Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
diakibatkan oleh peningkatan obesitas (Wijaya, 2004). Perdebatan tentang definisi ini
terjadi seiring dengan hasil penelitian yang terus berkembang, namun seluruh
kelompok studi tersebut setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan
definisi yang berbeda, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenali
beberapa komplikasi1,2
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995 memperlihatkan
bahwa prevalensi Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah sebesar 1,8% dan
hipertensi sebesar 8,2%. Di tahun 2001, prevalensi PJK meningkat menjadi 4,3% dan
hipertensi bertambah menjadi 28% (Depkes, 2003; Khan et al., 2005). Riset
penyakit jantung 7,2%, hipertensi 31,7%, sedangkan Diabetes Mellitus (DM) 5,7%,
sedenterial 48,2%, obesitas 19,1% dan obes sentral 18,8%. Menurut tipe daerah
1
Penyakit kardiovaskuler (PKV) merupakan penyebab utama mortalitas dan
oleh penyakit ini dan penjelasan yang paling memungkinkan untuk menerangkan
munculnya epidemik baru (PKV) adalah adanya kondisi yang disebut sebagai SM3
Data epidemiologi menyebutkan prevalensi SM dunia adalah 20-25%. Hasil
26-82 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita SM (Ford ES, 2004).
dan 21% pada wanita . Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI)
faktor sosial ekonomi (sosek) adalah hal yang perlu untuk diperhatikan. Faktor
tersebut berkaitan dengan Hipotesis Barker. Hipotesis ini menyebutkan bahwa anak
yang kekurangan gizi saat lahir atau semasa bayi mempunyai risiko yang tinggi untuk
menderita PJK atau Non-insulin Dependen Diabetes Mellitus pada saat dewasa 4
terkait dengan obesitas, antara lain, pola makan, kurang olahraga, kelainan
kejadian obesitas sebagai prediktor utama kejadian SM. Penelitian Sobal dan
Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan antara sosial economic status
2
(SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di negara maju kelompok
wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi
kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi (Inou,
2000).
Studi cross sectional pada sebagian besar perkotaan di Brazil menunjukkan
prevalensi SM yang tinggi (25,4%), yang meningkat pada masyarakat dengan usia
lebih tua (khususnya wanita) dan SES rendah. Meskipun prevalensi SM hampir sama
pada kedua jenis kelamin, tetapi frekuensi komponen yang menentukan SM sangat
bervariasi di antara mereka. Secara spesifik, interaksi yang signifikan antara jenis
kelamin dan SES telah ditemukan. Hal tersebut menjelaskan tentang interaksi yang
hidup (aktifitas rendah, pola makan tinggi energi dan rendah serat). Pola makan
sebagai penyebab utama obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai
aktifitas kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat
dan bergizi. Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang
zat gizi sebagaimana yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant
3
mengenyangkan perut dan memperlambat rasa lapar (Hadju, 2003). Diet tinggi serat
telah mendapat perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir disebabkan karena
hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit jantung dan kanker usus. Biasanya intake
energi setiap hari mengandung 30% lemak, akan tetapi tidak boleh lebih dari 10%
dari kalori ini bersumber dari lemak jenuh (hewani). Energi selebihnya seharusnya
WHO prevalensi masyarakat yang kurang mengonsumsi buah sayur sebesar (93,6%)
dan konsumsi buah sayur proporsinya semakin rendah dengan semakin rendahnya
sosial ekonomi.
Data Susenas 2004 menunjukkan penduduk umur 15 tahun ke atas 85%
kurang beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik.
Penduduk wanita yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk
sebanyak 83%, lebih tinggi daripada penduduk di pedesaan (BPS, 2005). Hasil
Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi kurang aktifitas fisik sebesar 48,2%
dan terdapat kecenderungan prevalensi kurang aktifitas fisik semakin tinggi dengan
emosional yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut menyebabkan individu
cenderung untuk melakukan pelarian diri (self mechanism defence). Bentuk pelarian
4
diri bisa berupa mengonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol
BAB II
PEMBAHASAN
Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan
5
Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan
darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.
Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka
orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO,
1999). Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh
kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi
berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala
2004).
yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan
hiperglikemia. Yang kemudian sindrom metabolik pertama kali dijelaskan oleh Jean
abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald
Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan
dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan
HDL yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya
pada tahun 1998 the World Health Organization mengajukan nama metabolic
6
(pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktor-faktor
3) HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan
4) Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita
5) Mikroalbuminuria
Hearth Organization (WHO) and the National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap bahwa sindrom
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World
(IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan
penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama
7
gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4)
dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau kolesterol high density
lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk pria; < 39 mg/dL untuk wanita; (5) obesitas
sentral (laki-laki : waistto-hip ratio > 0,90; wanita: waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau
indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin
Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g). SM dapat
terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir
terdapat pada individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999 menekankan pada adanya
toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau resitensi insulin yang
disertai sedikitnya 2 faktor risiko lain yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:
lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum
trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL
untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110
mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas sentral menjadi
terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas
sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk wanita
Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L)
atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL
8
(1,03 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang
dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik >
130 mmHg atau diastolik > 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4)
Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat
ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru
Kriteria diagnosis NCEP- ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah
untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah
kriteria diagnosis NCEP-ATP III adalah adanya perbedaan nilai normal lingkar
pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO
mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia 90 cm pada pria dan wanita 80
sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 1
Criteria diagnosis
Kriteria diagnosis WHO:
Komponen ATP III : 3 komponen IDF
Resistensi insulin plus :
di bawah ini
Obesitas abdominal/ Waist to hip ratio : Lingkar perut : Lingkar perut :
sentral Laki-laki : > 0,9 Laki-laki: 102 cm Laki-laki: 90 cm
Wanita : > 0,85 atau Wanita : >88 cm Wanita : 80 cm
IMB >30 Kg/m
Hiper- 150 mg/dl ( 1,7 mmol/L) 150 mg/dl (1,7 150 mg/dl
9
trigliseridemia mmol/L)
Hipertensi TD 140/90 mmHg atau TD 130/85 mmHg TD sistolik 130 mmHg
riwayat terapi anti hipertensif atau riwayat terapi anti TD diastolik 85 mmHg
hipertensif
Kadar glukosa Toleransi glukosa terganggu, 110 mg/dl GDP 100mg/dl
darah tinggi glukosa puasa
terganggu,resistensi insulin
atau DM
Mikro-albuminuri Rasio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
eksresi albumin 20
mcg/menit
1. Etiologi.
adalah :
(Mis.komplikasi jantung)
10
b. Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
resistensi insulin (RI). RI berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat
ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan
antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang
yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan oleh stress
produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma
11
bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes,
et al., 2004).
2. Patofisiologi.
Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme
yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
2004).
antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2,
12
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa
di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel- pankreas.
pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan
ROS
Obesity Oxidative Stress in WAT
NADPH Oxidase
Antioxidative Enzymes
Dysregulation of adipocytokines
ROS
Gambar 1. Peningkatan produksi reactive oxidative stress (ROS) pada lemak yang
terakumulasi dan menyebabkan keadaan sindroma metabolik
(Furukawa, 2004).
13
Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres
sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada sel
adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa dkk
Pengaruh lingkungan
Defisiensi zat-zat gizi
Pengaruh Resistensi
Intake kalori yang
genetik Insulin
berlebihan
Aktivitas fisik rendah
Hyperinsulin
emia
14
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama mortalitas dan
2006).
antara lain ketidakseragaman kriteria yang digunakan, perbedaan etnis/ras, umur dan
2006).
overweight dan obesitas (National Center for Health Statistics). Data dari survey
prevalensi overweight (BMI 25-29,9 kg/m2) meningkat sedikit yaitu dari 30,5%
menjadi 34%, dimana prevalensi obesitas (BMI 30 kg/m2) meningkat 2 kali yaitu
dari 12.8% menjadi 27%. Prevalensi obesitas meningkat secara progresif pada umur
20-50 tahun. Namun mengalami penurunan pada umur 60 tahun (National Center for
15
Studi epidemiologi di Cina terhadap 2776 orang dewasa yang berumur 20-94
tahun diperoleh prevalensi overweight dan obesitas adalah 29,5% dan 4,3% yang
sebagian besar adalah wanita. Lebih dari sepertiga responden memiliki kadar lipid
yang abnormal, TGT sebesar 10,8% dan 9,8% dari responden mengalami diabetes
tipe 2. Hipertensi 58,4%, dan sekitar 21% dan 29,3% memiliki kolesterol total dan
kadar trigliserida yang tinggi. Prevalensi SM ditemukan sebesar 10,2% (Jia et al,
2002).
metabolik 15,8 % dari 1.125 orang Mexico-Amerika dan kulit putih yang berusia
antara 25-64 tahun yang sedikitnya ditemukan dengan dua faktor risiko dan 4,8 %
dengan tiga faktor risiko dengan menggunakan kriteria WHO. Hasil penelitian
Framingham Offspring Study menemukan prevalensi pada pria sebesar 29,4 % dari
1.144 pria dan 23,1% wanita berusia antara 26-82 tahun (Adriansjah dan Adam,
lebih tinggi pada pria muda dibanding wanita. Namun seiring dengan pertambahan
Sindrom metabolik berdasarkan NCEP pada survey NHANES III berdasarkan umur
16
50%
40%
30%
20%
10%
0%
20- 7
70+ 0
Gambar diatas diperoleh dari NHANES survey yang dikumpulkan dari tahun
etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik, seperti India, Cina, Aborigin,
Perancis menemukan prevalensi pada pria (23%) dan terbanyak ditemukan pada
kelompok usia antara 55-64 tahun, yaitu pria 34% dan wanita 21%.
17
White Mexican
40% African American
other
American
30%
20
%
10%
0%
di China, Taiwan (15, 1%), Palestina dan Oman Masing-masing 17%, Vietnam
(18,5%), Hongkong (22%), India (25,8%), Korea (28%), iran (30%) (IDF, 2006).
Hasil penelitian Park et al (2004) terhadap orang dewasa Korea Selatan diperoleh
faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini. Pada tabel 4 dapat dilihat beberapa
18
Tabel 4. Prevalensi sindroma metabolik menggunakan kriteria WHO
dilihat pada tabel 5 berikut (Adriansjah dan Adam, 2006; Ford, 2002). Di Indonesia,
prevalensi SM terus meningkat seiring dengan perubahan pola dan taraf hidup. Data
sebesar 13,13% (Fattah, 2006). Penelitian di Makassar yang melibatkan 330 orang
pria berusia antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan
ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang Asia (menurut klasifikasi
19
usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu 90 cm untuk pria dan 80 cm untuk
wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9 %. Prevalensi lebih tinggi yaitu sebesar
62,0 %, ditemukan pada subyek dengan obesitas sentral. (Adriansjah dan Adam,
putih pada negara maju. Beberapa investigasi juga menunjukkan bahwa orang
Asia memiliki lemak tubuh yang lebih banyak utamanya di Asia Selatan
dibandingkan dengan orang kaukasian putih pada level BMI yang sama (Dudeja,
Indians memiliki lemak abdominal total dan intraabdominal yang lebih besar
20
secara signifikan dibanding orang Kaukasian putih di United States. Asian Indians
dengan Caucasian putih (Chandalia, 1999; Raji et al, 2001). Penting dicatat
bahwa Asian Indians memiliki kadar hepatic triglycerida yang lebih tinggi, yang
dihubungkan dengan kadar insulin yang tinggi dan adiponektin yang rendah
dan Afrika Northern dan Timur Tengah umumnya terjadi perubahan diet termasuk
peningkatan konsumsi lemak, utamanya lemak dari hewani dan gula serta intake
sereal dan serat yang rendah. Hal yang penting bahwa kebanyakan orang-orang
yang SES rendah dan tinggal di negara sedang berkembang pada awalnya kurus.
Namun ketika bermigrasi dari rural area ke kota metropolitan, mereka dengan
pada SES yang sama pada habitat sebelumnya. Khususnya mereka mulai
merokok, mengkonsumai alkohol dan pola konsumsi yang tidak seimbang serta
memiliki sedentary job (Misra et al, 2001; Misra and Khurana, 2008).
Survey WHO (2002-2003) terhadap 212,021 orang dewasa dari 51 negara,
kebanyakan negara sedang berkembang yaitu sekitar 155 laki-laki dan 20%
(Guthold et al, 2008). Prevalensi aktivitas fisik lebih sedikit dibanding jumlah
21
B. FAKTOR RISIKO SINDROMA METABOLIK
Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan yang
dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor
risiko SM, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan
1. Gaya hidup
dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola konsumsi yang tidak
menggunakan latar belakang data dari survei nasional di Amerika yang dilakukan
lebih dan jumlah jam yang dipakai anak-anak untuk nonton TV (Arief, 2008).
Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai
penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Menu yang tersaji
Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun
penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur dan buah.
22
sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan
rendahnya kadar kolesterol HDL. Studi cross sectional lain pada dewasa muda
memiliki konsumsi sayur dan buah yang rendah dibanding yang tidak memiliki
risiko metabolik.
Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan dengan
obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker kolon (Pitsavos, 2006). Konsumsi
bersama tinja . dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut (tidak dicerna,
namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak asam empedu dan
lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Dalam hal ini serat membantu mengurangi
kadar kolesterol dalam darah. Serat larut air menurunkan kadar kolesterol darah
hingga 5% atau lebih. Serat larut yang terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-
bijian (gandum), dan kacang-kacangan. Pektin (serat larut air dari buah) dapat
terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi
23
risiko sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium,
dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah
konsumsi dari DASH (Dietary Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain
diet kaya sayur dan buah, memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian
bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur, menurunkan marker
inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi 5 porsi sayur dan buah sehari
Sayur dan buah adalah sumber dari berbagai nutrient seperti vitamin,
mineral, serat dan berbagai jenis biological active. Biological active Ini dikenal
2002).
bahwa aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga sedang (mengeluarkan < 7
dari populasi umumnya. The Center for Diseases Control and Prevention and
24
America College of Sport Medicine merekomendasikan aktivitas fisik dengan
intensitas sedang sedikitnya 30 menit. Kadar aktivitas ini dapat ditoleransi oleh
tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada level
moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien dengan
hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga memberikan efek
yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket Hearth Study grup
bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah pada mereka yang
melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam per minggu daripada mereka yang
kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study
prevalensi perokok pada tahun 1988 pada pria Indonesia cukup tinggi yaitu 65,6
25
% dan 8,9 % pada wanita, disamping yang sudah dikeluarkan sebesar 15.3 % dan
0.7 % secara berturut-turut. Kebiasaan merokok dimulai pada usia 8 tahun dan
yang paling tertua 50 tahun. Jumlah rokok yang dikonsumsi mulai dari 1-9
batang sampai lebih dari 36 batang perhari. Rokok kretek merupakan pilihan
kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang yang merokok
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih besar pada
Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap,
bukan lamanya waktu seseorang telah merokok (Soeharto, 2004). Orang yang
merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua
terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang baik dari rokok yang
mengandung banyak radikal bebas seperti radikal superoxide anion dan hidroksil
26
Studi eksperimental yang baru juga menunjukkan bahwa merokok dapat
merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat maupun pada
Weight gain umumnya terjadi pada orang yang berhenti merokok dan
paling tidak sebagian dimediasi oleh nikotin. Weight gain dari 1-2 kg pada
gain dalam 4-6 bulan. Rata-rata weight gain yakni 4-5 kg, namun bisa saja lebih
satu sisi nikotin meningkatkan energi expenditure (EE) dan mengurangi nafsu
penurunan berat badan dibanding yang tidak merokok dan mengapa berhenti
diantara perokok dan bukan perokok bahwa merokok merupakan salah satu cara
perokok berat (merokok dalam jumlah yang lebih banyak) memiliki berat badan
merokok, obesitas dan status ekonomi rendah, hanya pada negara maju. Akhirnya
tubuh yang berhubungan dengan obesitas sentral dan resistensi insulin (Chiolero,
2008).
27
Merokok berefek terhadap berat badan dapat menyebabkan kurangnya
menjelaskan rendahnya berat badan yang ditemukan pada perokok. Merokok satu
EE 3,3% dalam 3 jam. Pada perokok reguler yang metabolismenya diperoleh dari
2230 sampai 2445 Kcal/hari dan stimulasi aktivitas sistem nervous simpatetic
terlibat. Efek merokok terhadap EE pada obesitas masih lemah. Ini juga
tergantung pada aktivitas fisik dan olahraga. Pada perokok berisiko tinggi
beraktivitas dibanding yang tidak merokok. (Klesges et al, 1990 dalam Chiolero,
2008).
28
Gambar 20. Hubungan antara merokok, resistensi insulin dan akumulasi lemak
viseral dengan sindrom metabolik dan resistensi insulin.
Hubungan antara merokok dan akumulasi lemak viseral dapat
dijelaskan oleh masuknya aktivitas fisik yang rendah dan
makanan tidak sehat yang sering ditemuai pada perokok sebagai
pengganggu.
2. Genetik
fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan kromosom telah
mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs) manusia dan 168 QTLs dari
bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas. Gen the
beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang paling banyak di uji dan telah
menunjukkan hubungan dengan terjadinya obesitas. Gen-gen lain yang juga telah
29
diteliti dalam lima model penelitian berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas
adalah gen LEPR, gen ADBR2, gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen
faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain faktor
lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan obesitas tidak
anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika
kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas (Siregar,
2006).
3. Sosial ekonomi
Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang dengan
sosial ekonomi rendah (Jordan et al, 2008). Di negara-negara maju seperti Amerika
dan Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi
rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi
tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan
antara sosial economic status (SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan
bahwa, di negara maju kelompok wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi
obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi
30
Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih
kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi.
Prevalensi Obesitas di Afrika Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat
dan Mesir, 70% wanita da 48% pria mengalami overweight dan obesitas. Penelitian
efek obesitas terhadap penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di
Afrika Utara dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih
berpendidikan dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air
daripada di Senegal dengan GDP perkapita di Afrika Utara lebih besar 6,6 kali
dibandingkan di Senegal. Rata-rata BMI di Afrika Utara adalah 27,3 dan di Senegal
22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal
BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan di negara sedang
dengan status sosio-ekonomi, terutama untuk wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau
anak. Namun bagi negara sedang berkembang tidak demikian terdapat hubungan
masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun
31
tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola
daerah kumuh dan bekerja serabutan (Misra, 2001). Hal ini menyebabkan perubahan
pada pola makan, terpaparnya stress, dan menurunnya akivitas fisik, meningkatnya
kegiatan merokok dan konsumsi alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor
akan kejadian penyakit tidak menular pada masyarakat miskin perlu menjadi
6,4% pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan dari 2411 subyek yang
bermukim di kota-kota pondok. Terdapat 30% prevalensi kurang gizi, dan 78-90%
anak stunting, namun secara bersamaan diketahui bahwa prevalensi overweight dan
obesitas cukup tinggi yakni masing-masing 16,7% dan 14,1% (Florencio, et al, 2003).
Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES rendah
adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih modern yang tinggi
akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi petani dengan
tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang kaki lima dengn
aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas
32
hypothalamus pituitary adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh,
sosial ekonomi rendah baik di Amerika Serikat dan di negara lainya. Hubungan
terbalik antara sosioeconomics status (SES) dan kejadian overweight pada orang
dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat badan mereka,
termasuk dengan exercise dan cenderung makan makanan rendah lemak. Pada studi
National Heart, lung and blood institute growth and health menunjukkan bahwa SES
dan overweight diasosiasikan dengan suku kaukasian anak usia 9-dan 10 tahun serta
ibunya, tetapi tidak pada anak Amerika dan Afrika. Wanita Afrika Amerika dari
segala usia lebih banyak mengalami obesitas dibandingkan wanita suku kaukasian
(Crawford, 2005).
Sebuah studi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan hipertensi
33
Hasil penelitian juga menemukan bahwa pendidikan rendah (<12 tahun)
berhubungan dengan SM pada wanita, (OR 1,77; 95 % Cl, 1,39-2,24) dan kurang
pada laki-laki dibanding pendidikan tinggi (>12 tahun). (Louks et al, 2006), hal yang
sama juga ditemukan pada penelitian Santos (2008) yang menemukan bahwa sindrom
metabolik secara signifikan lebih sering pada wanita (24,9 vs 17,4 p<0,001). Peluang
wanita meningkat siring dengan penambahan usia, kelas sosial yang kurang baik yang
hasil yang sama, menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berbanding terbalik
Arambepola (2006) menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih banyak pada
laki-laki yang memiliki pekerjaan sedentarian (profesional, manager, tata usaha) dan
hanya 6% pada mereka yang memiliki pekerjaan aktif yang tinggi (petani, nelayan,
tukang kayu).
34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa
yang disepakati, antara lain: lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88
HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita; tekanan
darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL.
yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
35
keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim
aterosklerosis.
36
DAFTAR PUSTAKA
2. Almatsier, S., 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
3. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic Sindrome: from
Bench to Bedside. Springer Science.
6. Hadju, V., 2003. Bahan Bacaan Mata Kuliah Dietetik Masyarakat. Makassar.
Jurusan Gizi FKM Unhas.
8. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.
(online) (www.idf.org, diakses 02 April, 2016)
10. Isomaa B et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the
metabolic syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.
11. Jia, WP. KS Xiang, L. Chen, JX Lu, YM. Wu. Epidemiological Study on Obesity
and Its Comorbidities in Urban Chinese Older than 20 Years of Age in Shanghai
China. Obesity Reviews, 2002 ; 3:157165
12. Khan R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolic Syndrome: Time for a
Critical Appraisal: Join Statement from the American Diabetes Association and
37
the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2005; 28:
2289-2304
13. Kim, B.J et al. Association of Smoking status, Weight Changes, and incident
Metabolic syndrome in Men : A 3-Year Follow-Up Study. Diabetes care, 2007
(32:7)
16. Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi
Endotel pada Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. Prodia Diagnostics
Educational Services. No. 2.
17. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran. (online), (http:/ alwia.com, diakses 24 Januari 2009)
18. Tjokroprawiro A. 2006. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic
Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166.
19. Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review. Obesity
Reviews (2003) 4, 9199
20. WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
21. Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum.
4:1-16
38