Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
PENDAHULUAN
Sindrom metabolik adalah kumpulan dari berbagai faktor risiko yang termasuk
obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi dan peningkatan glukosa darah puasa
yang ditandai dengan kenaikan risiko diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskuler. Sindrom ini pada awalnya diperkenalkan Reaven pada tahun 1988
dengan nama sindrom X atau Reaven atau sindrom resistensi insulin dengan
adanya kumpulan faktor resiko yang terdiri dari hipertensi, intoleransi glukosa dan
dislipidemia. Pada tahun 1999, WHO mengubahnya menjadi sindrom metabolik
dengan kumpulan faktor risiko yang terdiri dari hiperinsulinemia, dislipidemi,
obesitas sentral dan mikroalbuminuria dengan resistensi insulin sebagi titik sentral
dari komponen faktor resiko. Selanjutnya NCEP ATP III melakukan modifikasi
dengan kumpulan faktor resiko yang terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia,
hipertensi dan peningkatan glukosa darah puasa, dimana semua komponen dari
1
faktor resiko saling berhubungan satu sama lain.
Setiap tahun, 3,2 juta orang di seluruh dunia meninggal karena komplikasi yang
terkait dengan diabetes. Di negara-negara dengan kejadian diabetes tinggi, seperti
di Pasifik dan Timur Tengah, sebanyak satu dari empat kematian pada orang
dewasa berusia antara 35 dan 64 tahun adalah karena penyakit Diabetes tipe 2,
yang menyumbang 90% dari semua diabetes, telah menjadi salah satu penyebab
utama penyakit dan kematian dini, terutama melalui peningkatan risiko penyakit
kardivaskuler yang bertanggung jawab 80% dari kematian ini.5
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Epidemiologi
digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third
National Health and Nutrition Examination Survey prevalensi sindrom
metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16%
pada laki-laki kulit hitam sampai 37% pada wanita. Prevalensi Sindrom
Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena
populasi penduduk yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh
mempunyai berat badan lebih atau gemuk, diperkirakan sindrom Metabolik
melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit
kardiovaskular. Di indonesia sendiri dilakukan penelitian yang dilakukan
Semiardji pada pekerja PT. Krakatau steel didapatkan prevalensi sebesar 15,8%
pada tahun 2005 dan meningkat sebesar 19,7% pada tahun 2007. Penelitian di
DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan pravelensi sindrom metabolik yang
tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral
merupakan komponen terbanyak.2,3
Etiologi
adalah resistensi insulin yang berhubungan dengan obesitas sentral yang ditandai
4
dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar
pinggang (waist to hip ratio). Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit
kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan
disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan
atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang
mendasari adalah terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa
pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang
disebabkan oleh stres kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin
4
dan dislipidemia.
3
Diagnosis
maka WHO 1999 melakukan tata cara diagnostik sindrom metabolik yang
memberi persyaratan harus ada komponen resistensi insulin atau hiperinsulinemia
yang ditandai dengan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dl ditambah dengan
komponen lain. Berikut tabel kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO
(1999)
Faktor Risiko
Nilai Batas
Hiperinsulinemia
>160/90 mm/Hg
Trigliserida
150 g/dl
HDL Pria
<35 mg/dl
Wanita
<39 mg/dl
Pria
>0,90
Wanita
>0,85
Mikroalbuminuria
Rasio albumin:kreatinin
>30 mg/gr
Berdasarkan atas kriteria WHO 1999 maka jelas komponen resistensi insulin
dalam hal ini diabetes mellitus dan atau resistensi glukosa terganggu merupakan
titik sentral dari komponen faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Pada dasarnya
semua komponen dari sindrom metabolik terkait satu sama lain sehingga
5
dengan penanganan salah satu dari komponen akan memberi dampak positif pula
pada komponen lain.
Faktor risiko
(Modifikasi)
Obesitas abdominal
>102
> 90 cm
Wanita
>88
80 cm
Hipertrigliseridemia
150
150
HDL Pria
<40
<40
Wanita
<50
<50
Hipertensi
130/85
130/85
GDP
110
110
Selanjutnya klasifikasi ATP III mengalami modifikasi khusus bagi orang Asia
dimana lingkar pinggang dianggap terlalu besar untuk orang Asia dimana lingkar
pinggang orang Asia untuk laki-laki adalah 90 cm dan wanita 80 cm.
Komponen lainnya tetap sama sebagaimana ATP III. Namun, jika dilihat dari
kriteria diagnosis WHO dan NCEP ATP digunakan glukosa darah puasa
terganggu.
6
Faktor Resiko
Genetik
6
Obesitas sentral
Usia
Pada sebuah studi di Amerika serikat, terjadi peningkatan jumlah orang dengan
sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia. Ditemukan prevalensi
sindrom metabolik sebesar 6.7% pada usia 20-29 tahun dan 43.5% pada usia 60-
69 tahun.
Patofisiologi 5,6
Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan dari satu faktor
1) Obesitas sentral
Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga dapat
menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit. Obesitas
dapat disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama yaitu
ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energi yang
dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun dalam
jaringan lemak.
Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada obesitas sentral
terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di daerah abdomen.
Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah gluteofemoral.5
Lipotoksisitas
Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas meningkatkan
pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang disebabkan oleh
glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat ekspresi insulin
pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki apoptosis sel beta
pankreas.
Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti TNF-, IL-6 dan resistin
dapat mencetuskan terjadinya resistensi insulin karena adanya efek proinflamasi.
Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-4 sebagai transporter glukosa
sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam sel.
insulin.
Adinopektin
Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh sel
lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat badan.
adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas insulin, anti-
inflamasi dan anti-aterogenik.
Gambar 1. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin
Leptin
Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin pada sel
lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di
hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran
energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis
trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan
sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan nafsu makan dan
meningkatkan penggunaan energi.
Interleukin-6
IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana peningkatan
kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak. IL-6
disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan
lemak subkutan pada orang yang obes berat.IL-6 memiliki sifat pro-inflamasi
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin. IL-6
diperkirakan dapat mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin khususnya sel hati.
Resistin
Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak. Ekspresi
gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin diperkirakan
memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.
TNF-
Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-. Orang yang
mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF- 2-3 kali lebih banyak
daripada orangbkurus. Kadar TNF- akan menurun dengan penurunan berat
badan. Efek TNF- pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi transporter
glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF- memiliki potensi untuk
mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk ke sel
berkurang.
2. Resistensi insulin
Jaringan otot
Hati
Pankreas
10
Pembuluh darah
Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit
dipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas. Adanya
resistensi insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase
(eNOS) sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.
11
Gambar 3. Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik
mekanisme berikut:
Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dan cardiac
output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada individu
obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi
Evaluasi Klinis
Anamnesis, tentang :
Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah Pengukuran
Indeks Massa Tubuh (IMT)
12
Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap
risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip
ratio.
Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.
2.9 Penatalaksaan9,10
1. Penatalaksaan Obesitas Sentral
a. Non-medikamentosa
Pengobatan nonmedikamentosa pada obesitas sentral :
1) Mengurangi berat badan sebanyak 7% hingga 10% selama satu tahun
pertama terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan berat badan sebisa
mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat badan yang diinginkan
(IMT < 25kg/m2).
2) Aktifitas fisik intensitas sedang secara teratur; setidaknya 30 menit
b. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa pada obesitas sentral :
Orlistat
a) Cara kerja orlistat adalah dengan menghambat absorpsi 30% lemak
yang dikonsumsi. Orlistat menghambat enzim pemecahan lemak
(lipase) gastrik dan pankreatik. Akibatnya, lemak tubuh berkurang
dan LDL pun ikut berkurang. Selain itu juga orlistat bisa
menurunkan HbA1C pada penderita diabetes. Orlistat dapat
menghasilkan efek menurunkan HbA1c pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dalam 3 bulan dan menurunkan berat badan sebanyak
10 kg dalam 1 tahun jika disertai perbaikan gaya hidup.
b) Efek samping orlistat adalah feses yang berminyak, sering flatus,
dan sering defekasi.
c) Dosis lazim orlistat adalah 120 mg setiap kali makan.
1) Sibutramine
a) Cara kerja sibutramin adalah dengan menghambat pengembalian
norepinefrin dan serotonin di celah sinaps. Akibatnya, nafsu makan
ditekan dan pemakaian energi ditingkatkan.
b) Efek samping sibutramine adalah sakit kepala, insomnia,
peningkatan tekanan darah, dan takikardi.
c) Dosis lazim sibutramin adalah 5-15 mg/hari.
2) Phenteramin
a) Cara kerja phenteramin adalah menstimulasi pelepasan
norepinefrin.
b) Efek samping phenteramin adalah takikardi, insomnia, dan
palpitasi.
c) Dosis lazim phenteramin adalah 15-37,5 mg per hari sebagai dosis
tunggal atau terbagi.
3. Penatalaksanaan Hipertensi
a. Non-medikamentosa
Menurut Depkes RI (2014) penalatalaksanaan non-medikamentosa dari
hipertensi adalah :
1) Konseling dan Edukasi
Edukasi individu dan keluarga tentang pola hidup sehat untuk
mencegah dan mengontrol hipertensi, seperti:
a) Gizi seimbang dan pembatasan gula, garam dan lemak (Dietary
Approaches To Stop Hypertension).
b) Mempertahankan berat badan dan lingkar pinggang ideal.
c) Gaya hidup aktif/olah raga teratur.
d) Stop merokok.
e) Membatasi konsumsi alkohol (bagi yang minum)
2) Modifikasi Gaya Hidup
a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa (Depkes RI, 2014):
1) Hipertensi tanpa komplikasi
a) Hipertensi stage-1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari,
furosemid 2x20-80 mg/hari), atau pemberian penghambat ACE
(captopril 2x25-100 mg/hari atau enalapril 1-2 x 2,5-40 mg/hari),
penyekat reseptor beta (atenolol 25-100mg/hari dosis tunggal),
penghambat kalsium
b) Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi selama 2 minggu,
dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik,
tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII (losartan 1-
2 x 25- 100 mg/hari) atau penyekat reseptor beta atau penghambat
kalsium.
c) Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi
dari masing-masing antihipertensi diatas.Sebaiknya pilih obat
hipertensi yang diminum sekali sehari atau maksimum 2 kali
sehari.
2) Hipertensi dengan komplikasi
Diltiazem extended release 1x180-420 mg/hari, amlodipin
1x2,5-10 mg/hari, atau nifedipin long acting 30-60 mg/hari atau
kombinasi. Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi
dosis atau ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai
(kondisi untuk merujuk ke Spesialis).
4. Penatalaksanaan Dislipidemia
a. Non-medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada dislipidemia (Depkes RI, 2014):
1) Pilar utama pengelolaan dislipidemia melalui upaya non farmakologis
yang meliputi modifikasi diet, latihan jasmani serta pengelolaan berat
badan. Modifikasi diet harus sehat, berimbang, beragam dan aman
dengan mengurangi asupan makanan tinggi lemak jenuh dan
kolesterol.
2) Latihan fisik dilakukan selama 150 menit per minggu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan pasien.
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada dyslipidemia melalui obat hipolidemik,
diantaranya adalah (Depkes RI, 2014):
1) Golongan Statin, sangat efektif dalam menurunkan kol-LDL dan
relatif aman. Obat ini bekerja menghambat sintesis kolesterol di hati,
dengan demikian akan menurunkan kolesterol darah. Efek samping
golongan statin terjadi pada sekitar 2% kasus, biasanya berupa nyeri
muskuloskeletal, nausea, vomitus, nyeri abdominal, konstipasi dan
flatulen. Makin tinggi dosis statin makin besar kemungkinan
terjadinya efek samping.
a) Simvastatin 5-40 mg
b) Lovastatin 10-80 mg
c) Pravastatin 10-40 mg
d) Fluvastatin 20-80 mg
e) Atorvastatin 10-80 mg
2) Golongan Asam Fibrat, mempunyai efek meningkatkan aktivitas
lipoprotein lipase, menghambat produksi VLDL hati dan
meningkatkan aktivitas reseptor LDL. Golongan ini terutama
menurunkan trigliserida dan meningkatkan kol-HDL dengan efek
terhadap kol-total dan LDL cukup. Efek samping jarang, yang
tersering adalah gangguan gastrointestinal, peningkatan transaminase,
dan reaksi alergi kulit, serta miopati. Contohnya, Gemfibrozil 2x600
mg/hari, fenofibrat 1x160 mg/hari.
3) Golongan Asam Nikotinat, memiliki efek yang bermanfaat untuk
semua kelainan fraksi lipid. Obat ini menurunkan produksi VLDL di
hepar yang berakibat turunnya kol-LDL dan trigliserida serta
meningkatnya kol-HDL. Efek sampingnya cukup besar, antara lain
flusihing, gatal di kulit, gangguan gastrointestinal, hiperglikemia, dan
hiperurisemia. Asam nikotinat lepas lambat seperti niaspan
mempunyai efek samping yang lebih rendah. Nicotinic acid
(immediate release) 2 x 100 mg s.d 1,5-3 g.
4) Golongan Resin Pengikat Asam Empedu, Golongan ini mengikat asam
empedu di dalam usus, menghambat resirkulasi entero-hepatik asam
empedu. Hal ini berakibat peningkatan konversi kolesterol menjadi
asam empedu di hati sehingga kandungan kolesterol dalam sel hati
menurun. Akibatnya aktivitas reseptor LDL dan sintesis kolesterol
intrahepatik meningkat. Total kolesterol dan kolesterol LDL menurun,
tetapi kolesterol HDL tetap atau naik sedikit. Pada penderita
hipertrigliserida, obat ini dapat menaikkan kadar trigliserida dan
menurunkan kolesterol HDL. Obat ini tergolong kuat dan efek
samping yang ringan. Efek sampingnya adalah keluhan
gastrointestinal seperti kembung, konstipasi, sakit perut dan
perburukan hemoroid. Kolestiramin 8-16 gram/hari, colestipol 10-20
gram/hari, dan colesevelam 6,5 gram/hari.
5) Golongan Penghambat Absorbsi Kolesterol, Ezetimibe adalah obat
pertama yang dipasarkan dari golongan obat penghambat absorpsi
kolesterol, secara selektif menghambat absorpsi kolesterol dari lumen
usus halus ke enterosit. Obat ini tidak mempengaruhi absorpsi
trigliserida, asam lemak, asam empedu, atau vitamin yang larut dalam
lemak. Ezetimibe 1x10 mg/hari.
2.9 Prognosis10
Telah dibuktikan bahwa obesitas menjadi penyebab meningkatnya angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi, dislipidemia, DM tipe 2.
Beberapa komplikasi sindroma metabolik meliputi penyakit jantung koroner,
gagal jantung, stroke, dan komplikasi lain meliputi peningkatan terjadinya risiko
fibrilasi atrium, tromboembolisme vena, dan kematian mendadak serta penurunan
fungsi kognitif.Terdapat adanya hubungan antara sindroma metabolik dengan
indeks massa ventrikel kiri pada anak dengan obesitas. Dengan pemeriksaan rutin
ekokardiografi pada obesitas dapat memprediksi terjadinya sindrom metabolik dan
berhubungan dengan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Intervensi dengan
menurunkan berat badan (indeks massa tubuh) berhubungan dengan penurunan
resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom metabolik adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko yang terdiri
dari hipertensi, gangguan toleransi glukosa, obesitas sentral dan dislipidemia yang
ditandai dengan meningkatnya trigliserida dan menurunnya kolesterol HDL yang
dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit
kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan
perlemakan hati non-alkoholik.
Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem . Jakarta: EG,C hal. 661-667. 2006