Sunteți pe pagina 1din 62

ASKEP ANAK DENGAN ISPA

BAB I

KONSEP DASAR TEORI

A. Pendahuluan

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang masih merupakan masalah

kesehatan yang menonjol, terutama pada anak. Penyakit ini pada anak merupakan penyebab

kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang tinggi. Angka kematian ISPA di negara

maju berkisar antara 10 -15 %, sedangkan di negara berkembang lebih besar lagi.

Di Indonesia angka kematian ISPA diperkirakan mencapai 20 %.

Hingga saat ini salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah ISPA. (Infeksi

Saluran Pernapasan Akut). ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena

menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang

terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3 - 6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % - 60 %

dari kunjungan di puskesmas adalah oleh penyakit ISPA (Anonim, 2009).

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada anak dengan ISPA

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian pada anak dengan ISPA
b. Untuk mengetahui Diagnosa keperawatan apa yang muncul pada anak dengan ISPA
c. Untuk mengetahui Intervensi keperawatan pada anak dengan ISPA
d. Untuk mengetahui Implementasi keperawatan apa yang tetapat pada anak dengan ISPA
e. Untuk mengetahui Evaluasi keperawatan serta rencana tindakan apa yang akan dilakukan pada

anak dengan ISPA.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Infeksi saluran pernafasan adalah suatu keadaan dimana saluran pernafasan (hidung, pharing

dan laring) mengalami inflamasi yang menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas dan akan

menyebabkan retraksi dinding dada pada saat melakukan pernafasan (Pincus Catzel & Ian

Roberts; 1990; 450).


ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran

pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah ISPA adalah infeksi saluran

pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah

organ mulai dari hidung sampai gelembung paru (alveoli), beserta organ-organ disekitarnya

seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran

pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk, pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan

antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati

dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.


ISPA merupakan kepanjangan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan mulai diperkenalkan

pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Istilah ini

merupakan padanan istilah bahasa inggris yakni Acute Respiratory Infections (ARI).
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas

mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya,

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA umumnya berlangsung selama 14 hari.

Yang termasuk dalam infeksi saluran nafas bagian atas adalah batuk pilek biasa, sakit telinga,

radang tenggorokan, influenza, bronchitis, dan juga sinusitis. Sedangkan infeksi yang menyerang

bagian bawah saluran nafas seperti paru itu salah satunya adalah Pneumonia.(WHO)
Infeksi saluran pernafasan adalah suatu penyakit yang mempunyai angka kejadian yang

cukup tinggi. Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi agent/ kuman. Disamping itu terdapat
beberapa faktor yang turut mempengaruhi yaitu; usia dari bayi/ neonatus, ukuran dari saluran

pernafasan, daya tahan tubuh anak tersebut terhadap penyakit serta keadaan cuaca (Whaley and

Wong; 1991; 1419).


2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan richetsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus,

Haemophylus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah

golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus dan

lain-lain.
Etiologi Pneumonia pada Balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar

diperoleh. Penetapan etiologi Pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di

luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di

negara berkembang streptococcus pneumonia dan haemophylus influenza merupakan bakteri

yang selalu ditemukan pada dua per tiga dari hasil isolasi, yakni 73, 9% aspirat paru dan 69, 1%

hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini Pneumonia pada anak

umumnya disebabkan oleh virus.


a. Faktor Pencetus ISPA
1) Usia
Anak yang usianya lebih muda, kemungkinan untuk menderita atau terkena penyakit

ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih tua karena daya tahan

tubuhnya lebih rendah.


2) Status Imunisasi
Anak dengan status imunisasi yang lengkap, daya tahan tubuhnya lebih baik

dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak lengkap.


3) Lingkungan
Lingkungan yang udaranya tidak baik, seperti polusi udara di kota-kota besar dan asap

rokok dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA pada anak.


b. Faktor Pendukung terjadinya ISPA
1) Kondisi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak

peningkatan penduduk miskin disertai dengan kemampuannya menyediakan lingkungan

pemukiman yang sehat mendorong peningkatan jumlah Balita yang rentan terhadap serangan

berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnya akan mendorong meningkatnya

penyakit ISPA dan Pneumonia pada Balita.


2) Kependudukan
Jumlah penduduk yang besar mendorong peningkatan jumlah populasi Balita yang besar

pula. Ditambah lagi dengan status kesehatan masyarakat yang masih rendah, akan menambah

berat beban kegiatan pemberantasan penyakit ISPA.


3) Geografi
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah endemis beberapa penyakit

infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh geografis

dapat mendorong terjadinya peningkatan kaus maupun kemaian penderita akibat ISPA. Dengan

demikian pendekatan dalam pemberantasan ISPA perlu dilakukan dengan mengatasi semua

faktor risiko dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.


4) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
PHBS merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Perilaku bersih dan

sehat tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya dan tingkat pendidikan penduduk. Dengan makin

meningkatnya tingkat pendidikan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif terhadap

pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan Balita agar tidak terkena penyakit ISPA yaitu

melalui upaya memperhatikan rumah sehat dan lingkungan sehat.


5) Lingkungan dan Iklim Global
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana

transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan terutama penyakit

ISPA. Demikian pula perubahan iklim gobal terutama suhu, kelembapan, curah hujan,

merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA.


Agen infeksi adalah virus atau kuman yang merupakan penyebab dari terjadinya infeksi

saluran pernafasan. Ada beberapa jenis kuman yang merupakan penyebab utama yakni golongan
A -hemolityc streptococus, clamydia trachomatis, mycoplasma danstaphylococus,

haemophylus influenzae, pneumokokus.


Usia bayi atau neonatus, pada anak yang mendapatkan air susu ibu angka kejadian pada

usia dibawah 3 bulan rendah karena mendapatkan imunitas dari air susu ibu. Ukuran dari lebar

penampang dari saluran pernafasan turut berpengaruh didalam derajat keparahan penyakit.

Karena dengan lobang yang semakin sempit maka dengan adanya edematosa maka akan tertutup

secara keseluruhan dari jalan nafas.


Kondisi klinis secara umum turut berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi antara lain

malnutrisi, anemia, kelelahan. Keadaan yang terjadi secara langsung mempengaruhi saluran

pernafasan yaitu alergi, asthma serta kongesti paru.


Infeksi saluran pernafasan biasanya terjadi pada saat terjadi perubahan musim, tetapi juga

biasa terjadi pada musim dingin (Whaley and Wong; 1991; 1420).

B. Patofisiologi
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 3 tahap yaitu :
1. Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi

bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.


3. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan batuk.
Tahap lanjut penyaklit, dibagi menjadi empat yaitu :
a) Dapat sembuh sempurna.
b) Sembuh dengan atelektasis.
c) Menjadi kronos.
d) Meninggal akibat pneumonia.

Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk

mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran

pernafasan tehadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga

unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat yaitu keutuhan epitel mukosa dan gerak

mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi.


Antibodi setempat yang ada di saluran nafas ialah Ig A. Antibodi ini banyak ditemukan di

mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran nafas, seperti

yang terjadi pada anak. Penderita yang rentan (imunokompkromis) mudah terkena infeksi ini

seperti pada pasien keganasan yang mendapat terapi sitostatika atau radiasi.Penyebaran infeksi

pada ISPA dapat melalui jalan hematogen, limfogen, perkontinuitatum dan udara nafas.

Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah

rusak akibat infeksi yang terdahulu. Selain hal itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan

lapisan mukosa dan gerak silia adalah asap rokok dan gas SO2 (polutan utama dalam

pencemaran udara), sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau

lebih).

C. Manifestasi Klinis
1. Batuk, pilek dengan nafas cepat atau sesak nafas
Pada umur kurang dari 2 bulan, nafas cepat lebih dari 60 x / mnt.
Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung

dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah

dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).
1. Demam.
Pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah mencaapai

usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya

infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC.


2. Meningismus.
Adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik

bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta

kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.


3. Anorexia.
Biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan bhkan

tidak mau minum.


4. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut

mengalami sakit.
5. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat

infeksi virus.
6. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis

mesenteric.
7. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat

oleh karena banyaknya sekret.


8. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini

merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.


9. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan

(Whaley and Wong; 1991; 1419).


D. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium

terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah :


1. Biakan virus
2. Serologis
3. Diagnostik virus secara langsung.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum,

biakan darah, biakan cairan pleura.

Fokus utama pada pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama dari

pernafasan.
1. Pola, cepat (tachynea) atau normal.
2. Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat kita amati melalui

pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen.


3. Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan adanya bersin.
4. Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman pernafasan.
5. Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan peningkatan suhu

tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga didapati adanya cyanosis, nyeri pada

rongga dada dan peningkatan produksi dari sputum.


6. Riwayat kesehatan:
a. Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)
b. Riwayat penyakit sekarang (kondisi klien saat diperiksa)
c. Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami penyakit seperti yang dialaminya

sekarang)
d. Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang pernah mengalami sakit seperti

penyakit klien)
e. Riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal klien)

Pemeriksaan fisik difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan :


a. Inspeksi
1) Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
2) Tonsil tampak kemerahan dan edema
3) Tampak batuk tidak produktif
4) Tidak ada jaringan parut pada leher
5) Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan cuping hidung.
b. Palpasi
1) Adanya demam
2) Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri tekan pada nodus limfe

servikalis
3) Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c. Perkusi : Suara paru normal (resonance)
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru

E. Penatalaksanaan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar

merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian karena

pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada

pengobatan penyakit ISPA) .


Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan

penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk

pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi

penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman

sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
1. Upaya pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
a. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
b. Immunisasi.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
2. Pengobatan dan perawatan
Prinsip perawatan ISPA antara lain :
a. Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari
b. Meningkatkan makanan bergizi
c. Bila demam beri kompres dan banyak minum
d. Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan yang bersih
e. Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat.
f. Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih menetek
3. Pengobatan antara lain :
a. Mengatasi panas (demam) dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah

2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk

waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan

diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak

perlu air es).


b. Mengatasi batuk. Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu

jeruk nipis sendok teh dicampur dengan kecap atau madu sendok teh , diberikan tiga kali

sehari.
F. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
2. Hipertermi berhubungan dengan invasi mikroorganisme.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidak mampuan

dalam memasukan dan mencerna makanan


4. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan ISPA berhubungan dengan kurang informasi.

BAB III

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian
a. Keluhan Utama : Klien mengeluh demam, batuk , pilek, sakit tenggorokan.
b. Riwayat penyakit sekarang : Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit

kepala, badan lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit

tenggorokan.
c. Riwayat penyakit dahulu : Kilen sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit keluarga : Menurut pengakuan klien,anggota keluarga ada juga yang pernah

mengalami sakit seperti penyakit klien tersebut


e. Riwayat sosial : Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat

penduduknya
2. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa I : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi

paru.

Tujuan kriteria hasil :

1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu

(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi

pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)


3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)

Intervensi :

1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


2. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
6. Lakukan suction pada mayo
7. Berikan bronkodilator bila perlu
8. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
9. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
10. Monitor respirasi dan status O2
11. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
12. Pertahankan jalan nafas yang paten
13. Atur peralatan oksigenasi
14. Monitor aliran oksigen
15. Pertahankan posisi pasien
16. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
17. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Diagnosa II : Hipertermi berhubungan dengan invasi mikroorganisme

Tujuan Kriteria Hasil :

1. Suhu tubuh dalam rentang normal


2. Nadi dan RR dalam rentang normal
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Intervensi :

1. Monitor suhu sesering mungkin


2. Monitor warna dan suhu kulit
3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR
4. Monitor intake dan output
5. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
6. Berikan pasien kompres air hangat, hindari pemberian kompres dingin.
7. Tingkatkan sirkulasi udara.
8. Kolaborasi pemebrian cairan intravena.
9. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas.
10. Kolaborasi pemberian antipiretik.
11. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

Diagnosa III : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidak

mampuan dalam memasukan dan mencerna makanan

Tujuan Kriteria Hasil :

1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan


2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
6. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Intervensi :

1. Kaji adanya alergi makanan


2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
5. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
6. Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
7. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
8. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
9. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
10. BB pasien dalam batas normal
11. Monitor turgor kulit
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
14. Monitor pertumbuhan dan perkembangan

agnosa IV : Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan ISPA berhubungan dengan kurang informasi.

uan Kriteria Hasil :

1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program

pengobatan.
2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan

lainnya.

Intervensi :

1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik.
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan

fisiologi, dengan cara yang tepat.


3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat.
5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat.
6. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di

masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit.


7. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.
8. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan

kesehatan, dengan cara yang tepat

B. Evaluasi :
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian

tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi

keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan

myocarditis (Doenges, 1999) adalah :

1. Bersihan jalan nafas efektif, tidak ada bunyi atau nafas tambahan.
2. Suhu tubuh pasien dalam rentang normal antara 36 -37,5 C
3. Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah kepada BB normal.
4. Pengetahuan adekuat serta tidak terjadi komplikasi pada klien.

ASKEP ISPA PADA ANAK


Oct21

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN ISPA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang masih merupakan masalah
kesehatan yang menonjol, terutama pada anak. Penyakit ini pada anak merupakan penyebab
kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) yang tinggi. Angka kematian ISPA di negara
maju berkisar antara 10 -15 %, sedangkan di negara berkembang lebih besar lagi.
Di Indonesia angka kematian ISPA diperkirakan mencapai 20 %.
Hingga saat ini salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) .ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting
karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap
tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan di puskesmas adalah oleh penyakit ISPA
(Anonim,2009)
B. Tujuan Penulisan
Tujuan umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada anak dengan diare.
Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui Pengkajian pada anak dengan diare
2. Untuk mengetahui Diagnosa keperawatan pada anak dengan diare
3. Untuk mengetahui Intervensi keperawatan pada anak dengan diare
4. Untuk mengetahui Implementasi keperawatan pada anak dengan diare
5. Untuk mengetahui Evaluasi keperawatan pada anak dengan diare
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud
dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta
organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru
Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila
infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.
Program Pemberantasan Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu
pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu
pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis,
tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.
Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan
terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila
ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat
antibiotik (Rasmaliah, 2004)
2. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebabnya antara lain dari
genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, bordetella, dan korinebacterium.
Virus penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus,
mikoplasma, herpesvirus.
Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya bakteri stafilokokus
dan streptokokus serta virus influenza yang di udara bebas akan masuk dan menempel pada
saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.
Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia dibawah 2 tahun yang kekebalan
tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga
menimbulkan risiko serangan ISPA.
Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak adalah
rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan.

3. Patofisiologi
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 3 tahap yaitu :
Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa
Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah
apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.
Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan batuk.
Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
atelektasis,menjadi kronos dan meninggal akibat pneumonia.
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk mengatasinya
dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernafasan
tehadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami
yang selalu terdapat pada orang sehat yaitu keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia,
makrofag alveoli, dan antibodi.
Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak akibat
infeksi yang terdahulu. Selain hal itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa
dan gerak silia adalah asap rokok dan gas SO2 (polutan utama dalam pencemaran udara),
sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).
4. Penatalaksanaan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar merupakan
strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian karena pneumonia dan
turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit
ISPA) .
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit
ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek
biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi
penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
Immunisasi.
Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Prinsip perawatan ISPA antara lain :
Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari
Meningkatkan makanan bergizi
Bila demam beri kompres dan banyak minum
Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan yang bersih
Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat.
Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih menetek
Pengobatan antara lain :
Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang adekuat,pemberian multivitamin
dll.
Antibiotik :
Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab
Utama ditujukan pada S.pneumonia,H.Influensa dan S.Aureus
Menurut WHO : Pneumonia rawat jalan yaitu kotrimoksasol, Amoksisillin, Ampisillin,
Penisillin Prokain,Pnemonia berat : Benzil penicillin, klorampenikol, kloksasilin, gentamisin.
Antibiotik baru lain : Sefalosforin,quinolon dll.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap
jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik
virus secara langsung.Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan
pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura.

B. Asuhan Keperawatan Ispa


1. Pengkajian
A. Identitas Pasien
Nama : Gilang
Umur : 4 bulan
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Jalan Merpati 1
Tanggal Masuk : 23 oktober 2010
Diagnosa medis : ISPA
Nama Ayah : T.indra
Umur :35 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : sunda
Alamat : Jalan Merpati 1
Nama Ibu : Bu fitri
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : sunda
Alamat : Jalan Merpati 1
2. Keluhan Utama:
Klien mengeluh demam
3. Riwayat penyakit sekarang
Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot
dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang
5. Riwayat penyakit keluarga
Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien tersebut.
6. Riwayat sosial
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya
7. Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Pernafasan
Inspeksi
Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
Tonsil tampak kemerahan dan edema
Tampak batuk tidak produktif
Tidak ada jaringan parut pada leher
Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan cuping hidung.
Palpasi
Adanya demam
Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri tekan pada nodus limfe
servikalis
Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
Perkusi
Suara paru normal (resonance)
Auskultasi
Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru.
8. Diagnosa Keperawatan
Peningkatan suhu tubuh bd proses infeksi
Tujuan :
Suhu tubuh normal berkisar antara 36 37, 5 C
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b. d anoreks
Tujuan:
Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah kepada BB normal.
Klien dapat mentoleransi diet yang dianjurkan.
Tidak menunujukan tanda malnutrisi.
Nyeri akut b.d inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.
Tujuan :
Nyeri berkurang / terkontrol
Resiko tinggi penularan infeksi b.d tidak kuatnya pertahanan sekunder (adanya infeksi
penekanan imun)
Tujuan:
Tidak terjadi penularan
Tidak terjadi komplikasi
9. Intervensi
a. NIC :
Observasi tanda tanda vital
Anjurkan pada klien/keluarga umtuk melakukan kompres dingin ( air biasa) pada
kepala /axial
Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan yang dapat menyerap
keringat seperti terbuat dari katun.
Atur sirkulasi udara.
Anjurkan klien untuk minum banyak 2000 2500 ml/hr.
Anjurkan klien istirahat ditempat tidur selama fase febris penyakit
Kolaborasi dengan dokter :
Dalm pemberian therapy, obat antimicrobial
antipiretik
Rasionalisasi
Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan
selanjutnya.
Dengan menberikan kompres maka aakan terjadi proses konduksi / perpindahan
panas dengan bahan perantara .
Proses hilangnya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebal dan tidak akan
menyerap keringat.
Penyedian udara bersih.
Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
Tirah baring untuk mengurangi metabolism dan panas
Untuk mengontrol infeksi pernapasan
Menurunkan panas
b. NIC :
Kaji kebiasaan diet, input-output dan timbang BB setiap hari
Berikan makan pporsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat
Beriakan oral sering, buang secret berikan wadah husus untuk sekali pakai dan tisu
dan ciptakan lingkungan beersih dan menyenamgkan.
Tingkatkan tirai baring.
Konsul ahli gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien

Rasionali
Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi
keadekuatan rencana nutrisi.
Untuk menjamin nutrisi adekuat/ meningkatkan kalori total
Nafsu makan dapt dirangsang pada situasi rilek, bersih dan menyenangkan.
Untuk mengurangi kebutuhahan metabolic
Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau kebutuhan individu untuk
memberikan nutrisi maksimal.
c. NIC :
Teliti keluhan nyeri ,catat intensitasnya (dengan skala 0 10), factor memperburuk atau
meredakan lokasimya, lamanya, dan karakteristiknya.
Anjurkan klien untuk menghindari allergen / iritan terhadap debu, bahan kimia, asap,rokok.Dan
mengistirahatkan/meminimalkan berbicara bila suara serak.
Anjurkan untuk melakukan kumur air garam hangat
Rasional
Identifikasi karakteristik nyeri & factor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat
penting untuk memilih intervensi yang cocok & untuk mengevaluasi ke efektifan dari terapi yang
diberikan.
Mengurangi bertambah beratnya penyakit
Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri tenggorokan.
Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi alergi / menghambat pengeluaran
histamine dalam inflamadi pernapasan.
Analgesic untuk mengurangi rasa nyeri
d. NIC :
Batasi pengunjung sesuai indikasi
Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktifitas
Tutup mulut dan hidung jika hendak bersin, jika ditutup dengan tisu buang segera
ketempat sampah
Tingkatkan daya tahan tubuh, terutama anak usia dibawah 2 tahun, lansia dan penderita
penyakit kronis. Dan konsumsi vitamin C, A dan mineral seng atau anti oksidan jika kondisi
tubuh menurun / asupan makanan berkurang
Kolaborasi Pemberian obat sesuai hasil kultur

Rasional
Menurunkan potensial terpalan pada penyakit infeksius.
Menurunkan konsumsi /kebutuhan keseimbangan O2 dan memperbaiki pertahanan
Klien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
Mencegah penyebaran pathogen melalui cairan
Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi
Dapat diberikan untuk organiasme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas
/atau di berikan secara profilatik karena resiko tinggi
10. Implementasi
Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi
Mengukur tanda tanda vital
Mengompres kepala atau aksila dingan mengunakan air dingin
Memerikan penjelasan kepada klien tentang manfaat mengunakan pakaian berbahan tipis
Memberikan obat penurun panas sesuai dengan dosis dan tepat waktu
Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia
Membantu jenis dan makanan yang dimakan klien
Membuat catatan makanan harian
Monitor lingkungan selama klien makan.
Monitor intake nutrisi
Nyeri akut b.d inflamasi pada membrane mukosa faring dan tonsil
Tingkatkan istirahat
Berikan informasi tentang nyeri kepada keluarga anak ,seperti penyebab nyeri berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidak nyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesic pertama kali.
Resiko tinggi penularan infeksi b.d tidak kuatnya pertahanan sekunder
Membatasi pengunjung
Mempertahankan teknik isolasi
Memperbanyak istirahat

11. Evaluasi
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian
tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan
myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
Suhu tubuh pasien dalam rentang normal antara 36 -37,5 C
Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah kepada BB normal.
Nyeri hilang atau terkontrol
Tidak terjadi komplikasi pada klien

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seperti yang diuraikan diatas bahwa ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam,
maka timbul persoalan pada pengenalan (diagnostik) dan pengelolaannya. Sampai saat ini belum
ada obat yang khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan
secara rasional. Pengobatan yang rasional adalah apabila pasien mendapatkan antimikroba yang
tepat sesuai dengan kuma penyebab. Untuk dapat melakukan hal ini , kuman penyebab ISPA
dideteksi terlebih dahulu dengan mengambil material pemeriksaan yang tepat, kemudian
dilakukan pemeriksaan mikrobiologik , baru setelah itu diberikan antimikroba yang sesuai.

Saran
Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pembaca
makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca terutama perawat dalam membuat
asuhan keperawatan

Share this:

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) ISPA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah hak setiap orang. Masalah kesehatan sama pentingnya dengan masalah
pendidikan, perekonomian dan lain sebagainya. Usia balita dan anak-anak merupakan usia yang
rentan penyakit. Hingga saat ini salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) .

ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan
balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan
mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan di puskesmas adalah
oleh penyakit ISPA (Anonim,2009)

Masalah kesehatan tidak sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Namun sistem yang
terkandung di dalamnya turut membantu mencari inovasi yang baru, termasuk masyarakat.
Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan juga menjadi pemicu penyebab masalah
kesehatan, khususnya ISPA. Penderita ISPA tiap tahun selalu mangalami peningkatan. Hal ini
dapat dikarenakan beberapa faktor misalnya, rendahnya tingkat pendidikan sehingga
pengetahuan mengenai kesehatan juga masih rendah atau faktor ekonomi yang menyebabkan
tingkat kesehatan kurang diperhitungkan.

Pemerintah bisa melakukan banyak strategi untuk mencegah peningkatan masalah


kesehatan khususnya ISPA. Upaya yang dapat dilakukan misalnya saja promosi kesehatan
mengenai nutrisi yang baik dan seimbang, istirahat yang cukup dan kebersihan.

1.2 Tujuan

Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA).

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA)?

1.4 Manfaat

1. Mengetahui proses asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan ISPA


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ISPA .

ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud
dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta
organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru

Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila
infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian

Program Pemberantasan Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu
pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu
pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis,
tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.
Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan
terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila
ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat
antibiotik (Rasmaliah, 2004)

2.2 Klasifikasi ISPA

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:

1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest
indrawing).

2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan
dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan
pneumonia

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini
dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5
tahun.

Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :


1. Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian
bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60
kali per menit atau lebih.

2. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding
dada bagian bawah atau napas cepat.

Untuk golongan umur 2 bu~an sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :

1. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam
keadaan tenang tldak menangis atau meronta).

2. Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan
adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit
atau lebih.

3. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada napas cepat(Rasmaliah, 2004).

2. 3 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara
lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan
Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus,
Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.

2.4 Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem
kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Pada stadium awal,
gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus
menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan
mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi
kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan
berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi
telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
2.5 Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk
kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk golongan
Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi
tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan
melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab
atau mikroorganisme penyebab

2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau kronis,
yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks
atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit
virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie,
dan Echo.

b. Manusia

1. 1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun mempunyai
risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini
terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran
nafasnya masih sempit.

1. 2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

1. 3. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama kematian
terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang meninggal karena
penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya
daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit
penyakit dalam tubuh.

1. 4. Berat Badan Lahir


Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram. Menurut
Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi
dengan berat 2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah
penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.

1. 5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan faktor antibodi
untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari)
payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan
(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting
untuk melindungi bayi dari infeksi.

1. 6. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu
agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada
pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan
kesehatan anak.

c. Lingkungan

1. Kelembaban Ruangan

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross
sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada
balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai
exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.

1. 2. Suhu Ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal ini berarti,
jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak
memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

1. 3. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di
dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

1. 4. Kepadatan Hunian Rumah


Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian
pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat
dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian
Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar
9 kali.

1. 5. Penggunaan Anti Nyamuk

Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan
gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya
pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

1. 6. Bahan Bakar Untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara
menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar
nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan
penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.

1. 7. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari
4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO),
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono
dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia
adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk.

1. 8. Status Ekonomi dan Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran
makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa
anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan
bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Menurut Khaidir Muhaj (2008):


1. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien

Umur :Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah
3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada
usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut(Anggana Rafika,
2009).

Jenis kelamin :Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana
angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark
(Anggana Rafika, 2009).

Alamat : Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan
masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Kochet al (2003)
membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi
ISPA berat .Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain
adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik
maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah
seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak (Anggana
Rafika, 2009)

1. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama:

Klien mengeluh demam

2) Riwayat penyakit sekarang:

Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot
dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit tenggorokan.

3) Riwayat penyakit dahulu:

Klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang

4) Riwayat penyakit keluarga:

Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien
tersebut.

5) Riwayat sosial:
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya
1. c. Pemeriksaan Persistem

B1 (Breath) :

1) Inspeksi:
Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan
Tonsil tanpak kemerahan dan edema
Tampak batuk tidak produktif
Tidak ada jaringna parut pada leher
Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan tambahan,pernapasan cuping hidung, tachypnea,
dan hiperventilasi

2) Palpasi
Adanya demam
Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada nodus limfe
servikalis
Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid

3) Perkusi
Suara paru normal (resonance)

4) Auskultasi
Suara napas vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru

B2 (Blood) : kardiovaskuler Hipertermi

B3 (Brain) : penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan pada telinga, terjadi
gangguan penciuman

B4 (Bladder) : perkemihan Tidak ada kelainan

B5 (Bowel) : pencernaan Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis Minum sedikit,
nyeri telan pada tenggorokan

B6 (Bone) : Warna kulit kemerahan(Benny:2010)

1. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+)
sesuai dengan jenis kuman,

2) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai dengan
adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia
3) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Benny:2010)

1. DIAGNOSA

a) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

b) Nyeri telan berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.

c) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret

d) Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia.

e) Resiko tinggi penularan infeksi( Khaidir:2008)

No Diagnosa Tujuan
Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan

1. Hipertermi Pasien akan menunjukkan 1. Suhu tubuh kembali normal Observasi :


berhubungan termoregulasi(keseimbangan
dengan proses antara produksi panas, 1. Nadi : 60-100 denyut per tanda-tanda vital
infeksi peningaktan panas, dan menit
kehilangna panas).
2. Tekanan darah : 120/80
mmHg

3. RR : 16-20 kali per menit

Mandiri :

1. Kompres pada
/ aksila.
1. Atur sirkulasi
kamar pasien

Health Education:

1. Anjurkan klien
menggunakan
pakaian tipis d
dapat menyera
keringat

1. Anjurkan klien
minum banyak
2500 ml/hari.

1. Anjurkan klien
istirahat di tem
tidur selama m
febris penyaki

Kolaborasi :

Kolaborasi dengan do
dalam pemberian oba

1. Nyeri telan Nyeri berkurang skala 1-2 Observasi :


berhubungan
dengan Teliti keluhan nyeri, c
inflamasi pada intensitasnya (dengan
membran 0-10), faktor yang
mukosa faring memperburuk atau
dan tonsil. meredakan nyeri, loka
lama, dan karakteristi
Mandiri :

1) Anjurkan klien un
menghindari alergen a
iritan terhadap debu, b
kimia, asap rokok, dan
mengistirahatkan atau
meminimalkan bicara
suara serak

2) Anjurkan untuk
melakukan kumur air

Kolaborasi :

Berikan obat sesuai in

2. Bersihan jalan Bersihan jalan nafas efektif Jalan nafas paten dengan bunyi nafas Mandiri :
nafas tidak bersih, tidak ada dyspnea, dan sianosis
efektif b.d Kaji frekuensi atau
akumulasi sekret kedalaman pernafasan
gerakan dada

Auskultasi area paru,


area penurunan atau ti
ada aliran udara dan b
nafas adventisius, mis
Crackles, mengi.

Bantu pasien latian na


sering. Tunjukan atau
pasien mempelajari
melakukan batuk, mis
menekan dada dan ba
efektif sementara posi
duduk tinggi.

Berikan cairan sedikit


2500 ml perhari(kecu
kontraindikasi). Tawra
hangat daripada dingi
Kolaborasi :

Bantu mengawasi efe


pengobatan nebulizer
fisioterapi lain, mis.
Spirometer insentif, IP
tiupan botol, perkusi,
postural drainage. Lak
tindakan diantara wak
makan dan batasi cair
mungkin.

Berikan obat sesuai in


mukolitik, ekspektora
bronchodilator, analge

3. Nutrisi tidak Nutrisi kembali seimbang A:Antropometri: berat badan, tinggi Mandiri :
seimbang badan, lingkar
berhubungan lengan 1. Kaji kebiasaan
dengan anorexia Berat badan tidak turun (stabil) input-output d
timbang BB se
B: Biokimia: hari

- Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl dan


perempuan 12-16 g/dl)

- Albumin normal (dewasa 3,5-5,0 g/dl)


1. Berikan porsi
C: Clinis: kecil tapi serin
dalam keadaan
- Tidak tampak kurus

- Rambut tebal dan hitam

- Terdapat lipatan lemak subkutan


1. Tingkatkan tir
D: Diet: baring

- Makan habis satu porsi

- Pola makan 3X/hari 1. Kolaborasi den


ahli gizi untuk
memberikan d
sesuai kebutuh
klien

1. Berikan heath
education pada
tentang Nutris
makanan yang
yaitu 4 sehat 5
sempurna, hin
anak dari snac
es, beri minum
putih yang ban

1. Menjauhkan d
bayi lain

1. Menjauhkan b
keluarga yang

4. Resiko tinggi Meminimalisir penularan Anggota keluarga tidak ada yang Mandiri :
penularan infeksi lewat udara tertular ISPA
infeksi 1.Batasi pengunjung s
indikasi

2.Jaga keseimbangan
istirahat dan aktifitas

3.Tutup mulut dan hid


jika hendak bersin.
4.Tingkatkan daya tah
tubuh, terutama anak
dibawah usis 2 tahun,
dan penderita penyaki
kronis. Konsumsi vita
A dan mineral seng at
antioksidan jika kond
tubuh menurun atau a
makanan berkurang

Kolaborasi :

Pemberian obat sesua


kultur

Asuhan Keperawatan Anak Preschool dengan ISPA

A. Definisi
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut
saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi
jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau disertai
dengan radang parenkim paru.
ISPA adalah masuknya mikroorgamisme (bakteri, virus, riketsia)
ke dalam saluran pernafasan yang menimbulkan gejala penyakit yang
dapat berlangsung sampai 14 hari.

B. Tanda dan Gejala


- Pilek biasa
- Keluar sekret cair dan jernih dari hidung
- Kadang bersin-bersin
- Sakit tenggorokan
- Batuk
- Sakit kepala
- Sekret menjadi kental
- Demam
- Nausea
- Muntah
- Anoreksia

C. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus streptokokus, stafilokokus,
pnemokokus, hemofilus, bordetella, dan korinebacterium. Virus
penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus,
pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus.
Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA
diantaranya bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza
yang di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.
Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia
dibawah 2 tahun yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum
sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga
menimbulkan risiko serangan ISPA.
Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap
kejadian ISPA pada anak adalah rendahnya asupan antioksidan, status
gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan.

D. Penyebaran Penyakit
Pada ISPA, dikenal 3 cara penyebaran infeksi, yaitu:
1. Melalui areosol (partikel halus) yang lembut, terutama oleh karena
batuk-batuk
2. Melalui areosol yang lebih berat, terjadi pada waktu batuk-batuk
dan bersin
3. Melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda-benda
yang telah dicemari oleh jasad renik.

E. Tingkat Penyakit ISPA


1. Ringan
Batuk tanpa pernafasan cepat atau kurang dari 40 kali/menit,
hidung tersumbat atau berair, tenggorokan merah, telinga berair.
2. Sedang
Batuk dan napas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari
telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen
dengan pembesaran kelenjar limfe leher yang nyeri tekan (adentis
servikal).
3. Berat
Batuk dengan nafas cepat dan stridor, membran keabuan di faring,
kejang, apnea, dehidrasi berat atau tidur terus, tidak ada sianosis.
4. Sangat Berat
Batuk dengan nafas cepat, stridor dan sianosis serta tidak dapat
minum.
F. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya ISPA:
1. Usia
Anak yang usianya lebih muda, kemungkinan untuk menderita atau
terkena penyakit ISPA lebih besar bila dibandingkan dengan anak
yang usianya lebih tua karena daya tahan tubuhnya lebih rendah.
2. Status Imunisasi
Annak dengan status imunisasi yang lengkap, daya tahan tubuhnya
lebih baik dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya
tidak lengkap.
3. Lingkungan
Lingkungan yang udaranya tidak baik, seperti polusi udara di kota-
kota besar dan asap rokok dapat menyebabkan timbulnya penyakit
ISPA pada anak.

G. Pencegahan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit ISPA pada anak antara lain:
1. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
2. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan
tubuh terhadap penyakit baik.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
4. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara
adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung
dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita
penyakit ISPA.

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Riwayat kesehatan:
- Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)
- Riwayat penyakit sekarang (kondisi klien saat diperiksa)
- Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami
penyakit seperti yang dialaminya sekarang)
- Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang
pernah mengalami sakit seperti penyakit klien)
- Riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal klien)

Pemeriksaan fisik difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan

a. Inspeksi
- Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
- Tonsil tampak kemerahan dan edema
- Tampak batuk tidak produktif
- Tidak ada jaringan parut pada leher
- Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
pernafasan cuping hidung.
b. Palpasi
- Adanya demam
- Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah
leher/nyeri tekan pada nodus limfe servikalis
- Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c. Perkusi
- Suara paru normal (resonance)
d. Auskultasi
- Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi
paru

2. Diagnosa Keperawatan
1) Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi
Tujuan : suhu tubuh normal berkisar antara 36 37,5 C
Intervensi:
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Anjurkan klien/keluarga untuk kompres pada kepala/aksila
c. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan
dapat menyerap keringat seperti pakaian dari bahan katun.
d. Atur sirkulasi udara
e. Anjurkan klien untuk minum banyak 2000 2500 ml/hari
f. Anjurkan klien istirahat di tempat tidur selama fase febris
penyakit.
g. Kolaborasi dengan dokter:
- Dalam pemberian terapi, obat antimikrobial
- Antipiretika

Rasionalisasi:

a. Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan


perkembangan perawatan selanjutnya
b. Dengan memberikan kompres, maka akan terjadi proses
konduksi/perpindahan panas dengan bahan perantara.
c. Proses hilanganya panas akan terhalangi untuk pakaian yang
tebal dan tidak akan menyerap keringat.
d. Penyediaan udara bersih
e. Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh
meningkat
f. Tirah baring untuk mengurangi metabolisme dan panas
g. Untuk mengontrol infeksi pernafasan dan menurunkan panas

2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan


tubuh b.d anoreksia
Tujuan:
- Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah
pada BB normal.
- Klien dapat menoleransi diet yang dianjurkan
- Tidak menunjukkan tanda malnutrisi

Intervensi:

a. Kaji kebiasaan diet, input-output dan timbang BB setiap hari.


b. Berikan makan porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan
hangat.
c. Tingkatkan tirah baring
d. Kolaborasi: konsultasi ke ahli gizi untuk memberikan diet
sesuai kebutuhan klien.

Rasionalisasi:

a. Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun


tujuan BB dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
b. Untuk menjamin nutrisi adekuat/meningkatkan kalori total
c. Nafsu makan dapat dirangsang pada situasi rileks, bersih,
dan menyenangkan.
d. Untuk mengurangi kebutuhan metabolik
e. Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi
atau kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal.

3) Nyeri akut b.d inflamasi pada membran mukosa faring


dan tonsil
Tujuan: nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi:
a. Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya (dengan skala 0
10 ), faktor yang memperburuk atau meredakan nyeri, lokasi,
lama, dan karakteristiknya.
b. Anjurkan klien untuk menghindari alergen/iritan terhadap
debu, bahan kimia, asap rokkok, dan
mengistirahatkan/meminimalkan bicara bila suara serak.
c. Anjurkan untuk melakukan kumur air hangat
d. Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi (steroid oral, IV, dan
inhalasi, & analgesik)

Rasionalisasi:
a. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan
merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih
intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan
dari terapi yang diberikan.
b. Mengurangi bertambahberatnya penyakit
c. Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta
mengurangi nyeri tenggorokan.
d. Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi
alergi/menghambat pengeluaran histamin dalam inflamasi
pernafasan. Analgesik untuk mengurangi nyeri.

4) Risiko tinggi penularan infeksi b.d tidak kuatnya


pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan imun)
Tujuan: tidak terjadi penularan, tidak terjadi komplikasi
Intervensi:
a. Batasi pengunjung sesuai indikasi
b. Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktivitas
c. Tutup mulut dan hidung jika hendak bersin
d. Tingkatkan daya tahan tubuh, terutama anak dibawah usia 2
tahun, lansia, dan penderita penyakit kronis. Konsumsi
vitamin C, A dan mineral seng atau anti oksidan jika kondisi
tubuh menurun/asupan makanan berkurang.
e. Kolaborasi pemberian obat sesuai hasil kultur

Rasionalisasi:

a. Menurunkan potensi terpajan pada penyakit infeksius


b. Menurunkan konsumsi/kebutuhan keseimbangan O dan
memperbaiki pertahanan klien terhadap infeksi,
meningkatkan penyembuhan.
c. Mencegah penyebaran patogen melalui cairan
d. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan
menurunkan tahanan terhadap infeksi.
e. Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi
dengan kultur dan sensitifitas atau diberikan secara profilaktik
karena risiko tinggi.

BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
ISPA adalah infeksi akut yang me
n
yerang saluran pernapasan yaitu organ tubuh yang di
mulai dari hidung ke alveoli beserta
adneksa
(Romelan, 2006).
Infeksi Saluran
Pernapasan Akut
(ISPA) merupakan salah satu penyebab kemat
ian tersering pada anak
di negara berkembang. Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara
1000 bayi dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari
1000 balita (Oktaviani, 2009). Setiap anak balita diperkirakan me
ngalami 3
-
6 episode
ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA mencakup 20
-30%
(
Suhandayani, 2007
).
Untuk meningkatkan upaya perbaikan kesehatan masyarakat,
Departemen Kesehatan RI menetapkan 10 program prioritas masalah kesehatan
yang
ditemukan di masyarakat untuk
mencapai tujuan Indonesia Sehat 2010, dimana salah
satu diantaranya adalah Program Pencegahan Penyakit Menular termasuk penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes RI, 2002).
Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu pe
nyebab utama
kunjungan pasien ke
sarana kesehatan. Sebanyak 40%
-
60% kunjungan berobat di
Puskesmas dan 15%
-
30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah
sakit disebabkan oleh ISPA (
Suhandayani, 2007
).
Penyebab ISPA pal
ing
berat
disebabkan infeksi
Streptococus pneumonia atau Haemophillus influenzae
. Banyak
kematian yang diakibatkan oleh
pneumonia
terjadi di rumah, diantaranya setelah
mengalami sakit selama beberapa hari.
Program pemberantasan ISPA secara khusus
telah dimulai
sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh
ISPA, namun
kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi
(Rasmaliah, 2004)
.
Hasil sur
vei
kesehatan nasional di Indonesia tahun 2001 menunjukka n bahwa proporsi
kematian bayi akibat ISPA masih 28 % artinya bahwa dari 100 bayi meninggal 28
disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80 % kasus kematian ISPA pada balita
adalah akibat
Pneumonia
.
Angka kematian balita akibat pneumonia pada akhir tahun
2000 di perkirakan sekitar 4,9 / 1000 balita, berarti terdapat 140.000 balita yang
Universitas
Sumatera
Utara
meninggal setiap tahunnya akibat pneumonia, atau rata
-
rata 1 anak
balita Indonesia
meninggal akibat pneumonia setiap
5 menit (W
ahyuni, 2008).
Tingginya angka kejadian ISPA pada bayi di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh
pengetahuan ibu yang sangat kurang tentang ISPA. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan
ini terjadi setelah orang melakukan pengind
e
raan
t
erhadap s
uatu objek tertentu sehingga
dari pengetahuan tersebut dapat mempengaru
hi tindakan ibu terhadap penyakit
ISPA.
Dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang ISPA maka akan langsung berhubungan
dalam menurukan angka kejadian ISPA (Notoatmo
d
jo, 2007).
Ibu mem
iliki peranan yang cukup penting dalam usaha untuk meningkatkan kese
hatan
bagi anaknya. P
engetahuan ibu mengenai penyakit ISPA, yang merupakan salah satu
penyebab kematian tersering, sangat diperlukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui
tingkat
pemahaman pa
da ibu
-
ibu
tentang penyakit ISPA
, maka perlu diketahui
bagaimana pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap segala sesuatu yang ada
kaitannya dengan penyakit ISPA ini (Purnomo, 2001
).
Berdasarkan uraian diatas maka penu
lis akan membuat suatu penelitian t
entang
gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA pada anak di Kelurahan Medan Denai tahun
2010.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi
masalah adalah:
Bagaimana pengetahuan ibu tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut di Kelurahan
Denai tahun 2010 ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan ibu tentang ISPA pada an
ak umur 5
-
10 tahun.
Universitas
Sumatera
Utara
1.3.2.
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui gambaran pengetahaun ibu tentang IS
PA pada anak
umur 5
-10
tahun di Puskesmas Medan Denai.
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1.
Sebagai bahan informasi kepada ibu tentang ISPA pada anak, agar dapat
terhindar
dari penyakit ISPA,sehingga yang dapat membant
u menurunkan
p
revalensi ISPA
pada anak
.
2.
Sebagai bahan informasi kepada Kelurahan Medan Denai tentang penyakit infeksi ini,
agar di Kelurahan Medan Denai penularan ISPA dapat menurun.
3.
Sebagai wawasan dan informasi tentang ISPA bagi masyarakat luas dan dapa
t
dikembangkan menjadi data
-
data untuk penelitian lanjutan bagi para peneliti.
4.
Sebagai wadah aplikasi ilmu penulis selama menempuh studi di Fakultas Kedoktera
n
USU

ISPA ( INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT


1.1 Latar Belakang

ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan
balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan
mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah
oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %.
Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari
2 bulan. Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi. Kematian
seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan berat dan sering
disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per
tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data penelitian
dilapangan (Kecamatan Kediri, NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten Indramayu adalah 9,8 %).
Bila kita mengambil angka morbiditas 10 % pertahun, ini berarti setiap tahun jumlah penderita
pneumonia di Indonesia berkisar 2,3 juta .Penderita yang dilaporkan baik dari rumah sakit
maupun dari Puskesmas pada tahun 1991 hanya berjumlah 98.271. Diperkirakan bahwa separuh
dari penderita pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6 bulan. Program pemberantasan ISPA
secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun
kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi seperti yang telah
dilaporkan berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di atas.
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Akan tetapi secara klinis
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran
pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah infeksi saluran
pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari, pada organ pernapasan berupa hidung sampai
gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan
selaput paru. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk
pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik,.
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu
pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu
pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis,
tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.
Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan
terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila
ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat
antibiotik. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.
Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah,
asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran
pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan
masyarakat pada bulan-bulan musim dingin. Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia
sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan
keadaan lingkungan yang tidak hygienes. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena
meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai
untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian
antibiotik
1.2 Landasan Teori
A. Pengertian
ISPA merupakan mengkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah
dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni
infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut (Indah, 2005):
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran
pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan
organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernafasan (respiratory tract)
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan
dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen,
yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri
dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di
dalamnya virus influensa, virus para-influensa dan virus campak), dan adenovirus. Bakteri
penyebab ISPA misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus
Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium Diffteria (Achmadi, dkk, 2004).

B. Etiologi
Infeksi saluran pernafasan adalah suatu penyakit yang mempunyai angka kejadian yang cukup
tinggi. Penyebab dari penyakit ini adalah infeksi agent/ kuman. Disamping itu terdapat beberapa
faktor yang turut mempengaruhi yaitu; usia dari bayi/ neonatus, ukuran dari saluran pernafasan,
daya tahan tubuh anak tersebut terhadap penyakit serta keadaan cuaca (Whaley and Wong; 1991;
1419).
Agen infeksi adalah virus atau kuman yang merupakan penyebab dari terjadinya infeksi saluran
pernafasan. Ada beberapa jenis kuman yang merupakan penyebab utama yakni golongan A
-hemolityc streptococus, clamydia trachomatis, mycoplasmastaphylococus, haemophylus
influenzae, dan pneumokokus.
Usia bayi atau neonatus, pada anak yang mendapatkan air susu ibu angka kejadian pada usia
dibawah 3 bulan rendah karena mendapatkan imunitas dari air susu ibu.
Ukuran dari lebar penampang dari saluran pernafasan turut berpengaruh didalam derajat
keparahan penyakit. Karena dengan lobang yang semakin sempit maka dengan adanya
edematosa maka akan tertutup secara keseluruhan dari jalan nafas.
Kondisi klinis secara umum turut berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi antara lain
malnutrisi, anemia, kelelahan. Keadaan yang terjadi secara langsung mempengaruhi saluran
pernafasan yaitu alergi, asthma serta kongesti paru.
Infeksi saluran pernafasan biasanya terjadi pada saat terjadi perubahan musim, tetapi juga biasa
terjadi pada musim dingin (Whaley and Wong; 1991; 1420).
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis penyakit bakteri, virus, dan riketsia. Virus
penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenvirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (DepKes.RI, 1998 : 5).
Umumnya disebabkan oleh kuman atau virus dengan faktor resiko :
1. Tertular dari penderita ISPA
2. Daya tahan tubuh yang kuran
3. Kurangnya sirkulasi udara dalam rumah
4. Lingkungan yang kotor
5. Gizi yang kurang

C. Manifestasi klinis
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri tenggorokan, batuk
dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat
antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah dan insomnia.
Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap
jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik
virus secara langsung.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan
darah, biakan cairan pleura.

D. Tanda dan gejala


Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung
dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah
dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 451).

tanda dan gejala yang muncul ialah:


1. Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah
mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama
terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC.

2. Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi
selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada
punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.

3. Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah
minum dan bhkan tidak mau minum.

4. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut
mengalami sakit.

5. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat
infeksi virus.

6. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis
mesenteric.

7. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah
tersumbat oleh karena banyaknya sekret.

8. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini
merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.

9. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara
pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

E. Komplikasi
Bila menjalar keginjal akan
Menyebabkan infeksi ginjal.
Bila mengenai jantung menye-babkan infeksi pada otot jantung.
Bila mengenai otak menyebabkan radang selaput otak.
Bila mengenai telinga menyebabkan infeksi pada telinga.

BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) merupakan penyebab utama
penyakit pada bayi usia 1-6 tahun. ISPA merupakan kelompok penyakit yang
komplek dan heterogen yang disebabkan
oleh berbagai etiologi dan dapat
mengenai setiap tempat disepanjang saluran pernafasan. Secara klinis ISPA
ialah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian
saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang
berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).
Menurut Muttaqin (2008) faktor risiko yang dapat mempengaruhi
kejadian ISPA pada umumnya adalah faktor sosio-demografi, biologis,
perumahan dan kepadatan serta polusi. Faktor sosio-demografi meliputi usia,
jenis kelamin, pendidikan orang tua, da
n penghasilan keluarga. Faktor biologi
meliputi status gizi, pemberian ASI eksklusif. Faktor polusi dalam ruangan
meliputi tidak adanya cerobong asap, kebiasaan ayah merokok dan adanya
perokok selain ayah. Faktor perumahan dan kepadatan meliputi keadaan
lantai, dinding, jumlah penghuni kamar yang melebihi 2 orang, dan ventilasi
rumah.
Ventilasi adalah tempat sebagai pr
oses penyediaan udara segar ke
dalam dan pengeluaran udara kotor dari
suatu ruangan tertutup secara alamiah
maupun mekanis. Ventilasi rumah berfungsi untuk proses penyediaan udara
1
2
segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis. Hal ini berarti
keseimbangan O
2
(oksigen) yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O
2
(oksigen)
di dalam rumah yang berarti kadar CO
2
(karbondioksida) yang bersifat racun
akan meningkat. Tidak cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan
kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan
cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk bakteri-bakteri penyebab penyakit (Notoatmodjo, 2007).
Salah satu bagian rumah yang terabaikan adalah adanya ventilasi
dalam tempat tidur. Syarat ventilasi se
suai standar bangunan nasional adalah
luas bersih dari jendela/ lubang hawa se
kurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai
ruangan, jendela/ lubang hawa harus me
luas ke arah atas sampai setinggi
minimal 1,95 meter dari permukaan lantai, dan adanya adanya lubang hawa
yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai
yang bersangkutan (Mukono, 2000).
Hasil penelitian Suhandayani (2007) meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati. Faktor
yang mempengaruhi kejadian ISPA antara lain pemberian ASI eksklusif,
kepadatan hunian ruang tidur, ventilasi ruang tidur, keberadaan anggota
keluarga yang merokok, keberadaan anggota keluarga yang menderita ISPA.
Di Indonesia tiap tahun kematian ISPA sekitar 30% dari total kematian
balita. Insiden ISPA khususnya Pnem
onia di Indonesia tiap tahun sekitar
10%-20% atau 2,33 juta-4,66 juta kasus. Menurut Survei Kesehatan Rumah
3
Tangga (SKRT) tahun 2001, angka kesakitan ISPA menduduki peringkat
ketiga sebesar 24%, setelah penyakit gigi
dan mulut sebesar 60% dan penyakit
Refraksi dan Penglihatan sebesar 31% (Rachmad, 2009).
Di Jawa Tengah, penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan
utama masyarakat. Penyakit pneumonia adalah penyebab nomer satu (15,7%)
dari penyebab kematian balita di Rumah Sakit. Pada tahun 2004, cakupan
penemuan pneumonia balita di Jawa Tengah mencapai 24,72%. Pada tahun
2005 mengalami penurunan menjadi 21,6%. Angka tersebut mengalami
peningkatan pada tahun 2006 yaitu menjadi 26,62% dan pada tahun 2007
mengalami penurunan menjadi 24,29%. Pada tahun 2008, angka ISPA di Jawa
Tengah menjadi 23,63% (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2008).
Kejadian penyakit ISPA di Jepara juga masih cukup tinggi, dimana
dari data profil Dinas Kesehatan Jepara
pada bulan Januari sampai November
2010 terdapat jumlah balita sebanyak 101.775 dengan kejadian kasus
pneumonia pada balita sebanyak 4990 orang (49,03%), dan 27 balita dengan
pneumonia berat (0,54%). Wilayah puskesmas Keling merupakan wilayah
dengan angka pneumonia tertinggi dari seluruh puskesmas yang ada di Jepara.
Jumlah pneumonia di wilayah puskesmas Keling sebanyak 823 orang
(16,49%), dan pneumonia berat sebanyak 17 orang (62,96%).
Jumlah kasus pneumonia di desa Klepu pada bulan Oktober sebanyak
80 balita didapatkan dari laporan bula
nan Pueksemas Keling I pada tanggal 10
November 2010. Berdasarkan hasil observasi terhadap kondisi rumah warga di
desa Klepu, diperoleh hasil bahwa vent
ilasi kamar tidur balita tidak pernah
4
dibuka setiap pagi. Luas ventilasi kamar
tidur jika dibandingkan dengan luas
kamar tidur tidak memenuhi syarat kesehatan. Selain itu, aliran udara yang
masuk kamar tidur terhalang oleh ba
rang-barang besar,
misalnya lemari,
dinding, sekat dan lain-lain. Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan
dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi
media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri
patogen termasuk kuman dan berisiko terjadinya ISPA pada balita.
Terkait dengan fenomena diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara ventilasi ruang tidur
dengan kejadian ISPA pada balita di
desa Klepu kecamatan Keling kabupaten
Jepara.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan-rumusan
permasalahan ini adalah Adakah hubungan antara ventilasi ruang tidur
dengan kejadian ISPA pada balita di
desa Klepu kecamatan Keling kabupaten
Jepara?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara ventilasi ruang tidur dengan kejadian
ISPA pada balita di desa Klepu kecamatan Keling kabupaten Jepara.
5
2.
Tujuan Khusus
a.
Mendeskripsikan ventilasi ruang tidu
r balita di desa Klepu kecamatan
Keling kabupaten Jepara
b.
Mendeskripsikan kejadian ISPA pada balita di desa Klepu kecamatan
Keling kabupaten Jepara
c.
Menganalisis hubungan antara ventila
si ruang tidur dengan kejadian
ISPA pada balita di desa Klepu kecamatan Keling kabupaten Jepara
D.
Manfaat Penelitian
1.
Institusi pelayanan kesehatan (Puskesmas)
Sebagai bahan masukan pada petugas kesehatan dalam merencanakan
upaya penanggulangan kejadian ISPA pada anak balita dengan cara
memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk membuat ventilasi
udara serta pencahayaan udara yang baik dapat memelihara kondisi
sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.
2.
Profesi keperawatan
Memberi masukan pada profesi keperawatan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan di masyarakat, khususnya pemenuhan ventilasi tempat tidur
yang sesuai standar bangunan nasional dalam upaya pencegahan penyakit
ISPA pada balita.
3.
Peneliti
Sebagai suatu pengalaman belajar dalam kegiatan penelitian dan
menetapkan metode penelitian.
6
E.
Bidang Ilmu
Penelitian ini termasuk dalam bidang Ilmu Keperawatan Anak dan
Keperawatan Komunitas.

BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit
yang menyerang pada balita yang terjadi di saluran napas dan kebanyakan
merupakan infeksi virus. Penderita akan mengalami demam, batuk, dan
pilek berulang serta anoreksia. Di bagian tonsilitis dan otitis media akan
memperlihatkan adanya inflamasi pada tonsil atau telinga tengah dengan
jelas. Infeksi akut pada balita akan mengakibatkan berhentinya pernapasan
sementara atau apnea (Meadow, 2005: 153-154).
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Menurut
para ahli, daya tahan tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa
karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila dalam satu rumah
anggota keluarga terkena pilek, balita akan lebih mudah tertular. Dengan
kondisi anak yang lemah, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat.
Resiko ISPA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, akan
tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media akuta (OMA) dan
mastoiditis. Bahkan dapat menyebabkan komplikasi fatal yakni pneumonia
(Anonim, 2010: 111).
Pertumbuhan balita yang tercermin pada status gizi dapat dipantau
melalui grafik pertumbuhan berdasarkan standar tertentu misalnya
World
Health Organization-The National Center Health Statistics
(WHO-NCHS).
Apabila terjadi perubahan grafik pertumbuhan, baik dalam pertumbuhan
2
massa tubuh maupun pertumbuhan linier, yang keduanya menjurus ke arah
penurunan grafik bila dibandingkan dengan standar, maka dikatakan
mengalami goncangan pertumbuhan (
growth faltering
) (Satoto, 1990: 10
dalam Royal, 2010: 12).
Goncangan pertumbuhan berkaitan dengan kekurangan gizi sejak bayi
dalam kandungan atau Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan banyaknya
bayi yang diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 1 bulan,
bahkan sebelum usia 1 bulan. Tingkat kecukupan gizi yang kurang
terutama energi dan protein, pola asuh atau perawatan bayi yang kurang
optimal serta penyakit infeksi (Prawirohartono, 1997: 309 dalam Royal,
2010: 13).
Kejadian ISPA pada balita akan memberikan gambaran klinik yang
lebih berat dan buruk. Hal ini disebabkan karena ISPA pada anak balita
umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya
secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Pada orang dewasa sudah
banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman
infeksi sebelumnya.
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena erupsi merapi yang
terjadi Tahun 2010 dan luapan aliran lahar dingin yang menyebabkan
lingkungan perumahan sekitar lereng dan bantaran beberapa sungai di
Merapi membawa material batu, pasir, dan debu (polutan) yang
mengakibatkan pencemaran udara. Debu yang beterbangan akibat tiupan
angin dan debu yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi merupakan
3
pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal (Wardhana, 2004:
28).
Menurut Wardhana (2004: 127), pencemaran partikel seperti debu
pada peristiwa meletusnya gunung berapi merupakan dampak pencemaran
partikel yang disebabkan karena peristiwa alamiah (faktor internal). Secara
umum partikel-partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan
dan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel-partikel
tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan.
Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup
masuk ke dalam paru-paru. Ukuran debu partikel (debu) yang masuk ke
dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan
partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan
bertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel 3-5 mikron akan
tertahan di bagian tengah, partikel lebih kecil 1-3 mikron akan masuk ke
kantung paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil,
kurang 1 mikron akan ikut keluar saat dihembuskan.
Menurut data penyakit pengungsian dari kesehatan bencana Gunung
Merapi Kabupaten Sleman tahun 2010 akibat erupsi merapi, penyakit
ISPA mengalami peningkatan, tercatat dari 10 penyakit di pengungsian
akumulatif, ISPA di peringkat pertama dari per tanggal 25 November 2010
sebanyak 7649 kasus, per tanggal 1 Desember 2010 sebanyak 8526 kasus,
per tanggal 2 Desember 2010 sejumlah 9165 kasus dan mengalami
4
peningkatan per tanggal 4 Desember 2010 dengan jumlah 9419 kasus.
Penyakit ini potensial menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Menurut data laporan kasus kesakitan Puskesmas Cangkringan Tahun
2011, salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman yang memiliki angka
kejadian ISPA dari 10 besar penyakit yang paling sering diderita oleh
masyarakat adalah Kecamatan Cangkringan, yang merupakan wilayah
kerja Puskesmas Cangkringan. Pada Tahun 2011, di Puskesmas
Cangkringan angka kejadian ISPA menduduki peringkat pertama yaitu
3113 kasus. Berdasarkan data laporan kasus kesakitan Puskesmas
Cangkringan tahun 2011 pada 7 bulan terakhir dari 5 desa kejadian ISPA
pada kisaran umur 1-4 tahun 617 kasus.
Sanitasi rumah merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitik
beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yaitu digunakan sebagai
tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana
sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah,
sarana pembuangan kotoran manusia dan penyediaan air bersih (Azwar,
1990: 79-100). Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka
kesakitan penyakit menular terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat
berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA.
Rumah yang jendelanya kurang proporsional ukurannya, menyebabkan
pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya
asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah. Bayi dan anak
5
yang sering menghisap asap lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang
lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan
matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak
terserang ISPA (Ranuh, 1997: 8).
Perkembangan persebaran penyakit menggambarkan secara spesifik
peran lingkungan terhadap terjadinya penyakit dan wabah dan sejak lama
sudah diperkirakan pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit.
Ditinjau dari segi ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena
adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya (Soemirat, 2007:
18).
Kasus penyakit ISPA ini sangat berkaitan dengan perubahan kondisi
lingkungan akibat erupsi merapi, perilaku manusia dan faktor lingkungan
meliputi sanitasi fisik rumah, sarana air bersih, sarana pembuangan air
limbah, dan kesehatan lingkungan pada musim kemarau. Penyebab ISPA
adalah terjadinya infeksi saluran pernapasan yang disebabkan virus dan
bakteri. Penyebab lain yang dapat menimbulkan penyakit ISPA adalah
paparan cemaran udara,
hand to hand transmission
, ketersediaan air bersih
serta faktor musim.
Perbedaan lingkungan di Kecamatan Cangkringan sangat berbeda
antara sebelum terjadinya erupsi dengan sesudah terjadi erupsi Merapi
Tahun 2010. Menurut jaringan informasi dari jalin merapi sebelum
terjadinya erupsi kondisi infrastruktur dan sarana kesehatan, penduduk
mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas Cangkringan, Puskesmas
6
keliling setiap 3 bulan sekali dan pelayanan kesehatan untuk balita setiap
dusun setiap bulannya. Sedangkan setelah pasca erupsi Merapi pelayanan
kesehatan di Puskesmas Ngemplak dan pelayanan untuk balita (Posyandu)
belum dapat dilayani.
Perbedaan yang lainnya terlihat dari kondisi ekonomi di Desa
Argomulyo masyarakat bekerja di sektor pertanian, beternak dan
memelihara ikan sebagai sektor pendukung. Setelah pasca erupsi terjadi
gangguan di kondisi ekonomi masyarakat yakni tanaman yang tidak dapat
dipanen, karena lahan pertanian berada di sekitar sungai Gendol,
sedangkan untuk sektor peternakan ternak banyak yang diselamatkan dan
sebagian telah dijual. Masyarakat yang bekerja sebagai penambang pasir
setelah terjadinya erupsi belum dapat beraktivitas.
Puskesmas Cangkringan memiliki lima wilayah kerja yaitu desa
Kepuhharjo, Glagaharjo, Umbulharjo, Wukirsari dan Argomulyo. Pada
hasil rekap laporan kasus kesakitan Tahun 2011 desa dengan angka
insidensi tertinggi adalah desa Argomulyo dan insidensi paling rendah
adalah desa Kepuhharjo. Berikut data perbandingan angka kejadian ISPA
tertinggi dan terendah pada tahun 2011 di wilayah kerja Puskesmas
Cangkringan :
7
Gambar 1. Grafik Perbandingan Insidensi Kejadian ISPA Antara Desa
dengan Insidensi tertinggi dan terendah tahun 2011 di
wilayah kerja Puskesmas Cangkringan (Laporan Kasus
Kesakitan Puskesmas Cangkringan,2011)
Adapun berikut dibawah ini data insidensi kejadian ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Cangkringan kurun waktu tahun 2011 :
Gambar 2. Angka Insidensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Cangkringan tahun 2011 (Laporan Kasus Kesakitan
Puskesmas Cangkringan, 2011)
11
64
212
158
58
54
254
111
50
95
44
00
9
21
44
34
17
31
13
8
10
9
Data Perbandingan Angka Insidensi Kejadian
ISPA antara Desa dengan Prevalensi Tertinggi
dan Terendah Tahun 2011 di Wilayah Kerja
Puskesmas Cangkringan
Desa Argomulyo
Desa Kepuhharjo
212
168 168
45
21
Desa
Argomulyo
Desa
Umbulharjo
Desa
Glagahharjo
Desa
Wukirsari
Desa
Kepuhharjo
Angka Insidensi Kejadian ISPA Pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Cangkringan tahun
2011
1 - 4 th
8
Berikut Insidensi Kejadian ISPA di Kecamatan Cangkringan, Sleman,
DIY tahun 2011 :
Gambar 3. Angka Insidensi Kejadian ISPA di Kecamatan Cangkringan,
Sleman, DIY Tahun 2011
Berdasarkan kejadian ISPA yang terjadi di Puskesmas Cangkringan
Kabupaten Sleman, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap
hubungan kondisi faktor lingkungan yang spesifik dan kejadian ISPA
khususnya pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cangkringan
Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan
dalam penelitian ini antara lain berbagai pengaruh penyebab ISPA.
Banyak faktor yang berkaitan dengan terjadinya penyakit ISPA ini antara
lain faktor lingkungan, faktor perilaku, umur, letak geografis, musim dan
sanitasi, adanya bencana alam (pasca erupsi) serta faktor lainnya.
0
10
20
30
40
50
60
70
Jiwa
Mei - Desember 2011
Angka Insidensi Kejadian ISPA di Kecamatan
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta Tahun 2011
Argomulyo
Wukir Sari
Umbulharjo
Kepuhharjo
Glagahharjo
9
C.
Batasan Masalah
Penelitian ini hanya difokuskan mengenai kondisi lingkungan dari
sanitasi rumah dan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Cangkringan
Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu :
1.
Pengkajian tentang faktor lingkungan yang berhubungan dengan
kejadian ISPA pada balita dan perbedaan kondisi lingkungan pada
balita yang mengalami ISPA dan balita yang tidak mengalami
kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cangkringan Kabupaten
Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta pasca erupsi Merapi Tahun
2010.
2.
Pengkajian tentang hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu
kejadian ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam
mendukung kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta pasca
erupsi Merapi Tahun 2010.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1.
Apa saja faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita dan perbedaan kondisi lingkungan pada balita yang
mengalami ISPA dan balita yang tidak mengalami kejadian ISPA di
10
wilayah kerja Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta pasca erupsi Merapi Tahun 2010 ?
2.
Bagaimana hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu kejadian
ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam memicu
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cangkringan
Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta pasca erupsi Merapi
Tahun 2010 ?
E.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengidentifikasi faktor lingkungan yang memicu kejadian
ISPA pada balita dan mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kondisi
lingkungan pada balita yang mengalami ISPA dan balita yang tidak
mengalami kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cangkringan
Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta pasca erupsi Merapi
Tahun 2010.
2.
Untuk mengetahui hubungan subfaktor lingkungan dalam memicu
kejadian ISPA dan faktor lingkungan yang paling dominan dalam
memicu kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta pasca
erupsi Merapi Tahun 2010.
11
F.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini antara
lain :
1.
Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dalam
upaya menjaga sanitasi lingkungan guna mencegah dan mengurangi
resiko terjadinya kejadian ISPA pada balita.
2.
Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan dalam penentuan intervensi dari
permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan faktor
lingkungan dan kejadian ISPA pada balita.
3.
Keilmuan
Sebagai bahan masukan dan dokumen ilmiah yang bermanfaat dalam
mengembangkan ilmu terkait tentang masalah ISPA pada balita serta
dapat digunakan dan bahan perbandingan penelitian yang serupa di
daerah lain.
G.
Batasan Operasional
1.
ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit
pernapasan akut yang disebabkan oleh virus dan bakteri ditandai
dengan gejala batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan ingus
atau lendir yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes RI,2002).
12
2.
Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang menimbulkan atau mungkin
menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kesehatan yang meliputi
kondisi sesuai syarat rumah sehat meliputi ventilasi, kepadatan
penghuni, penerangan alami, suhu ruangan, kelembaban, lantai rumah,
dinding rumah, atap rumah, sumber air bersih, tempat pembuangan
sampah, saluran pembuangan air limbah dan debu.
a.
Ventilasi
lubang angin untuk proses pergantian udara segar ke dalam dan
mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara
alamiah maupun buatan.
1)
Baik (

10% dari luas lantai)


2)
Tidak baik (

10% dari luas lantai)


b.
Kepadatan Penghuni
meliputi jumlah penghuni dalam rumah dengan ukuran luasan
rumah. Dengan kategori :
1)
Baik :

2 orang
2)
Tidak baik :

2 orang
c.
Penerangan Alami (Intensitas Cahaya)
Merupakan penerangan rumah secara alami oleh sinar matahari
untuk mengurangi kelembaban dan membunuh bakteri penyebab
ISPA. Dengan kategori :
1)
Baik (60-120 Lux)
13
2)
Tidak baik (<60 Lux atau <120 Lux)
d.
Suhu
Suhu dalam ruangan untuk menjaga tidak terlalu banyak
kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan.
Dengan kategori :
1)
Baik : (18-30C)
2)
Tidak baik ( <18 atau >30C)
e.
Kelembaban
Merupakan kandungan uap air yang dapat dipengaruhi oleh
sirkulasi udara dalam rumah dengan kategori :
1)
Baik : (40-70%)
2)
Tidak baik : (< 40% atau > 70%)
f.
Lantai
Merupakan salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi
sebuah rumah. Dengan kategori :
1)
Baik : kedap air dan tidak lembab (keramik dan ubin)
2)
Tidak baik : menghasilkan debu dan lembab (semen dan
tanah)
g.
Dinding
Merupakan salah satu bahan bangunan untuk mendirikan sebuah
rumah. Dengan kategori :
1)
Baik : Permanen atau tembok
2)
Tidak baik : semi permanen, bumbu dan kayu atau papan
14
h.
Atap
Merupakan salah satu bagian fungsi rumah untuk melindungi
masuknya debu ke dalam rumah. Dengan kategori :
1)
Baik : Genteng dan menggunakan langit-langit
2)
Tidak baik : asbes atau seng dan tidak menggunakan langit-
langit
i.
Sumber air bersih
Sumber air yang berasal dari sumber mata air yang yang
terlindung/sumur pompa/sumur gali/PDAM/sumber air bersih yang
memenuhi syarat kesehatan.
j.
Tempat pembuangan sampah
Bak tempat pembuangan sampah, cara pengelolaan sampah.
k.
Saluran Pembuangan Air Limbah
Saluran untuk mengalirkan air limbah melalui saluran ke sebuah
lubang/sumur resapan yang memenuhi syarat kesehatan.
l.
Polutan (debu)
Partikel yang tidak murni dan mencemari udara yang berada di
dalam ruangan atau di luar ruangan

S-ar putea să vă placă și