kota Bogor. JAE. Vol. 23 (2): 191209.
Hadi, P.U dan N. Ilham. 2002. Problem dan
Mantau, Z., Warda, D. Walangadi, F. S. I. Hiola,
prospek pengembangan usaha pembibitan
dan Rosdiana. 2012. Kajian Kebijakan
sapi potong di Indonesia. Jurnal Litbang
Agribisnis Komoditas Unggulan Daerah di
Pertanian. Vol. 21 (4): 14857.
Provinsi Gorontalo. BPTP Gorontalo,
Hendayana, R. 2012. Analisis faktor-faktor sosial Kementerian Pertanian. Gorontalo.
ekonomi yang mempengaruhi percepatan
Marawali, HH, S. Ratnawaty, and J. Nulik. 2004.
adopsi teknologi usaha ternak: Kasus pada
Analisis produksi penggemukan sapi
usaha ternak sapi potong di Boyolali, Jawa
potong dalam program sistem usaha
Tengah. Prosiding Seminar Nasional
pertanian di Kabupaten Kupang Nusa
Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011.
Tenggara Timur. Dalam: Thalib A,
Bogor, 7-8 juni 2011. Pusat Penelitian dan
Sendow I, Purwadaria T, Tarmudji,
Pengembangan Peternakan, Kementerian
Darmono, Triwulanningsih E, Beriajaya,
Pertanian. hal. 24349 in.
Natalia L, Nurhayati, Ketaren PP, Priyanto
Ilham, N. dan I.W. Rusastra. 2009. Daya saing D, Iskandar S, Sani Y (Eds). Prosiding
komoditas pertanian: konsep, kinerja dan Seminar Nasional Teknologi Peternakan
kebijakan pengembangan. Pengembangan dan Veteriner 2004. Bogor 4-5 Agustus
Inovasi Pertanian. Vol. 3 (1): 3851. 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Indrayani, I. 2011. Analisis produksi dan daya Peternakan, Kementerian Pertanian: hal.
saing usaha penggemukan sapi potong di 148154.
Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Mlote, S.N., N.S.Y. Mdoe, A.C. Isinika, and L.A.
Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor Mtenga. 2013. Estimating technical
Isyanto, A.Y., M.I. Semaoen, N. Hanani dan efficiency of small scale beef cattle
Syafrial. 2013. Measurement of farm level fattening in the lake zone in Tanzania.
efficiency of beef cattle fattening in West Glob. J Agric. Econ. Ext Rural Dev. Vol. 1
Java Province, Indonesia. Journal of (1): 6575.
Economics and Sustainable Development.
Vol. 4 (10): 100105.

116 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118
Mukson, S. Marzuki, P.I. Sari, and H. Setiyawan. Rouf, A.A. dan M. Sariubang. 2010. Potensi
2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi limbah pertanian sebagai pakan sapi di
potensi pengembangan ternak sapi potong Provinsi Gorontalo. Di dalam: Prasetyo
rakyat di kecamatan Kaliori Kabupaten LH, Natalia L, Iskandar S, Puastuti W,
Rembang, Jawa Tengah. J Indon Trop Herawati T, Nurhayati, Anggraeni A,
Anim Agric. Vol. 33 (4): 30512. Damayanti R, Darmayanti NLPI,
Estuningsih SE, (Eds). Prosiding Seminar
Muslianti, D. 2009. Perkembangan perekonomian
Nasional Teknologi Peternakan dan
Provinsi Gorontalo 2001-2008: identifikasi
Veteriner 2010. Bogor, 3-4 September
sektor-sektor unggulan. Skripsi. Institut
2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Bogor. Bogor.
Peternakan, Kementerian Pertanian: hal.
Nisa, C., R. Winandi, dan N. Tinaprilla. 2014. 235242.
Analisis kelayakan investasi penggemukan
Sahala, J., R. Widiati, dan E. Baliarti. 2016.
sapi potong (Kasus: PT Catur Mitra
Analisis kelayakan finansial usaha
Taruma, Kabupaten Bogor). Forum
penggemukan sapi simmental peranakan
Agribisnis. Vol. 4 (1): 3552.
ongole dan faktor-faktor yang berpengaruh
Prihandini, P.W., D. Pamungkas, and D.B. terhadap jumlah kepemilikan pada
Widodo. 2005. Kemampuan mengelola peternakan rakyat di Kabupaten
usaha peternak dalam usaha ternak sapi Karanganyar. Buletin Peternakan. Vol. 40
potong (Studi kasus di Lemahbang (1): 7582.
Kecamatan Jepon, Blora). Prosiding
Saleh, E., Yunilas dan Y.B. Sofyan. 2006.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan
Analisis pendapatan peternak sapi potong
dan Veteriner 2005. Bogor, 12-13
di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten
September 2005. Pusat Penelitian dan
Deli Serdang. Jurnal Agribisnis
Pengembangan Peternakan, Kementerian
Peternakan. Vol. 2 (1): 3642.
Pertanian: hal. 292298..
Sariubang, M., N. Qomariyah, dan Nasrullah.
Pusdatin. 2014. Outlook daging sapi. Dalam B.
2011. Kinerja sapi potong di Provinsi
Waryanto dan R Widaningsih (Eds).
Gorontalo. Didalam: AW Rauf, R
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Hendayana, E Sutisna, Atekan dan S Ruku
Roessali, W., Masyhuri, S. Nurtini, and D.H. (Eds). Prosiding Seminar Nasional
Darwanto. 2011. Factors influencing Akselerasi Pembangunan Pertanian dan
farmers decision to increase beef cattle. J Perdesaan Berbasis Inovasi dan Sumber
Indon Tropi Anim Agric. Vol. 36 (1): 27 Daya Lokal. Manokwari, 28September
35. 2011.Balai Besar Pengkajian dan
Rohaeni, E.S., R. Zuraida, and Z. Hikmah. 2006. Pengembangan Teknologi Pertanian,
Analisis kelayakan usaha ternak sapi Badan Penelitian dan Pengembangan
potong melalui perbaikan manajemen pada Pertanian, Kementerian Pertanian: hal.
kelompok ternak kawasan baru. Prosiding 462466.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan Sidauruk, R., L. Cyrilla, dan J. Atmakusuma.
dan Veteriner 2006. Bogor, 5-6 September 2001. Analisis efisiensi pola usaha sapi
2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan potong di Bekasi Jawa Barat. Media
Peternakan, Kementerian Pertanian: hal. Peternakan. Vol. 24 (1): 12835.
278283.

Analisis Efisiensi Teknis dan Faktor Penentu Inefisiensi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten 117
Gorontalo (Ari Abdul Rouf dan Soimah Munawaroh)
Siregar, G. 2012. Analisis kelayakan dan strategi Tawaf, R., and S. Kuswaryan. 2006. Kendala
pengembangan usaha ternak sapi potong. kecukupan daging 2010. Dalam Suryanto
Agrium. Vol. 17 (3): 192201. B, Isbandi, Mulyatno BS, Sukamto B,
Rianto E, Legowo AM, (Eds). Prosidng
Soekartawi. 2003. Teori ekonomi produksi
Seminar Pemberdayaan Masyarakat
dengan pokok bahasan analisis fungsi
Peternakan di Bidang Agribisnis untuk
Cobb-Douglas. PT Raja Grafindo Persada,
Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang,
Jakarta.
3 Agustus 2006. Universitas Diponegoro:
Steflyando, R., Abubakar, dan A. Saleh. 2014. hlm. 173185.
Analisis kelayakan usaha sapi potong
Trigestianto, M., S. Nur, dan M. Sugiarto. 2013.
dengan metode zero waste farming di
Analisis tingkat kesejahteraan peternak
Kecamatan Parongpong. Reka Integra.
sapi potong di Kabupaten Purbalingga.
Vol. 1 (4): 22637.
Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol. 1 (3):
Sugeng, Y.B. 2006. Sapi potong. Penebar 115864.
Swadaya, Jakarta.
Widiastuti, R. 2014. Strategi pengembangan sapi
Suharyanto, dan J. Rinaldi. 2014. Efisiensi teknis potong di Kabupaten Gorontalo. [Tesis].
dan faktor-faktor sosial ekonomi petani Institut Pertanian Bogor. Bogor.
yang mempengaruhi inefisiensi teknis
Yunus, M. 2014. Efisiensi usaha penggemukan
usahatani padi sawah di Provinsi Bali.
domba pola kemitraan di Kabupaten
JPPTP. Vol. 17 (3): 23142.
Bogor: Pendekatan Stochastic Frontier
Sukanata, I.W., Suciani, K.W. Parimartha, B.R.T. Analysis. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Putri, dan I.G. Suranjaya. 2014. Analisa Bogor.
pendapatan dan efisiensi ekonomis
Yusuf. 2010. Kompetensi peternak dalam
penggunaan pakan pada usahatani
pengelolaan usaha sapi potong di
penggemukan sapi bali. Majalah Ilmiah
Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
Peternakan. Vol. 17 (1): 2024.
Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suppadit, T., N. Phumkokrak, and P. Poungsuk.
2006. Adoption of good agricultural
practices for beef cattle farming of beef
cattleraising farmers in Tambon Hindard,
Dankhunthod District, Nakhon Ratchasima
Province, Thailand. KMITL Sci Tech J.
Vol. 6 (2): 6773.

118 Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 19, No.2, Juli 2016: 103-118

S-ar putea să vă placă și