Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
JUSNIMAR
1006823356
JUSNIMAR
1006823356
Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri,
Nama : Jusnimar
NPM : 1006823356
Tanggal : 10 Juli 2013
Tanda Tangan :
ii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir Ners
(KIA-N). Penulisan KIA-N ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk meraih gelar Ners di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berba gai
pihak, dari masa praktik profesi sampai pada penyusunan, sangatlah sulit bagi
penulis untuk menyelesaikan KIA-N ini. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
(1) Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep, selaku pembimbing klinik di Sasana Tresna
Werdha Karya Bhakti, yang telah memberikan bimbingan selama praktik
profesi
(2) Ibu Riri Maria, SKp., MANP, selaku koordinator mata ajar karya ilmiah akhir
Ners, yang telah memberikan bimbingannya
(3) Ibu Widyatuti, S.Kep., M.Kes, Sp. Kom, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan karya ilmiah akhir Ners
(4) Orangtua dan adik-adikku, Syarimulyati dan Ahmad Gunturiadi, yang telah
memberikan bantuan dukungan material dan moral
(5) Teman-teman yang telah membantu penulis dalam memotivasi untuk
menyelesaikan karya ilmiah akhir Ners, dan ;
(6) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan moral bagi penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga KIA-N ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Penulis
iv
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Jusnimar
NPM : 1006823356
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 10 Juli 2013
Yang menyatakan
( Jusnimar )
Nama : Jusnimar
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Pada Nenek G Dengan Masalah Risiko Jatuh Di
Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Risiko jatuh adalah masalah yang sering terjadi pada lansia, karena adanya perubahan
pada sistem muskuloskeletal seiring dengan pertambahan usia. Karya ilmiah ini
bertujuan untuk memaparkan hasil asuhan keperawatan yang diberikan pada salah
satu lansia dengan masalah risiko jatuh di STW Karya Bhakti. Intervensi keperawatan
yang dilakukan salah satunya adalah latihan keseimbangan. Evaluasi yang didapatkan
bahwa lansia mengatakan kaki lebih kuat untuk berdiri dan adanya peningkatan
keseimbangan tubuhnya. Saran yang diberikan untuk pencegahan jatuh agar pihak
STW memberi tanda khusus bagi lansia yang berisiko jatuh, agar semua petugas
menjadi lebih waspada untuk mengantisipasi jatuh.
Name : Jusnimar
Study Program : Nursing Profession
Title : Analysis of Clinical Practice of Urban Problem Health Nursing
for Mrs. G with Issues of the risk of fall at Sasana Tresna
Werdha Karya Bhakti
The risk of falls is a common problem in the elderly, because of changes in their
musculoskeletal system with age. This paper aims to present the result of nursing care
for elderly with a risk of falling in STW Karya Bhakti. Nursing intervent ions
performed one of which is the balance exercises. The evaluation found that the
elderly said stronger legs to stand up and postural balance increased. Advice given to
the prevention of falls in order to identification or give the specific sign for the
elderly at risk of falling, so that all the officer to be more vigilant in anticipation of
fall.
viii
BAB 5 PENUTUP.. 45
5.1 Kesimpulan 45
5.2 Saran...46
DAFTAR PUSTAKA 48
Lampiran
ix
Menua (menjadi tua) adalah proses alamiah dan tidak bisa dihindari oleh siapapun di
dunia ini (Depkes, 2001). Pada lansia akan mengalami proses degeneratif
(kemunduran) atau terjadi perubahan baik fisik, psikologis, dan sosial (Miller, 2012).
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia salah satunya adalah sistem muskuloskeletal.
Perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal, yaitu: penurunan massa dan
tonus otot, serat otot berkurang ukurannya, kekuatan otot berkurang sebanding
dengan penurunan massa otot (Potter & Perry, 2006). Tulang kehilangan densitas
(cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis,
gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut
otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi
tremor, aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua. Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki yang
pendek, kekuatan otot menurun terutama ekstremitas bawah (Darmojo, 2004). Kaki
tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, lansia menjadi
lambat mengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset, tersandung, mengalami
gangguan keseimbangan dan akhirnya berisiko jatuh.
Lansia sangat berisiko mengalami jatuh. Hal ini disebabkan oleh faktor aktivitas,
penurunan kemampuan fisik, penyakit yang diderita dan faktor lingkungan
(Nugroho,2008). Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
berjalan, naik atau turun tangga, merubah posisi atau saat lansia denga n banyak
kegiatan dan olahraga yang menyebabkan kelelahan. Penyebab jatuh pada lansia juga
bisa karena penyakit yang diderita seperti Parkinson, osteoporosis, stroke dan lain-
lain. Sedangkan faktor dari lingkungan adalah lantai yang licin, jalan yang tidak rata,
pencahayaan yang kurang, dan tidak adanya handraill pada tangga. Jika lansia
mengalami jatuh tentu akan menimbulkan masalah baru dan berdampak pada
kesehatan lansia.
Akibat dari jatuh adalah terjadi cidera kepala, cidera jaringan lunak dan fraktur.
Komplikasi dari fraktur jika tidak ditangani dengan tepat adalah timbulnya dekubitus
akibat tirah baring yang berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam, emboli
paru, infeksi pneumonia atau infeksi saluran kencing akibat tirah baring lama,
gangguan nutrisi, dan sebagainya (Ariawan, Kuswardhani, & Aryana, 2010). Dampak
buruk dari risiko jatuh bisa dialami lansia di rumah ataupun di panti, karena lansia
ada yang tinggal di rumah bersama keluarga dan ada yang tinggal di institusi seperti
di panti werdha.
Lansia di perkotaan saat ini cenderung tinggal di panti werdha, baik karena keinginan
sendiri atau karena tidak ada yang merawat di rumah. Kehidupan di perkotaan,
menuntut individu untuk aktif bekerja, agar bisa hidup dengan layak, serta tuntutan
profesi atau pekerjaan menyita hampir seluruh waktu seorang anak, sehingga tidak
lagi mempunyai kesempatan untuk memberikan perhatian dan perawatan kapada
orang tuanya. Orang tua yang memasuki masa lanjut usia semakin terabaikan secara
sosial, budaya dan psikologis, sehingga merasa kesepian dan terlantar dalam rumah.
Fenomena ini mengakibatkan dibangunnya sebuah institusi yang akan menjalankan
atau mengambil alih fungsi- fungsi yang telah ditinggalkan atau diabaikan oleh
keluarga, yaitu panti werdha (Kemensos RI, 2008). Keberadaan panti werdha di masa
akan datang semakin dibutuhkan, sehingga kedepan panti werdha akan menjadi
sebuah pilihan dan solusi atas perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat. Lansia
yang tinggal di panti akan mendapat pengawasan kesehatan dari perawat yang
memberikan asuhan keperawatan.
Sasaran utama dari pelayanan di panti adalah lansia, dalam memberikan asuhan
keperawatan memiliki tantangan tersendiri bagi perawat, karena lansia cenderung
kembali seperti anak kecil yang selalu ingin dimengerti, dan memiliki banyak
keinginan yang harus dipenuhi sehingga perawat harus memiliki ketrampilan khusus
dalam berkomunikasi dan merawat lansia serta harus berkoordinasi dengan disiplin
ilmu lainnya untuk mencapai kepuasan hasil yang dicapai setiap individu. Jumlah
perawat di panti tidak sebanding dengan jumlah lansia, sehingga pengawasan menjadi
kurang adekuat. Hal ini menyebabkan beberapa masalah, salah satunya adalah lansia
yang tinggal di panti cenderung mengalami jatuh, karena tinggal sendiri di kamar,
dan tidak ada yang mengawasi 24 jam penuh.
.
Angka kejadian jatuh di negara maju seperti Amerika, didapatkan sekitar 30% lansia
dengan usia lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, setengah dari angka tersebut
mengalami jatuh berulang. Lansia ada yang tinggal di rumah bersama keluarga, dan
ada yang tinggal di institusi seperti dipanti werdha. Insiden di rumah-rumah
perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak dan 5% dari penderita jatuh ini
memerlukan perawatan di rumah sakit (Tinetti, 1992 d alam Darmojo, 2004).
Indonesia sebagai negara berkembang, prevalensi jatuh pada lansia seperti yang
dilaporkan RS. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional, pada
tahun 2000 ada 285 kasus (15,53%). Pada tahun 2001 ada 42 pasien yang dirawat
karena fraktur femur akibat jatuh (Supartondo, Setiati & Soejono, 2003). Di Jakarta,
berdasarkan data yang diperoleh dari empat Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW)
yang berada di wilayah Pemda DKI Jakarta yaitu PSTW Cipayung, PSTW Ciracas,
PSTW Cengkareng, dan PSTW Margaguna, masing- masing PSTW ini angka
kejadian jatuh lansia sepanjang tahun 2008 berjumlah 13 orang (13,1 %); 8 orang
(6,8 %); 1 orang (0,6 %); dan 19 orang (12 %) (Maryam Siti, 2009).
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STWKB), salah satu panti milik swasta yang
ada di Jakarta, dikelola oleh Yayasan RIA Pembangunan yang diprakarsai oleh Ibu
Hj. Siti Hartinah Soeharto dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984. STWKB
merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan khusus kepada
generasi lanjut usia. Fasilitas yang tersedia antara lain: fasilitas hunian, klinik werdha,
fasilitas penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas
klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma yang memberi pelayanan 24 jam.
Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma
Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas hunian meliputi Wisma Aster, Wisma
Dahlia, Wisma Cempaka, dan Wisma Bungur.
Berdasarkan hasil pengkajian di Wisma Bungur pada Bulan Mei 2013 didapatkan
masalah muskuloskeletal (postur tubuh tidak seimbang, skoliosis, kiphosis,
deformitas) lansia sebanyak 55,56%, lansia yang menggunakan alat bantu berjalan
27,78%, sehingga memiliki keterbatasan aktivitas dan berisiko jatuh. Lansia yang
mengatakan pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir sebanyak 33,33%, lansia yang
memiliki keterbatasan penglihatan sebanyak 33,33% yang menyebabkan
STW Karya Bhakti, telah membuat kegiatan untuk mencegah risiko jatuh, yaitu:
mengadakan senam 4x seminggu, latihan ROM (range of motion) untuk menguatkan
otot-otot lansia, agar tidak mengalami jatuh. Berdasarkan hasil observasi terhadap
kegiatan senam tersebut didapatkan bahwa lansia di Wisma Bungur, yang mengikuti
kegiatan senam hanya sebesar 30%, dan hanya 20% yang aktif mengikuti senam dari
awal sampai akhir. Selain senam atau ROM yang dilakukan oleh STW untuk
mengatasi masalah risiko jatuh pada lansia adalah memodifikasi lingkungan dengan
memasang handrail di koridor. Evaluasi senam terhadap kekuatan otot lansia atau
pengkajian risiko jatuh seperti MFS (Morse Fall Scale) tidak dilakukan secara
reguler. Penilaian BBT (Berg Balance Test) untuk mengetahui keseimbangan lansia
juga belum pernah dilakukan.
Latihan keseimbangan Berg adalah latihan yang terdiri dari 14 teknik latihan yaitu
latihan duduk ke berdiri, berdiri tanpa bantuan, duduk tanpa sandaran punggung,
berdiri ke duduk, berpindah ke kursi lain, berdiri dengan mata tertutup, dan
seterusnya. Rentang nilai 0-4, dimana 0 berarti lansia tidak mampu melakukan dan 4
berarti lansia mampu melakukan tanpa bantuan (Debra, 2003). Penelitan yang
dilakukan oleh Jalalin (2000) di Panti Werdha Pucang Gading Semarang, didapatkan
bahwa terdapat perbedaan skala keseimbangan yang bermakna antara sebelum dan
sesudah latihan keseimbangan (P<0,05).
Hasil survei yang dilakukan di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha (UPSTW)
Bangkalan, didapatkan sekitar 63% lansia mengeluh gangguan keseimbangan tubuh
akibat kelemahan otot ekstremitas bawah. Dari 65% lansia tersebut sekitar 57% lansia
pernah mengalami jatuh. Risiko jatuh pada lansia jika tidak dilakukan pencegahan
akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan lansia.
Akibat dari jatuh adalah timbulnya cidera kepala dan fraktur, yang jika dibiarkan
akan menimbulkan komplikasi seperti timbulnya dekubitus akibat tirah baring yang
berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam, emboli paru, infeksi pneumonia
atau infeksi saluran kencing akibat tirah baring lama, gangguan nutrisi, dan
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah risiko jatuh, salah
satunya dengan mengajarkan latihan fisik atau latihan keseimbangan, yang bertujuan
untuk meningkatkan keseimbangan tubuh lansia.. Latihan keseimbangan pada lansia
diajarkan oleh perawat profesional. Selain itu, perawat juga berperan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif, mulai dari pengkajian,
merumuskan diagnosa keperawatan, membuat rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi. Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis tertarik
melakukan asuhan keperawatan pada Nenek G dengan masalah risiko jatuh di Wisma
Bungur STW Karya Bhakti.
1) Teori genetika
Penuaan dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada
pembentukan kode etik. Penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar
di wariskan yang berjalan dari waktu mengubah sel atau struktur jaringan.
Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan
sebelumnya.
2) Teori imunitas
Seiring bertambahnya usia maka imunitas menjadi menurun, pada lansia
kekebalan terhadap penyakit akan menurun sehingga lansia rentan terhadap
penyakit. Penyakit yang dialami lansia akan berpengaruh pada kesehatannya,
sehingga lansia membatasi aktivitasnya, mengalami gangguan mobilisasi dan
akibatnya berisiko jatuh.
3) Teori wear and tear
Teori ini terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel
tubuh menjadi lelah (pemakaian). Hal ini berkaitan dengan kekuatan otot,
sendi dan tulang pada lansia, karena pertambahan umur, maka kekuatan otot
menjadi menurun, sehingga lansia cendrung mengalami gangguan
keseimbangan sehingga berisiko jatuh.
4) Teori Lingkungan
Menurut teori ini, faktor- faktor di dalam lingkungan (misalnya, karsinogen
dari industri cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa perubahan
dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat
mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak
sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.
5) Teori Neoendokrin
Teori ini berhubungan dengan perubahan yang terjadi di tingkat sel, adanya
perubahan hormone. Perubahan sistem saraf dan hormone menimbulkan
lansia cenderung mengalami gangguan kognitif, demensia, yang mana hal
tersebut menimbulkan resiko jatuh pada lansia.
Perubahan sistem muskuloskeletal yang lain, sebagai berikut (Pujiastuti & Utomo,
2003):
1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai protein pendukung
utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami
perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang
tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen
merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah
kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, tensile
strength dan kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin
merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan
kulitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan pada kolagen itu merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot,
kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan, dan hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari- hari.
5) Sendi. Pada lansia jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament, dan fasia
mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago, dan jaringan periartikular
mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan
kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya
sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi. Kelainan akibat perubahan sendi,
antaralain; osteoarthritis, arthritis rheumatoid, Gout, dan pseudogout. Kelainan
tersebut menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekauan sendi,
keterbatasan ruang gerak sendi, gangguan jalan, dan keterbatasan aktivitas.
menjadi melambat dalam merespon terhadap stimulus dari lingkungan dan dalam
melakukan aktivitas sehari- hari.
Faktor risiko jatuh menurut Nanda (2011), yaitu usia 65 tahun atau lebih, memiliki
riwayat jatuh, tinggal sendiri, prosthesis ekstremitas bawah, penggunaan alat bantu
(tongkat, walker), penggunaan kursi roda, penurunan kognitif atau status mental.
Sedangkan faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh, antaralain: lingkungan
yang tidak teratur, ruang dengan pencahayaan yang redup, lantai yang licin, keset
atau karpet yang tertekuk, tidak adanya handrail di kamar mandi atau di shower.
Faktor lain yaitu medikasi, seperti: penggunaan alkohol, anti ansietas, anti hipertensi,
diuretik, obat penenang, dan anti depresi.
Penambahan usia dan perubahan yang terjadi karena menua memberikan kontribusi
faktor risiko terhadap tingginya insiden jatuh pada lansia, terutama lansia
perempuan. Prevalensi lansia wanita yang jatuh 3x lebih tinggi dibandingkan lansia
laki- laki, 45% lansia mengalami jatuh saat menjalani proses perawatan yang lama,
30-50% lansia yang berusia 65-69 tahun berisiko jatuh (Tideiksaar,1989 dalam
Miller, 2012).
5) Faktor ekstrinsik
Alat pengikat fisik, cahaya yang silau, pencahayaan yang kurang atau redup,
handrail yang rusak, lantai yang licin, karpet atau keset yang tertekuk,
lingkungan yang tidak dikenal lansia, lantai atau keramik yang tidak rata (ada
undakan), ukuran atau tinggi tempat tidur, kursi dan toilet yang tidak tepat.
Peran perawat pada masalah risiko jatuh, yaitu: perawat panti memulai implementasi
dengan memberikan perhatian khusus pada lansia yang berisiko jatuh dan melakukan
program pencegahan jatuh. Kunci utama pada pencegahan jatuh adalah
mengidentifikasi lansia yang berisiko jatuh dan secara konsisten melakukan
implementasi tindakan pencegahan oleh semua petugas atau karyawan. Program yang
penting adalah memberikan pendidikan kesehatan pada semua petugas yang
professional ataupun petugas yang tidak professional yang kontak dengan lansia.
Pendidikan kesehatan tentang strategi untuk meningkatkan kepedulian petugas
terhadap masalah risiko jatuh dan cara untuk menurunkan risiko jatuh lansia. Perawat
juga melakukan pengkajian identifikasi risiko jatuh lansia, misalnya adanya hewan
peliharaan di rumah, penggunaan restraint. Pencegahan jatuh pada lansia dengan
memodifikasi lingkungan agar tidak membahayakan lansia, melatih fisik lansia untuk
meningkatkan kekuatan otot, sendi dan keseimbangan postural lansia. Salah satu
latihan yang bisa dilakukan adalah latihan keseimbangan.
Berg Balance Test terdiri dari 14 perintah yang dinilai menggunakan skala ordinal
(Langley & Mackintosh, 2007). Katherine Berg, merupakan orang yang membuat
Berg Balance Test pada tahun 1989. Katherine menyelesaikan penelitiannya terhadap
183 lansia yang 70 orang di antaranya mengalami stroke. Kemudian, Berg Balance
Test dikembangkan pada tahun 1990-an yang didesain untuk membantu menentukan
perubahan fungsi keseimbangan baik statis (saat diam) maupun dinamis (saat
bergerak) pada lansia (Berg et al., 1992 dalam Barnes, et al., 2005).
Tujuan latihan ini untuk mengukur keseimbangan pada lansia dengan gangguan
fungsi keseimbangan, menentukan risiko jatuh pada lansia (rendah, sedang, atau
tinggi), dan menilai kemampuan klien dalam memelihara posisi. Selain itu tes ini
untuk menilai kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan, baik secara statis
atau saat melakukan berbagai pergerakan fungsional, beberapa di antaranya
memerlukan perubahan pada basis penyangga tubuh (Piotrowski & Cole, 1994).
Rentang nilai 0-4, dimana 0 berarti lansia tidak mampu melakukan dan 4 berarti
lansia mampu melakukan tanpa bantuan. Skor maksimum adalah 56. Nilai kurang
dari 45 berarti terdapat gangguan keseimbangan dan menjadi faktor risiko untuk
jatuh. Interpretasi lain dari hasil penilaian keseimbangan ini adalah untuk nilai 0-20
membutuhkan kursi roda, nilai 21-40 berarti membutuhkan bantuan dalam berjalan,
dan nilai 41-56 dapat mandiri. Menurut Colon-Emeric (2002) nilai sensitifitas BBS
ini adalah 55-82 % yang berarti kemampuan instrumen ini untuk mengidentifikasi
secara benar lansia yang berisiko jatuh sebesar 55-82 %. Sedangkan nilai spesifisitas
BBS ini adalah 87-95 % yang berarti kemampuan instrument ini untuk
mengidentifikasi secara benar lansia yang tidak berisiko jatuh sebesar 87-95 %.
50% dari total populasi lansia, 25% lansia yang berusia di atas 65 tahun, memolih
tinggal di panti (Stanhope & Lancaster, 2004). Panti werdha menyediakan lingkungan
yang aman, aktivitas dan diet khusus, ada perawatan rutin kesehatan , pengobatan dan
manajemen perawatan kesehatan seperti rehabilitasi. Panti bertujuan untuk
menyediakan hunian yang nyamandan untuk meningkatkan kesehatan lansia. Salah
satu panti werdha yang ada di Jakarta adalah Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
(STWKB).
STW Karya Bhakti didirikan pada tahun 1984 atas prakarsa Ibu Tien Soeharto, yang
saat ini memiliki slogan sebagai hunian pilihan lanjut usia masa kini. Pelayanan yang
ada di STW bagi para lansia untuk menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan
kesehatan berupa konsultasi dokter, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat
jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan; pelayanan sosial berupa
pembinaan mental spiritual sesuai keyakinan, senam, seni tradisional (angklung),
bernyanyi, kegiatan keterampilan membuat anyaman atau menyulam, berkebun, dan
kegitan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau instansi.
Pencegahan primer adalah pencegahan lansia dari pne umonia, dengan melakukan
vaksin pnemokokus atau imunisasi masal untuk lansia. Pencegahan sekunder meliputi
pengkajian yang komprehensif, dengan melibatkan partisipasi aktif lansia. Misalnya
melakukan pengukuran tekanan darah, kolesterol, dan lain- lain. Pencegahan tersier,
dengan menyediakan klinik DM, lansia yang mempunyai penyakit DM diajarkan dan
cara pencegahan komplikasi luka di kaki, merubah gaya hidup untuk mengatasi
penyakit kronoik (Stanhope & Lancaster, 2004).
3.1 Pengkajian
Nenek G (83 tahun) tinggal di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STWKB) sejak
Desember 2009, atas keinginan pribadi dan tidak ada paksaan dari pihak keluarga,
ataupun pihak lain. Alasan ingin tinggal di panti, karena residen tinggal sendirian di
rumah, tidak ada suami (sudah meninggal) dan tidak mempunyai anak.
Masalah kesehatan yang dimiliki Nenek G adalah: sakit hipertensi, yang terkontrol
dengan rutin minum obat anti hipertensi Amlodipin 1x 5 mg; pernah dioperasi usus
buntu tahun 1961. Masalah kesehatan yang saat ini dirasakan adalah: merasa
keseimbangannya terganggu sehingga tidak kuat berdiri lama sehingga menggunakan
kursi roda, untuk aktivitas dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari dibantu caregiver;
selama di STW pernah jatuh 3x, karena kakinya terasa lemah karena proses menua;
mengeluh insomnia, sering terbangun pada dini hari (pukul 02.00 wib) dan sulit
untuk tidur kembali. Masalah kesehatan keluarga, menurut Nenek G, ada yang
menderita hipertensi dan stroke, yaitu kakak dan orangtua. Penyakit seperti diabetes
melitus, dan kanker tidak ada.
Pola makan Nenek G, makan 3x/hari, yaitu jam 7 pagi, jam 12 sia ng, dan jam 7
malam. Jenis makanan yang dikonsumsi, yaitu: bubur, sayur, lauk-pauk, dan buah-
buahan yang disediakan STW. Residen selalu menghabiskan makanannnya setiap
makan. Makanan favoritnya adalah perkedel jagung, sedangkan makanan yang tidak
disukai tidak ada. Pola minum Oma G: minum susu 1 cangkir saat sarapan, minum
air putih 1-1,5 liter setiap hari. Minuman disediakan dalam teko yang diisi
caregiver.
Nenek G mengatakan bahwa waktu tidurnya kurang. Malam hari tidur pukul 22.00
dan sering terbangun pada pukul 02.00 dini hari, lalu sulit untuk tidur kembali. Saat
siang hari tidak terbiasa tidur, hanya bersantai di atas tempat tidur sambil menonton
TV. Residen mengatakan suka merasa pusing dan sulit berkonsentrasi di pagi hari,
akibat kurang tidur. Hasil pengkajian, ditemukan data bahwa residen mengalami
insomnia, terdapat kantung mata, dan suka menguap disiang hari atau saat
wawancara.
Pola eliminasi buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) Nenek G, sebagai
berikut: BAK 5-8 kali perhari, tidak ada kesulitan dan tidak ada nyeri saat BAK; pola
BAB 1-2 hari sekali yaitu pada pagi hari saat mandi, feses lunak dan mudah
dikeluarkan, sehingga tidak pernah menggunakan obat pencahar.
Aktivitas sehari-hari Nenek G, yaitu: memulai aktivitas pagi hari dengan mandi jam
5 pagi, dibantu caregiver, lalu sarapan jam 7 pagi, dilanjutkan dengan mengecek
tekanan darah di klinik Wijaya Kusuma. Berjemur di depan klinik sampai pukul
07.30 WIB, lalu kembali ke kamar untuk membaca novel atau mengisi teka-teki
silang (TTS). Jam 9 pagi, mengikuti kegiatan seperti: senam, terapi musik, latihan
relaksasi, dan lain- lain. Saat siang hari residen istirahat di kamar. Saat sore hari,
mengikuti kegiatan yang dilakukan STW (kebaktian) atau kegiatan yang diadakan
mahasiswa di jam 4 sore. Saat diobservasi, residen tampak aktif dalam kegiatan
yang diadakan di STW, meskipun menggunakan kursi roda. Kegiatan sehari-hari
seperti mandi, perawatan kuku, mencuci piring, dan toileting sebagian dibantu oleh
caregiver. Nenek G jarang berekreasi keluar panti, karena sulit untuk mobilisasi/jalan
dan menggunakan kursi roda, terakhir rekreasi 2 bulan yang lalu ke kota tua, bersama
para lansia di STW.
Kondisi psikososial Nenek G, nampak emosi stabil, tidak mudah marah, tidak merasa
kesepian, sangat kooperatif dan mudah menerima kehadiran orang baru, terlihat
sangat ramah dan murah senyum. Saat ini status residen adalah janda (suami
meninggal tahun 2004) dan tidak mempunyai anak. Keluarga sangat mendukung
keputusan Nenek G untuk tinggal di STW, dibuktikan dengan membiayai akomodasi
di STW, keponakan dan adik ipar residen rutin datang berkunjung 1 bulan sekali dan
selalu membawa makanan kesukaaan klien atau membawa novel- novel baru yang
disukai residen. Di Wisma Bungur, hubungan residen dengan residen lain cukup baik,
terlihat sangat ramah dan suka menyapa residen lainnya, berhubungan baik dengan
para caregiver, perawat atau mahasiswa dan koas yang sedang praktek, tidak pernah
menolak mahasiswa yang ingin berinteraksi, selalu menyambut dengan hangat dan
dengan senyum manis.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada Nenek G didapatkan hasil sebagai berikut:
keadaan umum baik, telihat bersih. Kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital:
TD: 130/70 mmhg, nadi: 80x/menit, pernapasan 20x/menit dan suhu 36C. Tinggi
badan 155 cm, berat badan 55 kg, indeks masa tubuh (IMT) 22,9kg/m2 (normal).
Rambut Nenek G: lurus, rambut sebagian mulai beruban, dan tampak bersih. Kondisi
mata: mata kanan pernah dioperasi katarak, menggunakan kacamata untuk membaca,
konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera tidak ikterik dan pupil
isokor. Hidung : simetris, bersih, tidak ada massa, tidak ada sekret. Tidak ada
gangguan penciuman. Mulut : gigi sebagian sudah tanggal, yang tersisa hanya 5 gigi
dibagian depan bawah. Keadaan gigi berwarna putih. Lidah bersih, lesi tidak ada,
mukosa tidak kering. Telinga : simetris atara telinga kanan dan kiri, tidak ada
serumen, tidak ada masalah pendengaran. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar
betah bening, tidak ada benjolan/massa di leher dan tidak ada distensi vena jugularis.
Kondisi thoraks Nenek G sebagai berikut: dada simetris, palpasi pada paru Tactil
Fremitus antara toraks posterior dan anterior sama, perkusi paru bunyi resonance,
auskultasi paru hasilnya suara paru vesikuler, ronkhi dan wheezing tidak ada.
pemeriksaan fisik sistem sirkulasi didapatkan data sebagai berikut: warna kulit tidak
pucat, penonjolan mata disekitar preorbital tidak ada, bibir tidak tampak sianosis,
konjungtiva tidak anemis, tidak ada pembesaran vena jugularis, bunyi jantung (BJ),
BJ I II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada.
Pemeriksaan fisik abdomen Nenek G, sebagai berikut: tampak buncit, tidak ada
kemerahan, scar tidak ada, tidak ada tanda tanda infeksi, bising usus 8x/menit, saat
diperkusi suara timpani, nyeri tekan abdomen tidak ada, nyeri ketuk pada ginjal tidak
ada. Abdomen teraba lemas dan lunak, limfa tidak teraba, ginjal tidak teraba.
Ekstremitas Nenek G sebagai berikut: aktivitas menggunakan kursi roda dan jarang
menggunakan walker, tidak ada kontraktur ekstremitas, kaki kanan nampak bengkak,
kekuatan otot 5555 555 Palpasi : Capilarry Refill Time : <3 detik, turgor kulit
elastis. 4444 4444
Data subjektif yang ditemukan antaralain: Nenek G mengatakan tidak kuat berdiri
lama (lebih dari 2 menit), ingin bisa berdiri mandiri dan bisa berjalan kembali,
mobilisasi menggunakan kursi roda, menggunakan walker hanya untuk latihan
berpindah dari duduk ke berdiri dan sebaliknya, pernah jatuh 3x selama di STW,
aktivitas sebagian dibantu oleh caregiver. Keluhan lain adanya kesulitan untuk tidur,
merasa tidurnya kurang cukup, tidur jam 22.00 wib, dan sering terbangun pukul
02.00 dinihari, dan sulit untuk tidur kembali. Akibat kurang tidur, pagi hari sering
merasa ngantuk dan lemas, sulit berkonsentrasi.
Data Obyektif yang didapatkan pada Nenek G, antara lain: terlihat beraktivitas
menggunakan kursi roda, Nilai Indeks Kazt (tingkat kemandirian): 4, artinya tingkat
kemandirian sebagian atau gangguan fungsional sebagian, Nilai BBT (Berg Balance
test): 26, artinya klien memiliki risiko jatuh sedang, dan perlu menggunakan alat
bantu jalan, kaki kanan terlihat agak bengkak, tidak ada kontraktur pada ekstremitas,
semua ekstremitas bisa digerakkan dengan mandiri, latihan ROM rutin setiap pagi
selama 30 menit, latihan berdiri dan berpindah dari duduk ke berdiri menggunakan
bantuan walker di kamar. Kebutuhan sehari- hari seperti mandi, mobilisasi, sebagian
dibantu oleh caregiver. Kekuatan otot 5555 5555
4444 4444
Intervensi keperawatannya, yaitu: observasi cara lansia menggunakan alat bantu dan
cara berjalan lansia, evaluasi kembali kekuatan otot lansia dan tingkat risiko jatuh
menggunakan FMS dan BBT, latih lansia cara berjalan yang benar dan cara
menggunakan alat bantu walker, evaluasi dan pantau rasa sakit atau nyeri pada sendi,
motivasi lansia untuk berpartisipasi pada latihan fisik atau senam yang ada di panti
sesuai kemampuan lansia, motivasi lansia membuat jadwal aktivitas untuk
memberikan periode istirahat diantara aktivitas atau kegiatan, tunjukkan dan latih
lansia latihan rentang gerak aktif atau pasif (ROM) dan latihan keseimbangan,
orientasikan lingkungan dan beri peringatan atau tanda pada tempat yang berbahaya.
Rencana lainnya yaitu: atur letak barang lansia dengan rapi dan mudah dijangkau,
motivasi lansia menggunakan alas kaki anti selip dan yang tidak licin, bantu lansia
saat ambulasi dan aktivitas sehari-hari,dan kolaborasi dengan pihak panti dalam
memodifikasi lingkungan yang aman untuk lansia, misalnya memberi tanda khusus
pada lansia yang berisiko jatuh. Rencana keperawatan untuk diagnosa lainnya ada
dalam lampiran 3.
Implementasi dimulai pada minggu kedua tanggal 13-18 Mei 2013 yaitu:
mengobservasi cara lansia menggunakan alat bantu dan cara berjalan lansia,
mengevaluasi kembali kekuatan otot lansia dan tingkat risiko jatuh menggunakan
penilaian MFS dan BBT, memberi pendidikan kesehatan tentang risiko jatuh dan cara
pencegahannya, memotivasi dan melatih lansia cara berjalan yang benar dan cara
menggunakan alat bantu walker, mengevaluasi dan memantau rasa sakit atau nyeri
pada sendi, memotivasi lansia untuk berpartisipasi pada latihan fisik atau senam yang
ada di panti sesuai kemampuan lansia, motivasi lansia membuat jadwal aktivitas
untuk memberikan periode istirahat diantara aktivitas atau kegiatan, menunjukkan
dan melatih lansia latihan rentang gerak aktif dan pasif (ROM) dan latihan
keseimbangan.
Implementasi pada minggu ke 3, yaitu: melatih dan memantau latihan ROM dan
Latihan keseimbangan Berg, mendiskusikan dan mengorientasikan lingkungan lansia
dan memberi peringatan atau tanda pada tempat yang berbahaya, misalnya di kamar
mandi, adanya keset atau lantai yang tidak rata. Menjelaskan dan mengatur letak
barang lansia dengan rapi dan mudah dijangkau, memotivasi lansia menggunakan
alas kaki anti selip dan yang tidak licin, membantu lansia saat ambulasi dan aktivitas
sehari- hari. Memotivasi dan menganjurkan Nenek G, untuk latihan ROM rutin setiap
pagi hari dan latihan keseimbangan Berg (latihan fisik untuk meningkatkan
keseimbangan yang gerakannya, antaralain: berdiri dari posisi duduk, berdiri tanpa
bantuan, duduk dengan punggung tidak disangga, duduk dari posisi berdiri, berpindah
tempat, berdiri dengan mata tertutup, berdiri dengan kaki dirapatkan, menjangkau ke
depan, meletakkan dan mengambil barang dari lantai, melihat ke belakang, berputar
360 derajat, menempatkan kaki bergantian di bangku kecil, berdiri dengan satu kaki
di depan kaki lain, dan berdiri di atas satu kaki) setiap sore hari selama 30 menit.
Latihan ini harus dalam pengawasan petugas, mahasiswa atau caregiver, karena
berisiko jatuh saat latihan, jadi harus didampingi selama latihan keseimbangan,
menjelaskan pada caregiver bahwa Nenek G berisiko jatuh sehingga perlu
diperhatikan dan diawasi kegiatannya jangan sampai jatuh atau cidera, memotivasi
lansia untuk aktif mengikuti senam dan kegiatan lain yang diadakan di STW,
memberikan pujian jika lansia aktif mengikuti kegiatan.
tubuh saat berdiri dibandingkan sebelum latihan, merasa senang atas kemajuan yang
dialaminya dan akan terus berlatih agar bisa berjalan kembali tanpa bantuan. Ada
peningkatan nilai BBT dari 26 menjadi 35. Penilaian MFS dari nilai 40 menjadi 30,
sehingga risiko jatuh sedikit menurun.
Respon yang didapatkan: Nenek G mau melakukukan Latihan ROM setiap sore hari,
selalu aktif mengikuti senam dan kegiatan lain yang ada di STW, motivasi sangat
tinggi untuk bisa berjalan kembali, minimal kuat menggunakan walker. Nenek G
sangat bersemangat selama latihan keseimbangan ini, karena sebelumnya tidak ada
yang mengajarkan latihan ini, dan merasa sangat bermanfaat agar kakinya menjadi
kuat dan berharap bisa mampu berdiri dan berjalan kembali. Kemampuan berpindah
Nenek G dari duduk ke berdiri sudah lebih mudah menggunakan walker, sudah bisa
berdiri selama 2 menit tanpa berpegangan.
Rencana tindak lanjut yang penulis rekomendasikan pada pihak STW, antaralain:
menyampaikan kepada perawat dan PJ Wisma Bungur untuk mengawasi Nenek G
selama latihan keseimbangan dan latihan ROM, memantau jadwal latihan ROM
setiap pagi jam 07.00 WIB dan latihan keseimbangan jam 16.00 WIB, melakukan
penilaian MFS dan BBT setiap 3 bulan sekali.
Pelayanan yang ada di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti bagi para lansia untuk
menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan kesehatan berupa konsultasi dokter,
asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan
kegawatdaruratan; pelayanan sosial berupa pembinaan mental spiritual sesuai
keyakinan, senam, seni tradisional (angklung), bernyanyi, kegiatan keterampilan
membuat anyaman atau menyulam, berkebun, dan kegitan bincang-bincang dengan
beberapa tokoh atau instansi.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti memiliki slogan sebagai hunian pilihan lansia
masa kini. Dengan slogan tersebut, bertujuan agar para lansia menyadari bahwa
menjadi tua patut disyukuri dan bahagia di hari tua merupakan pilihan hati. Dengan
demikian, tidak ada kesan menyesal, keterpaksaan, ataupun merasa terkucilkan jika
tinggal di panti. Oleh karena itu, terdapat beberapa persyaratan bagi lansia yang ingin
menetap di STWKB, yaitu: berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani,
mandiri, memiliki penanggung jawab keluarga, dan yang terpenting adalah tidak ada
paksaan.
Fasilitas yang tersedia, antara lain: fasilitas hunian, klinik werdha, taman yang asri,
ruang kreasi untuk lansia, alat musik dan perlengkapan seni untuk menyalurkan hobi
lansia. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma yang member i
pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka,
Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas hunian meliputi
wisma Aster, Wisma Bungur, Wisma Cempaka, dan Wisma Dahlia.
Wisma Bungur adalah wisma yang diperuntukkan bagi lansia yang sehat dan mampu
memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Lansia yang parsialcare juga boleh tinggal
di wisma ini, tetapi harus memiliki caregiver pribadi untuk membantu kebutuhan
lansia tersebut. Kapasitas kamar Wisma Bungur ada 25, yang masing- masing kamar
ada kamar mandinya. Fasilitas yang ada di Wisma Bungur, antaralain: ruang TV yang
juga bisa digunakan sebagai ruang kegiatan lansia di Wisma Bungur, ruang makan
bersama, 2 buah kulkas, dapur, taman yang asri dan teras, serta ada ruang setrika.
Data yang didapat selama pengkajian, tentang faktor risiko jatuh pada Nenek
G,yaitu: usia 83 tahun dan selama di STW sudah jatuh 3x. Hal ini sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa jatuh merupakan masalah fisik yang sering dialami
oleh lansia akibat proses penuaan (Pudjiastuti, 2003). Teori lain yang mendukung
adalah Nanda (2011) bahwa usia diatas 65 tahun meningkatkan risiko jatuh.
Penelitian yang mendukung hal ini adalah prevalensi lansia wanita yang jatuh 3x
lebih tinggi dibandingkan lansia laki- laki, 45% lansia mengalami jatuh saat
menjalani proses perawatan yang lama, 30-50% lansia yang berusia 65-69 tahun
berisiko jatuh (Tideiksaar,1989 dalam Miller, 2012). Hal ini karena Nenek G seiring
pertambahan usia maka terjadi perubahan fisik, yang salah satunya perubahan
muskuloskeletal, dimana kekuatan otot terutama ekstremitas bawah menurun,
rentang gerak sendi terbatas, ridak mampu berdiri tanpa berpegangan lebih da ri 2
menit, karena mengalami gangguan keseimbangan, sehingga bisa berisiko jatuh.
Penyebab lain karena faktor tempat tinggal lansia pada masa muda adalah di kota,
dimana kehidupan perkotaan, karakteristik individunya antaralain: malas bergerak
atau berolahraga, selalu sibuk sehingga waktu luang lebih sering digunakan untuk
tidur atau rekreasi ke tempat hiburan, dibandingkan untuk berolahraga. Kebiasaan
tersebut akan mempengaruhi kondisi masa tua, dimana ekstremitas, khususnya
ekstremitas bawah, yaitu kaki menjadi lemah karena jarang latihan fisik, ditambah
lagi adanya faktor menua. Seiring pertambahan umur dan proses menua, terjadi
perubahan fisik, yaitu daya penglihatan menurun, sehingga mengggunakan alat
bantu kacamata, aktivitas menurun, karena mengalami kelemahan pada ekstremitas
bawah dan gangguan keseimbangan sehingga aktivitas menggunakan kursi roda,
dan sebagian aktivitas dibantu oleh caregiver. Hal ini sejalan dengan teori, bahwa
pada lansia dapat terjadi penurunan sistem-sistem seperti sistem visual, neural,
sensori, muskuloskeletal yang mempengaruhi keseimbangan. Penurunan ini
mengakibatkan menurunnya kualitas hidup dan meningkatnya resiko jatuh
(Pudjiastuti, 2003).
mandiri dan bisa berjalan lagi dan motivasi sangat tinggi terhadap latihan fisik untuk
menguatkan otot kaki dan meningkatkan keseimbangan tubuh agar bisa berjalan.
Data objektif yang mendukung diagnosa risiko jatuh, yaitu: Nenek G berusia 83
tahun, mendapat terapi anti hipertensi Amlodipin 1x 5 mg, aktivitas di kursi roda,
menggunakan alat bantu kacamata, menggunakan walker saat mau berpindah dari
tempat tidur ke kursi, tidak bisa berdiri tanpa berpegangan lebih dari 2 menit, karena
gangguan keseimbangan seiring pertambahan usia. Penilaian BBT ( Berg Balance
Test): 26, artinya memiliki risiko jatuh sedang, penilaian MFS (Morse Fall Scale) 40,
artinya memiliki resiko jatuh rendah. Lingkungan di kamar Nenek G, lantai kamar
mandi agak licin, tidak ada tanda khusus di kamar yang mengidentifikasi lansia
berisiko jatuh, sehingga oranglain yang berinteraksi tidak mengetahui masalah
tersebut, sering tinggal sendirian di kamar sehingga tidak ada yang mengawasi, CG
yang bertugas lebih sering berada di luar kamar
Berdasarkan data tersebut maka diagnosa ini ditegakkan agar bisa diberikan
intervensi keperawatan untuk mencegah risiko jatuh kembali. Perumusan diagnosa ini
sejalan dengan diagnosa Nanda, yang menyebutkan bahwa faktor risiko jatuh
menurut, yaitu usia 65 tahun atau lebih, memiliki riwayat jatuh, tinggal sendiri,
prosthesis ekstremitas bawah, penggunaan nalat bantu (tongkat, walker), penggunaan
kursi roda, penurunan kognitif atau status mental. Sedangkan faktor lingkungan yang
meningkatkan risiko jatuh, antaralain: lingkungan yang tidak teratur, lantai yang licin,
keset atau karpet yang tertekuk. Faktor lain yaitu medikasi, seperti: penggunaan
alcohol, anti ansietas, anti hipertensi, diuretik, obat penenang, dan anti depresi
(Nanda, 2011).
Teori yang sesuai dengan hasil dari pengkajian yang ditemukan pada Nenek G,
karena seiring proses menua terjadi perubahan fisik, yang salah satunya terjadi
perubahan sistem muskuloskeletal pada Nenek G. Perubahan pada sistem
muskuloskeletal lansia, meliputi: tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin
rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya
berjalan, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot
mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan manjadi tremor, aliran
darah ke otot berkurang sejalan dengan proses menua (Maryam, 2008). Semua
perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki
menjadi pendek, dan adanya gangguan dalam berjalan. Kaki yang tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih mudah goyah, lansia lambat mengantisipasi bila
terjadi gangguan terpeleset, tersandung, mengalami gangguan keseimbangan
sehingga mudah terjatuh.
Teori lain yang mendukung hal tersebut, menyebutkan bahwa lansia mengalami
perubahan-perubahan akibat proses penuaan (penurunan pendengaran, penurunan
visus sebesar 2%, penurunan status mental (bingung) sebesar 5 %, penurunan fungsi
indera yang lain, lambatnya pergerakan, hidup sendiri (faktor gaya hidup), gangguan
muskuloskeletal seperti kelemahan otot ekstremitas bawah, gangguan keseimbangan
dan gaya berjalan sebesar 17 % serta serangan tiba-tiba sebesar 9 % (Shobha, 2005).
Penelitian yang mendukung teori tentang risiko jatuh pada lansia oleh Tinetti (1992)
dalam Darmojo (2004), menyebutkan bahwa angka kejadian jatuh di Amerika,
didapatkan sekitar 30 % lansia dengan usia lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya,
setengah dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Di Indonesia, prevalensi
jatuh pada lansia seperti yang dilaporkan RS. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah
sakit rujukan nasional, pada tahun 2000 ada 285 kasus (15,53%). Pada tahun 2001
ada 42 pasien yang dirawat karena fraktur femur akibat jatuh (Supartondo, Setiati &
Soejono, 2003). Lansia yang tinggal dip anti lebih berisiko mengalami jatuh.
masing- masing PSTW ini angka kejadian jatuh lansia sepanjang tahun 2008
berjumlah 13 orang (13,1 %); 8 orang (6,8 %); 1 orang (0,6 %); dan 19 orang (12 %)
(Maryam Siti, 2009). Hasil survei yang dilakukan di Unit Pelayanan Sosial Tresna
Werdha (UPSTW) Bangkalan, didapatkan sekitar 63% lansia mengeluh gangguan
keseimbangan tubuh akibat kelemahan otot ekstremitas bawah. Dari 65% lansia
tersebut sekitar 57% lansia pernah mengalami jatuh.
evaluasi dan pantau rasa sakit atau nyeri pada sendi, motivasi lansia untuk
berpartisipasi pada latihan fisik atau senam yang ada di panti sesuai kemampuan
lansia, motivasi lansia membuat jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat
diantara aktivitas atau kegiatan, tunjukkan pada lansia latihan rentang gerak aktif atau
pasif (ROM) dan latihan keseimbangan, orientasikan lingkungan dan beri peringatan
atau tanda pada tempat yang berbahaya.
Rencana lainnya yaitu: atur letak barang lansia dengan rapi dan mudah dijangkau,
motivasi lansia menggunakan alas kaki anti selip dan yang tidak licin, bantu lansia
saat ambulasi dan aktivitas sehari-hari,dan kolaborasi dengan pihak panti dalam
memodifikasi lingkungan yang aman untuk lansia, misalnya memberi tanda khusus
pada lansia yang berisiko jatuh. Semua rencana tersebut dilakukan kecuali kolaborasi
dengan pihak panti untuk modifikasi lingkungan untuk pencegahan jatuh, misalnya
dengan memberikan tanda khusus pada lansia yang berisiko jatuh dengan
memberikan gelang risiko jatuh atau stiker yang ditempel di depan kamar lansia. Hal
ini tidak dilakukan karena keterbatasan waktu penulis, oleh karena itu akan
dimasukkan dalam rencana tindak lanjut pada pihak STW untuk melanjutkan
intervensi terhadap masalah risiko jatuh.
Implementasi dilakukaan sesuai dengan renpra yang sudah dibuat untuk mengatasi
masalah risiko jatuh, namun penulis lebih memfokuskan pada salah satu intervensi
atau kegiatan inovasi, yaitu mengajarkan latihan keseimbanga n Berg pada Nenek G
selama 5 minggu, dari senin sampai sabtu, selama setengah jam. Latihan
keseimbangan Berg adalah latihan yang terdiri dari 14 teknik latihan yaitu latihan
duduk ke berdiri, berdiri tanpa bantuan, duduk tanpa sandaran punggung, brdiri ke
duduk, berpindah ke kursi lain, berdiri dengan mata tertutup, dan seterusnya. Rentang
nilai 0-4, dimana 0 berarti lansia tidak mampu melakukan dan 4 berarti lansia mampu
melakukan tanpa bantuan. Nilai maksimum pada skala keseimbangan ini adalah 56
(Debra, 2003). Nilai kurang dari 45 berarti terdapat gangguan keseimbangan dan
menjadi faktor risiko untuk jatuh. Interpretasi lain dari hasil penilaian keseimbangan
ini adalah untuk nilai 0-20 membutuhkan kursi roda, nilai 21-40 berarti
membutuhkan bantuan dalam berjalan, dan nilai 41-56 dapat mandiri.
Rencana keperawatan yang telah dibuat, hampir semuanya berhasil dikerjakan sesuai
rencana, hanya ada satu intervensi yang belum dilakukan, yaitu memodifikasi
lingkungan, bekerjasama dengan pihak STW untuk pencegahan jatuh dengan
memasang tanda khusus pada Nenek G agar semua petugas atau oranglain yang
berinteraksi menjadi tahu bahwa Nenek G berisiko jatuh dan harus waspada untuk
mengantisipasinya. Hal ini karena,keterbatasan waktu dan penulis praktik lebih sering
sore hari (karena pagi hari bekerja di rumah sakit) yang mengakibatkan jarang
bertemu dengan penanggung jawab wisma atau pihak STW, sehingga mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi.
Modifikasi lingkungan adalah salah satu cara untuk pencegahan jatuh pada lansia, ini
didukung oleh teori Miller (2012), yang menyatakan bahwa untuk mencegah jatuh
dengan modifikasi lingkungan, menggunakan kode warna (misalnya menggunakan
stiker berwarna terang, menggunakan pita atau gelang berwarna pada lengan lansia
yang berisiko jatuh, atau meletakkan tanda tersebut di tempat tidur atau di pintu
kamar) yang mengindikasikan lansia berisiko jatuh dan sedang mengikuti program
pencegahan jatuh, atau memasang poster risiko jatuh, sehingga semua petugas
menjadi lebih waspada dan lebih peduli terhadap masalah risiko jatuh pada lansia.
Teori lain yang mendukung tentang pentingnya modifikasi lingkungan dalam
pencegahan jatuh adalah menurut Carpino (2007) faktor lingkungan merupakan salah
satu faktor eksternal yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia. Kejadian jatuh
akan cenderung menurun pada lingkungan yang sudah dikenal. Kondisi lingkungan
seperti posisi closet, kamar mandi, posisi tempat tidur yang terlalu rendah,
penerangan yang kurang dapat memberikan risiko terhadap jatuh.
Penilaian risiko jatuh yang ada di STW hanya ada MSF, sedangkan BBT (berga
balance test) belum ada, selain itu dengan latihan keseimbangan Berg maka akan
mudah menilai kemajuan latihan lansia, yaitu dengan membandingkan nilai BBT
sebelum dan sesudah latihan selama 5 minggu. Hambatan yang didapatkan saat
melakukan latihan adalah mengatur jadwal latihan antara lansia dengan jadwal
praktik penulis, yang kadang agak sulit mencocokkannya, selain itu adanya kegiatan
yang dilakukan mahasiswa dari institusi lain, sehingga lansia merasa kelelahan,
akibatnya latihan ini tidak bisa dilakukan atau latihannya menjadi kurang optimal.
Implementasi latihan keseimbangan tidak selalu rutin dilakukan, ada 4 kali pertemuan
yang tidak dilakukan latihan, karena saat itu Nenek G sedang dalam kondisi tidak
sehat karena sedang sakit batuk pilek, setelah sembuh, maka latihan keseimbangan
dilanjutkan kembali. Evaluasi dilakukan pada minggu ke 7, yaitu saat minggu
terakhir praktik. Setelah diberi implementasi selama 5 minggu, Nenek G,
menunjukkan kemajuan, yaitu: mampu melakukan latihan ROM secara mandiri
dengan pengawasan setiap sore hari, mampu latihan keseimbangan secara mandiri
setiap pagi dengan pengawasan caregiver, aktif mengikuti senam yang diadakan di
STW, edema pada kaki berkurang, menggunakan walker selama aktivitas di kamar
seperti ke kamar mandi, berjalan dari tempat tidur ke kursi, secara verbal mengatakan
tubuhnya terasa lebih bugar, dan kakinya sudah lebih kuat menopang tubuh saat
berdiri dibandingkan sebelum latihan, merasa senang atas kemajuan yang dialaminya
dan akan terus berlatih agar bisa berjalan kembali tanpa bantuan. Ada peningkatan
nilai BBT dari 26 menjadi 35. Penilaian MFS dari nilai 40 menjadi 30, sehingga
resiko jatuh sedikit menurun.
Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa latihan keseimbangan adalah latihan
fisik untuk meningkatkan keseimbangan lansia, meningkatkan kekuatan otot,
khususnya otot ekstremitas bawah (Ceranski, 2006) . Prasansuk (2004) juga
menyimpulkan bahwa salah satu keuntungan dari latihan keseimbangan adalah untuk
meningkatkan keseimbangan postural lansia, sehingga bisa mencegah terjadinya
jatuh. Penelitan yang mendukung teori tersebut adalah penelitian yang dilakukan
oleh Jalalin (2000) di Panti Werdha Pucang Gading Semarang, didapatkan bahwa
terdapat perbedaan skala keseimbangan yang bermakna antara sebelum dan sesudah
latihan keseimbangan (P<0,05).
Implementasi yang dilakukan belum bisa membuat Nenek G menjadi mampu berjalan
kembali atau menggunakan walker untuk aktivitas sehari- hari, hal ini karena
keseimbangan tubuhnya belum meningkat dengan optimal, hal ini terjadi karena
terbatasnya waktu hanya 5 minggu implementasi. Penilaian MFS dan BBT minimal
dilakukan kembali setelah latihan selama 3 bulan. Dan saat di 3 hari terakhir pe nulis
praktik, Nenek G mengalami jatuh, saat mahasiswa dari institusi lain mengadakan
terminasi untuk berpamitan, mahasiswa tersebut setelah memeluk lansia dengan
kondisi berdiri tanpa ada pegangan melepas pelukannya, akibatnya nenek G terjatuh
karena kaget tiba-tiba dilepas mahasiswa dan belum siap dengan posisi berdiri yang
tidak adekuat dan keseimbangan tubuh yang belum optimal, maka akhirnya terjadilah
jatuh.
Pemecahan masalah untuk mengatasinya agar hal tersebut tidak terulang kembali
adalah dengan memodifikasi lingkungan, yaitu dengan memberi tanda risiko jatuh
pada Nenek G, bisa dengan memberikan gelang merah resiko jatuh seperti yang
sudah diterapkan di Rumah Sakit, sehingga orang lain atau petugas kesehatan yang
sedang berinteraksi dengan lansia menjadi lebih waspada dan melakukan pencegahan
agar lansia tidak mengalami jatuh atau menempelkan stiker risiko jatuh di depan
pintu kamar lansia.
Penelitian yang dilakukan Pakpahan, Waluyo, Singgih & Poerwanto (2009) di Wreda
Rineksa Kelurahan Kelapa Dua Cimanggis Depok, dinyatakan bahwa latihan
keseimbangan berhasil meningkatkan keseimbangan lansia secara bermakna
(p<0,05). Peneliti lain, yaitu Maryam (2009) menunjukkan bahwa keseimbangan
tubuh lebih baik pada lansia sesudah diberikan latihan keseimbangan pada kelompok
intervensi (p<0,05). Berdasarkan penelitian tersebut maka penulis menyusun renpra
salah satunya adalah melatih keseimbangan pada Nenek G untuk menyelesaikan
masalah atau diagnosa risiko jatuh.
Hasil evaluasi dan hasil penelitian tersebut ada kesenjangan, hal itu bisa terjadi,
karena beberapa alasan, yaitu keterbatasan waktu latihan yang hanya dilakukan
selama 5 minggu, idealnya latihan keseimbangan dilakukan selama 3-6 bulan untuk
menghasilkan yang signifikan terhadap peningkatan keseimba ngan tubuh lansia, dan
ada 4 kali pertemuan latihan yang tidak dilakukan lansia karena sedang sakit, hal ini
mengakibatkan jadwal latihan menjadi tidak berlanjut sebagaimana seharusnya,
ditambah lagi faktor usia (83 tahun), dimana sudah hampir masuk katego ri lansia
akhir. Selain itu karena tidak adanya tanda khusus risiko jatuh pada lansia pada
sehingga orang lain yang berinteraksi dengan Nenek G kurang waspada terhadap
bahaya jatuh, sehingga tidak melakukan pencegahan jatuh dan tidak bisa menurunkan
risiko jatuh pada lansia.
5.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada Nenek G selama 7 minggu, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Lansia yang tinggal di Wisma Bungur, memungkinkan mengalami risiko
jatuh, karena proses menua, seiring pertambahan usia terjadi penurunan
kekuatan otot dan massa tulang, dan terbatasnya rentang gerak sendi. Faktor
penyebab lain risiko jatuh adalah lansia tinggal sendiri di kamar, tidak ada
yang selalu mengawasi aktivitas dan kegiatannya. Identifikasi lansia yang
berisiko jatuh adalah hal yang paling penting. Pengkajian skala jatuh Morse
dan test keseimbangan Berg juga perlu dilakukan dalam mengidentifikasi
lansia yang berisiko jatuh.
2. Masalah yang terjadi pada lansia dengan risiko jatuh bisa dirumuskan jika ada
faktor risiko seperti ada riwayat jatuh, usia di atas 65 tahun, tinggal sendiri di
kamar, prosthesis ekstremitas bawah, penggunaan alat bantu (tongkat,
walker), penggunaan kursi roda, penurunan kognitif atau status mental.
Sedangkan faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh, antaralain:
lingkungan yang tidak teratur, ruang dengan pencahayaan yang redup, lantai
yang licin, keset atau karpet yang tertekuk, tidak adanya handrail di kamar
mandi atau di shower. Faktor lain yaitu medikasi, seperti: penggunaan
alkohol, anti ansietas, anti hipertensi, diuretic, obat penenang, dan anti
depresi.
3. Rencana asuhan keperawatan untuk mengatasi risiko jatuh, tidak hanya
diperuntukkan pada lansia, tetapi juga pada lingkungan atau orang-orang di
sekitar lansia untuk melakukan modifikasi lingkungan pencegahan jatuh,
seperti tidak menaru barang-barang di area handrail koridor, meletakkan
barang dengan rapi, keset tidak tertekuk, cahaya cukup.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Pelayanan Kesehatan di Sasana Tresna Werdha Karya B hakti
(STWKB)
Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukkan bagi STWKBRP untuk
melakukan pencegahan risiko jatuh pada lansia, misalnya dengan melakukan
penilaian risiko jatuh dengan MFS dan BBT secara reguler 3 bulan sekali,
memberi tanda khusus (gelang merah atau stiker di kamar) pada lansia yang
berisiko jatuh, sehingga petugas atau orang yang sedang berinteraksi bisa lebih
waspada untuk mengantisipasi jatuh pada lansia, selain itu dengan memberikan
latihan keseimbangan melalui kegiatan senam yang ada di STWKBRP
5.2.3 Penelitian
5.2.3.1 Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pembelajaran dan
pengembangan ide untuk penelitian yang selanjutnya yang berkaitan
dengan asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah risiko jatuh.
5.2.3.2 Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan kembali untuk meneliti tentang
pengaruh latihan keseimbangan Berg pada lansia yang mengalami
gangguan keseimbangan di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti.
Ariawan, Kuswardhani, Astika & Aryana. (2010). Hubungan antara activities specific
balance confidence scale dengan umur dan falls pada lansia di Poliklinik Geriatri
RSUP Sanglah Denpasar.
Avers. (2007). What you need to know about balance and falls
http://www.apta.org/AM/Template.cfm?Section=Search&template=/CM/HTMLDis
play fm&ContentID=20396. Diakses tanggal 22 Juni 2013. Pukul 11.30.
Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan menggunakan Skala
Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia Puskesmas Tebet. Tesis.
Jakarta:FKUI.
Barnes, Michael, et al. (2005). Recovery after stroke. New York: Cambridge University
Press.
Budiharjo, S., Romi, M.M., & Prakosa, D. (2004). Pengaruh latihan fisik intensitas sedang
terhadap persentase lemak badan wanita lanjut usia. Berkala Ilmu Kedokteran,
Vol. 36, No.4: 195-200.
Budiharjo. (2005). Pengaruh senam aerobic low impact intensitas sedang terhadap
kelenturan badan pada wanita lanjut usia terlatih. Berkala Ilmu Kedokteran,
37(4:178).
Carpino, Chris. (2007). New ideas in Balance and Falls Prevention 3 ed, St.Louis: Elsevier
Saunders. hal: 51.
Ceranski, Sandy. (2006). Fall Prevention and modifable risk factor. www.rfw.org.
Diunduh tanggal 24 juni 2013. Pukul 19.00 WIB.
Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention in primary
care. Journal Hospital Physician, 55-66
Darmojo, R.B, & Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Debra J. Rose, 2003, Berg Balance Scale Champaign, IL: Human Kinetics
Depkes RI. (2001). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan.
Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga.
Depkes. (2006). Distribusi penyakit sistem cerna pasien rawat inap menurut golongan sakit
di Indonesia tahun 2004. Diambil dari http://bankdata.depkes.go.id. Diakses tanggal
22 juni 2013.
Jalalin (2000). Hasil latihan keseimbangan berdiri pada penghuni Panti Werdha Pucang
Gading. Semarang: FK Universitas Diponegoro.
Kemensos RI (2008). Komisi Nasional Lanjut Usia. Diunduh tanggal 24 Juni 2013.
http://www.kemsos.go.id/
Kusnanto, Indarwati, Retno., Mufidah, Nisfil. (2007). Peningkatan stabilitas postural pada
lansia melalui balance exercise. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2013 dari
ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers/article/download/716/pdf.
Langley, F., A. & Mackintosh, S., F., H. (2007). Balance assessment of older community
dwelling adults: A systematic review of the literature. Australia: University of South
Australia.
Maryam, Raden Siti., Sahar, Junaiti. dan Nasution, Yusran. (2009.) Pengaruh latihan
keseimbangan tubuh lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wilayah Pemda DKI
Jakarta. Diambil pada 24 juni 2013 dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2110917_2085- 8930.pdf
Maryam.(2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika
Miller, Carol A. (2012). Nursing for wellness in older adults (6th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Nanda. (2011). Diagnosis keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2009-2011 (Sumawarti,
Widiarti & Tiar, Penerjemah.). Jakarta: EGC
Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.
Pakpahan, Waluyo, Singgih, & Poerwanto. (2010). Pengaruh program latihan
keseimbangan dinamik terhadap jangkauan fungsional ke depan pada wanita usila
di Wreda Rineksa Kelurahan Kelapa Dua Cimanggis Depok. Jakarta: Stikes
Binawan
Piotrowski, A., & Cole, J. (1994). Clinical measures of balance and functional assessment
in elderly persons. Australian Journal Physiotherapy, Vol.40,3, 183-188.
Prasansuk, et al. 2004. Balance disorders in the elderly and the benefit of balance exercise.
J.Medicine Association Thailand. 87(10:1225-1233)
Potter, P.A & Perry, A.G.(2006). Fundamentals of nursing (6th ed.). St. Louis, Missouri:
Mosby, Inc
Pudjiastuti, S.S & Utomo Budi (2003). Fisioterapi pada lansia. Jakarta: EGC
Shobha, S.R. (2005). Prevention of falls in older patients. American Academy of Family
Physicians, 72, 81-8, 93-4.
Siburian, P. (2006). Mengenal Lansia yang Mudah Terserang Penyakit. Diunduh tanggal
24 Juni 2013.
http://www.waspada.co.id/serba_serbi/kesehatan/artikel.php?article_id=79402
Skelton, D.A. (2001). Effects of physical activity on postural stability. Journal Age and
Ageing, 30-S4, 33-39.
Stanhope, M., & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing (6th ed.). St.
Louis: Mosby, Inc.
Stanley & Beare. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Stanley Mickey & Patricia Gautlett Bare. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik.
Jakarta: EGC. Hal: 274, 290- 292.
Stocklager, Jaime & Schaeffer, Liz. (2008). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik
(Nike Budhi Subekti, Penerjemah.). Jakarta: EGC.
Supartondo, Setiati, S., & Soejono, C.H. (2003). Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan
Pendekatan Interdisiplin. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan FKUI.
Tinetti, M.E. (2003). Preventing Falls in Elderly Persons. The New England Journal of
Medicine, 348;1.
Beri tanda ceklist () antara jawaban ya atau tidak pada tiap pertanyaan.
Panduan penilaian
Max Score
Orientation
5 ( 5 ) Sebutkan (tahun) (bulan) (tanggal) (hari) (musim/ jam)?
5 ( 5 ) Dimanakah kita sekarang (kamar) (wisma) (kota) (provinsi) (negara)?
Registration
3 ( 3 ) Sebutkan 3 ojek benda.: 1 detik utuk menyebutkan masing- masing.
Kemudian tanyakan kepada lansia setelah kita menyebutkan 3 benda
tersebut. Beri nilai 1 untuk masing- masing jawaban yang benar. Ulangi
sampai lansia dapat menyebutkan semuanya. HItung berapa kali lansia
mencoba menyebutkan. Mencoba _______
Recall
3 ( 3 ) Sebutkan kembali 3 benda yang disebutkan di awal. Beri 1 poin untuk
jawaban yg benar
Language
2 ( 2 ) Menyebutkan 2 benda yang ada di meja/sekitar
1 ( 1 ) Buat/Ulangi satu kalimat tidak boleh ada penghubung (jangan lebih
dari 5 kata).Contoh matahari terbit dari timur
3 ( 3 ) Ikuti 3 Perintah Ambil kertas di tangan mu, lipat menjadi dua dan
letakan diatas lantai
1 ( 1 ) Baca dan ikuti perintah: Tutup matamu
1 ( 1 ) Tulis kalimat
1 ( 1 ) Gambarkan kembali gambar berikut. (yang dinilai jumlah sisi dan ada
yang beririsan)
Total Skor:___4___
Interpretasi Hasil
Nilai 6 : Kemandirian penuh
Nilai 4: Gangguan fungsional sebagian (kemandirian sebagian)
Nilai 0-2 : Gangguan fungsional berat (Ketergantungan tinggi)
Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS) Skala Jatuh dari Morse
5. Berpindah
Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang
memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga
tangan
( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan
( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
( ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup
Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik
( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik
( ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan
aman
( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat
Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan
( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi
mampu berdiri selama 15 detik
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama
15 detik
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri
Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu
Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)
( ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
Total Skor:____26______
Inte rpretasi Hasil
Nilai 0-20 : Lansia memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat antu jalan berupa
kursi roda
Nilai 21-40 : Lansia (Nenek G) memiliki risiko jatuh sedang dan pe rlu menggunakan
alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker
Nilai 41-56 : Lansia memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu
ANALISA DATA
Objektif
- Nenek G beraktivitas menggunaka n
kursi roda
Objektif:
- Nenek G aktivitas di kursi roda
- Nenek G menggunakan alat bantu
kacamata
- Nenek G menggunakan walker saat
mau berpindah dari tempat tidur ke
kursi
- Penilaian BBT (Berg Balance Test):
26, artinya memiliki risiko jatuh
sedang,
- Penilaian MFS (Morse Fall Scale) 40,
artinya memiliki resiko jatuh rendah
- Nenek G terlihat tidak bisa berdiri tanpa
berpegangan lebih dari 2 menit, karena
gangguan keseimbangan seiring
pertambahan usia
- Nenek G berusia 83 tahun.
- Nenek G mengkonsumsi obat anti
hipertensi Amlodipin 1x 5 mg
- Lingkungan di kamar Nenek G, lantai
kamar mandi agak licin, tidak ada tanda
khusus di kamar yang mengidentifikasi
bahwa Nenek G berisiko jatuh,
sehingga oranglain yang berinteraksi
tidak mengetahui
- Nenek G mampu berpindah dari duduk
ke berdiri menggunakan bantuan walker
atau berpegangan pada kursi
- Nenek G sering tinggal sendirian di
kamar, tidak ada yang mengawasi, CG
yang bertugas lebih sering berada di
luar kamar
Subjektif Insomnia
- Nenek G mengatakan bahwa merasa
tidurnya kurang cukup
- Nenek G mengatakan bahwa ia tidur
jam 22.00 wib, dan sering terbangun
pukul 02.00 dinihari, dan sulit untuk
tidur kembali
- Nenek G mengatakan karena kurang
tidur, pagi hari sering merasa ngantuk
dan lemas
Objektif
- Nenek G terlihat sering menguap saat pagi
hari
- Nenek G terlihat lemah, lemas dan kurang
bergairah
- Tampak kantung mata pada mata Nenek G,
dan ada garis hitam dibawah kelopak
mata
- Nenek G mengeluh sulit berkonsentrasi,
dan suka merasa pusing karena kurang
tidur
- Kesadaran compos mentis, TD; 130/80
mmHg, nadi 80x/menit, suhu: 36C
Tujuan Khusus b. Evaluasi kembali kekuatan otot lansia b. Mengetahui rentang kekuatan otot
Setelah dilakukan intervensi
diharapkan lansia mampu: c. Evaluasi kembali tingkat risiko jatuh c. Mengetahui risiko jatuh agar dapat
1. Mempertahankan menggunakan FMS dan BBT memberikan penangan risiko jatuh
mobilitas fisik pada yang tepat
tingkat yang optimal.
2. Menyatakan keinginan d. Latih lansia cara berjalan yang benar d. Berjalan yang benar mengurangi
untuk berpartisipasi dalam risiko jatuh
aktivitas
3. Mempertahankan atau e. Latih lansia untuk berjalan dengan e. Mengurangi risiko jatuh
meningkatkan kekuatan berpegagan, menggunakan alat bantu
dan fungsi yang sakit walker dan mencari tempat yang aman
4. Menunjukkan perilaku
untuk melakukan aktivitas f. Evaluasi dan pantau rasa sakit atau f. Nyeri menghambat mobilisasi
nyeri pada sendi lansia
m. Bantu lansia saat ambulasi dan aktivitas m. Memenuhi kebutuhan dasar lansia
sehari-hari dan memudahkan ambulasi
Diagnosa Tujuan
Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan Umum Khusus
Insomnia Setelah Setelah dilakukan MANDIRI:
dilakukan tindakan
tindakan keperawatan selama - Diskusikan dan berikan kesempatan lansia - Mendengar aktif dapat membantu
keperawatan 5 minggu, kriteria untuk menyampaikan keluhan yang menentukan penyebab kesulitan
selama 5 hasil yang menyebabkan sulit tidur. tidur.
minggu, diharapkan :
- Pantau lansia, adakah masalah gangguan fisik - Gangguan tidur pada lansia
masalah - Menyatakan
insomnia waktu tidur yang menyebabkan insomnia, seperti adanya mungkin merupakan interaksi yang
teratasi cukup nyeri, penyakit jantung, penyakit paru, kompleks dari perubahan yang
- Menyatakan gangguan neurologi seperti demensia, atau berkaitan dengan usia dan karena
dapat tidur
dengan nyenyak masalah eliminasi urin yang dapat ada masalah patologis
- Mengungkapkan mengganggu tidur.
saat bangun tidur
terasa segar - Pantau pola eliminasi urin lansia, dan - Banyak minum pada malam hari
- Lansia mudah dan minum obat diuretik pada
berkonsentrasi penggunaan obat diuretik. Latih lansia untuk
dan tidak mengurangi minum saat malam hari atau malam hari, mengakibatkan
mengantuk di menjelang tidur. Dan pastikan lansia minum nokturia, yang dapat mengganggu
pagi hari tidur lansia
obat diuretik hanya di pagi hari, bukan di sore
- Lansia atau malam hari
mengatakan
tidak mengalami - Pantau apakah lansia merasa cemas atau - Perasaan cemas atau depresi
kesulitan untuk
mengalami depresi menyebabkan insomnia
tidur
- Anjukan lansia untuk makan keju, kacang- - Susu dan beberapa kudapan tinggi
kacangan atau minum susu sebelum waktu protein, seperti keju dan kacang,
- Tidak tampak tidur mengandung L-trytophan, yang
kantung mata dapat mempermudah tidur.
atau garis hitam - Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk - Tindakan ini dapat memudahkan
dibawah mata
tidur lansia, seperti matikan lampu, suasana lansia untuk istirahat dan tidur.
tenang/tidak ribut, ventilasi yang cukup
- Diskusikan bersama lansia setiap pagi tentang - Tindakan ini membantu mendeteksi
kualitas tidur malam sebelumnya. adanya gangguan tidur lansia