Sunteți pe pagina 1din 65

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP CARDIAC ARREST


2.1.1 Konsep Cardiac Arrest secara umum
1. Pengertian Cardiac Arrest
Cardiac arrest terjadi ketika malfungsi jantung dan berhenti
berdetak tiba-tiba. Serangan jantung dipicu oleh kerusakan listrik di
jantung yang menyebabkan detak jantung tidak teratur (aritmia).
Dengan aksi pompa yang terganggu, jantung tidak dapat memompa
darah ke otak, paru-paru dan organ lainnya. (American Heart
Association, 2013).
Sudden cardiac arrest adalah suatu kondisi dimana jantung
berhenti berdenyut tiba-tiba dan tidak terduga karena terjadi
kerusakan sistem kelistrikan jantung. Kerusakan yang menyebabkan
SCA adalah irama abnormal yang mengancam kehidupan;
aritmia.Aritmia yang paling umum adalah ventrikel fibrilasi (VF)
(Arrhythmia Alliance, 2011).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Cardiac Arrest atau bisa
disebut henti jantung adalah suatu kondisi dimana jantung tidak
dapat mengedarkan darah, yang mengakibatkan kerusakan pada otot
jantung (Keogh J., 2013).
2. Faktor Resiko Cardiac Arrest
a. Diabetes Melitus
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Disease (NIH) 2013 yang di maksud diabetes adalah
gangguan metabolisme tubuh. Diabetes terjadi ketika pankreas
tidak cukup membuat insulin dengan benar, mengakibatkan
jumlah glukosa dalam darah meningkat sedangkan sel-sel
kekurangan energi. Seiring waktu, kadar glukosa dalam darah
meningkat akan merusak saraf dan pembuluh darah,
menyebabkan komplikasi seperti penyakit jantung, stroke,
kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa orang dengan diabetes jauh lebih rentan
terkena serangan jantung, dikarenakan kadar glukosa darahyang
tinggi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan peningkatan
kadar lemak di bagian dalam dinding pembuluh darah. Kadar
lemak tersebut dapat mempengaruhi aliran darah, meningkatkan
penyumbatan dan pengerasan pembuluh darah( aterosklerosis).
Jika pembuluh darah ke jantung menyempit atau tersumbat oleh
endapan lemak, pasokan darah akan berkurang atau terputus,
mengakibatkan serangan jantung. Pada orang dengan diabetes
penyakit jantung yang umum adalah penyakit arteri koroner
(CAD) dan penyakit pembuluh darah otak.
b. Hipertensi
Anda memiliki tekanan darah tinggi atau disebut hipertensi.
Dimana jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa
darah. Tekanan darah tinggi dapat membebani jantung, merusak
pembuluh darah, dan meningkatkan risiko serangan jantung,
stroke, masalah mata, dan masalah ginjal (NIH, 2013).
c. Hiperlipidemia
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Disease (NIH) 2013 memiliki lemak darah yang
abnormal (kolesterol) :
1) Kolesterol LDL (Low-density Lipoprotein) dapat tertimbun di
dalam pembuluh darah menyebabkan penyempitan dan
pengerasan pembuluh darah arteri yang membawa darah dari
jantung ke seluruh tubuh. Arteri kemudian dapat menjadi
penyumbat. Oleh karena itu, tingginya tingkat kolesterol LDL
meningkatkan risiko terkena penyakit jantung.
2) Trigliserida adalah jenis lain dar lemak darah yang dapat
meningkatkan risiko penyakit jantung ketika tingkat tinggi.

d. Stroke
Stroke adalah ketika pasokan darah ke otak tiba-tiba
terputus, yang dapat terjadi ketika pembuluh darah diotak atau
leher tersumbat atau pecah. Sel-sel otak kemudian kekurangan
oksigen dan mati. Stroke dapat menyebabkan masalah pada
bicara atau penglihatan dapat juga menyebabkan kelemahan atau
kelumpuhan. Kebanyakan stroke disebabkan oleh gumpalan sel
darah yang mempersempit tau menyumbat di salah satu
pembuluh darah. Bekuan darah bisa tinggal dimana ia terbentuk
serta dapat melakukan perjalanan dalam tubuh. Stroke juga dapat
terjadi saat perdarahan pembuluh darah di otak yang disebabakan
terputusnya pembuluh darah (aneurisma) karena tekanan darah
tinggi (NIH, 2013).
e. Penyakit Ginjal
Kematian jantung mendadak dengan dialisis dikaitkan
dengan beban lesi kardiovaskular dengan penyakit ginjal kronis
(CKD). Pada pasien dialysis ultra filtrasi (UF) adalah penting
untuk mempertahankan kontrol volume, tetapi sekaligus
dikaitkan dengan perubahan cairan yang non-fisiologis dan
ketidak stabilan hemodinamik. Oleh karena itu, faktor-faktor ini
dapat berkontribusi terhadap iskemia jaringan, perubahan
struktural jantung yang maladaptif, aritmia, dan kematian jantung
mendadak. Selama dialisis, cairan yang dihilangkan secara
langsung dari ruang vaskuler. Ketika menghilangkan dialitik
melebihi penyerapan dari kompartemen yang lain, volume
sirkulasi berkurang dan iskemia miokard bersifat sementara dapat
terjadi. Jika terjadi kelainan gerakan di dalam miokard secara
berulang kali akan memicu kejadian fibrosis dan remodeling
yang merupakan faktor predisposisi disfungsi ventrikel dan
aritmia (Tassin dkk, 2011). Selain itu kekurangan vitamin D
tidak baik bagi ginjal terutama bagi jantung. Kandungan
calcitriol berfungi untuk memperingan tingkat keparahan gagal
jantung, melalui empat mekanisme berupa regulasi inflamasi,
reduksi hipertrofi otot jantung, regulasi sistem RAA, dan
mencegah kalsifikasi dinding pembuluh darah (Pramanta,
Mahardika, Benediktus, 2011).
f. Coronary Heart Disease
Menurut Hawaii State Departement of Health 2012
penyakit jantung koroner (PJK), juga dikenal sebagai penyakit
arteri koroner (CAD), disebabkan oleh penumpukan plak diarteri
yang memasok darah kaya oksigen ke jantung. Plak, campuran
lemak, kolesterol, dan timbunan kalsium dapat tertumpuk diarteri
selama bertahun-tahun. Seiring waktu, plak tersebut dapat
menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri koroner,
kondisi ini yang disebut aterosklerosis. Orang dengan PJK
memiliki peningkatan risiko angina (nyeri dada atau ketidak
nyamanan), serangan jantung, gagal jantung, dan aritmia jantung.
Angina dan serangan jantung disebabkan oleh berkurangnya
aliran darah ke jantung. Serangan jantung dapat menyebabkan
kematian otot jantung dan membutuhkan perhatian darurat
(Libby, 2013).
g. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Disfungsi kekebalan tubuh menyebabkan infeksi dan
peningkatan risiko penyakit jantung. Infeksi tersebut merupakan
faktor utama dalam pengembangan aterosklerosis. Infeksi
kompleks sebagai proses biologis merupakan interaksi dari
beberapa mediator inflamasi yang dipengaruhi oleh HIV dan
antiretroviral therapy. Pemberhentian antiretroviral therapy
dapat memperparah HIV dan dapat menimbulkan penyakit
kardiovaskuler (Chun & Fauci, 2012).

3. Etiologi Cardiac Arrest


Cardiac arrest terjadi ketika malfungsi dari sistem kelistrik
jantung, sehingga menyebabkan aritmia. Aritmia yang paling umum
pada cardiac arrest adalah fibrilasi ventrikel. Cardiac arrest dapat
diubah jika CPR (cardiopulmonary resuscitation) dilakukan dan
defibrillator digunakan untuk mengejutkan jantung dan
mengembalikan irama jantung yang normal dalam beberapa menit.
Cardiac arrest dapat disebabkan oleh hampir semua gangguan pada
jantung yang dikenal. Penyebab paling umum adalah:
a. Jaringan parut karena serangan jantung sebelumnya atau
penyebab lain: Jantung yang terdapat bekas luka atau membesar
karena sebab apapun rentan untuk terjadi aritmia ventrikel yang
mengancam. Enam bulan pertama setelah serangan jantung
adalah risiko periode yang sangat tinggi untuk menderita cardiac
arrest pada pasien dengan penyakit jantung aterosklerotik.
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) dari setiap penyebab
(tekanan darah tinggi atau penyakit katup jantung) apalagi
ditambah dengan gagal jantung
c. Obat jantung: Dalam kondisi tertentu, beberapa obat jantung
dapat menyebabkan aritmia yang selanjutnya dapat menyebabkan
cardiac arrest.
d. Kelainan listrik: kelainan listrik tertentu seperti sindrom Wolff-
Parkinson-White dan sindrom QT panjang dapat menyebabkan
serangan jantung mendadak pada anak-anak dan orang muda.
e. Kelainan pembuluh darah: jarang terjadi, kelainan pembuluh
darah bawaan, terutama arteri koroner dan aorta, mungkin ada
dalam korban cardiac arrest pada orang muda. Adrenalin
dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang intens sering
bertindak sebagai pemicu untuk cardiac arrest ketika kelainan ini
hadir.
f. Penggunaan narkoba: Pada orang tanpa penyakit jantung organik,
penggunaan narkoba merupakan penyebab penting dari serangan
jantung mendadak (Adams, et al., 2011).
Sedangkan menurut James Keogh tahun 2013 penyebab
cardiac arrest dapat terjadi oleh banyak kondisi yang
mendasarinya yang meliputi infark miokard, overdosis obat,
trauma, dan gangguan impuls yang meliputi fibrilasi ventrikel.
4. Klasifikasi Cardiac Arrest
Cardiac arrest dapat disebabkan oleh 4 irama :ventrikel fibrilasi
(VF), ventrike takikardi (VT), pulseless electric activity (PEA), dan
asystole (American Heart Association, 2010).
a. VF dan VT (Ventrikel Fibrilasi dan Ventrikel Takikardi)
VF dan VT dibahas bersama-sama karena mereka terjadi
dalam pengaturan klinis yang sama dan memiliki mekanisme
yang sama, penyebab, dan cara terapi. Ventrikel Fibrilasi dibagi
menjadi dua jenis klinis yaitu VF primer dan sekunder. VF
primer terjadi karena tidak adanya disfungsi ventrikel kiri akut
dan syok kardiogenik, dan itu dicatat pada sekitar 5% pasien
dengan IMA. Mayoritas episode VF primer terjadi dalam 4 jam
pertama dari IMA, dan 80 % terlihat dalam awal 12 jam infark.
VF sekunder dapat terjadi karena komplikasi dari gagal jantung
akut, syok kardiogenik, atau keduanya; dan terjadi pada sampai
dengan 7 % dari pasien dengan IMA (Brady, Monteleone,
Sochor, & OConnor, 2012).
Ventrikel Takikardi biasanya berasal dari fokus khusus
dalam miokardium ventrikel atau di jalur konduksi infranodal.
VT dapat dibedakan menjadi monomorfik dan polimorfik. VT
menyumbang sebagian kecil irama yang terlihat pada serangan
jantung dan memiliki prognosis yang paling menguntungkan. Hal
ini relatif jarang terjadi hasil kejadian dari awal penampilan
dengan degenerasi yang cepat.Jika terapi tidak dimulai dalam
peristiwa henti jantung, ritme ini cepat dekompensasi menjadi
irama yang lebih ganas seperti VF atau asistol (Brady,
Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)

1) Gambaran klinis
a) Gambaran Klinis Ventrikel Fibrilasi
Hasil diagnosis ventrikel fibrilasi dalam EKG atau
electrokardiograpi pada pasien tanpa nadi dan apnea
dengan adanya amplitudo rendah dan aktivitas listrik
yang kacau. Tingkat defleksi biasanya antara 200 dan 500
depolarisasi permenit. Morfologis, VF dibagi menjadi
kasar dan halus. VF yang kasar cenderung terjadi lebih
awal setelah serangan jantung; ditandai dengan amplitudo
tinggi, atau kasar, bentuk gelombang; dan memiliki
prognosis yang lebih baik daripada VF halus (Brady,
Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)
Gambar 2.1 Ventrikel Fibrilasi Kasar
Gambar 2.2 Ventrikel Fibrilasi Halus

b) Gambaran Klinis Ventrikel Takikardi


Ventrikel Takikardi di tandai dengan durasi kompleks
QRS lebih besar dari 0,12 detik dan tingkat ventrikel
lebih besar dari 100 atau 120 denyut / menit. MVT atau
Monomorfik Ventrikel Takikardi di identifikasi ketika
masing-masing gelombang berturut-turut memiliki
morfologi tunggal. Kecepatannya biasanya antara 140 dan
180 denyut / menit dan sangat teratur (Brady,
Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)

Gambar 2.3 Monomorfik Ventrikel Takikardi

Sedangkan PVT ditandai dengan kompleks QRS


sering berubah. Kompleks QRS cenderung lebih besar

dari 0,12. Kecepatannya biasanya lebih cepat dari MVT,


dengan kisaran 150-300 denyut / menit (Brady,
Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)

Gambar 2.4 Polimorfik Ventrikel Takikardi

2) Patofisiologi VF dan VT
Ini adalah disritmia ganas yang paling sering timbul
sebagai akibat dari kerusakan miokard (yaitu IMA,
miokarditis, kardiomiopati), toksisitas obat, atau kelainan
elektrolit. Patofisiologi tersebut biasanya mencangkup
fenomena menarik atau penggerak otomatis. Sebuah jalur
dalam miokardium ventrikel adalah sumber yang paling
umum. Itu sifat dari jalur reentry yang melibatkan dua jalur
konduksi dengan karakteristik listrik yang berbeda. Jalur
reentry yang menyediakan substrat untuk VT dan VF
umumnya terjadi di zona iskemia akut atau kronis jaringan
parut (Brady, Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)
Dysrhythmia ini biasanya dimulai oleh denyut ektopik,
meskipun sejumlah faktor lainnya dapat menjadi penyebab
utama, termasuk iskemia koroner akut, gangguan elektrolit,
dan dysautonomia. Automaticity dipicu dari sekelompok sel
yang didapat dari hasil berbagai anomali jantung, termasuk
penyakit jantung kongenital, penyakit jantung bawaan,
gangguan elektrolit, dan toksisitas obat (Brady, Monteleone,
Sochor, & OConnor, 2012)
b. PEA (Pulseless Electrical Activity)
Pulseless Electrical Activity atau PEA merupakan indikasi
dari kejadian medis yang sangat serius yang mendasari, seperti
hipovolemia mendalam, infark miokard masif, emboli paru luas,
tachydysrhythmia elektrolit yang signifikan. Ritme dalam situasi
ini biasanya mencakup takikardia, terutama takikardia sinus atau
fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat. Suatu
pendekatan terapi mengarah disertai dengan resusitasi agresif
akan memberikan penderita dengan pseudo-PEA dengan
kesempatan terbaik untuk bertahan hidup (Brady, Monteleone,
Sochor, & OConnor, 2012)
1) Gambaran Klinis PEA
Pulseless Electrical Activity atau PEA memiliki
kombinasi unik dari tidak ada aktivitas jantung mekanik
(keadaan tanpa nadi) dengan aktivitas persisten jantung listrik
(yaitu, irama jantung) (Brady, Monteleone, Sochor, &
OConnor, 2012)
Kejadian PEA biasanya dimulai dengan gangguan perfusi
dan berkembang menjadi pseudo-PEA dengan kontraksi
jantung lanjutan. Tidak adanya nadi yang bisa dilihat diikuti
dengan hilangnya aktivitas mekanik jantung akan
menghasilkan perkembangan PEA sebenarnya (Brady,
Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)
2) Patofisiologi PEA
Menurut sub tipe nya PEA dapat dibedakan menjadi
pseudo-PEA dan true-PEA. Pseudo-PEA terjadi ketika
tedapat aktivitas kelistrikan jantung (irama jantung) tetapi
nadi tidak ada dan kontraksi miokard yang ditunjukkan oleh
ekokardiografi atau modalitas pencitraan lainnya. Pada true-
PEA, aktivitas listrik jantung dalam bentuk irama ini tercatat,
tapi benar-benar tidak ada kontraksi mekanis jantung yang
terjadi. Hal ini penting untuk membedakan dua sub tipe PEA.
Dalam aplikasi ini prognosis resiko, irama idioventricular
dikaitkan dengan kesempatan yang lebih rendah dari
resusitasi daripada sinus bradikardia dengan durasi kompleks
QRS normal. Temuan elektrokardiografi lain yang ditemui
pada penderita PEA berhasil diresusitasi mencakup
pengembangan gelombang P dan interval QT memendek
(Brady, Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)
c. Asistol
Asistol adalah tidak adanya aktivitas kelistrikan jantung
dan biasanya hasil dari kegagalan pembentukan impuls di primer
(node sinoatrial) dan standar (atrioventrikular node dan
miokardium ventrikel) lokasi alat pacu jantung. Asistol juga bisa
disebabkan oleh kegagalan penyebaran impuls ke miokardium
ventrikel dari jaringan atrium (Brady, Monteleone, Sochor, &
OConnor, 2012)
1) Gambaran Klinis
Pada asistol gambaran dari elektrokardiogram
menunjukkan garis datar atau garis hampir rata. Mengombak
minimal gelombang yang dihasilkan dari elektrokardiografi
pergeseran awal dapat dilihat. Beberapa perangkap harus
dihindari dalam manifestasi asistolik, termasuk memantau
kerusakan, pemutusan lead elektrokardiografi, dan VF halus
dengan amplitudo minimal dalam menjelang pencitraan.
Kesalahan potensial terakhir dapat dideteksi dengan
mengkonfirmasi asistol dengan setidaknya dua lead yang
berorientasi dalam mode tegak lurus (Brady, Monteleone,
Sochor, & OConnor, 2012)

2) Patofisilogi Asistol
Pasien dengan asistol umumnya telah mengalami
serangan jantung berkepanjangan, mungkin awalnya
dinyatakan oleh salah satu dari VT, VF, atau PEA dan
akhirnya berdegenerasi untuk menyelesaikan penghentian
aktivitas listrik jantung.Asistol dapat secara struktur
diperantarai sebagai akibat dari infark miokard yang besar
(Brady, Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)
Gambar 2.5 Asistol

5. Manifestasi Klinis Cardiac Arrest


Tanda dan gejala dari Cardiac Arrest menurut UIL (University
Interscholastic League) 2014 yaitu :
a. Pingsan atau tidak sadar
b. Pusing
c. Kelelahan yang tidak biasa / kelemahan
d. Sakit dada
e. Sesak napas
f. Mual / muntah Palpitasi (jantung berdebar luar biasa cepat)
g. Riwayat keluarga serangan jantung mendadak pada usia <50
6. Patofisiologi Cardiac Arrest
Patofisiologi cardiac arrest pada penyakit jantung koroner yaitu
dalam jangka pendek dan jangka panjang menghasilkan takikardia
ventrikel atau fibrilasi(VT /VF) dan kejadian berulang berhubungan
dengan adanya faktor fisiologis sementara atau persisten. VT/VF
yang disebabkan olehi skemia bersifat sementara (A) dan fase akut
(24 sampai 48 jam) infark miokard(B) tidak terprediksi kejadian
berulang jika iskemia berulang dapat dicegah. Sebaliknya, VT/VF
terkait dengan infark miokard sudah sembuh, dengan atau tanpa
iskemia akut bersifat sementara (C), dikaitkan dengan risiko
kekambuhan. Kardiomiopati iskemik yang lama (D), terutama bila
disertai dengan gagal jantung, membentuk substrat terkait dengan
risiko VT/VF dan kekambuhan dari waktu ke waktu. Serangkaian
memodifikasi pengaruh kontribusi pada ekspresi individual
(Myerburg & Castellanos, 2011)

Gambar 2.6 Patofisiologi Cardiac Arrest (Robert,dkk, 2011)

7. Algoritma Cardiac Arrest


(Terlampir)
a. Kualitas Cardiopulmonary Resucitation(CPR)
1) Penekanan yang kuat (minimal 2 inchi [5 cm]) dan
kecepatannya (100-120/min) dan memberikan pengembangan
dada yang komplit.
2) Minimalkan interupsi saat melakukan kompresi
3) Menghindari ventilasi yang berlebihan
4) Bergantian kompresi setiap 2 menit atau lebih cepat jika
mengalami kelelahan
5) Jika tidak ada alat bantuan jalan nafas, rasio 30 : 2 kompresi
dan ventilasi
6) Bentuk gelombang kuantitatip capnography
Jika PETCO2 (partial pressure of end-tidal CO2) < 10
mmHg, percobaan untuk memperbaiki kualitas CPR
7) Tekanan intra-arteri
Saat fase relaksasi (diastolic) tekanan < 20 mmHg, percobaan
untuk memperbaiki kualitas CPR

b. Shock Energy untuk Defibrilasi


1) Biphasic :yang direkomendasikan (120-200 J); jika tidak
mengerti, gunakan ukuran maksimum yang ada. Kedua dan
dosis selanjutnya harus sama, dan dosis yang tinggi
membutuhkan pertimbangan
2) Monophasic : 360 J
c. Terapi Obat
1) Epinephrine IV/IO dosis : 1 mg setiap 3-5 menit
2) Amiodarone IV/IO dosis : dosis pertama : 300 mg bolus.
Dosis kedua : 150 mg
d. Advance Airway
1) Intubasi endotrakeal atau supraglottic advanced airway
2) Gelombang kapnografi atau capnometry untuk
mengkonfirmasi dan memantau penempatan tabung ET
3) Sekali alat bantu jalan nafas ditempatkan, berikan 1 nafas
setiap 6 detik (10 nafas / menit) dengan penekanan dada yang
dilakukan terus menerus
e. Kembalinya sirkulasi secara spontan (ROSC)
1) Nadi dan tekanan darah
2) Kenaikan PETCO2 secara tiba-tiba (khasnya 40 mmHg)
3) Gelombang tekanan arteri spontan dengan monitoring intra-
arterial
f. Penyebab reversible
1) Hipovolemi
2) Hipoksia
3) Asidosis
4) Hipo/Hiperkalemia
5) Hipertermia
6) Tension pneumothoraks
7) Temponade jantung
8) Toksin
9) Thrombosis pulmonary
10) Thrombosis coronary (American Heart Asoociation, 2015)
8. Penatalaksanaan Cardiac Arrest
Dalam kebanyakan kasus serangan jantung ada yang terlihat dan
tidak terlihat maka penolong pertama harus mulai CPR dengan
melakukan kompresi dada dan penolong kedua harus mendapatkan
atau menghidupkan defibrillator, letakkan bantalan perekat, dan
periksa irama. Bantalan perekat dan bantalan elektroda harus
ditempatkan pada dada yang terbuka dalam posisi anterior-lateral.
Cek ritme harus singkat, dan jika diamati ritme teratur, cek nadi
harus dilakukan. Jika ada keraguan tentang adanya nadi, kompresi
dada harus segera kembali dilakukan. Jika monitor jantung melekat
pada pasien saat terjadi cardiac arrest, irama dapat di diagnosis
sebelum CPR dimulai (Neumar, et al., 2010)
a. VF danVT (Ventrikel Fibrilasi dan Ventrikel Takikardi)
Manajemen resusitasi dari dua disritmia ini mirip.
Pendekatan dasar meliputi CPR, dengan melakukan penekanan
pada kompresi dada yang berkualitas tinggi , dan defibrilasi
elektrikal. Setelah dlakukan defibrilasi, CPR dilanjutkan untuk
tambahan 2 menit .Jika dysrhythmia yang tetap pada analisis
elektrokardiografi, vasopressor diberikan, baik vasopressin atau
epinefrin.Epinefrin harus digunakan dalam dosis 1 mg, sebaiknya
diberikan melalui intravena atau intraosseous line. Jika diberikan
melalui tabung endotrakeal ( ETT ), dosis yang lebih besar dari
dua sampai tiga kali dosis intravena dianjurkan. Dosis melalui
ETT saat ini tidak dianggap sebagai cara yang paling efektif
memberikan obat. Epinefrin harus diberikan lagi setiap 3 sampai
5 menit selama resusitasi tersebut. Vasopressin diberikan melalui
intravena atau intraosseous rute dengan dosis 40 unit
internasional ( IU ) (Brady, Monteleone, Sochor, & OConnor,
2012)
Setelah pemberian vasopressor, CPR harus dilanjutkan
selama 2 menit, diikuti dengan defibrilasi kedua. Jika VT atau
VF berlanjut atau tetap, amiodaron atau lidokain harus diberikan.
Diberikan kepada pasien dalam dosis bolus 300 mg intravena,
dan dapat diulang dengan dosis kedua 150 mg intravena (Brady,
Monteleone, Sochor, & OConnor, 2012)
b. PEA (Pulseless Electrical Activity) dan Asistol

Pulseless Electrical Activity and Asystole


Waktu Perawatan prioritas Komentar
0 menit Kompresi dada a. Kompresi harus dilakukan
dengan
kecepatan100x/menit.
b. Cek nadi serta analisis
irama harus dilakukan tidak
lebih sering dari pada setiap
2 menit.
c. Dengan irama yang sempit-
komplek, menilai aliran
darah okultisme (pseudo-
PEA).
1 menit kompresi dada a. Lakukan intervensi tetapi
IV atau akses IO tidak mengganggu kompresi
vasopressor dada lebih dari 15 detik
setelah setiap siklus 2-min.
b. IV awal atau akses IO untuk
pemberian obat
c. Vasopresin atau epinefrin
dapat diberikan secara
bergantian awalnya.
2 menit kompresi dada a. Penempatan jalan nafas
tingkat suatu airway yang yang invasive dan prioritas
invasif ventilasi bag-mask tidak
adekuat.
b. Tingkat saluran napas yang
invasive dapat ditempatkan,
tetapi penempatannya tidak
harus mengganggu saat
kompresi dada
c. Atropin, 1mg intravena,
dapat diberikan pada saat di
inginkan, meskipun
dampaknya minimal.
4 menit kompresi dada a. Kompresi dada tidak harus
vasopressor terganggu hanya untuk
mengubah kompresor (tidak
lebih dari 15detik).
b. Jika epinefrin diberikan
awalnya, vasopressin dapat
diberikan; epinefrin
diberikan dalam dosis
berikutnya semua
5menit kompresi dada dan Penyebab mungkin memerlukan
obat tambahan pemberian obat ajuvan.
7 menit kompresidada a. Obat harus diberikan setiap
vasopressor 3-5menit untuk cardiac
arrest harus disadari bahwa
tingkat pusat puncak dapat
bervariasi berdasarkan
perbedaan fisiologis pasien.
b. Atropin, 1mg intravena,
dapat diberikan jika di
inginkan.
10 menit Kompresi dada, vassopresor Saat10 menit implikasi-hasil
yang terkait harus ditimbang
karena kelangsungan hidup
untuk melepaskan
menurun setelah titik ini tanpa
ROSC.
Tabel 2.1 Penatalaksanaan PEA dan Asistol (Brady, Monteleone, Sochor, &
OConnor, 2012)
2.1.2 Konsep Pre-Hospital Cardiac Arrest
1. Rantai Kehidupan
Suksesnya Resusitasi akibat cardiac arrest membutuhkan
serangkaian tindakan terpadu yang terkoordinasi. Sistem darurat
yang efektif dapat menggunakan mata rantai tersebut dan mencapai
kesuksesan hingga muncul VF Cardiac Arrest hampir 50%.Setiap
mata rantai saling berhubungan, dan keberhasilan setiap mata rantai
tergantung pada efektifitas tindakan sebelumnya (Travers, et al.,
2010)
Rantai kehidupan (chain of survival) di bagi menjadi 2 yaitu
HCA (Hospital Cardiac Arrest) yaitu cardiac arrest yang terjadi di
rumah sakit dan OHCA (Out Hospital Cardiac Arrest) yaitu Cardiac
Arrest yang terjadi di luar rumah sakit yang terdiri dari beberapa
tahap berikut ini yaitu :
a. HCA (Hospital Cardiac Arrest)
1) Melakukan pengawasan dan pencegahan
2) Mengenali tanda-tanda Cardiac Arrest dan segera
mengaktifkan sistem tanggap darurat
3) Segera melakukan CPR yang berkualitas tinggi
4) Segera melakukan defibrilasi
5) Segera memberikan bantuan hidup lanjutan dan perawatan
pasca-serangan jantung (Hazinski, et al., 2015)
Gambar 2.7 Rantai Kehidupan HCA (Hospital Cardiac Arrest)
b. OHCA (Out Hospital Cardiac Arrest)
1) Mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera
mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical
Services)
2) Segera melakukan CPR dengan tindakan utama kompresi
dada
3) Segera melakukan defibrilasi
4) Segera diberikan layanan medis darurat dasar dan lanjutan
5) Segera memberikan bantuan hidup lanjutan dan perawatan
pasca-serangan jantung (Hazinski, et al., 2015)
Gambar 2.8 Rantai Kehidupan OHCA (Out Hospital Cardiac

Arrest)

2. Pengertian CPR (Cardiopulmonary Resucitation)


Cardiopulmonary Resucitation (CPR) adalah serangkaian
tindakan pertolongan yang bertujuan meningkatkan kesempatan
untuk bertahan hidup dari serangan jantung. Meskipun faktor yang
mempengaruhi CPR bervariasi, tergantung pada penolong, korban
dan sumber daya yang tersedia, namun tantangan yang mendasar
tetap ada yaitu bagaimana mendapatkannya dengan cepat dan CPR
yang efektif (Travers, et al., 2010).
Sedangkan menurut Arrhythmia Alliance tahun 2011 CPR adalah
tindakan sementara yang digunakan untuk meneruskan pasokan
oksigen ke otak dan organ tubuh lainnya.

3. Fase-fase CPR
Fase-fase Resusitasi Jantung Paru sesuai Algoritma AHA (2010)
adalah :
a. Fase I : Tinjauan Hidup Dasar (Basic Life Support)
1) C (Circulation)
Penelitian telah menunjukkan bahwa diantara penolong
awam dan pemberi perawatan susah menemukan nadi.
Pemberi perawatan juga mungkin membutuhkan waktu yang
cukup panjang untuk memeriksa denyut nadi.
a) Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi dan
harus mengansumsikan bahwa cardiac arrest terjadi jika
orang dewasa tiba-tiba mengalami kolaps atau korban
tidak sadar dan tidak bernafas normal.
b) Penyedia layanan kesehatan harus memeriksa nadi tidak
lebih dari 10 detik, jika penolong tidak merasa yakin
menemukan nadi dalam waktu tersebut, penyelamat
harus mulai kompresi dada.
Mengkaji nadi/tanda sirkulasi : ada tidaknya denyut
jantung korban dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis
di daerah leher korban, dengan dua atau tiga jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan
leher sehingga teraba trachea, kemudian kedua jari digeser ke
bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1-2 cm raba dengan
lembut selama 5-10 detik. Jika teraba denyutan nadi,
penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban
dengan melakukan maneuver tengadah kepala topang dagu
untuk menilai pernapasan korban. Jika tidak bernafas lakukan
bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan
napas.
Melakukan kompresi dada : jika telah dipastikan tidak
ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan
sirkulasi atau kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik
sebagai berikut :
a) Menentukan titik kompresi (center of chest) : cari
prossesus xypoideus pada sternum dengan tangan kanan,
letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas prosseus
xypoideus.
b) Melakukan kompresi dada dengan kaitkan kedua jari
tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku
dan pastikan mereka terkunci pada posisinya, posisikan
bahu tegak lurus diatas dada korban dan gunakan berat
badan anda untuk menekan dada korban
Penolong harus fokus terhadap pemberian high-quality
CPR yaitu :
a) Memberikan penekanan pada dada dengan kecepatan
yang adekuat (100-120/menit)
b) Memberikan penekanan pada dada dengan kedalaman
yang adekuat
1. Dewasa : minimal 2 inci (5 cm) tidak boleh lebih dari
2,4 inci (6 cm)
2. Bayi dan anak-anak : kedalaman kompresi setidaknya
sepertiga anterior-posterior (AP) dari diameter dada
atau sekitar 1,5 inci (4 cm) pada bayi dan sekitar 2
inci (5 cm) pada anak-anak
3. Memungkinkan pengembangan dada lengkap setelah
setiap kali kompresi
4. Minimalkan interupsi saat kompresi
5. Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

Jika terdapat penolong yang lebih dari satu, mereka harus


berbagi tugas atau bergantian kompresi setiap 2 menit.
Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian periksa nadi
carotis, bila nadi belum ada lanjutan CPR 5 siklus lagi. Bila
nadi teraba, lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas)
lakukan rescue breathing dan cek nadi tiap 2 menit.
2) A (Airway)
Buka jalan nafas ( dengan head tilt-chin lift atau jaw
thrust) diikuti dengan pemberian pernafasan oleh penolong
dapat memperbaiki oxygenasi dan ventilasi. Namun, manuver
ini dapat menantang secara teknis dan memerlukan interupsi
saat kompresi dada, terutama untuk penolong tunggal yang
belum terlatih. Dengan demikian penolong yang terlatih akan
memberikan Hands-Only (hanya kompresi saja) CPR
(kompresi tanpa ventilasi), dan untuk penolong tunggal yang
terampil harus dapat membuka jalan nafas dan memberikan
bantuan pernafasan dengan kompresi dada. Ventilasi harus
disediakan jika korban mempunyai kemungkinan tinggi
terkena asphyxia ( misalnya : bayi, anak, atau korban
tenggelam).
Setelah memberikan alat bantuan jalan napas, kemudian
diberikan ventilasi 1 kali napas setiap 6 detik (10
napas/menit) dan compresi dada dapat terkirim tanpa intrupsi.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, perubahan yang
terjadi pada pedoman ini adalah untuk merekomendasikan
melakukan kompresi dada sebelum ventilasi (CAB bukan
ABC). Perubahan ini menunjukkan bukti bahwa pentingnya
penekanan dada dan kenyataannya bahwa menyiapkan alat
bantu nafas membutuhkan waktu. Pola piker ini bias terjadi
bahkan ketika terdapat lebih dari satu penolong jalan nafas
dan bernafas dilakukan sebelum ventilasi begitu mendarah
daging di banyak penolong. CAB membantu memperjelas
bahwa manuver jalan nafas harus dilakukan secara cepat dan
efisien sehingga gangguan dalam kompresi dada akan
minimal dan kompresi dada harus menjadi prioritas di
resusitasi pada dewasa.
3) B (Breathing)
Setelah kompresi dada telah dimulai, penolong yang
terlatih harus memberikan rescue breathing dari mulut ke
mulut atau bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan
ventilasi, sebagai berikut :
a) Memberikan setiap rescue breath lebih dari 1 detik
b) Memberikan volume tidal yang cukup untuk
menghasilkan pengembangan dada
c) Gunakan kompresi dan ventilasi dengan rasio 30
kompresi dada dan 2 ventilasi
Penelitian pada orang dewasa yang dibius (dengan perfusi
normal) menunjukkan bahwa volume tidal 8 10 ml/kg
dengan mempertahankan oksigenasi dan pengeluaran CO2
yang normal.Selama CPR, cardiac outputnya adalah 25 % -
33 % dari normal, sehingga penyerapan oksigen dari paru-
paru dan pengiriman CO2 ke paru-paru juga menurun.
Akibatnya, ventilasi yang rendah (lebih rendah dari volume
tidal yang normal dan kecepatan pernafasan) dapat
mempertahankan efektifitas oksigenasi dan ventilasi.
Demikianlah alasannya selama dilakukan CPR pada orang
dewasa volume tidalnya sekitar 500 600 ml (6 7 ml/kg)
harus cukup. Hal ini sesuai dengan tidal volume yang
dihasilkan saat terjadi pengembangan dada.
Pasien dengan obstruksi jalan nafas atau penyakit paru
yang buruk mungkin memerlukan tekanan tinggi dengan
ventilasi yang sewajarnya (sampai dada tampak
mengembang). Dengan memberikan tekanan menggunakan
bag mask yang berkatup mungkin akan mencegah pengiriman
volume tidal yang cukup kepada pasien. Pastian bahwa
perlengkapan bag-mask sudah terlepas dengan katubnya dan
gunakan tekanan tinggi, jika perlu, untuk mencapai ekspansi
dada yang maksimal.
Tidak perlu memberikan ventilasi yang berlebihan karena
akan menyebabkan lambung terpompa dan komplikasi akan
terjadi, seperti regurgitasi dan aspirasi. Penting juga, ventiasi
yang berlebihan akan berbahaya karena meningkatkan
tekanan pada intratoraks, menurunkan venous return yang
menuju ke jantung dan mengurangi cardiac output dan
kelangsungan hidup. Cara memberikan bantuan pernapasan :
a) Mouth to Mouth rescue breathing
Bantuan pernafasan dari mulut ke mulut
menyediakan oksigen dan ventilasi untuk korban. Untuk
pemberian bantuan pernafasan dari mulut ke mulut, buka
jalan nafas korban, pencet hidung korban, dan buat kedap
udara antara mulut ke mulut. Berikan 1 kali nafas lebih
dari satu detik, ambil nafas regular (bukan nafas
dalam), dan berikan nafas kedua lebih dari satu detik.
Mengambil nafas biasa dari pada nafas dalam mencegah
penolong menjadi pusing dan membuat pompaan yang
kuat pada paru-paru korban. Penyebab paling umum
adalah kesulitan ventilasi adalah karena membuka jalan
nafas yang tidak benar, jadi jika dada korban tidak
mengembang saat dilakukan rescue breathing yang
pertama, reposisikan kepala dengan melakukan head tilt-
chin lift lagi dan kemudian berkan rescue breathing yang
kedua.
Jika terdapat korban dengan sirkulasi yang spontan
(yaitu kuat dan nasi mudah teraba) hanya memerlukan
ventilasi, penyedia layanan kesehatan harus memberikan
rescue breathing dengan 1 kali bernafas setiap 5 6 detik,
atau sekitar 10 12 x/menit.
b) Mouth to Barrier Devices Breathing
Beberapa penyedia layanan kesehatan dan penolong
awam yang mungkin masih merasa ragu melakukan
rescue breathing melalui mouth to mouth dan lebih suka
menggunakan alat barrier. Resiko penularan penyakit
ventilasi dari mulut ke mulut sangat rendah, dan masuk
akal untuk memulai rescue breathing dengan atau tanpa
menggunakan alat barrier.Ketika menggunakan alat
barrier, penolong tidak boleh menunda pemberian
kompresi dada ketika mengatur alat.
c) Mouth to nose dan Mouth to Stoma Ventilation
Vetilasi dari mulut ke hidung dianjurkan jika
ventilasi melalui mulut korban tidak memungkinkan
(misalnya jika mulut korban mengalami perlukaan yang
serius), mulut tidak dapat membuka, korban dalam air,
atau hubungan dari mulut ke mulut susah untuk dicapai.
Serangkaian kasus menunjukkan bahwa ventilasi melalui
mulut ke hidung pada orang dewasa sangat mudah
dilakukan, aman, dan efektif.
Memberikan rescue breathing melalui mulut ke
stoma untuk korban dengan trakeastoma yang
membutuhkan bantuan pernafasan. Tidak ada bukti yang
diterbitkan untuk keamanan, efektifitas, atau
kemungkinan dilakukan jika ventilasi dari mulut ke
stoma.
d) Ventilasi dengan Bag dan Mask
Penolong dapat memberikan ventilasi menggunakan
bag-mask yang penuh udara atau oksigen. Ventilasi
menggunakan alat bag-maskakan memberikan tekanan
positif tanpa alat bantu jalan nafas; oleh karena itu bag-
mask mungkin menginflasi lambung dan membuat
komplikasi.
Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak ada
kontraindikasi untuk mencegah kemungkinan jalan nafas
tersumbat oleh lidah, lender, atau muntah, berikan posisi
recovery pada korban.Recovery position di gunakan untuk
korban dewasa yang tidak sadar yang memiliki
pernafasan yang normal dan sirkulasi yang efektif. Posisi
ini dirancang untuk mempertahankan jalan nafas yang
paten dan mengurangi resiko obstruksi jalan nafas dan
aspirasi. Korban dimiringkan dengan lengan bawah
diletakkan dibawah tubuh.
Ada beberapa variasi dari recovery position,
masing-masing mempunyai keunggulan tersendiri.Tidak
ada satu posisi yang sempurna untuk semua korban.
Posisi harus stabil, dekat dengan posisi lateral, dengan
kepala dependent tanpa tekanan pada dada yang dapat
mengganggu pernafasan. Penelitian yang dilakukan oleh
relawan menunjukkan bahwa memperpanjang lengan
bawah diatas kepala, dan menggulingkan kepala ke
lengan dengan menekuk kedua kaki, mungkin layak bagi
korban yang dicurigai dengan cedera tulang belakang.
b. Fase II : Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support)
Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah tunjangan
hidup dasar (Basic Life Support) berhasil diberikan. Fase ini
terdiri dari :
1) D (Drug) : pemberian obat-obatan termasuk cairan untuk
memperbaiki kondisi korban.
2) E (EKG) : Melakukan pemeriksaan diagnosis
elektrokardiografi secepat mungkin untuk mengetahui
fibrilasi ventrikel.
c. Fase III : Tunjangan Hidup Terus Menerus (Prolonged Life
Support)
1) G (Gauge) : pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus-menerus, dinilai, dicari penyebabnya
dan kemudian mengobatinya.
2) H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya
gangguan neurologic yang permanen
3) I (Intensive Care) : perawatan intensife di ICU, meliputi :
tunjangan ventilasi (trakheostomi), pernafasan dikontrol terus
menerus, sonde lambung.

4. Komponen CPR

Komponen Dewasa dan Anak Anak-Anak (Usia 1 Bayi (Usia Kurang


Remaja Tahun hingga dari 1 Tahun, Tidak
Pubertas) Termasuk Bayi Baru
Lahir)
Keamanan lokasi Pastikan lingkungan telah aman untuk penolong dan korban
Pengenalan serangan Periksa adanya reaksi
jantung Napas terhenti atau tersengal (misalnya, napas tidak normal)
Tidak ada denyut yang terasa dalam 10 detik
(Pemeriksaan napas dan denyut dapat dilakukan secara bersamaan
kurang dari 10 detik)
Pengaktifan sistem Jika anda sendiri Korban terlihat jatuh pingsan ikuti
tanggapan darurat tanpa ponsel, langkah-langkah untuk orang dewasa dan
tinggalkan korban anak remaja di sebelah kiri
untuk mengaktifkan Korban tidak terlihat jatuh pingsan
sistem tanggap Berikan CPR selama 2 menit
darurat dan Tinggalkan korban untuk mengaktifkan
mengambil AED sistem tanggap darurat dan mengambil AED
sebelum memulai Kembali ke anak atau bayi dan lanjutkan
CPR CPR, gunakan AED segera setelah tersedia
Atau, kirim orang
lain untuk
melakukannya dan
mulai CPR
secepatnya, gunakan
AED segera setelah
tersedia
Rasio kompresi- 1 atau 2 penolong 1 penolong
ventilasi tanpa 30 : 2 30 : 2
saluran udara 2 penolong atau lebih
lanjutan 15 : 2
Rasio kompresi- Kompresi berkelanjutan pada kecepatan 100-120/min
ventilasi dengan Berikan 1 napas bantuan setiap 6 detik (10 napas buatan/min)
saluran udara
lanjutan
Kecepatan kompresi 100-120/min
Kedalaman kompresi Minimum 2 inci (5 Minimum sepertiga Minimum sepertiga
cm) tidak boleh lebih dari diameter AP dada dari diameter AP
dari 2,4 inci (6 cm) Sekitar 2 inci (5 cm) dada
Sekitar 1 inci (4
cm)
Penempatan tangan 2 tangan berada di 2 tangan atau 1 tangan 1 penolong
separuh bagian (opsional untuk anak 2 jari di bagian
bawah tulang dada yang sangat (kecil) tengah dada, tepat di
(sternum) berada di separuh bawah baris putting
bagian bawah tulang 2 penolong atau
dada (sternum) lebih
2 tangan dengan ibu
jari bergerak
melingkar di bagian
tengah dada, tepat di
bawah baris puting
Recoil dada Lakukan recoil penuh dada setelah setiap kali kompresi, jangan
bertumpu di atas dada setelah setiap kali kompresi
Meminimalkan Batasi gangguan dalam kompresi dada menjadi kurang dari 10 detik
gangguan
Tabel 2.2 Komponen Cardiopulmonary Resusitation (American Heart Association, 2015)
5. Algoritma Pre-Hospital Cardiac Arrest
(Terlampir)
Urutan BLS terdiri dari tindakan berikut menurut Resuctation
Council (UK) 2010 :
a. Pastikan korban, beberapa saksi, dan anda aman
b. Cek respon korban
1) Cek respon dengan menepuk bahunya dan bertanya, apakah
anda baik-baik saja ?
c. Jika korban berespon :
1) Biarkan korban dalam posisi di mana anda menemukannya
asalkan tidak ada lagi bahaya.
2) Cobalah untuk mencari tahu apa yang terjadi pada korban
dan mendapatkan bantuan jika diperlukan
3) Menilai ulang secara menyeluruh
b. Jika korban tidak berespon
1) Berteriak minta tolong
2) Letakkan korban dalam posisi telentang dan kemudian buka
jalan napas dengan menggunakan head tilt chin lift :
a) Letakkan tangan Anda pada dahinya dan dengan lembut
menarik kepalanya ke belakang
b) Dengan ujung jari Anda di bawah titik dagu korban,
menekan dagu untuk membuka jalan napas.
c. Menjaga jalan napas tetap terbuka dan lihat pernafasannya
Dalam beberapa menit pertama setelah serangan jantung,
korban mungkin bisa bernapas, atau berisik, terengah-engah.Ini
sering disebut dngan pernapasan agonal dan tidak boleh bingung
dengan bernapas normal. Jika Anda memiliki keraguan apakah
bernapas normal, bertindak seolah-olah itu tidak normal.
1) Jika korban bernafas normal :
a) Ubah posisi korban menjadi recovery position
b) Memanggil bantuan layanan ambulans. Jika hal ini tidak
mungkin, mintalah bantuan dari saksi. Jangan
meninggalkan korban kecuali jika ada cara lain untuk
mendapatkan bantuan.
c) Terus menilai pernapasan tetap normal. Jika ada
keraguan tentang pernapas normal, mulai CPR.
2) Jika korban tidak bernafas secara normal :
a) Meminta seseorang untuk memanggil ambulan dan
membawa AED jika tersedia. Jika Anda sendirian,
gunakanlah ponsel Anda untuk memanggil ambulans.
Meninggalkan korban hanya ketika ada pilihan lain yang
ada untuk mendapatkan bantuan.
b) Mulai lakukan kompesi dada :
1. Berlututlah disisi korban
2. Tempatkan tumit satu tangan di pusat dada korban
(setengah dari sternum bawah korban (tulang dada))
3. Tempatkan satu tumit tangan yang lain di atas tangan
pertama
4. Kunci jari-jari tangan anda dan pastikan tekanan
yang tidak terlalu kuat di atas rusuk korban. Jangan
menerapkan tekanan apapun di atas perut bagian atas
atau bagian bawah sternum.
5. Posisi diri anda secara vertikal di atas dada korban,
dan dengan lengan lurus, tekan ke bawah pada tulang
dada 5-6 cm.
6. Setelah setiap kompresi, lepaskan semua tekanan
pada dada tanpa kehilangan kontak antara tangan
anda dan tulang dada. Ulangi pada tingkat 100 - 120
menit
7. Kompresi dan saat istirahat harus dalam waktu yang
sama
d. Menggabungkan kompresi dada dengan bantuan pernafasan
1) Setelah melakukan kompresi 30 kali, buka jalan nafas lagi
menggunakan head tilt chin lift
2) Mencubit dan menutup dengan lembut hidung korban,
menggunakan jari telunjuk dan jempol tangan anda pada
dahinya.
3) Memungkinkan mulut untuk tetap membuka, dan
mempertahankan posisi dagu terangkat
4) Mengambil napas normal dan tempatkan bibir anda di
sekitar mulutnya, pastikan bahwa mulut anda rapat.
5) Meniup terus ke dalam mulutnya sambil melihat
pengembangan dadanya; meniup sekitar satu detik untuk
membuat dadanya naik seperti bernapas normal
6) Pertahankan head tilt chin lift, lepaskan mulut anda dari
korban dan lihat pengembangan dadanya turun
7) Mengambil napas normal lagi dan meniup ke dalam mulut
korban sekali lagi untuk memberikan total dua bantuan
pernafasan yang efektif. Napas dua tidak boleh lebih dari 5
siklus. Kemudian kembali tangan Anda tanpa penundaan ke
posisi yang benar pada tulang dada dan memberikan lebih
lanjut 30 kompresi dada.
8) Lanjutkan dengan kompresi dada dan bantuan pernapasan
dalam rasio 30: 2.
9) Berhenti untuk memeriksa korban hanya jika ia mulai
menunjukkan tanda-tanda kesadarannya kembali, seperti
batuk, membukan mata, berbicara, atau bergerak sengaja dan
mulai bernapas normal; jika tidak jangan mengganggu
resusitasi.
Jika bantuan pernafasan tidak membuat dada naik seperti
bernapas normal, lakukan upaya berikut ini :
1) Memeriksa mulut korban dan mengambil benda asing jika
terlihat
2) Posisikan head tilt chin lift
3) Jangan mencoba lebih dari dua bantuan nafas sebelum
kompresi dada
Jika ada lebih dari satu penolong datang, yang lain harus
mengambil alih CPR setiap 1-2 menit untuk mencegah
kelelahan. Menjamin keterlambatan secara minimum setiap
pergantian penyelamatan, dan tidak mengganggu kompresi
dada.
e. Hanya Kompresi CPR
1) Jika Anda tidak terlatih, atau tidak mau memberikan bantuan
pernafasan, maka berikan kompresi saja
2) Jika hanya memberikan kompresi dada, maka lakukan terus-
menerus selama 100-120 menit.
3) Berhenti untuk memeriksa korban hanya jika ia mulai
menunjukkan tanda-tanda kesadarannya kembali, seperti
batuk, membukan mata, berbicara, atau bergerak sengaja dan
mulai bernapas normal; jika tidak jangan mengganggu
resusitasi.
f. Lanjutkan resusitasi sampai :
1) Bantuan tiba dan mengambil alih.
2) Korban mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran kembali,
seperti batuk, membuka mata, berbicara, atau bergerak
sengaja dan mulai bernapas normal.
3) Penolong sudah lelah
6. Alat CPR Mekanik
a. Piston chest compressions
Perangkat mekanik awal otomatis menggunakan sebuah
piston pneumatik untuk melaksanakan kompresi dada eksternal
pada tingkat tertentu, kedalaman kompresi, dan siklus (persen
kompresi waktu diadakan selama setiap siklus). Piston berada di
akhir lengan yang membentang di atas dada pasien, dan
didasarkan pada papan yang menyediakan permukaan kuat di
bawah punggung pasien. Selain itu, suatu rangkaian ventilasi
dapat diintegrasikan ke dalam perangkat, yang memungkinkan
CPR terus menerus berdasarkan masukan operator minimal
begitu perangkat sudah diatur. Meskipun ada beberapa perbedaan
antara kompresi eksternal mekanik dan manual dalam perjalanan
waktu penggunaan kekuatan yang dapat mempengaruhi
hemodinamik, penelitian kecil telah menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam kelangsungan hidup menggunakan dua teknik,
dan juga telah menunjukkan manfaat hemodinamik kecil untuk
CPR dilakukan oleh piston pneumatic (Halperin & Carver, 2010)
Trauma adalah komplikasi utama dari piston CPR.Insiden
yang dilaporkan dari piston CPR trauma dapat sebanyak 65%.
Meskipun sejumlah besar trauma, bagaimanapun, efek
merugikan dari trauma yang tidak jelas, karena sebagian besar
penelitian tentang kejadian trauma-CPR yang terkait telah
difokuskan pada bukan-korban yang selamat dari CPR, yang
mungkin telah meninggal bahkan jika tidak ada trauma yang
terjadi. Sistem piston telah dimodifikasi untuk melakukan
kompresi dada secara bersamaan dengan ventilasi tekanan tinggi
(60-100 cm H20). Sistem ini bernama kompresi simultan dan
Ventilasi CPR (SCV-CPR). Dalam penelitian kemanusiaan SCV-
CPR, tidak ada manfaat hemodinamik konsisten dilaporkan
untuk SCV-CPR.Selain itu, percobaan klinis utama SCV-CPR
digunakan selama serangan jantung luar-rumah sakit tidak
menunjukkan manfaat bagi pasien yang diobati dengan SCV-
CPR, dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan CPR
standar. Itu percobaan belakangan ini dikritik, namun, untuk
potensi yang dimilikinya untuk menambahkan Bias, karena kru
ambulans, daripada pasien, dibagi secara acak. Karena kurangnya
manfaat resusitasi hidup yang signifikan dalam penelitian
apapun, ada penelitian aktif yang kecil pada teknik ini (Halperin
& Carver, 2010)

Gambar 2.9 Piston chest compressions


b. Autopulse loaddistributing band (LDB)CPR
Sebuah perangkat diperbaiki, didasarkan pada
elektromekanik yang digerakkan yang di distribusikan beban
yang mengkompresi di atas seluruh dada anterior (load
distributing Band - LDB) kemudian dikembangkan (Halperin &
Carver, 2010)
Uji coba awal dengan LDB CPR menunjukkan perbaikan
hemodinamik, dengan tekanan perfusi koroner dinaikkan di atas
tingkat umumnya terkait dengan peningkatan kelangsungan
hidup, serta peningkatan survival kedatangan di gawat darurat,
jika dibandingkan dengan CPR manual (Halperin & Carver,
2010)
Prospektif percobaan (ASPIRE) membandingkan hasil
resusitasi berikut dari rumah sakit serangan jantung ketika alat
LDB-CPR otomatis ditambahkan ke layanan medis darurat
standar (EMS) perawatan dengan CPR manual. Percobaan
termasuk 5 pusat dan terdaftar 1.071 pasien. Blok pengacakan
yang dilakukan di mana kru EMS tertentu akan melakukan salah
satu LCD-CPR atau CPR manual pada jumlah tertentu pasien
(ukuran blok), kemudian melakukan jenis lain di blok pasien
berikutnya.Selain itu, kru memiliki kebijakan dari perlu tidaknya
mendaftarkan pasien khusus. Point akhir utama adalah
kelangsungan hidup sampai 4 jam setelah panggilan 911. Setelah
pemantauan sementara yang direncanakan lebih dulu dilakukan
oleh data independen dan badan pemantauan keamanan,
pendaftaran penelitian diakhiri. Tidak ada perbedaan ada dalam
titik akhir utama dari kelangsungan hidup sampai 4 jam
(Halperin & Carver, 2010)
7. Pre-Hospital Advanced Airway
a. Orofaringeal Tube
Orofaringeal atau Guedel airway adalah tabung dari plastik
yang berbentuk melengkung; flens dan diperkuat pada akhir oral
dengan meratakan bentuk untuk memastikan bahwa itu cocok
dan rapi antara lidah dan langit-langit mulut.Ini tersedia dalam
ukuran yang sesuai untuk orang dewasa kecil dan besar. Untuk
mencari ukuran yang diperlukan dapat diperoleh dengan cara
menyesuaikan panjang jalan nafas dengan jarak vertical antara
gigi seri pasien dan sudut rahang. Ukuran paling umum yang
sering digunakan adalah 2, 3, dan 4 masing-masing untuk ukuran
kecil, sedang, dan besar. Ukuran orofaringeal tube yang sedikit
terlalu besar akan lebih menguntungkan dari pada ukuran yang
terlalu kecil (Nolan, et al., 2011)
Selama memasukkan orofaringeal tube, lidah kadang-
kadang dapat mendorong mundur, sehingga akan memperburuk
obstruksi. Penggunaan orofaringeal tube diberikan pada pasien
yang tidak sadar; muntah atau spasme laring akan terjadi jika
terdapat reflex glossofaringeal (Nolan, et al., 2011)
b. Nasofaringeal Tube
Ini terbuat dari plastik lunak dan lembut, miring pada salah
satu ujungnya dan dengan mengarah pada yang lain. Pada pasien
yang tidak sadar, itu lebih baik dari pada orofaringeal
tube.Mungkin dapat digunakan pada pasien yang rahangnya
terkatup, trismus atau cedera rahang (Nolan, et al., 2011)
Ukuran yang sesuai untuk orang dewasa adalah 6-7 mm.
penempatan yang salah dapat menyebabkan kerusakan pada
lapisan mukosa hidung, mengakibatkan perdarahan pada 30%
kasus.Jika penggunaan tube terlalu lama dapat merangsang laring
atau reflek glossofaringeal untuk menghasilkan laringo spasme
dan muntah (Nolan, et al., 2011)
c. Combitube
Indikasi untuk pemakaian dari Combitube adalah untuk
pasien yang tidak mungkin atau tidak adanya intubasi
endotrakeal, pasien harus tidak sadar. Kontraindikasi untuk
Combutube adalah pasien sadar (terdapat gag reflex), menderita
penyakit pada daerah esophageal atau sirosis, keracunan, terdapat
benda asing di trakea, mempunyai riwayat trauma atau injury
pada daerah esophageal, terdapat tracheostomy atau
laryngectomy, dan dicurigai overdosis narkotik atau menderita
hypoglycemi sebelumnya (Marks, Lashutka, & Seitz, 2012)
d. LMA (Laryngeal Mask Airway)
Laryngeal Mask Airway adalah yang sering digunakan untuk
pasien tidak sadar tanpa reflex gag yang dengan respitarory
arrest dan atau respiratory insufficiency ketika intubasi
endotrakeal tidak bisa berhasil. LMA menunjukkan adekuat
selama henti jantung. Kontraindikasi untuk pemakaian LMA
adalah pasien yang sadar (dengan gag reflex), mengandung lebih
dari 14-16 minggu, pasien dengan injury multiple atau massif,
injury thorak masiv, trauma maxillofacial masiv, dan pasien
dengan resiko aspirasi (Marks, Lashutka, & Seitz, 2012)
e. King Airway
Indikasi untuk pemakaian King Airway adalah Pasien tidak
sadar tanpa refleks muntah, yang membutuhkan bantuan ventilasi
ketika intubasi endotrakeal tidak dapat dilakukan.
Kontraindikasinya untuk pasien yang responsive (Adanya reflek
muntah), pasien dengan penyakit esofagus yang telah diketahui
(Varises), pasien yang telah tertelan zat racun, adanya
trakeostomi atau laryngectomy dan diduga overdosis narkotika
atau hipoglikemia sebelum pemberian Narcan dan / atau D50
(Marks, Lashutka, & Seitz, 2012)
8. AED (automated external defibrillators)
Automated External Defibrillatorsatau AED adalah perangkat
portabe yang ringan yang memberikan sengatan listrik melalui dada
ke jantung.Shock bisa menghentikan irama jantung yang tidak teratur
dan memungkinkan irama normal untuk melanjutkan serangan
jantung mendadak. Cardiac arrest adalah hilangnya tiba-tiba fungsi
jantung.Jika tidak diobati dalam beberapa menit, dengan cepat dapat
menyebabkan kematian (American Hearth Association, 2015)
Kebanyakan cardiac arrest akibat dari fentrikel vibrilasi.Ini
merupakan irama jantung yang cepat dan tidak sinkron mulai pompa
jantung dari ventrike. Jantung harus difibrilasi dengan cepat, karena
kesempatan korban bertahan adalah 7-10 persen untu setiap satu
menit detak jantung normal yang tidak kembali (American Hearth
Association, 2015)
Automated External Defibrillatorsatau AED memungkinkan bagi
lebih banyak orang untuk menanggapi keadaan darurat medis di
mana defibrilasi diperlukan. Karena AED yang portabel, dapat
digunakan oleh orang nonmedis. Mereka dapat menjadi bagian dari
program respon darurat yang juga termasuk penggunaan cepat dari 9-
1-1 dan pelayanan yang cepat dari CPR.Ketiga kegiatan tersebut
sangat penting untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari
serangan jantung (American Hearth Association, 2015)
9. Algoritma AED
(Terlampir)
Berikut ini adalah urutan tindakan bila menggunakan AED
menurut Resuscitation Council (UK), 2010 yaitu :
a. Ikuti urutan BLS dewasa. Jangan menunda memulai CPR kecuali
AED tersedia dengan segera.

b. Begitu AD datang :
1) Jika terdapat lebih dari satu penolong, lanjutkan CPR
sementara AED diaktifkan. Jika Anda sendirian, berhenti
CPR dan beralih pada AED.
2) Ikuti suara / petunjuknya visual.
3) Pasang bantalan elektroda pada dada pasien yang telanjang.
4) Pastikan bahwa tidak ada yang menyentuh korban saat AED
menganalisis ritme.
c. Jika shock diindikasikan :
1) Pastikan bahwa tidak ada yang menyentuh korban.
2) Tekan tombol shock seperti yang diarahkan (AED akan
memberikan shock secara otomatis).
3) Lanjutkan seperti yang diarahkan oleh suara / petunjuk
visual.
4) Meminimalkan, sejauh mungkin, gangguan dalam kompresi
dada.
d. Jika tidak ada shock yang diindikasikan :
1) Lanjutkan CPR segera menggunakan rasio kompresi 30
dengan 2 ventilasi
2) Lanjutkan seperti yang diarahkan oleh suara / petunjuk
visual.
e. Lanjutkan untuk mengikuti petunjuk AED sampai:
1) Bantuan yang berkualitas datang dan mengambil alih OR
2) Korban mulai menunjukkan mendapatkan kembali tanda-
tanda kesadaran, seperti batuk, membuka matanya, berbicara,
atau bergerak sengaja dan mulai bernapas normal OR

2.2 KONSEP EMERGENCY MEDICAL SERVICES (EMS)


2.2.1 Pengertian Emergency Medical Services (EMS)
Emergency Medical Services merupakan jasa yang menanggapi
keadaan darurat rutin setiap hari, seperti kendaraan bermotor yang
digunakan untuk orang sakit dan serangan jantung, dan memberikan
evaluasi medis, perawatan medis segera, dan fasilitas transportasi cepat
untuk medis. Mereka juga berperan penting dalam respon bencana.
Namun EMS tidak menerima pengakuan yang sama dan dukungan dari
pemimpin sebagai layanan seperti lainnya seperti penegak hukum dan
pemadam kebakaran (M, Mitchell, J, J, & D, 2014). Hal penting dalam
pelayanan emergensi pra-hospital dikenal dengan The Golden Time,
berdasarkan pengamatan pada pasien yang dapat selamat dari situasi
emergensi adalah pasien yang tiba di rumah sakitdan memperoleh
perawatan lanjutan dalam waktu satu jam memiliki kesempatan hidup
lebih besar daripadapasien yang terlambat tiba di rumah sakit
(Oktaviani, Sanjaya, & Hasanbasri, 2013).
2.2.2 Sejarah Emegency Medical Services
Pada waktu itu, fase pra rumah sakit di USA di kembangkanlah
perusahaan perusahaan pelayanan ambulance. Pada tahun 1990
Amerika Serikat menyadari kesalahan ini dan mengubah system PPGD
menjadi INCLUSIVE SYSTEM. System ini menjamin bahwa semua
korban gawat darurat agar dapat mendapat pelayanan dan
penanggulangan yang optimum pada fasilitas yang sesuai dengan berat
cederanya. System ini memanfaatkan semua sarana pra RS dan UGD
yang ada di kota atau daerah yang menjadi satu kesatuan secara terpadu.
Sejak tahun 1990-an, pada fase pra-rumah sakit semua ambulance
gawat darurat dihimpun di bawah satu system di Amerika serikat adalah
119 sedangkan di Jakarta diinisiasi oleh ambulan 118 dan 119
(Sudiharto & Sartono, 2011)

2.2.3 Golden Time Emergency Medical Services


Ambulan gawat darurat idealnyan harus mampu tiba di tempat
korban dalam waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian.
Kematian dapat terjadi karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti
jantung, dan perdarahan masif . Ambulan gawat darurat memiliki
personil yang mampu melakukan Pre Hospital Cardiac Life Support
(PHCLS) dan Pre Hospital Trauma Life Support (PHTLS) serta
masalah gawat darurat lainya (Sudiharto & Sartono, 2011)
Efektifitas response time bergantung pada tiga komponen, yaitu
waktu pemrosesan panggilan, waktu yang dipergunakan tim di ambulan
untuk bersiap danwaktu perjalanan ke lokasi kejadian. Response time
dapat lebih lama karena komunikasi yang buruk,sumber daya tidak
terlatih, dan kemacetan lalu lintas di jalan utama kota besar (Sudiharto
& Sartono, 2011)
Di negara-negara Eropa dan Amerika, pelayanan panggilan gawat
darurat dilakukan oleh unit khususyang dinamakan Emergency
Management Services (EMS). EMS bertugas melakukan pertolongan
pertama yangtepat dan melakukan evakuasi ke fasilitas pelayanan
kesehatan dengan tujuan mencegah kematian,mengurangi rasa sakit,
dan mencegah terjadinya kecacatan yang seharusnya dapat dihindari.
Pelayananemergensi terintegrasi dengan pemadam kebakaran dan
kepolisian. Negara-negara tersebut menyediakansatu nomor telepon
khusus (call center) yang dihubungi saat kejadian emergensi. Semua
telepon yang berhubungan dengan kejadian emergensi masuk ke pusat
informasi, permintaan ambulan akanditransfer ke pusat pengiriman
ambulan. Petugas yang berada di ambulan yang dikirim akan menilai
tingkatkeparahan kasus emergensi dan memberikan pertolongan
pertama (Sudiharto & Sartono, 2011)
Di Indonesia, pelayanan emergensi pra-hospital yang terintegrasi
dirintis pada awal tahun 1990-an dengan mengembangkan 118
Emergency Ambulance Service oleh Ikatan Dokter Bedah Indonesia.
Pada awalnya,di lima kota besar yaitu, Jakarta, Palembang,Yogyakarta,
Surabaya, dan Makassar kemudian dikembangkan di Malang, Denpasar,
dan Medan. Namun layanan emergensi pra-hospital ini belum
memperolah alokasi anggaran dana yang tetap dari pemerintah hingga
biaya dibebankan pada penggunaan layanan (Sudiharto & Sartono,
2011)
2.2.4 Aktivasi Sistem Tanggap Darurat Korban Cardiac Arrest
Dispatch medis darurat merupakan komponen integral dari respon
EMS. Saksi harus dengan cepat memanggil atau menghubungi nomor
darurat lokal mereka untuk memulai melaporkan kapan mereka
menemukan korban yang tidak sadar. Karena dispatcher akan
menginstruksikan saksi untuk melakukan CPR secara substansial yang
akan meningkatkan kelangsungan hidup dari cardiac arrest, semua
dispatcher harus terlatih untuk memberikan petunjuk CPR melalui
telepon (Berg, et al., 2010)
Ketika dispatcher meminta saksi untuk menentukan jika napas
tidak ada, saksi sering salah menafsirkan pernapasan agonal atau
pernapasan yang tidak normal sebagai pernapasan yang normal.
Informasi yang salah dapat mengakibatkan kesalahan oleh dispatcher
911 untuk menginstruksikan saksi untuk memulai CPR untuk korban
cardiac arrest. Untuk membantu saksi mengenali cardiac arrest,
dispatcher harus menanyakan korban tidak sadar dan kualitas
pernapasannya (normal atau tidak normal). Dispatcher harus
memberikan pendidikan yang rinci tentang pengenalan terhadap nafas
yang tidak normal, seperti pernafan gasping dan cardiac arrest.
Terutama, dispatcher harus tahu laporan singkat tentang serangan umum
dan tanda gejala awal dari cardiac arrest. Dispatcher harus menyuruh
memulai melakukan CPR untuk korban tidak sadar yang tidak bernapas
secara normal karena sebagian besar merupakan cardiac arrest dan
frekuensi dari trauma yang mengenai dada frekuensinya sangat rendah.
Dispatcher harus juga memberikan instruksi CPR untuk membantu
bystanders memulai CPR ketika di duga cardiac arrest (Berg, et al.,
2010)
Aktivasi darurat yang cepat dan inisiasi CPR membutuhkan
pengenalan yang cepat dari cardiac arrest. Korban cardiac arrest tidak
akan berespons. Tidak ada pernafasan atau bernafas tidak normal.
Pernafasan yang agonal akan biasa di jumpai setelah muncul cardiac
arrest dan dapat menjadi binggung dengan nafas yang normal. Nadi
akan terdeteksi dengan sendirinya yang sering kali tidak dapat di
percaya, rata-rata jika dilakukan oleh penolong yang terlatih, dan itu
mungkin membutuhkan beberapa waktu. Akibatnya, tim penolong harus
mulai melakukan CPR segera jika korban tidak berespon dan tidak
bernafas atau tidak bernafas secara normal (hanya bernafas gasping).
Petunjuk yang menginstruksikan melihat, mendengar, dan merasakan
saat pemeriksaan pernafasan sekarang tidak lagi direkomendasikan
(Berg, et al., 2010)
Saat penolong tunggal menemukan korban dewasa yang tidak
sadar (misalnya, tidak ada pergerakan atau tidak berespon terhadap
stimulasi) atau para saksi menemukan pasien yang tiba-tiba kolaps,
setelah memastikan keadaannya aman, penolong harus memeriksa
respon dengan menepuk bahu korban dan memanggil korban.
Bystander yang terlatih atau tidak terlatih harus mengaktifkan sistem
tanggap darurat (misalnya, telephone 911). Jika korban tidak ada nafas
atau pernafasan yang abnormal (misalnya, pernafasan gasping),
penolong harus mengansumsikan bahwa korban mengalami cardiac
arrest. Penolong awam harus memanggil sistem tanggap darurat sejak
penolong menemukan korban yang tidak sadar. Setelah mengaktifkan
sistem tanggap darurat. Semua penolong harus dengan segera
melakukan CPR untuk korban dewasa yang tidak sadar dengan tidak
bernafas atau bernafas yang abnormal (nafas gasping) (Berg, et al.,
2010)
Ketika menghubungi 911 untuk meminta bantuan, penolong harus
menyiapkan jawaban dari pertanyaan dispatcher tentang lokasi
kejadian, peristiwa kejadian, jumlah dan kondisi korban, dan
pertolongan yang sudah diberikan. Jika penolong tidak pernah diajarkan
atau lupa bagaimana melakukan CPR, mereka juga harus mengikuti
instruksi dari dispatcher. Trakhir penolong jangan mematikan panggilan
kecuali jika di instruksikan oleh dispatcher (Berg, et al., 2010)
2.2.5 Komponen Emergency Medical Services
Komponen system medis darurat adalah sebuah system medis
darurat yang harus di hargai sebagai system peduli dengan komponen
terkait dan sering tergantung. Pra-Rumah sakit peduli ( termasuk
transportasi) dan perawatan di rumah sakit. Semua komponen harus
bekerja sama untuk membuat dampak yang melluas bagi kesehatan
populasi. Organisasi dan operasi perawatan pra- rumah sakit akan
bervariasi dari suatu Negara ke Negara, tetapi harus di hubungkan ke
fasilitas kesehatan.Ketika pra-rumah sakit angkutan tidak ada kematian
dapat di cegah. Mayoritas kematian obstetric mungkin termasuk dalam
kategori ini. Ketika kualitas perawatan di rumah sakit menurun akan
menyebabkan kematian, apabila hal ini terjadi pada pasien gangguan
cardiovaskuler. Berikut beberapa komponen pada Ambulance :
1. Perawatan pra-rumah sakit
Perawatan pra-rumah sakit adalah perawatan yang di berikan di
masyarakat (dirumah, disekolah, tempat kerja atau tempat rekreasi)
sampai pasien tiba di fasilitas perawatan kesehatan formal mampu
memberikan defenitif peduli. Perawatan pra-rumah sakit harus terdiri
strategi dasar dengan efektivitas terbukti, seperti transportasi di akses
dan cepat dan penggelaran personil dengan keterampilan hidup,
dukungan dasar (Kobusingye, Hyder, Bishai, Hicks, Mock, &
Joshipura, 2005)
2. Personil
Dalam sebagian besar di Sahara Afrika dan Asia, personil
paramedic (ambulans) hanya di gunakan untuk mentransfor pasian
antara fasilitas kesehatan dan bukan dari adegan cedera atau dari
rumah. Di Negara-negara berpendapatan menengah, meskipun
mereka adalah komponen utama dari system medis darurat. Tingkat
pelatihan tenaga paramedic harus sesuai dengan provider. Bebrapa
bukti menunjukkan bahwa paramedic pelatihan dalam keterampilan
hidup hemat dasar meningkatkan pasien (Kobusingye, Hyder, Bishai,
Hicks, Mock, & Joshipura, 2005)
3. Peralatan dan komunikasi
Agar tidak terjadi bahaya pada pasien dan perawat sehingga
peralatan dan perlenngkapan harus sesuai dengan pengetahuan dan
keterampilan personil yang tersedia untk menggunakan. Bahkan tim
dengan sumberdaya yang paling sedikit harus memiliki pakaian
pelindung, terutama sarung tangan dan celemek. Kebutuhan lainya
termasuk tandu, ganti tekanan (perbanelastis jika mungkin - dan
kapas atau kasa pembalut), belat (dalam berbeagai ukuran dan
terbuat dari bahan yang tersedia secara local), dan radio, telepon atau
modus lain dari komuniksi yang cepat (Kobusingye, Hyder, Bishai,
Hicks, Mock, & Joshipura, 2005)
Tidak ada dimana permintaan untuk komunikasi yang efisien dan
transportasi cepat lebih penting dari pada system medis darurat. Tim
terbaik di lengkapi dengan teknologi seni dan persediaan akan sia-sia
jika tidak dapat mencapai pasien dengan cepat atau jika tidak
memiliki kontak dengan rumah sakit . mayoritas penduduk dunia
tinggal di daerah dengan infrastruktur telekomuniksi yang lemah
(Kobusingye, Hyder, Bishai, Hicks, Mock, & Joshipura, 2005)
4. Transportasi.
Transportasi pengangkutan seorang pasien dari lokasi rumah
sakit adalah element penting dari peralatan pra-rumah sakit , karena
kurangnya transportasi sering menjadi penghalang utama dalam
mencegah pasien dari mengakses perawatan darurat dalam
merancang system transportasi rumah sakit, sumber daya yang
tersedia secara local dan berbagai sarana alternative transportasi
harus di pertimbangkan. Misalnya, pasien sakit serius dan terluka
mungkin di bawa ke fasilitas medis olah kendaraan niaga, polisi atau
kerabat menggunakan kendarann bermotor pribadi atau tidak
bermotor, transportasi darurat harus dapat diakses dalam waktu
singkat, kendaraan dengan tandu ideal hamper semua model
transportasi yang mendapat pasien ke fasilitas perawatan definitive
dapat di peroleh dan di terima (Kobusingye, Hyder, Bishai, Hicks,
Mock, & Joshipura, 2005)
5. Fasilitas kesehatan
Kemampuan fasilitas kedehatan formal sangat bervariasi antara
dan di dalam Negara. Di bebrapa Negara berpenghasilan rendah,
perawatan medis darurat dapat secara efektif di sampaikan di pusat
kesehatan yang di kelola oleh non dokter(misalnya untuk diare akut
atau malaria berat) namun, fasilitas tersebut untuk pengelolaan dari
beberapa luka parah atau persalinan macet. Demikian pula ,
menggunakan fasilitas tersier untuk memberikan pelayanan dasar
akan menciptakan inefesiensi dalam system medis darurat dan dalam
system kesehatan secara keseluruhan. Masalah kronis yang
dihasilkan dari triase pantas menggaris bawahi kebutuhan untuk
menekankan system aspek perawatan medis darurat (Kobusingye,
Hyder, Bishai, Hicks, Mock, & Joshipura, 2005)
2.2.6 Pengertian Ambulance
Kata ambulan berasal dari bahasa latin ambulare yang berarti
untuk membawa atau memindahkan dimana pada zaman dahulu pasien
dipindahkan dengan diangkat. Kata ambulan pada zaman dahulu
diartikan sebagai rumah sakit yang berjalan yang selalu mengikuti ke
mana suatu pasukan perang pergi. Kata ambulan secara umum
dihubungkan dengan kendaraan motor emergency dengan peralatan
emergency untuk pasien dengan penyakit akut ataupun trauma, yang
sekarang disebut sebagai ambulan emergency (Amin, et al., 2012)
Ambulance adalah kendaraan atau kerajinan di maksudkan untuk
diwakili oleh minimal dua staf terlatih untuk penyediaan perawatan dan
transportasi dari setidaknya satu di tandu pasien (World Health
Organization, 2008).
Sedangkan Emergency Ambulance (Ambulan Gawat Darurat)
adalah unit transportasi medis yang didesain khusus dan berbeda
dengan model transportasi lainnya. Ambulan gawat darurat didesain
agar dapat menangani pasien gawat darurat, memberikan pertolongan
pertama dan melakukan perawatan intensif selama dalam perjalanan
menuju rumah sakit rujukan. (Amin, et al., 2012)
2.2.7 Macam-Macam Tipe Fungsional Ambulans
Ambulan dapat dikelompokkan menjadi berbagai macam tergantung
fungsi yang dijalankan. Pada beberapa kondisi, ambulan mungkin dapat
melakukan lebih dari satu fungsi (misalnya menggabungkan fungsi
antara ambulan emergency dengan ambulan yang hanya membawa
pasien ke rumah sakit) (Amin, et al., 2012)
1. Ambulan Emergency
Jenis ambulan yang banyak didapat, dimana ambulan ini
menyediakan peralatan medis terhadap pasien dengan penyakit akut
maupun trauma. Jenis ambulan ini bisa berupa mobil, van, kapal
boat, ambulan udara.
2. Ambulan Transport Pasien
Jenis ambulan ini mempunyai fungsi hanya membawa pasiean
ke rumah sakit ataupun ke pusat-pusat pelayanan medis missal:
pusat dialisis. Jenis ambulan ini bisa berupa mobil van, bis, ataupun
alat transportasi lain.
3. Respon Unit
Adalah alat transportasi yang bertujuan untuk bisa mencapai
tempat dimana pasien dengan penyakit akut secara cepat dan
memberikan perawatan medis sementara namun kurang dilengkapi
dengan fasilitas untuk transportasi pasien untuk ke rumah sakit.
Pada umumnya respon unit akan disertai dengan ambulan
emergency yang memiliki fasilitas untuk memindahkan pasien ke
rumah sakit. Namun pada kasus yang tidak memerlukan perawatan
di rumah sakit maka respon unit akan memberikan perawatan pada
tempat kejadian tanpa meminta bantuan ambulan emergency untuk
transportasi pasien. Jenis kendaraan yang digunakan bisa berupa
mobil, van yang telah dimodifikasi, sepeda motor, sepeda ataupun
kuda. First responder adalah orang awam dilatih khusus pertolongan
pertama tingkat lanjut (kemampuan hampir menyamai paramedic
ambulan) bisa siapa saja polisi, mahasiswa, tim SAR, relawan
palang merah dan lain-lain.
4. Charity Ambulance
Tipe ambulan khusus untuk transportasi pasien dengan tujuan
membawa anak kecil maupun orang dewasa yang dengan perawatan
jangka panjang untuk melakukan perjalan di luar rumah sakit untuk
rekreasi. Di inggris proyek ini dinamakan Jumbulance. Kendaraan
yang digunakan adalah bus (Amin, et al., 2012)
2.2.8 Persyaratan Ambulans Gawat Darurat
Syarat ambulan gawat darurat antara lain :
1. Idealnya sampai di tempat pasien dalam waktu 6-8 menit agar dapat
mencegah kematian karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti
jantung atau perdarahan masif (to save life and limb)
2. Berkomunikasi dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulan
lainnya
3. Melakukan pertolongan pada persalinan
4. Melakukan transportasi pasien dari tempat kejadian ke RS atau dari
RS ke RS
5. Menjadi rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana.
6. Mampu menanggulangi gangguan A (airway), B (breathing), C
(circulation) dalam batas-batas Bantuan Hidup Dasar.
7. Juga dilengkapi dengan alat-alat ekstrikasi, fiksasi, stabilisasi dan
transportasi
8. Dilengkapi dengan semua alat/obat untuk semua jenis kegawat-
daruratan medic (Amin, et al., 2012)

2.2.9 Standart Peralatan Gawat Darurat Ambulan


1. Airway Equipmen
a. Laringoscope
b. Oropharyngeal Airway
c. Nasopharyngeal Airway
d. Endotracheal Tube
e. Mouth Gage
f. Magil Forcep
g. Tounge Spatel
h. Suction Manual
i. Suction Electric
j. Suction Canule
k. Xylochatain Jelly
2. Breathing Equipment
a. Bag Valve Mask
b. Nasal Canule
c. Simple Mask
d. Rebreathing Mask
e. Non Rebreathing Mask
f. Pocket Mask
g. Oxygen Tube
h. Portable Oxygen Tube
3. Circulation Equipment
a. Veno Catheter / IV Catheter
b. Infuse Set
c. Infusion Fluid
d. Spuit
e. Tensimeter
f. Stetoscope
g. Foley Catheter
h. Urine Bag
i. Steril Gauge
j. Roll Bandage
k. Trauma Bandage
l. Triangular Bandage
m. Elastic Bandage
4. Extraction & stabilization equipment
a. Rigid Splint
b. Scoope Strecher
c. long Spine Board
d. Safety Belt
e. Head Immobilizer
f. Neck Collar
g. Extrication Device
5. Advance equipment
a. Ventilator
b. Pulse Oxymeter
c. Defibrilator
d. Patient Monitor
e. ECG Monitor (3 Lead)
6. Emergency Drugs
a. Adrenalin / Ephyneprin
b. Sulfas Atrophyn
c. Kalmethason
d. Buscopan
e. Dextrose 40 %
f. Lasix
g. Aminophylin
h. Cylocard 100 mg
i. Neurobion 5000
j. Lidocain 2 %
k. Diazepam
l. valium 10 mg
m. Nitrogliserin SL
7. Other equipment
a. Bandage Scissor
b. Anatomy Pincet
c. Cirurgy Pincet
d. Artery Clamp
e. Plester
f. Pen light
g. ECG Electrode
h. Thermometre
i. Gastrictube
j. Neirbeken
k. Urinal / Pispot
l. handscoon
m. Masker
n. ETC (Amin, et al., 2012)
2.2.10 Ambulance equipment level

Basic Life Support RLEMS Advanced


Ambulance Life Support
Ambulance

Airway Equipment 1. Oxygen 1. Oxygen


2. Nasal Cannulas & 2. Nasal Cannulas &
Oxygen masks Oxygen masks
3. Bag Valve Mask 3. Bag Valve Mask
4. Pulse Oximeter
5. Laryngoscopes for
Intubation (Tube
down throat)
6. Cricothyrotomy
(Surgical hole in
trachea/windpipe)
7. CPAP masks (for
CHF patients, forces
fluid out of lungs)
8. Chest
Decompression Kits
(placing hole in chest
to relieve collapsed
lung)
9. Numerous
Medications
(Albuterol, Alupent,
Atrovent, Hurricane
Spray, Terbutaline,
Versed)
Cardiac Care AED (defibrillation 2.2.11 12 Lead EKG
Equipment only) Monitor (identify
heart attacks and
transmit to hospital)
3.2.11 Synchronized
Cardioversion (slow
rapid heart rates)
4.2.11 Pacemaker
(speeds up heart
rates)
5.2.11 Manual
Defibrillator (restart
heart)
6.2.11 Numerous
Medications
(Adenosine,
Amiodarone,
Aspirin, Atropine,
Calcium Chloride,
Dopamine,
Epinephrine, Lasix,
Lidocaine,
Magnesium Sulfate,
Morphine, Nitro-
paste, Nitroglycerine,
Sodium Bicarbonate,
Verapamil, Zofran)

2.2.11 Petugas Ambulan


1. Petugas secara umum
Petugas ambulans dapat berasal dari beberapa profesi, antara lain:
a. First Responder
Seseorang yang datang pertama kali di lokasi kejadian,tugas
utamnya yaitu memberikan tindakan penyelamatan nyawa
seperti CPR (Cardio-Pulmonary Resuscitation) dan AED
(Automated External Defibrillator). Mereka bisa diberangkatkan
oeh pelayanan ambulans, atau kepolisian dan dinas pemadam
kebakaran.
b. Ambulance Driver
Beberapa pusat layanan ambulans mempekerjakanpetugas yang
tidak mempunyai kualifikasi medis sama sekali. (atauhanya
sertifikat pertolongan pertama) yang tentu saja hanya
mempunyai job mengemudi secara sederhana untuk mengantar
pasien.
c. Ambulance Care Assistant
Mempunyai tingkat pelatihan yang bervariasi, tetapi petugas ini
khusus untuk transport pasien yangmenggunakan kursi roda
maupun stretcher ambulans, namun bukan untuk transport
pasien kritis. Tergantung pada penyedia layanan, mereka juga
dilatih first aid dan penggunaan AED, terapi oksigen, atau
teknik paliatif. Mereka bisa memberikan tindakan jika unit lain
belum datang, atau jika ada pendampingan dari teknisi yang
berkualifikasi atau seorangparamedik.
d. Emergency Medical Technician
Dikenal juga sebagai Teknisi ambulans.Mereka mampu
memberikan layanan gawat adrurat yang lebih luasseperti
defibrilasi, penanganan trauma spinal, dan terapi
oksigen.Beberapa Negara memilahnya kedalam beberapa
tingkat (Amerikamenganut EMT-Basic dan EMT-Intermediate)
e. Paramedik
Ini merupakan level atas dari pelatihan medis dan biasanya
mencakup ketrampilan utama yang tidak diperuntukkan bagi
teknisi seperti pemasangan infuse (dengan kemampuan untuk
memberikan obatseperti morfin), intubasi, dan skill lain seperti
krikotirotomi. Tergantungpada hokum yang ada, paramedik
merupakan jabatan yang dilindungi,penyalahgunaan profesi
paramedik dapat diancam hukuman.
f. Emergency Care Practitioner
Jabatan ini terkadang disebut SuperParamedik, didesain utnuk
menjembatani antara pelayanan ambulans danpelayanan dokter
praktek umum. ECPsudah berkualifikasi sama denganparamedik
yang sudah menjalani pelatihan lanjut. Ia juga meresepkanobat-
obat yang sudah ditentukan.
g. Registered Nurse (RN)
Para perawat bisa dilibatkan dalam pelayananambulans, dengan
seorang dokter, biasanya mereka ditugaskan padaambulans
udara dan transport pasien kritis. Sering bekerja juga dengan
EMT dan paramedik.
h. Dokter
Para dokter juga ikut dalam pelayanan ambulans, biasanya
ambulans udara. Mereka mempunyai skill yang lebih dan tentu
saja bias menuliskan resep.Kita harus mengingat bahwa semua
kasus yang diderita pasien akan potensial menimbulkan
kegawatdaruratan, pasien bayi baru lahir, anak, dewasa, dan
orangtua, semuanya jika mengalami kegawatdaruratan pasti
akan mengerucut pada masalah kegawatdaruratan Airway,
Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure (Amin, et al.,
2012)
2. Petugas secara khusus (Gawat Darurat)
Menurut Kemenkes No. 0152/YanMed/RSKS/1987, tentang
Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik serta Kemenkes No
143/Menkeskesos/SK/II/2001 tentang Standarisasi Kendaraan
Pelayanan Medik. Dikatakan bahwa petugas di ambulan gawat darurat
terdiri dari:
1. 1 (satu) pengemudi berkemampuan PPGD dan berkomunikasi
2. 1 (satu) perawat berkemampuan PPGD
3. 1 (satu) dokter berkemampuan PPGD atau ATLS/ACLS
2.2.12 Tugas seorang EMD (Emergency Medical Dispathcer/Pengirim
Pesan Medis Emergensi)
1. Menanyakan informasi secara lengkap dari penelepon dan menilai
tingkat prioritas panggilan emergensi tersebut.
2. Memberikan instruksi medis kepada penelepon sebelum ambulan
datang dan menyampaikan informasi adanya panggilan emergensi
kepada kru ambulan.
3. Mengirimkan kabar dan melakukan koordinasi petugas pelayanan
kesehatan (termasuk ambulan gawat darurat)
4. Berkoordinasi dengan agen keselamatan masyarakat lainnya.
Saat menerima panggilan emergensi, seorang EMD harus mampu
memperoleh informasi sebanyak mungkin mengenai situasi dan
kondisi kejadian untuk membantu menentukan tingkat prioritas
panggilan. Pertanyaan yang harus diajukan oleh EMD adalah :
a. Di mana lokasi tepat pasien? Seorang EMD harus menanyakan
nomor rumah atau bangunan. Sangat penting untuk menanyakan
nama jalan dengan penunjuk arah mata angin yang jelas
(misalnya utara, selatan), persimpangan jalan terdekat, dan
lokasi tepat kejadian. Apabila terjadi kecelakaan lalu lintas perlu
ditanyakan mengenai arus lalu lintas, dan jalur yang dapat
dilewati , kemacetan dll. Jika EMD menemukan bahwa semua
jalur menuju lokasi tabrakan terhambat, maka EMD akan
memberitahu pengemudi ambulan untuk memilih jalur
alternatif. EMD akan berkoordinasi dengan unit ambulan service
dan akan menghubungi ambulan yang terdekat dengan lokasi
pasien, sehingga ambulan akan cepat sampai lokasi kejadian.
b. Nomor telepon yang dapat dihubungi untuk melakukan
panggilan balik? Minta penelepon untuk tetap menjaga
sambungan telepon. Jangan ditutup kecuali atas pemberitahuan
EMD. Untuk situasi/kasus yang mengancam jiwa, EMD akan
memberikan instruksi medis kepada penelepon sesaat setelah
ambulan dikirim. Penelepon atau orang lain yang ada di lokasi
kejadian harus mengikuti instruksi ini hingga ambulan datang.
Hal penting lain yang perlu diperhatikan oleh penelepon adalah
agar tetap terhubung dengan EMD untuk menjelaskan lokasi
tepat kejadian seandainya ambulan yang telah dikirim tidak
menemukan lokasi yang diinformasikan sebelumnya.
c. Apa masalahnya? Tanyakan keluhan utama yang dihadapi
pasien. Ini akan membantu EMD untuk memutuskan panggilan
emergensi mana yang akan ditanggapi (jika panggilan lebih dari
satu) dan membantu menentukan tingkat prioritas pasien dalam
pengiriman ambulan.
d. Berapa usia pasien? Ada beberapa jenis ambulan yang dirancang
khusus untuk penanganan kasus emergensi anak-anak daripada
dewasa, sehingga akan lebih dipilih untuk dikirim. Selain itu,
usia juga sangat penting untuk membedakan antara bayi, anak-
anak, dan dewasa terutama jika EMD memberikan instruksi
kepada penelepon untuk melakukan RJP sebelum ambulan
datang.
e. Apakah pasien sadar? Pasien yang tidak sadar memiliki tingkat
kegawatan/prioritas yang lebih tinggi untuk dilakukan
pertolongan.
f. Apakah pasien bisa bernafas? Jika pasien sadar dan bisa
bernafas, EMD akan mengajukan pertanyaan tambahan
mengenai keluhan utama untuk menentukan tingkat tanggap
darurat yang tepat, hal ini menentukan apakah jenis panggilan
termasuk dalam kategori emergency atau non emergency
sehingga menentukan apakah akan dikirim ambulan respon non
emergency dengan kecepatan
g. Kendaraan normal atau ambulan respon emergency (keadaan
darurat, lampu dan sirine dinyalakan). Jika pasien tidak bernafas
atau penelepon tidak yakin, EMD akan mengirimkan ambulan
tanggap darurat maksimum dan akan memberikan instruksi
medis sebelum ambulan datang termasuk instruksi RJP via
telepon jika didapatkan denyut nadi pasien tidak teraba. Jika
panggilan darurat adalah untuk kecelakaan lalu lintas,
serangkaian pertanyaan kunci harus diajukan untuk membantu
menentukan prioritas dan besarnya tanggapan. Melalui
interogasi yang baik dengan penelepon, EMD bisa saja
mengirimkan sekaligus satu atau lebih unit ambulan respon
emergency dan beberapa unit ambulan pembantu respon untuk
penanganan korban.
h. Berapa banyak dan apa sajakah jenis kendaraan yang terlibat?
EMD harus mampu menetukan, berapa banyak kendaraan yang
terlibat dalam kecelakaan dan apakah kecelakaan melibatkan
mobil, truk, atau bis. Cedera apapun yang diakibatkan dari
tabrakan yang melibatkan sepeda, motor, atau pejalan kaki
dengan mobil harus memperoleh prioritas tanggap darurat yang
lebih tinggi. Jika EMD menemukan bahwa kecelakaan tersebut
melibatkan truk, EMD harus mencoba menentukan
kemungkinan apakah kendaraan tersebut membawa bahan
muatan yang berbahaya.
i. Berapa banyak kemungkinan korban cedera? Ketika EMD
memperoleh informasi dari penelepon bahwa ada lima orang
yang cedera, maka EMD akan mengirimkan dua atau tiga
ambulan dalam saat yang bersamaan. Waktu dan mungkin
nyawa, dapat diselamatkan dengan mengetahui jumlah korban
cedera pada kecelakaan/tabrakan.
j. Apakah korban terjebak? Jika korban terjebak, maka dibutuhkan
pula pengiriman unit penyelamat.
2.2.13 Karakteristik Penolong
1. Penolong atau bystander
Setiap orang dapat menjadi penolong untuk korban cardiac
arrest.Keterampilan CPR dan aplikasinya tergantung pada
pelatihannya, pengalamannya dan keyakinannya. Kompresi dada
merupakan dasar dari CPR.Semua penolong, terlepas dari pelatihan,
harus memberikan penekanan dada untuk semua korban serangan
jantung. Karena pentingnya kompresi dada maka harus dilakukan
untuk semua korban tanpa memandang usia. Penolong yang mampu
harus menambahkan ventilasi setelah kompresi dada. Penolong
yang sangat terlatih harus dapat bekerja sama dan
mengkoordinasikan perawatan dan melakukan kompresi dada serta
ventilasi dalam pendekatan berbasis tim (Travers, et al., 2010)
2. Penolong awam yang tidak terlatih
Jika bystander tidak terlatih dalam melakukan CPR, maka
bystander harus melakukan Hand-Only (hanya melakukan kompresi
saja) CPR, dengan penekanan push hard and fast, atau mengikuti
perintah dari dispatcher. Penolong harus melanjutkan Hands-Only
CPR sampai AED datang dan siap digunakan atau sampai pemberi
pelayanan memberikan pelayanan atau perawatan kepada korban
(Travers, et al., 2010)
3. Penolong awam yang terlatih
Semua penolong awam minimal harus memberikan kompresi
dada untuk korban cardiac arrest.Jika penolong awam yang terlatih
sanggup melakukan rescue breathing, mereka harus menambahkan
rescue breathing dengan perbandingan 30 kompresi dan 2 ventilasi.
Penolong harus melanjutkan CPR sampai AED datang dan siap
untuk digunakan atau EMS memberikan perawatan pada korban
(Travers, et al., 2010)
4. Penyedia layanan kesehatan
Secara optimal semua penyedia layanan kesehatan harus dilatih
dalam BLS.Pelatihan ini layak untuk penolong provisional baik di
EMS dan di rumah sakit untuk memberikan kompresi dada dan
bantuan pernafasan untuk korban cardiac arrest. Dengan siklus 30
kompresi dan 2 ventilasi sampai alat bantu nafas terpasang;
kemudian lanjutkan kompresi dada dengan jumlah ventilasi 1 nafas
setiap 6 sampai 8 detik (8 10 ventilasi setiap menit). Hal ini wajar
bagi penyedia layanan kesehatan untuk menyesuaikan urutan
tindakan dengan mengetahui penyebab yang mungkin terjadi dari
cardiac arrest. Korban Cardiac arrest yang tiba-tiba sering terjadi
pada dewasa, yang di hasilkan dari penyebab jantung primer;
sirkulasi dari kompresi dada adalah yang sangat penting.
Sebaliknya, cardiac arrest pada anak-anak yang paling sering adalah
asphyxia, yang membutuhkan baik ventilasi dan kompresi dada

untuk hasil yang optimal. Dengan demikian bantuan pernafasan


mungkin lebih penting untuk anak di bandingkan orang dewasa
pada Cardiac arrrest. untuk hasil yang optimal.Dengan demikian
bantuan pernafasan mungkin lebih penting untuk anak di
bandingkan orang dewasa pada cardiac arrest (Travers, et al., 2010)
Gambar 2.10 (Travers, et al., 2010)
2.3 KONSEP PENANGANAN CARDIAC ARREST DI INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD)
2.3.1 Definisi IGD
Departemen darurat / IGD adalah pintu utama jalan masuknya
korban gawat darurat yang merupakan komponen penting dari system
kesehatan yang bertujuan memberikan perawatan untuk pasien yang
memiliki kondisi hidup yang mengancam atau lainnya yang
membutuhkan perawatan medis yang mendesak untuk mengurangi
angka kecacatan dan kematian (Australian Institute of Health and
Welfare, 2014).
Kematian adalah suatu keadaan dimana berhentinya sirkulasi darah
dan pernafasan sehingga sel-sel dalam tubuh tidak mendapatkan
oksigen dan jika dalam waktu < 5 menit kerusakan jaringan secara
permanen serta menyebabkan kematian. Mati klinis adalah suatu
keadaan henti nafas, henti sirkulasi, henti jantung dan otak tidak
berfungsi sementara (reversible), kematian ini paling banyak
disebabkan karena cardiac arrest (sudiharto, 2011).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no
340/MENKES/PER/III/2010 Menyatakan Bahwa instalasi gawat
darurat adalah sebuah unit yang harus dapat memberikan pelayanan
gawat darurat 24 (duapuluh empat) jam dan 7 (tujuh) hari seminggu
dengan kemampuan melakukan pemeriksaan awal kasus kasus gawat
darurat melakukan resusitasi dan stabilisasi sesuai dengan standar
(Kemenkes, 2010).

2.3.3 Penanganan Cardiac Arrest di Instalasi Gawat Darurat


1. Algoritma
Setiap instalasi gawat darurat rumah sakit harus mempunyai
standart operasional prosedur mengenai penatalaksanaan pasien di
instalasi gawat darurat, penanganan penderita gawat darurat harus
mengikuti prinsip dasar yang sudah berlaku secara umumya itu
berdasarkan prioritas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure) sesuai kasus yang dihadapi. Pada kasus
cardiac arrest, prioritas yang digunakan dalam penanganan korban
adalah prinsip CAB (Circulation, Airway, Breathing). Dalam
pengelolaan penderita gawat darurat memerlukan pengelolaan yang
tepat dan cepat, yang bertujuan untuk menghindari kematian.
2. TRIAGE
a. Prioritas TRIAGE

NO PRIORITAS KETERANGAN KASUS


1 Prioritas tertinggi Korban gawat darurat, Kelainan pernafasan
(obstruksi jalan nafas), henti
(merah) artinya terancam jiwa atau
nafas, sukar bernafas hebat,
anggota badannya (akan
henti jantung, perdarahan
menjadi cacat), jika tidak
tidak terkontrol / lebih dari 2
mendapatkan pertolongan
liter, cedera kepala hebat
secepatnya.
(korban tidak sadar ) luka
dada terbuka dan luka
hancur pada abdominopelvic
(perut-piggul), shock hebat
dan tekanan systolic < 80
mmhg, luka bakar yang
mengenai saluran nafas,
serangan jantung, stroke,
heat stroke, hipotermi berat,
dan masalah medis berat
lainnya.
2 Prioritas tinggi Korban moderate Luka bakar hebat, cidera
(kuning) emergent, yaitu korban spinal selin pada cervical,
gawat atau darurat yang perdarahan sedang atau
tidak dapat dimasukan lebih dari 2 liter, korban
prioritas tertinggi maupun sadar dengan cidera kepala
prioritas sedang (tidak serius, fraktur multiple
merah, tidak kuning). (selain diatas) cidera bagian
belakang, overdosis obatdll)
3 Prioritas sedang Korban gawat tidak Perdarahan ringan; fraktur
(hijau) darurat, artinya meskipun dan cidera daerah lunak
kondisinya dalam minor, luka bakar ringan dan
keadaan gawat, tetapi sedang, trauma dengan
tidak memerlukan tingkat survival yang sangat
tindakan segera, atau rendah dan sulit diharapkan
korban tidak gawat, (korban tidak sadar dengan
korban tidak gawat tidak otak terekspos, luka bakar
darurat. derajat 2/3 hingga lebih dari
40% luas tubuh) dll.
4 Prioritas terakhir Korban ada tanda-tanda Tidak adanya respirasi dan
(hitam) telah meninggal. denyut nadi < 20 menit
mulai kejadian (kecuali
korban tenggelam atau
korban hipotermia ekstrem),
tidak adanya respirasi dan
denyut nadi, trauma yang
menyebankan RJP tidak
dapat dilakukan atau tidak
efektif, dekapitasi (leher
putus )
4 Prioritas terakhir Korban ada tanda-tanda Tidak adanya respirasi dan
(hitam) telah meninggal. denyut nadi < 20 menit
mulai kejadian (kecuali
korban tenggelam atau
korban hipotermia ekstrem),
tidak adanya respirasi dan
denyut nadi, trauma yang
menyebankan RJP tidak
dapat dilakukan atau tidak
efektif, dekapitasi (leher
putus )
Tabel 2.4 Prioritas TRIAGE (Tim bantuan medis panacea, 2014)
b. Prosedur TRIAGE
Algoritma ini menggunakan empat poin keputusan (A, B,
C, dan D) untuk menyortir pasien kesalah satu dari lima tingkat
triase. Triase dengan algoritma ESI membutuhkan perawat
departemen emergensi berpengalaman, yang dimulai di bagian
atas algoritma. Dengan latihan, perawat triase akan dapat
dengan cepat berpindah dari satu ESI titik keputusan untuk
selanjutnya.

Gambar 2.12 Algoritma Triage (Gilboy, dkk, 2012)

Empat poin keputusan digambarkan dalam ESI algoritma


sangat penting untuk akurat dan dapat diandalkan. Angka ini
menunjukkan empat poin keputusan menjadi empat kunci
pertanyaan:
1) Apakah pasien ini membutuhkan segera menyelamatkan jiwa
intervensi?
2) Apakah ini seorang pasien yang tidak harus menunggu?
3) Berapa banyak sumber pasien ini perlu?
4) Bagaimana tanda-tanda vital pasien?
3. Resusitasi
a. Penilaian CAB (Circulation Airway Breathing)
1) Circulation
Bila ada ganguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya
2 jalur (IV line/intra vena line). Kateter IV yang dipakai
harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya
menggunakan vena pada lengan. Syok pada korban gawat
darura takibat trauma umumnya disebabkan hipovolemia.
Korban gawat darurat saat pertama datang atau ditemukan
harus di infuse dengan 1,5-2 liter cairan kristaloid,
sebaiknya Ringer Lactat. Bila tidak ada respon dengan
pemberian bolus kristaloid, maka diberikan darah
segolongan (type specific). Bila tidak ada darah segolongan
dapat diberikan darah tipe O resus negatif, atau tipe O Rh
positif titer rendah.
2) Airway
Airway harus dijaga dan dipertahankan dengan baik,
khususnya pada korban gawat darurat tidak sadar. Jaw
thurst atau chin lift dapat dipakai pada beberapa kasus.
Pada korban gawat darurat yang masih sadar dapat dipakai
nano-phyaryngeal airway. Bila korban gawat darurat tidak
sadar dan tidak ada reflek mual (gag reflex) dapat dipakai
nano-phyaryngeal airway (Guedel).
Kontrol jalan nafas pada korban gawat darurat yang
airway-nya terganggu karena faktor mekanik, atau ada
gangguan ventilasi akibat gangguan kesadaran. Kontrol
jalan nafas dicapai dengan intubasi endo-tracheal, baik
oral maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan
control terhadap servikal.
3) Breathing
Ventilasi akan terganggu bila ada tension peneumotoraks.
Bila dicurigai ada tension pneumothorak maka harus segera
dilakukan dekompresi. Dekompresi dilakukan dengan cara
masuk rongga thorax dengan jarum besar, kemudian
dilanjutkan dengan pemasangan WSD (Water Seal
Drainage). Setiap korban gawat darurat cardiac arrest
seharusnya diberikan oksigen, sebaiknya oksigen diberikan
dengan face-mask (Sudiharto, 2013).

b. Algoritma
4. Terapi farmakologi
Menurut AHA, 2010 tujuan utama pada terapi farmakology
selama cardiac arrest adalah fasilitasi pengembalian dan menjaga
irama spontan jantung sehingga perfusi jaringan tetap terjaga.
Umtuk mencapai hal tersebut , terapi obat ACLS lebih sering
dihubungkan dengan peningkatan tercapainya ROSC dan
penanganan lebih lanjut di rumah sakit, bukan untuk
memperbaiki long-term-survival dengan neurologic outcome
yang baik.
a. Pemberian vasopressor
Pemberian vasopressor agent pada stage manapun
selama penatalaksanaan VF, PEA, atau asistol terbukti dapat
meningkatkan survival neurologicall intack setelah pasien
keluar dari rumah sakit. Vasopressor juga terbukti dapat
meningkatkan tercapainya ROSC pada saat RJP.
b. Epineprine
Epineprine hydrochloride bermanfaat pada pasien
dengan cardiac arrest, utama nya karena memilikki efek -
adrenergic reseptor-stimulating (vasokonstriktor). Efek -
adrenergic dari Epineprine dapat meningkatkan CPP
( coronary perfusion pressure/aortic relaxation diastolic
pressure minus right atrial relaxation diastolic pressure)
dan tekanan perfusi cerebral selama RJP. Untuk efek -
adrenergik dari Epineprine masih kontoversi karena bereflek
meningkatkan kerja miocardium dan mengurangi perfusi
subendo kardial. Berdasarkan kerja nya tersebut cukup
beralasan jika pemberian 1 mg Epineprine IV setiap 3 sampai
5 menit dianjurkan pada cardiac arrest. Dosis lebih tinggi
hanya di indikasikan pada keadan khusus, seperti pada
overdosis -blocker atau calcium channel blocker jika akses
vena (IV) terlambat atau tidak di temukan Epineprine dapat
di berikan endotrakeal dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg.
c. Vasopressine
Vasopressine adalah nonadrenergic peripheral
vasoconstrictor yang juga dapat mengakibatkan
vasokonstriksi padaa koroner dan ginjal. Berdasarkan 3 meta-
analysis trials dan 2 randomized controlled clinical
trials(RCTs), mendapatkan pemberian vasopressin
dikombinasi dengan epinephrine tidak memberikan
perbedaan bermakna jika dibandingkan dengan pemberian
epinephrine tanpa kombinasi vasopressine. Oleh karena itu,
vasopressine single dose 40 unit IV tidak lagi dipakai dalam
algoritma cardiac arrest.
d. Anti aritmia ( aminodarone )
Aminodarone IV beefek pada channels natrium, kalium,
dan kalsium serta memiliki efek dan adrenergik blocking.
Aminodarone dapat dipertimbangkan untuk terapi VF
ataupun pulseles VT yang tidak memberikan respon terhadap
shock, RJP dan vasopressor. Dosis pertama dapat diberikan
300 mg IV , diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada blinded-
RCTs didapatkan pemberian aminodorane 300 mg/5 mg/ kg
BB secara bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien
VF / pulseles Vt di rumah sakit, dibandingkan pemberian
placebo atau lidocaine 1,5 mg/kg BB.(AHA,2010)
e. Lidokain
Lidokain merupakan antiaritmia alternatif yang sudah lama
digunakan karena memiliki lebih sedikit efek samping
langsung yang mungkin ditemui pada antiaritmia lainnya.
Namun, Lidokain tidak memiliki khasiat jangka pendek atau
jangka panjang yang terbukti dalam penanganan gagal
jantung. Lidokain dapat dipertimbangkan jika amiodaron
tidak tersedia (Kelas IIb, LOE B). Dosis awal nya adalah 1
sampai 1,5 mg / kg IV. Jika VF / VT pulseless berlanjut, di
tambahkan dosis tambahan 0,5 0,75 mg / kg melalui jalur IV
selang waktu 5- 10 menit berikut nya diberikan dosis
maksimal 3 mg / kg (AHA, 2010).
Obat - obatan yang Tidak dianjurkan untuk di Gunakan
Secara Rutin Selama Serangan Jantung
a. Atropin
Atropin sulfat membalikkan penurunan kolinergik-
dimediasi denyut jantung dan konduksi nodal
atrioventrikular. Studi klinis memberikan bukti yang
bertentangan dari manfaat penggunaan rutin atropin pada
henti jantung. Tidak ada bukti bahwa atropin memiliki
efek merugikan selama serangan jantung bradikardia atau
asistolik. Dan tidak ada nya bukti yang menunjukkan
bahwa penggunaan rutin atropin selama PEA atau asistol
yang memiliki manfaat terapeutik (Kelas IIb, LOE B).
Karena alasan ini lah atropin telah dihapus dari algoritma
serangan jantung.
b. Sodium bikarbonat
Berbagai efek samping yang di temukan berkaitkan
dengan penggunaan bikarbonat selama henti jantung.
Bikarbonat dapat mengganggu CPP dengan mengurangi
sistemik vaskular resistance. Hal ini dapat membuat
alkalosis ekstraseluler yang akan menggeser kurva
saturasi oksihemoglobin dan menghambat pelepasan
oksigen. Hal ini dapat menghasilkan hipernatremia yang
dapat menyebabkan hyperosmolarity. Ini menghasilkan
kelebihan CO2, yang bebas berdifusi ke miokard dan sel
otak dan mungkin paradoks berkontribusi intraseluler
acidosis. Hal ini dapat memperburuk asidosis vena sentral
dan dapat menonaktifkan secara bersamaan jika diberikan
katekolamin. Dalam beberapa situasi resusitasi khusus,
seperti yang sudah ada sebelumnya seperti asidosis
metabolik, hiperkalemia, atau antidepresan trisiklik
overdosis, bikarbonat dapat bermanfaat (lihat Bagian 12:
"Jantung Penangkapan di Situasi Khusus "). Namun,
penggunaan rutin natrium bikarbonat tidak
direkomendasikan untuk pasien di serangan jantung
(Kelas III, LOE B). (AHA, 2010)
5. Recovery
a. Emergency Precuntaneus intervention

Pada keadaan STEMI, reperfusi koroner dapat ditangani


dengan 2 cara yaitu :
1). Percuntaneous coronary intervention (PCI) dapat
digunakan untuk membuka kembali arteri yang
tersumbat. Tindakan ini disebut Primary Percuntaneous
coronary intervention.
2). Terapi fibrinolitik dapat diberikan untuk
mengencerkan thrombus yang menghambat dan
mengendap pada infark miokard. Obat yang digunakan
adalah aspiri 300 mg, clopidogel 600 mg, terapi
antitrhombin.
b. Emergency CABG performed
Operasi coronary artery bypass graft (CABG) adalah prosedur
pembedahan revaskularisasi yang digunakan untuk memperbaiki
dan meningkatkan aliran darah ke jantung. Operasi CABG
dilakukan untuk mengurangi angina pada pasien yang telah gagal
dengan terapi medis dan bukan kandidat yang tepat
untukangioplastty (PTCA). Operasi CABG sangat ideal untuk
pasien dengan penyempitan di beberapa cabang arteri koroner.
Pada CABG pembuluh pintasan baru dibuat yaitu arteri atau vena
yang sehat diambil dari kaki, lengan atau dada pasien. Arteri atau
vena tersebut diambil melalui pembedahan dan dijahitkan ke
sekeliling bagian yang tersumbat dan memulihkan aliran darah ke
otot jantung (Chatarina,2011).
c. Emergency Hypothermia therapy
1). Indukasi hipotermia
Sangat disarankan Indukasi hipotermia (32oC ke
34oC) untuk sekelompok pasien keluar rumah sakit
dengan VF/ pulseless ventrikel takikardia (PVT) cardiac
arrest dan pasien koma post ROSC dan didorong bahwa
hipotermia di indukasi untuk mempertimbangkan
sebagian pasien koma post cardiac arrest lainnya.
Pertanyaan yang tetap tentang indikasi tertentu dan
populasi, waktu dan durasi terapi, dan metode untuk
induksi, pemiliharaan dan meringankan hipotermia
(AHA, 2015).
Untuk pasien dengan cardiac arrestdirumah sakit
tidak data acak yang tersedia. Studi observasional yang
ditemukan tidak ada hubungan antara induksi
hipotermia dan kelangsungan hidup atau status
fungsional yang menguntungkan dirumah sakit. Namun
analisis penelitian ini juga dihambat oleh beberapa
faktor, termasuk kurangnya informasi tentan pasien
koma dan karena itu adanya potensial untuk induksi
hipotermia (AHA, 2015).
Dapat dilakukan percobaan acak terkontrol
menemukan bahwa hasil neurologis dan kelangsungan
hidup pada 6 bulan setelah OCHA tidak maju bila suhu
dikontrol pada 36oC dibandingkan 33oC. Tidak ada
perbandingan langsung dengan durasi yang berbeda dari
TTM pada pasien post cardiac arrest, uji terbesar dan
studi TTM dipertahankan suhu selama 24 jam atau 28
jam diikuti dengan suhu (sekitar 0,25oC/jam) kembali
kenormothermia (AHA, 2015).
2). Hipertermi
Setelah resusitasi, elevasi suhu dapat dapat
meningkat post cardiac arrest mungkin terkait dengan
aktivitas inflamasi sitokin, hal ini dapat menyebabkan
gangguan pemulihan otak. Suhu 37.6oC dapat
memperburuk kondisi neuron pasien post cardiac
arrest, dengan demikian dapat berkembang setelah
rewarming pengobatan posthipothermia. Hiper akhir
Esplanade juga harus di identifikasi dan dicegah,
penolong harus memonotoring suhu pasien setelah
ROSC dan secara aktif campur tangan untuk
menghindari hipertrmia.
d. Terapi extracorporeal membrane Oxygenation therapy
initiated
Extracorporeal Membrane Oxygenation Extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang
menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan
(membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2
dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan
pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur
ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari
tekanan tinggi ventilator. ECMO paling sering digunakan pada
keadaan-keadaan seperti: sindroma aspirasi mekonium, dengan
rata-rata 94% dapat bertahan hidup setelah terapi, persistent
pulmonary hypertension, sepsis, respiratory dystress syndrome,
hernia diafragmatika.(syarif, 2010)

S-ar putea să vă placă și