Sunteți pe pagina 1din 37

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom metabolik adalah kumpulan dari berbagai faktor risiko yang termasuk
obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi dan peningkatan glukosa darah puasa
yang ditandai dengan kenaikan risiko diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskuler. Sindrom ini pada awalnya diperkenalkan Reaven pada tahun 1988
dengan nama sindrom X atau Reaven atau sindrom resistensi insulin dengan
adanya kumpulan faktor resiko yang terdiri dari hipertensi, intoleransi glukosa dan
dislipidemia. Pada tahun 1999, WHO mengubahnya menjadi sindrom metabolik
dengan kumpulan faktor risiko yang terdiri dari hiperinsulinemia, dislipidemi,
obesitas sentral dan mikroalbuminuria dengan resistensi insulin sebagi titik sentral
dari komponen faktor resiko. Selanjutnya NCEP ATP III melakukan modifikasi
dengan kumpulan faktor resiko yang terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia,
hipertensi dan peningkatan glukosa darah puasa, dimana semua komponen dari
1
faktor resiko saling berhubungan satu sama lain.

Pandemi sindrom metabolik berkembang seiring dengan prevalensi obesitas yang


2
terjadi pada populasi Asia. Hal ini berkaitan dengan penelitian yang berkembang
sekarang bahwa obesitas sentral berperan dalam menyebabkan resistensi insulin
3,4,5
yang berperan penting dalam patofisiologi sindrom metabolik.

Setiap tahun, 3,2 juta orang di seluruh dunia meninggal karena komplikasi yang
terkait dengan diabetes. Di negara-negara dengan kejadian diabetes tinggi, seperti
di Pasifik dan Timur Tengah, sebanyak satu dari empat kematian pada orang
dewasa berusia antara 35 dan 64 tahun adalah karena penyakit Diabetes tipe 2,
yang menyumbang 90% dari semua diabetes, telah menjadi salah satu penyebab
utama penyakit dan kematian dini, terutama melalui peningkatan risiko penyakit
kardivaskuler yang bertanggung jawab 80% dari kematian ini.5
3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sindrom metabolik adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko

yang terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia (meningkatnya trigliserida dan


menurunnya kolesterol HDL), hipertensi, dan gangguan toleransi glukosa yang
ditandai dengan meningkatnya glukosa darah puasa. Disfungsi metabolik ini dapat
menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskuler,
diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non-
1
alkoholik.

Epidemiologi

Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang

digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third
National Health and Nutrition Examination Survey prevalensi sindrom
metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16%
pada laki-laki kulit hitam sampai 37% pada wanita. Prevalensi Sindrom
Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena
populasi penduduk yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh
mempunyai berat badan lebih atau gemuk, diperkirakan sindrom Metabolik
melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit
kardiovaskular. Di indonesia sendiri dilakukan penelitian yang dilakukan
Semiardji pada pekerja PT. Krakatau steel didapatkan prevalensi sebesar 15,8%
pada tahun 2005 dan meningkat sebesar 19,7% pada tahun 2007. Penelitian di
DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan pravelensi sindrom metabolik yang
tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral
merupakan komponen terbanyak.2,3

Etiologi

Etiologi dari sindrom metabolik bersifat multifaktor. Penyebab primer

yang menyebabkan gangguan metabolik yang ditemukan pada sindrom metabolik

adalah resistensi insulin yang berhubungan dengan obesitas sentral yang ditandai

4
dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar
pinggang (waist to hip ratio). Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit
kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan
disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan
atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang
mendasari adalah terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa
pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang
disebabkan oleh stres kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin
4
dan dislipidemia.

3
Diagnosis

Setelah Reaven pada tahun 1988 mencanangkan sindrom resistensi insulin,

maka WHO 1999 melakukan tata cara diagnostik sindrom metabolik yang
memberi persyaratan harus ada komponen resistensi insulin atau hiperinsulinemia
yang ditandai dengan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dl ditambah dengan
komponen lain. Berikut tabel kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO
(1999)

Tabel 1. kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO (1999)

Faktor Risiko

Nilai Batas

Hiperinsulinemia

110 mg/dl (GDP)


Tekanan darah

>160/90 mm/Hg

Trigliserida

150 g/dl

HDL Pria

<35 mg/dl

Wanita

<39 mg/dl

Obesitas abdominal (Lingkar pinggang)

Pria

>0,90

Wanita

>0,85

Mikroalbuminuria

Rasio albumin:kreatinin

>30 mg/gr

Berdasarkan atas kriteria WHO 1999 maka jelas komponen resistensi insulin
dalam hal ini diabetes mellitus dan atau resistensi glukosa terganggu merupakan
titik sentral dari komponen faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Pada dasarnya
semua komponen dari sindrom metabolik terkait satu sama lain sehingga
5
dengan penanganan salah satu dari komponen akan memberi dampak positif pula
pada komponen lain.

Selanjutnya NCEP ATP III merekomendasikan sindrom metabolik dengan kriteria


berbeda dimana gangguan resistensi insulin tidak dimasukkan dalam salah satu
persyaratan melainkan memasukkan dalam kedudukan yang sejajar dengan
komponen lainnya. Menurut rekomendasi ATP III, dikatakan sindrom metabolik
apabila ditemukan 3 atau lebih komponen yang ada pada satu subjek. Berikut
kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III dan ATP III yang
dimoifikasi.

Tabel 2. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III

Faktor risiko

NCEP ATP III

NCEP ATP III

(Modifikasi)
Obesitas abdominal

Lingkar perut Pria

>102

> 90 cm

Wanita

>88

80 cm
Hipertrigliseridemia

150

150

HDL Pria

<40

<40

Wanita

<50

<50

Hipertensi

130/85

130/85
GDP

110

110

Selanjutnya klasifikasi ATP III mengalami modifikasi khusus bagi orang Asia
dimana lingkar pinggang dianggap terlalu besar untuk orang Asia dimana lingkar
pinggang orang Asia untuk laki-laki adalah 90 cm dan wanita 80 cm.
Komponen lainnya tetap sama sebagaimana ATP III. Namun, jika dilihat dari
kriteria diagnosis WHO dan NCEP ATP digunakan glukosa darah puasa
terganggu.

6
Faktor Resiko

Genetik

Banyak penelitian menyebutkan bahwa orang dengan sindrom metabolik memiliki


riwayat keluarga dengan hipertensi dan diabetes mellitus.

6
Obesitas sentral

Faktor risiko utama dalam perkembangan sindrom metabolik adalah obesitas


sentral. Obesitas sentral ini merupakan faktor risiko utama penyebab resistensi
insulin sebagai penyebab dari berbagai gangguan yang dapat berkembang dari
sindrom metabolik.

Kurangnya aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik dapat menyebabkan obesitas karena ketidakseimbangan


antara pemasukan dan pengeluaran energi.

Usia

Pada sebuah studi di Amerika serikat, terjadi peningkatan jumlah orang dengan
sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia. Ditemukan prevalensi
sindrom metabolik sebesar 6.7% pada usia 20-29 tahun dan 43.5% pada usia 60-
69 tahun.

Patofisiologi 5,6

Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan dari satu faktor

utama dan bersifat multifaktor. Namun, dari beberapa penelitian didapatkan


bahwa resistensi insulin dan obesitas sentral merupakan patofisiologi dasar yang
saling berkaitan erat satu sama lain tanpa mengesampingkan faktor lainnya dari
sindrom metabolik. Mekanisme dasar nya adalah adanya hubungan antara obesitas
dengan hiperinsulinemia. Resistensi insulin pada obesitas disebabkan karena
ketidakpekaan jaringan. Inisial tahapan dalam aksi insulin termasuk ke dalam
jaringan reseptor. Sel-sel manusia yang obesitas terdapat penurunan reseptor
insulin sehingga menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin bisa
mengakibatkan hiperinsulinemia sebagai upaya untuk mempertahankan
euglikemia. Meningkatnya glukosa di sirkulasi menyebabkan meningkatnya
sekresi insulin pankreas, sehingga mengakibatkan hiperinsulinemia

1) Obesitas sentral

Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga dapat
menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit. Obesitas
dapat disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama yaitu
ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energi yang
dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun dalam
jaringan lemak.

Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada obesitas sentral
terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di daerah abdomen.
Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah gluteofemoral.5

Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam mencetuskan


terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi
insulin, antara lain:

Lipotoksisitas

Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas meningkatkan
pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang disebabkan oleh
glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat ekspresi insulin
pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki apoptosis sel beta
pankreas.

Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk


menghambat penghasilan glukosa hepatik dan menghambat pemasokan glukosa
ke dalam otot skelet, juga menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal
ini menyebabkan resistensi insulin pada organ hati dan otot.

Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti TNF-, IL-6 dan resistin
dapat mencetuskan terjadinya resistensi insulin karena adanya efek proinflamasi.
Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-4 sebagai transporter glukosa
sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam sel.

Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid ternyata


mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-, leptin,
interleukin 6, resistin. TNF, interleukin dan resitin menyebabkan resistensi
insulin sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi

insulin.

Adinopektin

Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh sel
lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat badan.
adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas insulin, anti-
inflamasi dan anti-aterogenik.
Gambar 1. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin

Leptin

Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin pada sel
lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di
hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran
energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis
trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan
sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan nafsu makan dan
meningkatkan penggunaan energi.

Interleukin-6
IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana peningkatan
kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak. IL-6
disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan
lemak subkutan pada orang yang obes berat.IL-6 memiliki sifat pro-inflamasi
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin. IL-6
diperkirakan dapat mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin khususnya sel hati.

Resistin

Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak. Ekspresi
gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin diperkirakan
memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.

TNF-
Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-. Orang yang
mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF- 2-3 kali lebih banyak
daripada orangbkurus. Kadar TNF- akan menurun dengan penurunan berat
badan. Efek TNF- pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi transporter
glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF- memiliki potensi untuk
mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk ke sel
berkurang.

2. Resistensi insulin

Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik disebabkan oleh


banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang dengan obesitas
sentral.
Gambar 2. Patofisiologi gangguan pada sindrom metabolik

Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan semakin


meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa yang
menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ antara lain:

Jaringan otot

Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)

Hati

Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)

Pankreas

Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel- pankreas

10
Pembuluh darah

Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah akibat


penurunan Nitrit oxide.

Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan asam


lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai
kofaktor dari trigliserid dan VLDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi penurunan isi
ester kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan penurunan isi kolesterol HDL
dengan peningkatan beragam trigliserida menjadikan partikel kecil dan padat. Hal
ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di sirkulasi.
Gambar 3. Patofisiologi dislipidemia pada sindrom metabolik

Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit
dipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas. Adanya
resistensi insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase
(eNOS) sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.

11
Gambar 3. Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik

Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa

mekanisme berikut:

Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dan cardiac
output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada individu
obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi

Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan sistem


saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor Necrosis
Factor/TNF- dan Intrleukin/IL-6) sehingga terjadi peningkatan peripheral
vascular resistance

Evaluasi Klinis

Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik

dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi:

Anamnesis, tentang :

Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.

Riwayat adanya perubahan berat badan.

Aktifitas fisik sehari-hari.

Asupan makanan sehari-hari

Pemeriksaan fisik, meliputi :


Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah Pengukuran
Indeks Massa Tubuh (IMT)

12
Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap
risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip

ratio.

Pemeriksaan laboratorium, meliputi :

Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.

Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment)


untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam
penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis.

Highly sensitive C-reactive protein

Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.

USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena


kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.

2.9 Penatalaksaan9,10
1. Penatalaksaan Obesitas Sentral
a. Non-medikamentosa
Pengobatan nonmedikamentosa pada obesitas sentral :
1) Mengurangi berat badan sebanyak 7% hingga 10% selama satu tahun
pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa
mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan
(IMT < 25kg/m2).
2) Aktifitas fisik intensitas sedang secara teratur; setidaknya 30 menit

secara kontinu maupun intermiten (dan lebih baik bila 60 menit),

5 hari/minggu, tetapi lebih baik lagi bila setiap hari.


3) Diet aterogenik dengan cara mengurangi asupan lemak jenuh, leak
tarans dan kolesterol. Rekomendasi : lemak jenuh < 7% kalori total ;
kurangi lemak trans, kolesterol dalam diet < 200mg/L , lemak total
25%-35% kalori total . sebagian besar diet lemak sebaiknya berupa
lemak tidak jenuh; gula sederhana harus dibatasi.

b. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa pada obesitas sentral :
Orlistat
a) Cara kerja orlistat adalah dengan menghambat absorpsi 30% lemak
yang dikonsumsi. Orlistat menghambat enzim pemecahan lemak
(lipase) gastrik dan pankreatik. Akibatnya, lemak tubuh berkurang
dan LDL pun ikut berkurang. Selain itu juga orlistat bisa
menurunkan HbA1C pada penderita diabetes. Orlistat dapat
menghasilkan efek menurunkan HbA1c pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dalam 3 bulan dan menurunkan berat badan sebanyak
10 kg dalam 1 tahun jika disertai perbaikan gaya hidup.
b) Efek samping orlistat adalah feses yang berminyak, sering flatus,
dan sering defekasi.
c) Dosis lazim orlistat adalah 120 mg setiap kali makan.
1) Sibutramine
a) Cara kerja sibutramin adalah dengan menghambat pengembalian
norepinefrin dan serotonin di celah sinaps. Akibatnya, nafsu makan
ditekan dan pemakaian energi ditingkatkan.
b) Efek samping sibutramine adalah sakit kepala, insomnia,
peningkatan tekanan darah, dan takikardi.
c) Dosis lazim sibutramin adalah 5-15 mg/hari.
2) Phenteramin
a) Cara kerja phenteramin adalah menstimulasi pelepasan
norepinefrin.
b) Efek samping phenteramin adalah takikardi, insomnia, dan
palpitasi.
c) Dosis lazim phenteramin adalah 15-37,5 mg per hari sebagai dosis
tunggal atau terbagi.

2. Penatalaksanaan Resistensi Insulin


a. Non-medikamentosa
Menurut pengobatan untuk resistensi insulin antara lain :
1) Konsumsi makanan yang bisa mengurangi resistensi insulin,
diantaranya:
a) Aneka buah berry
b) Teh
c) Makanan tinggi serat
d) Makanan yang kaya antioksidan
e) Sayuran
f) Minyak zaitun
g) Produk berbahan kedelai
2) Olahraga
3) Mengurangi berat badan
b. Medikamentosa

Tabel 1. Penatalaksanaan Medika Mentosa pada Resistensi Insulin


(Katzung, 2010)

3. Penatalaksanaan Hipertensi
a. Non-medikamentosa
Menurut Depkes RI (2014) penalatalaksanaan non-medikamentosa dari
hipertensi adalah :
1) Konseling dan Edukasi
Edukasi individu dan keluarga tentang pola hidup sehat untuk
mencegah dan mengontrol hipertensi, seperti:
a) Gizi seimbang dan pembatasan gula, garam dan lemak (Dietary
Approaches To Stop Hypertension).
b) Mempertahankan berat badan dan lingkar pinggang ideal.
c) Gaya hidup aktif/olah raga teratur.
d) Stop merokok.
e) Membatasi konsumsi alkohol (bagi yang minum)
2) Modifikasi Gaya Hidup

Tabel 2. Penatalaksanaan Hipertensi melalui Modifikasi Gaya Hidup


(Depkes RI, 2014)

a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa (Depkes RI, 2014):
1) Hipertensi tanpa komplikasi
a) Hipertensi stage-1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari,
furosemid 2x20-80 mg/hari), atau pemberian penghambat ACE
(captopril 2x25-100 mg/hari atau enalapril 1-2 x 2,5-40 mg/hari),
penyekat reseptor beta (atenolol 25-100mg/hari dosis tunggal),
penghambat kalsium
b) Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi selama 2 minggu,
dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik,
tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII (losartan 1-
2 x 25- 100 mg/hari) atau penyekat reseptor beta atau penghambat
kalsium.
c) Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi
dari masing-masing antihipertensi diatas.Sebaiknya pilih obat
hipertensi yang diminum sekali sehari atau maksimum 2 kali
sehari.
2) Hipertensi dengan komplikasi
Diltiazem extended release 1x180-420 mg/hari, amlodipin
1x2,5-10 mg/hari, atau nifedipin long acting 30-60 mg/hari atau
kombinasi. Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi
dosis atau ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai
(kondisi untuk merujuk ke Spesialis).

Tabel 3. Klasifikasi Golongan Obat Hipertensi dengan Komplikasi


(Depkes RI, 2014)

4. Penatalaksanaan Dislipidemia
a. Non-medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada dislipidemia (Depkes RI, 2014):
1) Pilar utama pengelolaan dislipidemia melalui upaya non farmakologis
yang meliputi modifikasi diet, latihan jasmani serta pengelolaan berat
badan. Modifikasi diet harus sehat, berimbang, beragam dan aman
dengan mengurangi asupan makanan tinggi lemak jenuh dan
kolesterol.
2) Latihan fisik dilakukan selama 150 menit per minggu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan pasien.
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada dyslipidemia melalui obat hipolidemik,
diantaranya adalah (Depkes RI, 2014):
1) Golongan Statin, sangat efektif dalam menurunkan kol-LDL dan
relatif aman. Obat ini bekerja menghambat sintesis kolesterol di hati,
dengan demikian akan menurunkan kolesterol darah. Efek samping
golongan statin terjadi pada sekitar 2% kasus, biasanya berupa nyeri
muskuloskeletal, nausea, vomitus, nyeri abdominal, konstipasi dan
flatulen. Makin tinggi dosis statin makin besar kemungkinan
terjadinya efek samping.
a) Simvastatin 5-40 mg
b) Lovastatin 10-80 mg
c) Pravastatin 10-40 mg
d) Fluvastatin 20-80 mg
e) Atorvastatin 10-80 mg
2) Golongan Asam Fibrat, mempunyai efek meningkatkan aktivitas
lipoprotein lipase, menghambat produksi VLDL hati dan
meningkatkan aktivitas reseptor LDL. Golongan ini terutama
menurunkan trigliserida dan meningkatkan kol-HDL dengan efek
terhadap kol-total dan LDL cukup. Efek samping jarang, yang
tersering adalah gangguan gastrointestinal, peningkatan transaminase,
dan reaksi alergi kulit, serta miopati. Contohnya, Gemfibrozil 2x600
mg/hari, fenofibrat 1x160 mg/hari.
3) Golongan Asam Nikotinat, memiliki efek yang bermanfaat untuk
semua kelainan fraksi lipid. Obat ini menurunkan produksi VLDL di
hepar yang berakibat turunnya kol-LDL dan trigliserida serta
meningkatnya kol-HDL. Efek sampingnya cukup besar, antara lain
flusihing, gatal di kulit, gangguan gastrointestinal, hiperglikemia, dan
hiperurisemia. Asam nikotinat lepas lambat seperti niaspan
mempunyai efek samping yang lebih rendah. Nicotinic acid
(immediate release) 2 x 100 mg s.d 1,5-3 g.
4) Golongan Resin Pengikat Asam Empedu, Golongan ini mengikat asam
empedu di dalam usus, menghambat resirkulasi entero-hepatik asam
empedu. Hal ini berakibat peningkatan konversi kolesterol menjadi
asam empedu di hati sehingga kandungan kolesterol dalam sel hati
menurun. Akibatnya aktivitas reseptor LDL dan sintesis kolesterol
intrahepatik meningkat. Total kolesterol dan kolesterol LDL menurun,
tetapi kolesterol HDL tetap atau naik sedikit. Pada penderita
hipertrigliserida, obat ini dapat menaikkan kadar trigliserida dan
menurunkan kolesterol HDL. Obat ini tergolong kuat dan efek
samping yang ringan. Efek sampingnya adalah keluhan
gastrointestinal seperti kembung, konstipasi, sakit perut dan
perburukan hemoroid. Kolestiramin 8-16 gram/hari, colestipol 10-20
gram/hari, dan colesevelam 6,5 gram/hari.
5) Golongan Penghambat Absorbsi Kolesterol, Ezetimibe adalah obat
pertama yang dipasarkan dari golongan obat penghambat absorpsi
kolesterol, secara selektif menghambat absorpsi kolesterol dari lumen
usus halus ke enterosit. Obat ini tidak mempengaruhi absorpsi
trigliserida, asam lemak, asam empedu, atau vitamin yang larut dalam
lemak. Ezetimibe 1x10 mg/hari.

2.9 Prognosis10
Telah dibuktikan bahwa obesitas menjadi penyebab meningkatnya angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi, dislipidemia, DM tipe 2.
Beberapa komplikasi sindroma metabolik meliputi penyakit jantung koroner,
gagal jantung, stroke, dan komplikasi lain meliputi peningkatan terjadinya risiko
fibrilasi atrium, tromboembolisme vena, dan kematian mendadak serta penurunan
fungsi kognitif.Terdapat adanya hubungan antara sindroma metabolik dengan
indeks massa ventrikel kiri pada anak dengan obesitas. Dengan pemeriksaan rutin
ekokardiografi pada obesitas dapat memprediksi terjadinya sindrom metabolik dan
berhubungan dengan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Intervensi dengan
menurunkan berat badan (indeks massa tubuh) berhubungan dengan penurunan
resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom metabolik adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko yang terdiri
dari hipertensi, gangguan toleransi glukosa, obesitas sentral dan dislipidemia yang
ditandai dengan meningkatnya trigliserida dan menurunnya kolesterol HDL yang
dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit
kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan
perlemakan hati non-alkoholik.

Sindrom metabolik dapat didiagnosis dengan menggunakan kriteria NCEP ATP


dengan modifikasi. Faktor resiko yang mendasari terdiri dari faktor genetik, diet,
inaktifitas fisik dan usia. Patofisologi mendasar terjadinya gangguan adalah
obesitas sentral dan resistensi insulin. Tindakan pengobatan sangat bermanfaat
untuk mencegah manifestasi klinis akibat perkembangan penyakit.
17
DAFTAR PUSTAKA

Bethene, Ervin. Prevalence of Metabolic Syndrome Among Adults 20 Years of


Age and Over, by Sex, Age, Race and Ethnicity, and Body Mass Index. United
States: Division of Health and Nutrition Examination Surveys, 2009.

Sugondo, Sidartawan. Sindrom Metabolik dalam Buku Ajar Penyakit Dalam.


2006: halaman1871-1872

Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic Syndrome. Current Cardiology Review.


2007. halaman 232-239

Aquilante, Christina and Joseph P. Metabolic syndrome. BCPS. 2008

Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem . Jakarta: EG,C hal. 661-667. 2006

Mallos, Crina Frincu. Endothelial Dysfunction in Metabolic Syndrome May


Predict Cardiovascular, Baltimore: NJHS ,2008.

Renaldy,oly. Peran adinopektin terhadap kejadian resistensi insulin pada Sindrom


metabolik. Jogjakarta: FK UGM. 2009.

Nurtanio, Natasha&Sunny Wangko. Resistensi insulin pada obesitas sentral.


Biomed 2006. Volume 3:89-96

Sutomo Kasiman. Pengaruh Makanan Pada Sindrom Metabolik 2011. 32:24-26


Scott M,G et al. Diagnosis and Management of the Metabolic Syndrome. An
American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific
Statement. 2008:1823-1835

S-ar putea să vă placă și