Sunteți pe pagina 1din 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain
: sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Etiologi
SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur,
bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin,
digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari,
sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ
sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG
dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe
IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Stevens-
Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu
dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan
bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar
penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk
memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem
multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering
rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister
yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi
oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam
konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang
diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%

1
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%

3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui tentang sindrom steven
johnson.
2. Tujuan Khusus
Tujuan penulisan makalah ini agar mahasiswa keperawatan dapat
mengetahui dan memahami tentang penyakit / gangguan system imun dan
hematologi, khususnya Sindrom Steven Jhonson dan mengetahui
penanganan dan penatalaksanaan.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2
A. Pengertian

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr.
Stevens dan dr. Johnson. Sindrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut
sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN).

Ada juga bentuk yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema Multiforme (EM).
Sekarang sindrom ini dikenal sebagai Eritema Multiforme Mayor.

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda,
1993: 127).

Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).

SSJ adalah hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks


imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari
setengah kasus, tidak didapatkan adanya penyebab yang spesifik.

B. Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab adalah:

a) Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)


1. Penisilline dan semisentetiknya

3
2. Sthreptomicine
3. Sulfonamida
4. Tetrasiklin
5. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol)
6. Kloepromazin
7. Karbamazepin
8. Kirin Antipirin
9. Tegretol
b) Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
c) Neoplasma dan faktor endokrin
d) Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

C. Manifestasi Klinis

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang
dapat berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna
merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh
dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk
lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang
terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan
demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,
tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari
daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi
penyebab kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya.

Gejala awal termasuk :

1. ruam
2. lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
4
3. bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
4. konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
bola mata)
5. demam terus-menerus atau gejala seperti flu Sindrom ini jarang dijumpai pada
usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.
Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini
terlihat adanya trias kelainan berupa :

a) Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

b) Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan
berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran.
Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian
atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak
dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernafas.

c) Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen,
perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan
tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

D. Patofisiologi

5
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai
oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus,
dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu
menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat
etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan


erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa
petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia,
dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol
membawa HLA-B58 (alel B*5801 frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%),
mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B
berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000:
147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.
Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan
terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan

6
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut (Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin
atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

E. Pathway

Alergi obat secara Infeksi mikroorganisme Neoplasma & Fac. Fisik ( sinar
matahari, radiasi,
sistemik (bakteri, virus, jamur & parasit Fac. Endokrin
sinar X

Reaksi hipersensitivitas

Hipersensitivitas tipe III 7 Hipersensitivitas tipe IV


Lokal (kulit) Proses transduksi,
Triase
Akumulasi
ggn. Pd
Membentuk netrofil
kulit, &
mukosa
mikropresipitasi Kerusakan eritema, vesikel & transmisi,
&memfagosit
mata
Aktivitas
Terbentuk
Melepaskan
Merusak
Degranulasi
Port sel-sel yg rusak
Resiko infeksi antibodi
sistem
de
antigen
jaringan
entree
lisozim
sel
komplemen
& mast Integritas kulit Melepaskan
Penghancuran
Reaksi peradangan
limfokin
Kontak
Limfosit
Sel Aktivasi
dgn
T tersintesisasi
antigen
sel
Hipertermi T Sitotoksik
yg sama
Nyeri akut
bula modulasi, persepsi
Lokal (kulit) eritema,
vesikel & bula

Kerusakan mukosa pd tenggorokan

Nutrisi kurang dari


Sulit menelan
kebutuhan tubuh

F. Komplikasi
1. Bronkopneumonia (16%)
2. Sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang
dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.

8
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
3. Determine renal function and evaluate urine for blood.
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnosa.
H. Penatalaksanaan
a) Penatalaksaan Keperawatan
1. Pencegahan primer :
- Tidak mengkonsumsi sembarang obat
- Kita harus dapat mengetahui alergi yang terjadi pada tubuh kita baik

berupa obat maupun jenis makanan tertentu.


- Minum obat harus sesuai aturan, tepat dosis dan tepat waktu.

2. Pencegahan sekunder :

Pada kasus SSJ, perlu diperhatikan adanya pengaturan keseimbangan


cairan/elektrolit, dan nutrisi. Hal ini terutama karena pasien sukar dan sulit
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan serta penurunan kesadaran.
Untuk itu, infus dapat diberikan misal dekstrosa 5%, NaCl 9% dan RL dengan
perbandingan 1:1:1 yang diberikan tiap 8 jam.

Jika dalam dua hari tidak ada perbaikan dengan terapi tersebut, transfusi darah
dapat diberikan sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Transfusi ini
dapat memberikan efek whole blood, imunorestorasi.

Indikasi transfusi darah poada SSJ dan NET:

1. Belum ada perbaikan setelah 2 hari pengobatan dengan kortikosteroid dosis


adekuat (30 mg deksametason untuk SSJ dan 40 mg untuk NET).

2. Terdapat purpura generalisata

3. Terdapat leukoplakia.

9
3. Pencegahan tersier :
F - Menganjurkan pasien untuk minum obat teratur.
F - Menganjurkan pasien untuk control dengan teratur.
F
b) Penatalaksanaan Medis

1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa
hari. Pasien steven Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum
membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai
5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg
sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu setelah
pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).
Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan
KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat
dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin
dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan
tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus
misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300

10
cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500
mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi
di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, golongan darah, nomor register, tanggal MRS dan
diagnose medis.
2. Keluhan utama
Umumnya pada kasus Sindrom Steven Johnson dapat disertai gejala prodromal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk dan nyeri tenggorokan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data dilakukan sejak munculnya keluhan, secara umum mencakup
gejala, riwayat pengobatan pasien, riwayat alergi, reaksi alergi terhadap makanan,
obat serta zat kimia, masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditanyakan kemungkinan penyebab yang mendukung
terjadinya Sindrom Steven Johnson, dan pernahkah klien dirawat dengan kasus
yang sama.
5. Riwayat penyakit keluarga
Kaji adanya keluarga yang mempunyai riwayat keluhan yang sama dan riwayat
penyakit yang lainnya.
6. Riwayat psikososial
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang diderita dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat.

11
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kulit meliputi :
I : Warna, suhu, kelembapan, kekeringan, factor
P : Turgor kulit, edema

C. Diagnosa Keperawatan :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal
2. Nyeri akut berhubungan agen cedera biologis.
3. Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan
4. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan Penurunan imunitas, adanya port de entree

D. Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
NOC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama (..) kulit dan mukosa
membaik, dengan kriteria hasil :
a) Integritas kulit yang baik bisa di pertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur,
hidrasi dan pigmentasi)
b) Tidak ada luka/lesi pada kulit
c) Perfusi jaringan baik
d) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami.
NIC :
a) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
b) Hindari kerutan pada tempat tidur
c) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap 2 jam sekali
e) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
f) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.

2. Nyeri akut berhubungan agen cedera biologis

NOC :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama (.) Pasien tidak mengalami

nyeri, dengan kriteria hasil:

a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik

nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)


b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

12
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e) Tanda vital dalam rentang normal
f) Tidak mengalami gangguan tidur

NIC :

a) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi


b) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
c) Observasi Vital sign.
d) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
e) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
f) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan dan kebisingan


g) Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi,

kompres hangat/ dingin


h) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ...

3. Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan

NOC:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama () pasien menunjukkan :
Suhu tubuh dalam batas normal dengan kreiteria hasil:
a) Suhu 36 37C
b) Nadi dan RR dalam rentang normal
c) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
NIC :
a) Monitor suhu sesering mungkin
b) Monitor warna dan suhu kulit
c) Monitor tekanan darah, nadi dan RR
d) Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa
e) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
f) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
g) Pertahankan pemberian cairan intravena.
h) Kolaborasi tentang pemberian anti piretik, Antibiotik

4. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
NOC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama () pasien menunjukkan :
Status nutrisi baik, intake nutrisi baik, BB terkontrol. Dengan kreiteria hasil:

13
a) Adanya peningkatan BB sesuai dengan tujuan
b) BB ideal sesuai dengan tinggi badan
c) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
e) Menunjukan Peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
f) Tidak terjadi penurunan BB yang berarti
NIC :
a) Kaji kemampuan menelan pasien
b) Kaji adanya alergi makanan
c) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsulkan dengan ahli gizi)
d) Monitoring jumlah nutrisi dan kandungan kalori
e) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
f) Bila klien tidak sadar kolaborasi tentang pemberian makanan melalui NGT

5. Resiko infeksi berhubungan dengan Penurunan imunitas, adanya port de entree


NOC :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien tidak mengalami


infeksi dengan kriteria hasil:
a) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
c) Jumlah leukosit dalam batas normal
d) Menunjukkan perilaku hidup sehat
e) Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
NIC :
a) Pertahankan teknik aseptif
b) Batasi pengunjung bila perlu
c) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
d) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
e) Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
f) Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
g) Tingkatkan intake nutrisi
h) Berikan terapi antibiotik:.................................
i) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
j) Pertahankan teknik isolasi k/p

14
k) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
l) Monitor adanya luka
m) Dorong masukan cairan
n) Dorong istirahat
o) Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
p) Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum berat

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens
dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya.

B. Saran

1. Alhamdulillah, makalah ini dapat kami selesaikan tanpa halangan apapun. Tetapi
selama kami menyusun makalah ini, kami merasa banyak kekurangan,
semoga isi tentang SSJ, penangannya, penyebabnya, dll. sedikit memberi
pengetahuan dan gambaran oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.

2. Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
pembaca terutama Mahasiswa Keperawatan.

15
3. Makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca terutama perawat
dalam membuat asuhan keperawatan pada klien dengan PDA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ho, HHF. 2008. Diagnosis and Mangement of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. Medical Bulletin Vol.13 No.10 October 2008

2. Smeltzer C.S & Bare Brenda.(2010). Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical
Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott.

3. Doenges, M., Moorhouse, M.F., Murr, A.C. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,
Individualizing, and Documenting Client Care Edition 3. Philadelpia: Davis Company.

4. Bulechek, G.M., Butcher, H.W. & Dochterman, J.M. 2008. Nursing intervention
classification (NIC). (5th edition). St Louis: Mosby Elsevier.

5. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., Swanson, E. 2008. Nursing outcome
classification (NOC). (4th edition). St Louis: Mosby Elsevier

16

S-ar putea să vă placă și