Sunteți pe pagina 1din 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan

kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang, agar dapat mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

diusahakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan

dapat diterima serta dijangkau oleh masyarakat. Namun masi diitemukaannya

beberapa permasalahannya kesehatan masyarakat.

Di dunia ini masih banyak penyakit yang merupakan masalah

kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui

tanah. Cacing ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,

kecerdasan sehingga secara ekonomis banyak menyebabkan kerugian, karena

menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein, sehingga menurunkan

kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada

umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang

mampu dam mempunyai resiko tinggi terjangkit penyakit ini. Sehingga banyak

faktor yang mempengaruhi penyakit cacingan ini yaitu iklim tropis, personal

hygiene, social ekonomi dan kepadatan penduduk. (Armiati Zainuddi, 2008).

Dengan usaha tersebut belum memperlihatka hasil yang maksimal

karena masih ditemukannya beberapa permasalahan kesehatan masyarakat,

seperti halnya penyakit yang di sebabkan oleh parasit yaitu infeksi kecacingan

yang dapat di tularkan melalui tanah. Seperti halnya dengan Ascaris


lumbricoides, Tricuris trichiura, dan Necator americanus serta Ancilostoma

duodenale.

Dalam usaha pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi kecacingan,

pemerintah dan masyarakat telah melaksanakan berbagai program

pemberantasan penyakit infeksi kecacingan, terutama di sekolah dasar.

Kegiatan tersebut meliputi penyuluhan kepada murid, guru, dan orangtua

murid mengenai penyakit infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah,

termasuk penyebab, pencegahan, dan cara penanggulangan serta pengobatan

secara selektif. Selain itu, juga dilakukan upaya edukatif penunjang berupa

lomba kebersihan antar sekolah, lomba menggambar dan mengarang.

Kecacingan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

penurunan kualitas sumber daya manusia, mengingat kecacingan akan

menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan bagi anak serta produktivitas

kerja pada orang dewasa.

Infeksi cacing pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, higiene, dan

sanitasi di lingkungan tempat tinggal serta manipulasi terhadap lingkungan di

daerah dengan kelembaban tinggi danterutama bagi kelompok masyarakat

dengan higiene dan sanitasi yang kurang. Kondisi ini dapat menyebabkan

tingginya angka prevalensi kecacingan ditambah lagi dengan sosial ekonomi

masyarakat yang rendah.

Laporan WHO (Word Healt Organization) tahun 2006 menunjukkan

bahwa saat ini infeksi cacing Ascaris lumbricoides tersebar pada lebih dari 1

milyar orang, infeksi cacing Trichuris trichiura tersebar pada 795 juta orang
dan infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

tersebar pada 740 juta orang di seluruh dunia. Infeksi kecacingan yang tertinggi

terjadi di Afrika, Americas, China, dan Asia Timur. (Agustaria G, 2009).

Meskipun penyakit yang ditularkan oleh kecacingan jarang sekali

menimbulkan kematian secara langsung tetapi kerugian dan penderitaan yang

di akibatkannya cukup besar di kalangan rakyat.

Di Indonesia, penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih

tinggi prevalensinya yaitu 60% - 80%. Hal ini terjadi dikarenakan Indonesia

berada dalam posisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai

untuk tempat hidup dan berkembangbiaknya cacing. Pengaruh lingkungan

global dan semakin meningkatnya komunitas manusia serta kesadaran untuk

menciptakan perilaku higiene dan sanitasi yang semakin menurun merupakan

faktor yang mempunyai andil yang besar terhadap penularan parasit

(kecacingan).

Cacing-cacing dengan prevalensi yang tinggi ini adalah cacing gelang

(ascaris lumbricoides), cacing cambuk (trichuris trichiura), cacing tambang

(necator americanus) dan cacing pita, kalau di diperhatikan dengan teliti,

cacing-cacing yang tinggal diusus ini memberikan kontribusi yang sangat besar

terhadap kejadian penyakit lainnya misalnya kurang gizi karena cacing gelang

suka maka karbohidrat dan protein diusus sebelum diserap oleh tubuh,

kemudian penyakit anemia (kurang kadar darah) karena cacing tambang suka

isap darah diusus dan cacing-cacing cambuk dan pita suka sekali mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan anak serta mempengaruhi masalah-masalah


non kesehatan lainnya misalnya turunnya prestasi belajar dan drop outnya anak

SD. (http://arali2008.wordpress.com)

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak SD mengalami

infeksi kecacingan disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris

trchiura, antara lain; Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasrianti

(2005) menunjukkan infeksi kecacingan pada murid SDN Borong Kaluku Desa

Pakkatto Kab. Gowa yang terinfeksi kecacingan sebanyak 51 murid (60,71%)

prevalensi tertinggi oleh cacing Ascaris lumbricoidis yaitu 38 (74,51%) dan

Trichuris trichura 10 (19,61%) dan infeksi ganda yaitu Ascaris dan Trichuris 3

(5,88%).

Hasil penelitian (Muh. Ilyas, 2008) infeksi kecacingan pada anak SD 32

bungloe di desa bonto tallasa Kec. Ulu Ere Kab. Bantaeng yang terinfeksi

kecacingan sebanyak 33 murid (31,13 %) dari 106 murid yang di periksa. Dan

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Yuliati 2009) terhadap anak

sekolah dasar di Kelurahan Pannampu Kecamatan Tallo kota Makassar, yang

terinfeksi kecacingan sebanyak 56 murid (75,7%) dari 74 murid yang di

periksa, prevalensi tertinggi oleh cacing Ascaris lumbricoides yaitu 58,9%,

Trichuris trichiura 8,9% dan infeksi ganda yaitu Ascaris dan Trichuris 17,9%.

Hasil data kesehatan di Puskesmas Tanjong tahun 2010, menunjukkan

bahwa di Desa Marioriaja, Kec Marioriwawo, Kab. Soppeng, banyaknya

terkena infeksi kecacing pada murid SD sebanyak 70%. Dan data 10 penyakit

tertinggi antara lain: Penyakit kulit 1123 orang, Dermatitis 974 orang, Rematik
769 orang, Gastritis 720 orang, ISPA 613 orang, Batuk 511 orang, Diare 543

orang, Demam 373 orang, Kecacingan 195 orang dan Hipertensi 142 orang.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Hubungan hygiene perorangan dengan kejadian infesksi

kecacingan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran

masyarakat.

Adanya penderita kecacingan yang di temukan dari hasil penelitian

tersebut di sebabkan karena kebersihan perorangan yang masih kurang, seperti

kebiasaan makan dengan tanpa mencuci tangan, kebiasaan tidak menggunting

kuku secara teratur, dan hubungannya dengan UKS (usaha kesehatan sekolah)

di setiap sekolah dasar yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan, di mana

pelaksanaannya tidak berjalan baik dan ada juga yang telah berjalan dengan

baik.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan dari latar belakang, maka penulis merumuskan masalah,

sebagai berikut; Seberapa besar hubungan hygiene perorangan dengan

kejadian infeksi kecacingan pada murid SDN 268 Tanjonge di Desa Marioriaja

Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan hygiene perorangan dengan kejadian

infeksi kecacingan pada murid SDN 268 Tanjonge di Desa Marioriaja

Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng.


2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hubungan mencuci tangan sebelum makan dengan

infeksi kecacingan pada murid SDN 268 Tanjonge di Desa marioriaja.

b. Untuk mengetahui hubungan memotong kuku dengan infeksi

kecacingan pada murid 268 Tanjonge di Desa Marioriaja.

c. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan mencuci makanan sebelum

dimakan dengan infeksi kecacingan pada murid 268 Tanjonge di Desa

Marioriaja.

D. MANFAAT PENELLITIAN

1. Menambah wawasan dan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang telah

di peroleh di perkuliahan.

2. Sebagai sumbangan informasi kepada masyarkat, murid-murid sekolah

dasar serta instansi terkait khususnya di lokasi penelitian, guna

meningkatkan derajat kesehatan anak utamanya dalam penanggulangan

penyakit akibat cacing.

3. Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam ilmu yang telah

diperoleh selama mengikuti pendidikan pada Akademi Kesehatan

Lingkungan Poltekkes Makassar

4. Sebagai wahana informasi kepada Almamater dan propesi sanitarian

mengenai perilaku terhadap kebersihan perorangan dengan kejadian

infeksi kecacingan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG INFEKSI KECACINGAN

Infeksi adalah masuknya di sertai pertumbuhan dan perkembang

biakan suatu bibit penyakit dalam tubuh manusia atau hewan sehingga timbul

gejala-gejala penyakit. (Entjang, 1997).

Infeksi kecacingan adalah penyakit yang berbasis lingkungan, salah

satunya adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah.

Penyakit kecacingan pada anak dapat menurunkan status gizi, sehingga anak

rentan terhadap infeksi yang lain. Bila berlangsung lama keadaan ini akan

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.

Infeksi kecacingan atau biasa juga di sebut penyakit kecacingan

adalah suatu agen penyakit dimana seseorang mempunyai cacing didalam

ususnya. Pada tingkat tertentu penderita secara mual, lesu, nafsu makan

berkurang pada anak berbadan kurus tetapi perut buncit, pucat pada selaput

mata, muka dan telapak tangan, batuk-batuk atau sesak nafas, mereka lemah

dan lesu jika bakerja sangat berat, merasa gatal-gatal setelah berjalan di tanah

tanpa alas kaki, terasa gatal di sekitar penahal, sakit perut atau diare dan

mengeluarkan cacing waktu buang air besar atau muntah.

(http://library.usu.ac.id/index.php?option=com)

Secara umum dikatakan seseorang dapat terkena infeksi kecacingan

bila menelan telur cacing yang berisi Larva yang sudah matang, kemudian
Larva berkembang menjadi cacing dewasa di saluran cerna. Cacing dewasa

betina biasanya akan bertelur setiap hari, dengan jumlah berkisar 10.000-

200.00 telur cacing/ekor/hari, yang akan dikeluarkan bersama dengan tinja

saat buang air besar.

Penyakit kecacingan dapat menimbulkan keadaan gizi kurang.

Umumnya cacing ini dapat mengakibatkan gangguan komsumsi, absorpsi dan

metabolism zat-zat gizi, sehingga pada anak-anak dapat mempengaruhi

pertumbuhan fisik dan mental pada orang dewasa produktivitas kerjanya

menurun (Bintari 1990 dalam Yosinta 2004).

B. TINJAUAN UMUM TENTANG CACING ASCARIS LUMBRICOIDES

Cacing dan parasit usus terdapat di seluruh bagian dunia. Meskipun

demikian, cacing dan parasit itu lebih lazim terdapat di daerah tropis dan

subtropis dan terutama di musim hujan. Kebanyakan cacing dan parasit

masuk ke dalam tubuh melalui mulut atau kulit kaki. Dan cacing bisa

menyebabkan penyakit Ascariasis dan sering terdapat pada anak-anak.

Cacing ini dikeluarkan melalui tinja.

Dengan menggunakan jamban maka berkuranglah bahaya penyebaran

penyakit, tetapi bila anak-anak bermain ditempat yang di kotori dengan telur

cacing, maka mudah pindah ke mulut oleh jari tangan yang kotor, terutama

pada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang tidak sehat. (Muh. Ilyas,

2008)

Telur cacing ini dapat hidup dalam tanah berbulan-bulan lamanya.

Bahaya kontaminasi selamanya lebih besar bila kotoran manusia di gunakan


untuk memupuk sayur-sayuran. Maka pencegahan yang di teliti harus

diadakan untuk memastikan bahwa semua makanan di bersihkan dan di

sterilkan dan memasaknya sebelum dimakan.

Bila telur cacing sampai ke usus 12 jari, maka telur-telur tersebut

menetas dengan cepat. Cacing kecil ini memasuki dinding usus kemudian

berpindah ke hati dari hati ke jantung dan paru-paru, dan mengakibatkan

radang cambang tenggorok. Kemudian cacing itu sampai ke usus halus

kembali, dan berkembang menjadi cacing dewasa yang menyebabkan prasaan

mual, muntah-muntah, berat badan berkurang demam gugup dan mudah

tersinggung. Banyak pasien yang mengeluh karna nyeri dan mencret.

Umpalan cacing di dalam usus mungkin mengakibatkan tersumbaknya usus

sama sekali. (Aspar P, 2005)

Cacing dewasa mungkin dapat berpindah melalui dinding usus dan

saraf menyebabkan radang selaput perut. Cacing itu mungkin masuk ke

bagian lain dan menyebabkan radang umbai usus buntu, gangguan kandung

empedu dan penyakit hati. Bila cacing itu mati dapat mengakibatkan reaksi

keracunan seperti muka menjadi bengkak hilang nafsu makan gan gejala-

gejala gangguan saraf.

1. Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaries lumbricoides.

Penyakit yang di sebabkannya Ascaris lumbricoides disebut askariasis.

(Srisasi G, dkk, 1998).


2. Distribusi Geografik

Ascaries lumbricoides ditemukan di seluruh dunia termasuk Indonesia

maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran parasit ini terutama berada di daerah

tropis yang tingkat kelembabanya cukup tinggi. (Srisasi G, dkk, 1998).

3. Morfologi dan Daur Hidup

Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm.

stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat

bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi

dan yang tidak dibuahi.

Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang

tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai telur yang

dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksi dalam waktu kurang lebih 3

minggu.

Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus.

Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah, lalu

dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru

menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus. Dari trakea larva

ini menuju ke faring, sehingga menimbbulkan rangsangan pada faring.

Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam

esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi
cacing dewasa. Sejak telur matang tertelang sampai cacing dewasa bertelur

diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan. (Srisasi G, dkk, 1998).

Gambar 2.1 Daur hidup Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)


(Sumber : Srisasi Gandahusada, 1998)

4. Aspek Klinis

Patoganesi infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan

respon umum hospes, efek migrasi larva, evek mekanik cacing dewasa dan

defesiense gizi, selama larva mengalami siklus dalam jumlah yang besardapat

menimbulkan pnemonitis. Bila larva menembus jaringan dan masuk ke dalam

alveoli maka dapat mengakibatkan kerusakan pada epitelbronkus.


Apabila terjadi reinfeksi dan migrasi larva ulang maka jumlah larva

yang sedikit pun dapat menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Hal ini

terjadi dalam hati dan paru-paru di sertai oleh infiltrasi eosinafil, mackrofag

dan sel-sel epitel. Kegiatan ini di sebut Pneumonitis Ascaris.

Selanjutnya di sertai reaksi alergik yang terdiri dari batuk kering,

mengi, dan demam (39.90-400C). adanya gambaran inflat pulmoner yang

bersifat sementara, akan hilang beberapa minggu dan berhubungan dengan

eosinofilia perifer. Keadaan ini disebut sindroma Leoffler selain ditemukan

kristal chorcut-leyden dan eosinofil, spudum dapat mengandung larva.

Hal ini penting untuk keperluan diagnosis yaitu dengan pemeriksaan

bilas lambung. Cacing dewasa yang di temukan dalam jumlah besar

(hiperenfeksi) dapat mengakibatkan kekurangan gizi. Kasus ini biasanya

terjadi pada anak-anak. Cairan tubuh cacing dewasa dapat menimbulkan

toksis sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid yang di sertai alergi seperti

ulticaria, edoma di wajah, konjungtivitas dan iritasi pada alat pernafasan

bagian atas.

Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak dapat

menimbulkan gangguan gizi, kadang-kadang cacing dewasa bermigrasi dan

menimbulkan kelainan yang serius. Migrasi cacing dewasa bias di sebabkan

karena adanya rangsangan. Efek migrasi ini juga dapat menimbulkan

obstruksi usus, masuk ke dalam saluran empedu, saluran pancreas, dan organ-

organ lainnya. Migrasi juga terjadi keluar melalui anus, mulut dan hidung.

(Jangkung. SO, 2001 dalam Hasrianti 2005).


5. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja

secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis.

Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik

melalui mulut atau hidung, maupun melalui tinja. (Rosdiana S, 2009)

6. Epidemologi dan Pencegahan

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.

Frekuansinya antara 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga

menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halamam rumah, di

bawah pohin, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini

akan memudahkan terjadinya infeksi. Di Negara-negara tertentu terdapat

kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.

Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25 0-300C

merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris

lumbricoedes menjadi bentuk infektif. Anjuran mencuci tangan sebelum

makan, menggunting kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta

pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan dapat mencegah askariasis.

(Srisasi G, 1998).

C. TINJAUN UMUM TENTANG CACING TRICHURIS TRICHIURA

Penyakit Trichuris trichiura terutama terjadi di daerah subropis dan

tropis, dimana kebersihan lingkungannya buruk serta iklim yang hangat dan

lembab memungkinkan telur dari parasit mengeram di dalam tanah. Beratus-

juta manusia mempunyai penyakit Trichuris trichiura. Anak-nak lebih sering


dan lebih berat terserang penyakit ini dari pada orang dewasa. Cacing-cacing

di mana usus buntu. Cacing betina bertelur beribu-ribu setiap hari yang

dikeluarkan di dalam tinja. Tanpa fasilitas-fasilitas yang baik, tanah segera di

penuhi dengan parasit-parasit. Penyakit itu di sebabkan melalui makanan

kotor, atau dengan menaruhi jari kotor di dalam mulut sementara bekerja di

tanah. Jika di bandingkan dengan cacing tambang, penyakit ini tak seberapa

merusak pada tubuh manusia, meskipun demikian, para pasien mengeluh

karena perasaan mual, muntah-muntah, perut kembung demam ringan dan

sakit kepala, malahan nyeri yang mirip dengan umbai usus buntu. Dalam

keadaan yang berat gambaran klinis menunjukkan adanya anemia keras

dengan mencret yang bergaris-garis darah. Ini di sebabkan oleh adanya

cacing-cacing yang bersarang di dalam selaput lendir yang melapisi bagian

poros usus, bila di periksa cacing-cacingbiasanya terdapat dalam tinja.

(http://ketobapadah.blogspot.com).

1. Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan hospes cacing ini yang sering ditemukan

bersama-sama dengan Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa ini hidup di

dalam usus besar manusia, terutama di daerah sekum dan kolom. Cacing ini

juga kadang-kadang di temukan di apendiks dan ileum bagian distal. Penyakit

yang di sebabkan cacing ini di sebut Trikuriasis. (Rosdiana S, 2009).

2. Distribusi Geografis
Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah briklim

tropis yang panas dan lembab, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia

termasuk di Indonesia. (Rosdiana S, 2009).

3. Morfologi dan Daur Hidup

Cacing Trichuris trichiura ukuranya jauh lebih kecil dari pada Ascaris

Lumbricoides. cacing betina dewasa panjangnya kira-kira 35-50 mm

sedangkan cacing dewasa jantan panjangnya kira-kira 30-45 mm. cacing

dewasa jarang di temukan dalam tinja. Parasit ini sering di sebut cacing

cambuk karena bagian anterior (kepala) panjang dan sangat halus. Sedangkan

bagian ujung postrior (ekor) lebih tebal. Dalam usus kepalanya menembus

dalam mukosa.

Telurnya berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti

tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit

telur bagian luar berwarna ke kuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.

Telur yang di buahi di keluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut

menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang

sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang

ialah telur yang berisi larva dan merupakan bantuk infektif. Cara infeksi

langsung biasa secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar

melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi

dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon,

terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa
pertumbuhanya mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina

meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.( Srisasi G, dkk, 1998).

Gambar 2.2 Daur Hidup Trichuris trichua (cacing cambuk)


(Sumber : Srisasi Gandahusada, 1998)

4. Aspek Klinis
Klainan patologis yang di sebabkan oleh cacing dewasa terutama

terjadi karena kerusakan mekanik dibagian mukosa usus respons alergi.

Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan

status kesehatan umum dari hospes (penderita).

Infeksi berat terutama terjadi pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh

kolon dan rectum. Sering terjadi cacing yang ada di mucosa rectum menjadi

propalus pada anak. Cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat

perletakkan dan dapat menimbulkan anemia. Pada anak infeksi terjadi menun

dan berat (hiperinfeksi). Gejala-gejala yang terjadi yaitu diare yang diselingi

sindrom disentri, anemia, plolapsus rectal dan berat badan turun.

Secara klinis anemia tipokronik terjadi pada kasus infeksi yang lama.

Anemia ini terjadi karana penderita mengalami hal nutrisi dan kehilangan

darah akibat kolon yang rapuh, disamping itu cacing ini juga di duga

menghisap darah. Penderita dengan kasus disentri, dalam tinjanya di temukan

kristal Chercot-leyden dan Eosinofil, namun pada sediaan apus darah tepi

Eosinofil tidak selaku terlihat dalam microskop. (jangkun SO, 2001 dalam

Aspa P, 2005).

5. Diagnosis

Diagnosis disebut dengan menemukan telur dalam tinja atau

menemukan cacing dewasa pada penderita propalus rektil (pada anak).

(Srisasi G, dkk, 1998)


6. Epidemologi dan Pencegahan

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah

dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan

suhu yang optimum kira-kira 300C. Di berbagai Negara pemakaian tinja

sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuansi di Indonesia lebih

tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuansinya berkisar antara

30-90%.

Di daerah yang sangat endemik infeksi Trikuriasis dapat dicegah

dengan pengobatan, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang

sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum

makan, mencuci sayuran yang di makan mentah adalah penting apalagi di

Negara-negara yang memakai tinja sebagai pupuk. (Srisasi G, dkk 1998).

D. TINJAUAN UMUM TENTANG HYGIENE PERORANGAN

Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari

pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan lingkungan, usaha

mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan

tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga

menjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan pengertian ini termasuk juga

upaya melindungi memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia,

sedemikian rupa sehingga berbagai faktor lingkungan yang tidak

menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan.

(Azrul Azwar, 1979 dalam Hasrianti, 2005).


Menurut Abraham S. benenso (1985), pengertian dan hygiene

perorangan adalah suatu usaha perlindungan terutama yang dilakukan oleh

perorangan yang mencakup usaha peningkatan derajat kesehatan dan

pencegahan penularan penyakit-penyakit infeksi terutama yang ditularkan

melalui kontak langsung.

Usaha-usaha hygiene perorangan yang meliputi;

1. Segera mencuci tangan menggunakan air dan sabun setelah buang air

besar atau air kecil, serta setiap sebelum makan dan atau hendak

menjamah makanan.

2. Lap tangan dan benda kotor, atau barang-barang yang telah digunakan

untuk toilet dan lainya agar dihindarkan dari mulut, hidung, mata, telinga,

alat kelamin dan luka.

3. Hindari pemakaian alat yang tidak bersih atau permukaan bersama

terhadap peralatan makan, gelas air minum, handuk, sapu tangan, sisir,

sikat rambut, dan pipa tembakau rokok secara lebih helai dami helai

dengan menggunakan air yang mengalir dan bersih. (Simpu 2002).

Higiene Perorangan dalam bidang pemberantasan penyakit menular

merupakan upaya untuk melindungi diri terhadap penyakit menjadi tanggung

jawab individu dalam menjaga kesehatan mereka dan mengurangi penyebaran

penyakit, terutama penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung.

(http://kadri-blog.blogspot.com).

Kebersihan perorangan berupa upaya pemeliharaan mulut, gigi,

mencuci tangan dan kaki, pemeliharaan kulit, keramas, berpakaian bersih,


memakai alas kaki dan memotong kuku. Dalam kaitanya dengan kecacingan,

perilaku mencuci tangan, kebersihan kuku dan penggunaan jamban

mempunyai hubungan yang signifikasi dengan kecacingan pada anak.

(Achsan, 2007 dalam Yuliati 2009).


BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

observasional analitik dengan pendekatan Cross sectional study, dimana faktor

dan efek di ukur secara bersama.

B. LOKASI PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada SDN 268 Tanjonge, Desa Marioriaja,

Kec Marioriwawo, Kab Soppeng.

a. Geografi

SDN 268 Tanjonge yang terletak di Desa Marioriaja adalah salah satu

Desa yang terdapat di Kec. Marioriwawo, Kab. Soppeng. Desa marioriaja

mempunyai luas wilayah (34HA) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1) Sebelah utara berbatasan dengan Desa Gattareng

2) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pallawa Kab. Bone

3) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Gattareng

4) Sebelah timur berbatasan dengan Desa Watu

b. Demografi

Jumlah penduduk yang ada di Desa Marioriaja, Kec. Marioriwawo,

Kab. Soppeng berjumlah 4.750 jiwa, (2.202 KK) yang terdiri dari laki-laki

2.379 jiwa, dan yang terdiri dari perempuan sebanyak 2.379 jiwa. Sebagian
besar penduuk mempunyai pekerjaan antara lain berdagang, bertani,

wiraswasta, dan pegawai negeri sipil.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada murid SDN 268 Tanjonge, Desa

Marioriaja, Kec. Marioriwawo, Kab Soppeng yang di laksanakan pada bulan

Juni-Juli 2011

C. KERANGKA KONSEPSIONAL

Karakteristik

Murid SD

Kondisi Keluarga Hygiene perorangan Sanitasi sekolah dan


rumah
- Pendidikan orang tua - Perilaku anak
- Social ekonomi orang - Kebiasaan tempat buang -Lingkungan fisik
tua tinja - agent

Infeksi Kecacingan

- Ascaris lumbricoidis
- Trichuris triciura

Gambar 3.1 Kerangka Konsepsional

Keterangan ;
Karakteristik murid sekolah dasar dipengaruhi oleh kondisi keluarga

antara lain: pendidikan orang tua, social ekonomi, dan hygiene perorangan

yaitu perilaku anak, serta sanitasi sekolah dan rumah yang meliputi

lingkungan fisik dan agent. Yang termasuk dalam lingkungan fisik salah

satunya adalah cuaca yang terdiri dari berbagai unsur seperti suhu dan

kelembaban. Sedangkan agent (penyebab penyakit) yaitu telur cacing.

Ketiga hal tersebut dapat mempengaruhi terjadinya infeksi kecacingan

seperti Ascaris lumbricoides dan Trichuris triciura

D. VARIABEL PENELITI

Berdasarkan kerangka konsepsional, maka variabel yang akan diteliti

dapat dilihat pada skema hubungan variabel berikut ini:

Variabel Bebas Variabel Terikat

- Mencuci tangan dengan sabun Infeksi Kecacingan (Ascaris


sebelum makan lumbricoides dan trichuris
- Kebiasaan memotong kuku trichuira)
- Mencuci makanan (buah)
sebelum dimakan

Variabel Penganggu

- Pendidikan orang tua


- Sosek, orang tua
- Suhu
- kelembaban

Gambar 3.2. Hubungan Antar Variabel

Keterangan:

Variabel yang diteliti

Variabel yang tiddak diteliti


Hubungan variabel yang di teliti yaitu variabel yang mempengaruhi

variabel terikat pada infeksi kecacingan terdiri dari mencuci tangan dengan

sabun, kebiasaan memotong kuku, dan mencuci makanan sebelum dimakan,

sedangkan pendidikan orang tua, sosial ekonomi orang tua, suhu dan

kelembaban merupakan variabel pengganggu

Variabel-variabel yang akan di teliti:.

1. Variabel bebas adalah variabel yang diduga mempengaruhi variabel terikat,

dalam hal ini hygiene perorangan yang terdiri dari: mencuci tangan dengan

sabun sebelum makan, kebiasaan memotong kuku, dan mencuci makanan

(buah) sebelum dimakan.

2. Variabel terikat adalah: variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas, dalam

hal ini infeksi kecacingan.

3. Variabel pengganggu adalah: variabel yang diduga mempengaruhi variabel

terika, dalam hal ini adalah pendidikan orang tua, social ekonomi orang tua,

suhu dan kelembaban.

E. HIPOTESIS

Ho: Hipotesis Nol

1. Tidak ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum

makanan dengan kejadian infeksi kecacingan.


2. Tidak ada hubungan antara kebiasaan memotong kuku dengan kejadian

infeksi kecacingan.

3. Tidak ada hubungan antara mencuci makanan (buah) sebelum dimakan

dengan kejadian infeksi kecacingan.

Ha: Hipotesis alternatif

1. Ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum makan

dengan kejadian infeksi kecacingan.

2. Ada hubungan antara memotong kuku dengan kejadian infeksi

kecacingan.

3. Ada hubungan antara mencuci makanan (buah) sebelum dimakan dengan

kejadian infeksi kecacingan.

F. DEFENISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF

1. Defenisi operisional

a. Infeksi kecacingan adalah terdapatnya telur cacing Ascaris lumbericoides

atau Trichuris triciura yang ditemukan pada tinja responden berdasarkan

pemeriksaan tinja di laboratorium.

b. Mencuci tangan adalah suatu kondisi yang di ukur, responden selalu

membersihkan tangan sebelum dan sesudah makan kemudian setelah buang

air besar (BAB).

c. Memotong kuku adalah kegiatan memotong kuku hingga pendek dilakukan

secara rutin minimal satu kali dalam seminggu, termasuk kondisi yang

diukur dengan ada tidaknya kotoran yang melekat di ujung kuku.


d. Mencuci makanan sebelum di makan adalah suatu kegiatan yang di lakukan

bila responden selalu mencuci makanan sebelum di makan..

2. Kriteria Objektif

a. Infeksi kecacingan:

1) Dikatakan terinfeksi: apabila ada telur cacing yang ditemukan dalam

tinja.

2) Dikatakan tidak terinfeksi: apabila tidak ada telur cacing yang di

temukan di dalam tinja.

b. Hygiene perorangan

1) Mencuci tangan

a) Memenuhi syarat: apabila responden mencuci tangan dengan air

bersih dengan sabun sebelum dan sesudah makan kemudian

setelah buang air besar (BAB).

b) Tidak memenuhi syarat: apabila tidak sesuai dengan kriteria

diatas

2) Memotong kuku

a) Memenuhi syarat: apabila responden memotong kuku secara rutin

minimal 1 x seminggu.

b) Tidak memenuhi syarat: apabila tidak sesuai dengan kriteria

diatas .

3). Mencuci makanan (buah) sebelum di makan


a) Memenuhi syarat: apabila responden mencuci makanan (buah)

terlebih dahulu dengan menggunakan air bersih.

b) Tidak memenuhi syarat: apabila tidak sesuai dengan kriteria

diatas.

G. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi dalam penelitin ini adalah Murid SDN 268 Tanjonge, Desa

Marioriaja, Kec. Marioriwawo, Kab Soppeng tahun 2011 sebanyak 142

Murid.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah Murid Sekolah Dasar dari kelas

III (21), kelas IV (24) dan kelas V (31) Sekolah Dasar 268 Tanjonge, Desa

Marioriaja, Kec marioriwawo, Kab. Soppeng. Diambil secara Purposive.

Sampling, yaitu sebesar 76 murid. Dengan syarat tidak pernah meminum

obat cacing dalam enam bulan terakhir.

H. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Data primer

Data diperoleh dengan cara pengambilan sampel tinja responden

dengan daftar ceklist untuk pengambilan data hygiene perorangan dengan


menggunakan kuesioner pengambilan data Murid 268 Tanjonge, Desa

Marioriaja, Kec Marioriwawo, Kab. Soppeng.

2. Data sekunder

Data diperoleh dari buku-buku literatur yang relevan dengan

penelitian dan instansi yang terkait seperti: puskesmas dan kantor Desa.

I. TEKNIK ANALISA DATA

Data yang diperoleh melalui observasi dan jawaban kuesioner serta

hasil pemeriksaan laboratorium, disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisa

secara chi-square, yaitu;

(0-E)2

X2=
E

Di mana:

X2 = Chi square observasi

O = hasil pengumpulan yang dilakukan

E= hasil yang diperiksa

Sedangkan derajat kebebasan (dk) dapat dihitung dengan

menggunakan rumus;

Dk= (K-1) (b-1)

Di mana: k=kolom, b=baris

S-ar putea să vă placă și