Sunteți pe pagina 1din 36

Laporan Pelayanan Pendekatan Dokter Keluarga

Puskesmas Loji

Kunjungan pada tanggal 23 Maret 2015

Data Riwayat Keluarga

I. Identitas Pasien
a. Nama : Ny A.S
b. Umur : 64 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Pendidikan :-
e. Alamat : Dusun Waru RT 005/RW 008, Kecamatan Tegalwaru,
Karawang, Jawa Barat

II. Riwayat Biologis Keluarga


a. Keadaan kesehatan sekarang : Baik
b. Kebersihan perorangan : Kurang
c. Penyakit yang sering diderita : Diare
d. Penyakit keturunan : Hipertensi
e. Penyakit kronis/ menular : Tidak ada
f. Kecacatan anggota keluarga : Tidak ada
g. Pola makan : Baik
h. Pola istirahat : Baik
i. Jumlah anggota keluarga : 4 orang

III. Psikologis Keluarga


a. Kebiasaan buruk : tidak cuci tangan sebelum makan
b. Pengambilan keputusan : Sendiri
c. Ketergantungan obat : Tidak ada
d. Tempat mencari pelayanan kesehatan: Puskesmas
e. Pola rekreasi : Kurang

IV. Keadaan Rumah/ Lingkungan


a. Jenis bangunan : Non Permanen
b. Lantai rumah : Tegel
c. Luas rumah : 18 m2 (6m x 3m)
d. Penerangan : Kurang
e. Kebersihan : Kurang
f. Ventilasi : Kurang
g. Dapur : Ada
h. Jamban keluarga : Tidak ada
i. Sumber air minum : Air sumur yang dimasak
j. Sumber pencemaran air : Ditemukan jarak sumur dengan jamban kurang
dari 10 m ( penggunaan air sumur untuk mandi, cuci pakaian, dan alat-alat
rumah tangga).
k. Pemanfaatan perkarangan : Tidak Ada

1
l. Sistem pembuangan air limbah : Ada
m. Tempat pembuangan sampah : Tidak ada
n. Sanitasi lingkungan : Kurang

V. Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah : Baik
b. Keyakinan terhadap kesehatan : Baik

VI. Keadaan Sosial Keluarga


a. Tingkat pendidikan : Kurang
b. Hubungan antar anggota keluarga : Baik
c. Hubungan dengan orang lain : Baik
d. Kegiatan organisasi sosial : Baik
e. Keadaan ekonomi : Kurang

VII. Kultural Keluarga


a. Adat yang berpengaruh : Sunda
b. Lain- lain : Tidak ada

VIII. Anggota keluarga

1 2

3 4

Keterangan:

1. Suami Os (68 tahun)


2. Os (64 tahun)
3. Anak laki-laki Os (34 tahun)
4. Anak perempuan Os (30 tahun)

IX. Keluhan Utama


Diare sejak tiga hari yang lalu

X. Keluhan Tambahan
Perut terasa sakit dan demam

XI. Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang ke Puskesmas Loji dengan keluhan BAB cair lebih dari empat kali
sehari sejak tiga hari yang lalu. Diare sebanyak 6x/hari jumlahnya banyak, diare cair
berwarna kuning, ada lendir dan darah. Os mengaku setiap kali buang air besar,
jumlahnya tidak banyak. Os mengatakan perutnya terasa sakit bila ingin BAB. Dua
2
hari sebelumnya os demam. Demam tidak disertai kejang, demam menetap sepanjang
hari, tidak ada bintik-bintik merah pada lengan maupun bagian tubuh yang lain, tidak
ada mimisan. Selain itu, Os mengaku sering tidak mencuci tangan sebelum makan
dan saat makan tidak menggunakan sendok (menggunakan tangan).

XII. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

XIII. Pemeriksaan Fisik


Status Generalisasi
Keadaan umum: Baik
Kesadaran: compos mentis
Tekanan darah: -
Frekuensi nadi: 88 x/menit
Frekuensi napas: 20 x/menit
Suhu: 37C

Pemeriksaan umum

Kepala: Rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, ubun-ubun besar
normal.
Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat dan isokor.
Telinga: Sekret tidak ada, membran timpani utuh.
Hidung : PCH (-), sekret -/-
Mulut : Sianosis perioral (-), caries (-), bibir kering, tonsil T1-T1
Leher : Bentuk normal, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kaku
kuduk tidak ada.
Toraks :
Paru-paru
Inspeksi : Tampak simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi: Suara napas vesikuler, ronki basah kasar -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak tampak benjolan dan tidak ada gambaran vena.
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar , nyeri tekan (+).
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran.
Auskultasi: Bising usus (+) meningkat.

3
Anus dan rektum : Tidak dilakukan.
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
Kelenjar getah bening :Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Refleks : Reflek fisiologis dan patologis tidak tampak kelainan.

XIV. Diagnosis penyakit


Disentri

XV. Diagnosis Keluarga


Tidak ada

XVI. Anjuran Penatalaksanaan Penyakit


a. Promotif: Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai penyakit diare dan PHBS seperti kepentingan jamban keluarga dan
sistem air limbah sebagai salah satu langkah pencegahan penyakit diare.
b. Preventif: Mengelolah makanan dan minuman yang bersih (minum dari air
yang dimasak), sering mencuci tangan dengan sabun sesudah BAB dan
sebelum makan atau menyediakan makanan
c. Kuratif:
Terapi medikamentosa
1. Pemberian oralit sebanyak 6 sachet dan diminum setiap kali
setelah BAB
2. PCT 500 mg 3 x
3. Cotrimoksazol syrup (2x1 cth)
4. Zink 20 mg 1x1
d. Rehabilitatif: -

XVII. Prognosis
a. Penyakit: Bonam
b. Keluarga: Bonam
c. Masyarakat: Bonam

XVIII. Identifikasi Fungsi-fungsi Keluarga

1. Fungsi Biologis

Sejak kecil pasien belum pernah sakit berat sampai dirawat di rumah sakit atau

puskesmas. Sesekali pasien pernah batuk pilek saat masih. Orang tua pasien tidak

memiliki riwayat sakit bawaan dan menular.


2. Fungsi Psikologis

Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknnya. Pernikahan telah

4
berlangsung selama 32 tahun. Apabila ada permasalahan dalam keluarga diselesaikan

dengan musyawarah untuk mengambil keputusan.

3. Fungsi Ekonomi

Sumber penghasilan keluarga berasal dari hasil kerja suami dan kadang

dibantu dari kedua anaknya.

4. Fungsi Pendidikan

Pendidikan terakhir pasien adalah SD, suami pasien SLTP dan kedua anaknya

SLTP.

5. Fungsi Religius

Pasien adalah seorang muslim yang taat beragama, selalu menjalankan ibadah

sholat lima waktu dan sering sholat berjamaah di Masjid di dekat rumahnya. Pasien

dan keluarga aktif mengikuti kegiatan pendalaman agama dalam majelis talim di

masjid dekat rumahnya.

6. Fungsi Sosial budaya

Pasien hidup dalam keluarga yang sederhana, hubungan bermasyarakat dengan

tetangga-tetangganya baik. Pasien rutin mengikuti kerja bakti membersihkan

lingkungan apabila ada kerja bakti. Rumah pasien yang berdekatan dengan masjid

secara tidak langsung meningkatkan keaktifan pasien dan keluarga mengikuti kegiatan

keagamaan di desanya.

XIX. Pola Konsumsi Makan Penderita

Frekuensi makan rata rata setiap harinya 2x/hari dengan variasi makanan

sebagai berikut : nasi lunak, lauk (telur/tempe/tahu), sayur (bayam, sayur asem, dan

sayuran lainnya). Pasien jarang diberi makan daging ayam maupun daging merah (2

minggu 3 minggu sekali) dan sering makan buah.

5
XX. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluarga

1. Faktor Perilaku

Suami pasien mengaku bahwa pasien sering tidur larut malam , sering

kelelahan karena kurang tidur, sebelum makan sering tidak mencuci tangan dengan air

tanpa sabun dan sehari-hari bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Pasien juga mengaku

jarang membersihkan rumah, sehingga rumah terlihat kotor dan berantakan

dikarenakan penyusunan barang yang tidak teratur, Pasien jarang mencuci seprei,

karpet dan jarang menjemur kasur, sehingga meningkatkan risiko untuk terkena

penyakit. Bila ada anggota keluarga yang sakit yang pertama dilakukan adalah pergi

ke puskesmas, dikarenakan jarak rumah dengan puskesmas dekat, dan tersedia

pendanaan kesehatan berupa jamkesmas yang di miliki oleh pasien, pasien tidak ikut

serta dalam program kesehatan di lingkungan rumah, pemanfaatan waktu luang tidak

diisi dengan rekreasi ataupun hobi.


2. Faktor Nonperilaku

Sarana pelayanan kesehatan di sekitar rumah cukup dekat seperti puskesmas

dan praktek dokter terdekat. Hal ini cukup berpengaruh terhadap kemudahan

mendapatkan pelayanan kesehatan jika ada anggota keluarga yang sakit. Jarak rumah

ke Puskesmas Loji kurang lebih 3 km. Tidak ada keterbatasan sarana untuk pergi

berobat, pasien biasa menggunakan kendaraan pribadi untuk berobat.

Kamar tidur terasa lembab dikarenakan hanya memiliki 1 jendela yang jarang

di buka dan di bersihkan, barang-barang dalam kamar terlihat tidak tertata dengan baik

dan kotor. Keadaan dapur yang kotor berlantaikan tanah dan terdapat tumpukan kayu-

kayu serta kandang ayam. Keadaan kamar mandi dan tempat mencuci alat-alat makan

yang kurang bersih, dikarenakan tumpukan sisa makanan yang tidak langsung dibuang

6
ke tempat sampah. Jarak sumber air bersih dengan septic tank yang kurang dari 10

meter.

XXI. Identifikasi Lingkungan Rumah

Rumah penderita terletak di daerah pemukiman penduduk biasa dengan ukuran 6 x

3 m2, bentuk bangunan 1 lantai. Penderita tinggal bersama 4 anggota keluarga lainnya.

Secara umum gambaran rumah terdiri dari 2 kamar tidur, 1 dapur, 1 kamar mandi beserta

WC, 1 ruang tamu, dan 1 ruang makan.

Lantai rumah dari semen, dinding dari tembok kecuali dapur yang menggunakan

dinding kayu, atap dari genteng. Ventilasi dan penerangan disetiap ruangan kurang,

Terdapat jendela hanya pada ruang tamu dan kamar tidur dengan ukuran sebanyak masing

1 buah untuk kamar tidur dan 2 buah untuk ruang tamu. Perbandingan luas lantai dengan

jendela di ruang tamu dan kamar tidur > 25%.

Kebersihan dalam rumah dan luar rumah kurang baik, dan tata letak barang tidak

rapi. Listrik 450 watt, sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari dari sumur galian,

dan juga untuk air minum didapat dari air sumur galian yang dimasak. Fasilitas MCK

dengan jamban model leher angsa, bak mandi dikuras 1 minggu sekali. Jarak antara septic

tank dengan sumber air minum kurang dari 10 meter.

Kebersihan dapur kurang baik dengan keadaan lantai dari tanah dan penempatan

tumpukan kayu serta kandang ayam di dalam dapur, pembuangan air limbah ke selokan

dan aliran lancar. Di dalam rumah tidak terdapat tempat sampah yang tertutup. Jalan di

depan rumah terbuat dari tanah. Kebersihan lingkungan pemukiman kurang baik.

XXII. Resume

7
Seorang ibu berusia 64 tahun dengan keluhan utama dengan keluhan BAB cair
lebih dari empat kali sehari sejak tiga hari yang lalu. Diare sebanyak 6x/hari
jumlahnya banyak, diare cair berwarna kuning, ada lendir dan darah. Os mengaku
setiap kali buang air besar, jumlahnya tidak banyak. Os mengatakan perutnya terasa
sakit bila ingin BAB. Dua hari sebelumnya os demam. Demam tidak disertai kejang,
demam menetap sepanjang hari, tidak ada bintik-bintik merah pada lengan maupun
bagian tubuh yang lain, tidak ada mimisan. Selain itu, Os mengaku tidak mencuci
tangan sebelum makan dan saat makan tidak menggunakan sendok (menggunakan
tangan). Pemeriksaan fisik: didapatkan bising usus meningkat, nyeri tekan
epigastrium, tanpa tanda- tanda dehidrasi. Dari hasil kunjungan rumah pasien
tergolong rumah yang tidak sehat karena tidak didapatkan jamban keluarga dan
sumber air yang digunakan adalah air sumur yang jarak dengan jambannya kurang
dari 10 m. Pencahayaan dan ventilasi didalam rumah masih kurang dan tempat
pembuangan sampah berjarak 1 meter dari sumber air sumur.

8
Lampiran

9
10
11
Diare Akut Disebabkan Bakteri

PENDAHULUAN
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2

Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri,dan Parasit.3

Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak
saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih
sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak
dalam waktu yang singkat.4,5

Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi


masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan
1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi.
Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter
jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).

Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta


penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3
kali setiap tahun.6

Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,

12
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella
spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-
01, dan Salmonella paratyphi A.7

EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di
Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan
pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di
Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat
pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.

Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun


sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar
200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap
tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap
tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. 9

Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta
episode diare pada orang dewasa per tahun. 10 Dari laporan surveilan terpadu
tahun 1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit
didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan.
Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela,
Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat
umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga
disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli (EIEC).11

Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien


diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi. 1,3,12

PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi
diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti

13
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis
ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit
polimorfonuklear.

Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang


mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.
Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala
dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat
cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.

Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan
osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare.
Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat
garam magnesium.

Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi


yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat
toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam
empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa
hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga
dapat menyebabkan diare sekretorik.

Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik


usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat
infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy,
inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.

Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan


waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.

14
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan
mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri
dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.

Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur
polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel
epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization
factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC).

Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli


(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.

Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat
pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.

Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel
epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi
inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya
mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman
Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses
patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa
lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.

Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan

15
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus.

Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin
kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang
aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga
terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi
klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.

ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.

Peranan Enteric Nervous System (ENS)


Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.

Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks
neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1
VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT,
neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan
obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada
enterosit.

DIAGNOSIS

Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri

16
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan
pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan
riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat
terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.1,3,13 Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan
terapeutik terlihat pada gambar 1.

Gambar1. Pendekatan umum Diare infeksi Bakteri. Dikutip dari 1

Manifestasi Klinis8,14,15

Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau


demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.

Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis


yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan
yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi
berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang

17
pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan
gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.

Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang


mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH
dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak
dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess
sangat negatif.

Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa


renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun
sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas
dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga
dapat timbul aritmia jantung.

Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan


akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit
berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita
menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih
banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan
intravena tanpa alkali.

Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung
leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi
maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa
sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen
(Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses
bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya. 3

Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.


Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat

18
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 93 % dan spesifisitas 61 100 % terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran. Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau
menderita diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit
feses atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang
nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7. 1

Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan


cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin,
analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap 5,8,10,14

Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya


biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi. 6

Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16

a. Infeksi non-invasif.

Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang
mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat
cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.

Gejala terjadi dalam waktu 1 6 jam setelah asupan makanan


terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang
terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat pada
pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.

Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang


terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.

Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik
dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.

19
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan
gejala muntah lebih dominan.

Gejala dapat ditemukan pada 1 6 jam setelah asupan makanan


terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala
akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam.
Gejala diare terjadi pada 8 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi
dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk
spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari
enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri. Gejala berlangsung setelah 8 24
jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan
nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang
terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.

Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 5


organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens. Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi
dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan
air yang terkontaminasi.

20
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat
menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit
dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.

Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae.

Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah
memerlukan cairan intravena.

Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin


500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis
tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan
cairan menurunkan angka kematian (biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral
memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.

Escherichia coli patogen


E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen
penting, yaitu:

1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).


2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang
terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24
jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3
pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel
darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan
penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.

21
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit
feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan
EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk
EHEC tipe O157.

Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari


pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-
sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian
antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan
diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan dengan
EHEC.

2. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.

Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,


demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 5
hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada
kasus yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.

Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala


pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic
Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.

Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.


Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas
antibiotik.

Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,


tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi
antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan

22
penyebaran bakteri. Trimetoprim, sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali
sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di
Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan
penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti
dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi.
Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.

Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se.
Kultur darah positip pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada
pasien terinfeksi HIV.

Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi


adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat
meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi
salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi,
tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik
adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin
atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 7 hari atau Sephalosporin generasi
ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral.

Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam
tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang,
splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya.
Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan gejala primer
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber organisme ini
biasanya adalah makanan terkontaminasi.

Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem


retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer
pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat
menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.

23
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan
perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan
defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada
minggu ketiga timbul penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia,
keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare kebirubiruan dan
berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan
klinis.

Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada


90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif
pada minggu kedua dan ketiga.

Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu


penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat
menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.

Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu.


Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier
disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi
ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV
selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14
hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin
thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah
endemik.

Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit
toksin dan invasi pada mukosa.

Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari


asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah
organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri
abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul

24
adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini 7
hari.

Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses
dapat ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap
eritromisin dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi.
Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata
terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2
kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya,
penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir
kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang
memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik
tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare
parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.

Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi
epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan
daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.

Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang
dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema
multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis,
mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses.
Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan
hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada
penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon
nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

25
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi
akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari
setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan
penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan
perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control
(CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157 dipandang sebagai penyebab diare
berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif tetapi menghasilkan toksin shiga,
yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan
kerusakan ginjal.

Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12
kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah.
Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3
pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada
kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis sering terjadi. Urinalisa
menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda
anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x
109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.

HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena
diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun)
dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko.
Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan
berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa
proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang
dari pada HUS.

Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe


biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.

Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan


vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi
infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat
meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.

26
Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih
diperlukan.

Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.

Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.

Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau


kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk
malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan
antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.

Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa
olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri
abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang
dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.

Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah


tritoprim sulfametoksazole.

PENATALAKSANAAN

A. Penggantian Cairan dan elektrolit


Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5
g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g

27
glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-
paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4
sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan
untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak
mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. 3 Jika terapi intra vena
diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer
harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah.
Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda
vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian
harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.

Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai
cara : dikutip dari 8 BD plasma, dengan memakai rumus :

Kebutuhan cairan = BD Plasma 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml

0,001

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :

- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB


- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)

Tabel 1. Skor Daldiyono dikutip dari 8

- rasa haus/muntah 1

- Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1 - Tekanan darah


sistolik < 60 mmHg 2 - Frekwensi Nadi > 120 x/menit
1
- kesadaran apatis 1

28
- Kesadaran somnolen, sopor atau koma 2 - Frekwensi nafas > 30
x/menit 1
- Facies cholerica 2 - Vox cholerica
2
- Turgor kulit menurun 1 - Washers womans hand
1 - Ekstremitas dingin
1
- Sianosis 2

- Umur 50-60 tahun -1 - Umur > 60 tahun


-2

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter

15

Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan :


Cara I :

- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan
saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan
mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau
sekitar 3,5 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :

Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada
fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.

Cara III :

Dengan menggunakan rumus :

Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :

29
Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW 1 = Volume air badan normal, biasanya
60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na 2 = Kadar natrium
plasma sekarang ; BW2 = volume air badan sekarang

B Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.

Pemberian antibiotik di indikasikan pada: Pasien dengan gejala dan tanda diare
infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi
dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare
infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian
antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik
spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman. 1,5,9,16

dikutip dari 1
Tabel 2. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri

Organisme Pilihan pertama Pilihan kedua

Campylobacter, Ciprofloksasin 500mg oral Salmonella/Shigella


Shigella atau 2x sehari, 3 5 hari Ceftriaxon 1gr IM/IV sehari

Salmonella spp TMP-SMX DS oral 2x sehari, 3 hari


Campilobakter spp
Azithromycin, 500 mg oral 2x sehari
Eritromisin 500 mg oral 2x sehari,
5hr
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg Resisten Tetrasiklin

oral 4x sehari, 3 hari Ciprofloksacin 1gr oral 1x

Doksisiklin 300mg Eritromisin 250 mg oral


Oral, dosis tunggal 4x sehari 3 hari
Traveler diarrhea Ciprofloksacin 500mg TMP-SMX DS oral 2x sehari, 3 hari

Clostridium Metronidazole 250-500 Vancomycin, 125 mg oral 4x sehari


difficile mg
4x sehari, 7-14 hari, 7-14 hari
oral atau IV

30
C Obat anti diare

Kelompok antisekresi selektif


Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti
diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak. 14

Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x
sehari, loperamid 2 4 mg/ 3 4x sehari dan lomotil 5mg 3 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi
cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi
diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat
mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala
demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan. 10

Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius
atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.

Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya
(Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan
cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses
tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya

31
adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk
kapsul atau tablet.9

Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran
cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan
reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang
adekuat.3,7,19

KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia
dan asidosis metabolik.1,8

Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok


hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul
Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak
adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal. 9,12,14

Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan


terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.

Sindrom Guillain Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah


merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain Barre, 20 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motoric dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain Barre
tetap belum diketahui.

32
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

PROGNOSIS
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya
sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut
usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %.
Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan
dengan sindrom uremik hemolitik.1

PENCEGAHAN1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya
dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan
hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia.

Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan
diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak
dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa
menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus
diperingatkan untuk tidak menelan air.

Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia
atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-
buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya
produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC
terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang
dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.

33
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang
tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini
tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral
kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid
parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping.
Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1
dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah
tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan
memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

KESIMPULAN
Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara
berkembang maupun negara maju. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga
hanya perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan
gejala diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi antimikrobial
secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai
dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan
cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan. Prognosis diare akut infeksi
bakteri baik, dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Dengan higiene
dan sanitasi yang baik merupakan pencegahan untuk penularan diare infeksi
bakteri.

KEPUSTAKAAN

1 Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,
et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York:
Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
2 Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management
of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3 Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2 nd edition. New
York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4 Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf

34
5 Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the
Management of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and
Hepatology 2002;17: S54-S71.
6 Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7 Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med Hyg
2003; 68(6): 666-10.
8 Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi ketiga. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI ;1996. 451-57.

9 Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea).


Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi
Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi.
Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 40.
10 Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment
in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit
Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11 Tatalaksana Penderita Diare. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf .
12 Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
13 Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I, Bawazier
LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002. 52-70.
14 Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam: Setiati S,
Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI,
2001. 49-56.
15 Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL, Henry
NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New
York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.

35
16 Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current
Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books,
2003. 584 - 66.
17 Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy
Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18 Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
GastroenterologiHepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-hepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19 Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.

36

S-ar putea să vă placă și