Sunteți pe pagina 1din 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem muskuloskeletal adalah sistem yang berperan dalam menunjang, melindungi, dan
menggerakan tubuh. Rangka merupakan bingkai bagi struktur tubuh dan
melindungi organ internal yang rentan dari kerusakan. Otot dengan bantuan sendi, ligamen,
dan tendon memungkinkan tulang rangka bergerak.
Sistem muskuloskeleta terdiri atas :
1. 206 tulang, yang merupakan penyokong gerakan tubuh dan melindungi organ internal.
2. Sendi yang memungkinkan gerakan tubuh dua atau tiga dimensi.
3. Otot, yang memmungkinkan gerakan tubuh dan internal.
4. Tendon dan ligamen, yang menghubungkan tulang dengan otot.
Sistem Muskuloskeletal merupakan cakupan Ilmu Bedah Orthopaedi. Apa yang disebut
dengan Ilmu Bedah Orthopaedi sampai saat ini belum dipahami dengan benar, baik di
kalangan kedokteran maupun khalayak umum. Dokter Bedah Orthopaedi dikenal sebagai
spesialis bedah tulang, walaupun persoalan tidak selalu masalah tulang saja.
Sistem muskuloskeletal pada manusia adalah seluruh kerangka manusia dengan seluruh otot
yang menggerakkannya dengan tugas melindungi organ vital dan bertanggung jawab atas
lokomosi manusia. Lokomosi ialah pergerakan berbagai otot yang dapat menggerakkan
anggota badan dalam lingkup gerakan sendi tertentu. Jadi yang dimaksud dengan sistem
muskuloskeletal mencakup semua struktur tulang, sendi, otot, dan struktur terkait seperti
tendon, ligamen serta sistem saraf perifer.
Maka kelainan muskuloskeletal mencakup kelainan seperti lazimnya pembagian penyakit
yaitu:
1. Kelainan bawaan.
2. Kelainan dan penyakit yang didapat berupa:
a. Penyakit radang dan infeksi
b. Trauma
c. Neoplasma
d. Degeneratif
e. Group miscellaneous antara lain penyakit metabolisme, penyakit postpolio, cerebral
palsy, dan sebagainya.
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab.
Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga.
Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas 12.000 orang per tahun (Chairudin,
1998). Taruma yang dialami seseorang akan menyebabkan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Biaya yang besar untuk mengembalikan fungsi setelah mengalami trauma.
2. Resiko kematian yang tinggi.
3. Prodiktivitas menurun akibat banyak kehilangna waktu bekerja.
4. Kecatatan sementara dan permanen.
Di masyarakat, seorang perawat atau Ners perlu mengetahui perawatan klien trauma
muskuloskletal yang mungkin dijumpai, baik dijalan maupun selama melakukan asuhan
keperawatan di rumah sakit. Selain itu, ia perlu mengetahui dasar-dasar penanggulan suatu
trauma yang menimbulkan masalah pada sistem muskuloskletal dengan melakukan
penanggulangan awal dan merujuk ke rumah sakit terdekat agar mengurangi resiko yang
lebih besar.
Resiko yang lebih fatal yang perlu diketahui adalah kematian. Peristiwa yang sering terjadi
pada klien dibagi dalam tiga periode waktu sebagai berikut :
1. Kematian dalam detik-detik pertama sampai menit berikutnya (50%).
Kematian disebabkan oleh laserasi otak dan pangkal otak, kerusakan sumsum tulang
belakang bagian atas, kerusakan jantung, aorta, serta pembuluh-pembuluh darah besar.
Kebanyakan klien tidak dapat ditolong dan meninggal ditempat.
2. Kematian dalam menit pertama sampai beberapa jam (35%).
Kematian disebabkan oleh perdarahan subdural atau epidural, hematopneumotoraks, robekan
limpa, laserasi hati, fraktur panggul, serta fraktur multipel dengan resimo besar akibat
perdarahan yang masif. Sebagian klien pada tahap ini dapat diselamatkan dengan
pengetahuan dan penanggulangan trauma yang memadai.
3. Kematian setelah beberapa hari ampai beberapa minggu setelah taruma (15%). Kematian
biasanya disebabkan oleh kegagalan beberapa organ atau sepsis. Peran perawat dalam
membantu mengurangi resiko tersebut cukup besar. Resiko kegagalan organ dan reaksi sepsis
dapat dikurangi secara signifikan dengan asuhan keperawatan yang komprehensif.
Penanggulangan klien trauma memerlukan peralatan serta keterampilan khusus yang tidak
semuanya dapat dilakukan oleh perawat, berhubung keterampilan dan pengetahuan yang
dimiliki setiap Ners bervariasi, serta peralatan yang tersedia kurang memadai. Trauma sistem
muskuloskeletal sering tampak dramatis dan ditemukan pada 85% penderita trauma tumpul,
tetapi jarang menjadi penyebab ancaman nyawa atau ancaman ekstremitas. Trauma
muskuloskeletal tidak mengubah urutan prioritas resusitasi ( ABCDE ), namun akan menyita
perhatian dokter, karena itu trauma muskuloskeletal tidak boleh diabaikan atau ditangani
terlambat. Dokter harus menangani penderita secara keseluruhan, termasuk muskuloskeletal,
untuk memperoleh hasil yang optimal.
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan struktur
pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi akibat
trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi. Trauma sistem
muskuloskeletal sering ditemukan pada zaman kendaraan berkecepatan tinggi seperti
sekarang ini. Selain ltu insidensi trauma muskuloskeletal meningkat, sebagian besar
disebabkan adanya peningkatan latihan fisik secara rutin pada masyarakat seperti joging, lari
dan aktivitas olah raga lainnya. Trauma bisa akut akibat kejadian traumatik tunggal atau bisa
kronis akibat efek kumulatif episode trauma ringan berulang. Trauma muskuloskeletal
bermacam-macam, dari tekanan ringan pada otot sampai fraktur dengan kerusakan jaringan.
Sekitar 80 persen praktek umum ortopedi diakibatkan oleh trauma sistem muskuloskeletal.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk Memahami secara teoritis pananggulangan trauma sistem muskuloskeletal dan
Asuhan Keperawatan pasien dengan trauma sistem muskuloskeletal.

2. Tujuan Khusus
Untuk memahami secara teoritis ( Defenisi, Etiologi, Patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan fisik dan penatalaksanaan ) pada trauma sistem muskuluskeletal.
Untuk memahami dan mengetahui asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien dengan
trauma sistem muskuluskeletal dan Untuk memahami tugas yang diberikan dosen p
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligamen,
tendon, fascia, bursae, dan persendian (Depkes, 1995: 3).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh, kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang (Reeves,
Charlene, 2001: 248).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Rusaknya kontinuitas tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot,
kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis (Anonim, 2011).
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena salah satu sebab.
Penyebab trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga. Trauma
yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung misalnya benturan bawah
yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung,
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal
patah.

B. Dampak Terjadinya Trauma Sistem Muskuluskeletal

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Trauma
tajam atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka
sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

C. Etiologi

Menurut Apley & Solomon (1995: 239), etiologi yang menyebabkan fraktur adalah sebagai
berikut:
1. Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan,
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunakpun juga rusak.
2. Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain, akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling
banyak ditemukan pada tibia fibula, terutama pada atlit, penari
3. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau tulang itu sangat
rapuh.
Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya
melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Trauma-trauma
lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma bisa terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang
dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu
benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ).
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara
spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya
jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :

a) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan
progresif.
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi
kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan :
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang
yang bertugas dikemiliteran.

D. Prinsip Penanggulangan
Ada enam prinsip umum penanggulangan trauma sistem muskuluskeletal menurut
pusponegoro A.J.(2007),yaitu sebagai berikut :
1. Pertolongan yang aman bagi pasien
2. Pengobatan berdasarkan diagnosis yang tepat
3. Pengobatan yang terarah
4. Perhatikan Laws of Nature
5. Realistik
6. Pertimbangan kasus per kasus

E. Komplikasi
Komplikasi menurut Henderson (1997), Bruner dan Suddarths
(1995) adalah :
1. Syok
2. Infeksi
3. Nekrosis vaskuler
4. Malonian
5. Non Union
6. Delayed union
7. Kerusakan arteri
8. Sindroma kompartemem
9. Sindroma emboli lemak

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang di lakukan pada pasien trauma sistem muskuloskeletal adalah
foto ronsen. Jenis dan saat pemeriksaan ronsen dilakukan, ditentukan oleh hasil pemeriksaan,
tanda klinis, keadaan hemodinamik serta mekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu
dilakukan segera pada penderita trauma multiple dengan sumber perdarahan yang belum
dapat ditentukan. Kebutuhan pemeriksaan foto ronsen ditentukan oleh pemeriksaan klinik,
adanya nyeri dan deformitas pada ekstremitas, besar kemungkinan ada fraktur.

G. Panatalaksanaan
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya
satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap menempel sebagaimana
mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut
biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan
kembali berfungsi (Corwin, 2010).

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan
terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulating),
apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi , baru lakukan
amnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting
ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam ,
bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan amnesis dan pemeriksaan
fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan
bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer, 2000).

Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu sepuluh tahun
terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai banyak kerugian karena
waktu berbaring lebih lama, meski pun merupakan penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk
anak-anak. Oleh karena itu tindakan ini banyak dilakukan pada orang dewasa (Mansjoer,
2000).
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat dimobilisasi dengan salah
satu cara dibawah ini:

1. Traksi

Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan
atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasi
atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat
penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya.
Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama
24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang
di posterior untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur
harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar.

2. Fiksasi Internal
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang
logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan pengobatan terbaik untuk
patah tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi (Djuwantoro, 1997).

3. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma sistem
muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang mengalami
cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang ditempatkan di daerah
sekeliling tulang (Anonim, 2010).
4. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara keras daerah
yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk menyatukan kedua bagian
tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali
dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah tersebut (Anonim, 2010).
5. Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang , sehingga dianjurkan
untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini tercakup
dalam tiga keputusan yang sederhana : reduksi, mempertahankan dan lakukan latihan.
Menurut (Carter, 2003) jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di sekitarnya juga rusak,
periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat dan bekuan darah
akan terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan darah akan membentuk jaringan granulasi
didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) dan berdiferensiasi
menjadi krodoblas dan osteoblas. Krodoblas akan mensekresi posfat, yang merangsang
deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus
menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen tulang dan menyatu.
Penyatuan dari kedua fragmen terus berlanjut sehingga terbentuk trebekula oleh osteoblas,
yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.

H. Penanggulangan Trauma Sistem Muskuluskeletal Pada Penderita Fraktur D Luar RS


Beberapara tindakan yang dilakukan pada penderita patah tulang ketika masih di luar RS
adalah sebagai berikut :
1. Jalan Nafas
Bila penderita tidak sadar, jalan nafas dapat tersumbat karena lidahnyasendiri yang jatuh ke
dalam faring atau dikarenakan adanya lendir, darah, muntahan atau benda asing. Untuk
mengatasi keadaan ini, penderita dimiringkan sampai telungkup. Rahang dan lidah ditarik ke
depan dan bersihkan faring dengan jari-jari.
2. Perdarahan Pada Luka
Cara yang paling efektif dan paling aman adalah dengan meletakan kain yang bersih (kalau
bisa steril) yang cukup tebal dan dilakukan penekanan dengan tangan atau dibalut dengan
verban yang cukup menekan. Torniket
3. Syok
Pada suatu kecelakaan kebanyakan syok yang terjadi adalah syok hemoragik. Syok bisa
terjadi bila individu kehilangan darahnya kira-kira 30% dari volume darahnya. Pada fraktur
femur tertutup, individu dapat kehilangan darah 1.000-1.500cc. pada fraktur pelvis,
kehilangan darah dapat mencapai 2.000cc. tanda-tanda syok meliputi: a) denyut nadi
100x/menit, b) tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, c) wajah terlihat pucat atau sianotik,
dan d) kulit tangan teraba dingin. Gejala lalu dapat berupa sakit (bukan gejala dominan), otot-
otot lunak rasa haus, pernafasan cepat dan dalam, serta kesadaran dalam rentang normal,
apatis atau koma. Cara paling baik untuk mengatasi syok karena perdarahan adalah diberikan
darah untuk mengganti jumlah darah yang hilang, sedangkan cairan lainnya, plasma, dextran,
dan lain-lain kurang baik karena tidak mengandung sel darah yang sangat diperlukan untuk
transportasi O2.
4. Fraktur Dan Dislokasi
Fraktur dan dislokasi dari anggota gerak harus dilakukan imobilisasi sebelum penderita
dibawa ke rumah sakit untuk mencegah terjadi pergeseran fragmen tulang yang lebih parah.
Guna bidai selain untuk mengurangi rasa sakit juga untuk mencegah kerusakan jaringan
lunak yang lebih parah. Pada fraktur atau dislokasi servikal dapat dipergunakan gulungan
kain tebal atau bantalan pasir yang diletakkan di kanan dan kiri kepala. Pada tulang belakang
cukup diletakkan di atas permukaan yang keras. Fraktur atau dislokasi di daerah bahu atau
lengan atas cukup diberikan sling (mitella).
Papan yang dilapisi bantalan kapas dapat digunakan untuk fraktur lengan bawah. Fraktur
femur atau dislokasi sendi panggul dapat menggunakan Thomas splini atau papan panjang
dipasang dari aksila sampai pedis dan difiksasi dengan tungkai sebelah yang sehat. Tungkai
bawah dan lutut dapat dipakai papan yang dilapisi bantalan kapas dari pangkal paha sampai
pedis. Untuk trauma di daerah pedis dapat di pakai bantalan kapas.

I. Penanggulangan Darurat Penderita Trauma Sistem Muskuluskeletal Di RS


Berikut ini akan diuraikan beberapa tindakan yang dilakukan dalam penanggulangan trauma
sistem muskuloskeletal di rumah sakit.
1. Penyumbatan jalan napas dapat diatasi dengan alat hisap dan pemasangan intubasi trakeal
atau kalau perlu dilakukan trakeostomi.
2. Perdarahan luka : bila penggunaan balut tekan perdarahan masih tetap terjadi, dilakukan
eksplorasi untuk mencari simbernya, kemudian di klem.
3. Syok : tanda tanda syok dinnilai kembali, meliputi : denyut nadi, pernafasan, tekanan
darah, dan tingkat kesadarannya. Jika ditemukan adanya tanda tanda tersebut segera
dilakukan pemasangan infus, diambil contoh darah klien untuk menentukan golongan
darahnya. Pada syok yang berat dipasang Central Venous Pressure (CVP). Sementara
menunggu darah, dapat diberikan cairan- cairan berupa glukose dan NACL, plasma atau
plasma expander untuk pertolongan sementara.
4. Fraktur / Dislokasi : perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti, karena kemungkinan masih
ada daerah daerah lain yang belum di periksa. Sering pada fraktur multipel salah satu
daerah yang patah tidak terdiagnosis, karena pemeriksaan yang kurang teliti. Pada daerah
yang belum dipasang bidai, sebelum dilakukan X-ray dipasang dulu bidai untuk mengurangi
rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak, kecuali
untuk memudahkan pembuatan foto dalam beberapa proyeksi.
Pada fraktur tertutup : ada beberapa metode pengobatan, yaitu sebagai berikut :
a. Hanya bersifat proteksi saja tanpa memerlukan tindakan reposisi atau imobilisasi.
Cara ini digunakan pda fraktur yang stabil atau sedikit displacement. Kompresi fraktur dari
tulang belakang, impacted frakture dari bagian proksimal humerus. Caranya : dengan
mengistirahatkan anggota gerak yang cedera. Contoh pada lengan atas cukup dipasang sling.
Pada anggota gerak bawah dipakai tongkat (kurk/crutch)
b. Imobilisasi dengan external splinting ( tanpa reposisi ).
1) Biasanya digunakan dengan bahan bahan gips (plaster of paris).
2) External splinting tanpa reposisi digunakan pada frakture yanng undisplaced.
3) Splinting ini penting untuk memberikan imobilisasi yang baik supaya bony union dapat
tercapai.
c. Reposisi tertutup dengan manipulasi dan diikuti imobilisasi.
Ini dilakukan pada frakture displaced. Reposisi tertutup dilakukan dengan anastesi umum,
regional atau lokal. Untuk mempertahankan hasil-hasil reposisi dipakai imobilisasi plaster of
paris.
d. Reposisi tertutup dngan continous traction.
e. Open reduction and fixation (ORIF).
Open reduction dilakukan apabila dengan reposisi tertutup hasilnya tidak memuaskan.
Contoh : fraktur intraartikuler dengan reposisi tertutup, bentuk sendi tidak mungkin dapat
dengan sempurna. Hal ini dapat dilakukan tindakan ORIF.

J. ASKEP TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien trauma sistem muskuluskeletal meliputi nama, umur, pekerjaan dan
jenis kelamin.
2. Keluhan Utama
Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal biasa mengeluhkan nyeri, nyeri yang
sering dirasakan adalah nyeri tajam dan keluhan semakin parah jika ada pergerakan.
Meskipun demikian keluhan nyeri pada tulang biasanya tumpul dan dalam yang juga
mengakibatkan gangguan pergerakan.
3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien atau penderita trauma sistem muskuloskeletal mengidentifikasikan rasa nyeri, kejang
atau kekakuan yang dirasakan pada saat mengalami trauma
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien atau penderita mengidentifikasikan atau menjelaskan awal terjadinya trauma sistem
muskuloskeletal.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien atau penderita menjelaskan ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejadian
yang sama seperti dirinya atau tidak.
4. Pemeriksaan Fisik
Seluruh pakaian penderita harus dibuka agar dapat dilakukan pemeriksaan yang baik.
Pemeriksaan penderita cedera ekskremitas mempunyai 3 tujuan : menemukan masalah
mengancam jiwa (primary survey), menemukan masalah yang mengancam ekstremitas
(secondary survey), dan pemerikasaan tulang secara sistematis untuk menghindari luputnya
trauma muskuloskeletal yang lain ( re-evaluasi berlanjut ). Pemeriksaan fisik pada trauma
sistem muskuluskletal merupakan pengumpulan data tentang kondisi system dan kemampuan
fungsional diperoleh melalui inspeksi, palpasi dan pengukuran sebagai berikut :
a. Skeletal
1) Catat penyimpangan dari structur normal menjadi defrmitas tulang, perbedaan panjang,
bentuk, amputasi
2) Identifikasi pergerakan abnormal dan krepitasi
b. Sendi
1) Identifikasi bengkak yang dapat menunjukkan adanya inflamasi atau effuse
2) Catat deformiotas yang berhubungan dengan kontraktur atau dislokasi
3) Evaluasi stabilitas yang mungkin berubah
4) Gambarkan rom baik aktif maupun pasif
c. Otot
1) Inspeksi ukuran dan contour otot
2) Kaji koordinasi gerakan
3) Palpasi tonus otot
4) Kaji kekuatan otot baik dengan evaluasi sepintas dengan jabat tangan atau dengan
mengukur skala criteria yaitu 0 untuk tidak ada kontraksi sampai 5 = normal rom dapat
melawan penuh gaya gravitasi
5) Ukur lingkar untuk mencatat peningkatan pembengkakan atau perdarahan atau pengecilan
karena atropi.
6) identifikasi klonus yang abnormal
d. Neurovaskuler
1) Kaji ststus sirkulasi pada extremitas dengan mencatat warna kulit, suhu, nadi perifer,
capillary refill, nyeri
2) Kaji status neurology
3) Tes reflek
4) Catat penyebaan rambut dan keadaan kuku
e. Kulit
1) inspeksi truma injury (luka, memar)
2) kaji kondisi kronis (dermatitis, stasis ulcer)

5. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap
pembedahan.

Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.


Kriteria Hasil : Nyeri hilang atau berkurang

Intervensi Rasional
1. Evaluasi keluhan nyeri, lokasi, karakteristik
1. Untuk mengetahui tingkat nyeri yang
dan intensitas nyeri dirasakan pasien
2. Memberikan posisi senyaman mungkin
2. Agar membantu pasien untuk merasakan
pada pasien
kenyamanan dan mempercepat proses
penyembuhan pasien.
3. Untuk membantu pasien menghilangkan
3. Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
cemas dan takut yang dirasakan pasien.
4. Membantu pasien menghilangkan rasa
4. Kolaborasi pemberian analgesik. nyeri yang dirasakan.

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.


Tujuan : Klien dapat melakukan gerak dan ambulasi.
Kriteria Hasil : Meningkatkan / mempertahankan / mamperhatikan morilisasi pada tingkat
paling tinggi.

Intervensi Rasional
1. Observasi tingkat
1. Untuk mengetahui
mobilisasi. rentang gerak yang
dapat dilakukan oleh
2. Membantu/intruksikan
pasien.
klien untuk latihan gerak
2. Meningkatkan dan
aktif pasif pada ekstremitas
mempertahankan
yang sakit maupun yang
kekuatan otot dan
tidak sakit.
rentang gerak pasien.
3. Mendekatkan alat-alat
yang dibutuhkan klien.. 3. Membantu pasien
4. Kolaborasi dengan ahli
dalam pemenuhan
fisioterapi dalam pemberian
aktifitasnya.
terapi. 4. Membantu pasien
dalam melakukan
rentang gerak untuk
pemenuhan aktifitas
dan imobilisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Pengertian
Menurut Mansjoer (2009) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya konstinuitas jaringan
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur dapat di bagi menjadi:
Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar. Fraktur fibula adalah terputusnya hubungan tulang fibula (Helmi, 2012). Fraktur adalah
gangguan pada gangguan konstinuitas tulang (Pendit, 2006).

2. Etiologi
Fraktur atau patahan tulang dapat terjadi karena beberapa penyebab. Para ahli juga telah
merumuskan berapa hal sebagai penyebab fraktur tersebut, diantaranya adalah di kemukakan
oleh Helmi (2012) adalah :
a. Fraktur akibat peristiwa traumatik
Disebabkan oleh trauma yang tiba tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar.
b. Fraktur patologis
Disebabkan oleh kelainan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang.
c. Fraktur stress.
Disebabkan oleh trauma yang terus - menerus pada suatu tempat tertentu.

3. Patofisiologi
Fraktur terjadi bila interupsi dari kontinuitas tulang, biasanya fraktur disertai cidera jaringan
disekitar ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan persyarafan. Tulang yang rusak
mengakibatkan periosteum pembuluh darah pada korteks dan sumsum tulang serta jaringan
lemak sekitarnya rusak. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cidera. Tahap ini merupakan tahap awal pembentukan
tulang. Berbeda dengan jaringan lain, tulang dapat mengalami regenerasi tanpa menimbulkan
bekas luka.
4. Penatalaksanaan
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi
dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.

B. Tinjauan Keperawatan

1. Pengkajian
1. Pengkajian
a. Biodata.
b. Catatan masuk.
c. Riwayat kesehatan.
d. Pola fungsional menurut Gordon.

2. Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh, dari ujung rambut dengan ujung kaki
(head to toe).

3. Pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah dan ultrasonografi.


a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan Radilogi

4. Diagnosa keperawatan dan intervensi


a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri cidera fisik (Asih, 2007)
1) Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
2) Kaji nyeri, penyebab, karakteristik, tempat, skala dan durasi
3) Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
4) Ajarkan tehnik relaksasi
5) Kolaborasi dengan Dokter dalam pemberian terapi analgesik
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan alat fiksasi invasif (Widyawati, 2007)
1) Memonitor vital sign dan kaji adanya peningkatan suhu.
2) Lakukan prinsip steril dalam perawatan luka.
3) Pantau hasil laboratorium pada angka leukosit.
4) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai advis dokter.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan mobilitas (Carpenito, 2009)
1) Awasi tekanan darah dalam melakukan aktifitas.
2) Ajarkan teknik ROM
3) Dekatkan alat yang di butuhkan pasien
4) Anjurkan kepada keluarga untuk membantu aktifitas pasien.
BAB III
RESUME KEPERAWATAN

A. Biodata
Nama Tn P,Umur 65 tahun,jenis kelamin laki-laki,agama islam ,suku
jawa,pendidikan SD.

B. Pengkajian Keperawatan
Keluhan utama nyeri pada kaki sebelah kiri. Riwayat penyakit
sekarang pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo karena pasien tertabrak.
Pada pengkalian pola fungsional menurut Gordon persepsi kesehatan dan
pola managemen .

Analisa Data

No Data Problem Etiologi Ttd


.
1. DS : - Pasien mengatakan Agen injuri Nyeri akut
nyeri pada kaki cidera fisik
sebelah kiri
P : Nyeri dirasakan
saat bergerak
Q: Nyeri seperti
ditusuk-tusuk
R: Nyeri pada kaki
kanan
S: Skala nyeri 7
T: Nyeri datang hilang
timbul
DO : - Pasien tampak
menahan nyeri
- Tanda-tanda vital :
TD : 150/80 mmHg
N : 85 x/menit
2. DS : - Alat fiksasi Resiko tinggi
DO : -Luka tampak bersih invasif infeksi
- Terdapat luka post op di
kaki kiri dengan 8
jahitan.
- Terpasang drain
3. DS : - Pasien mengatakan Penurunan Hambatan
aktivitas dibantu mobilitas mobilisasi fisik
keluarga
DO : - Pasien tampak disibin
oleh keluarga

A. Prioritas Masalah Keperawatan


Dari data yang telah penulis analisa tersebut diatas, penulis menetapkan urutan
prioritas masalah sebagai berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri cidera fisik.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan alat fiksasi invasiv.
3. Hambatan mobilitas berhubungan dengan penurunan mobilitas.

B. Diagnosa Keperawatan, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi.


1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
Rencana tindakan disusun pada tanggal 10 sampai 12 Juni 2012
dengan tujuan :pasien mampu mentoleransi level nyerinya setelah di lakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam dengan kriteria hasil Nyeri berkurang
atau hilang skala nyeri (1-4), wajah tampak rileks.
Intervensi yang disusun adalah Kaji skala nyeri, lokasi dan
frekuensi nyeri, Monitor keadaan umum dan vital sign, Ajarkan latihan nafas
dalam ,Ajarkan tehnik relaksasi, Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
obat analgesik.

EVALUASI
1. Diagnosa pertama masalah teratasi sebagian.
2. Diagnosa kedua masalah infeksi tidak terjadi.
3. Diagnose ketiga masalah teratasi sebagian.

BAB IV
PEMBAHASAN

A.Diagnosa Keperawatan yang Muncul .

1. Pengertian diagnosa dan alasan penegakan diagnose keperawatan.


Diagnosa pertama ,Nyeri akut . Menurut Asih (2007) nyeri akut
adalah keadaan ketika individu mengalami dan melaporkan adanya rasa
ketidaknyamanan yang hebat.Diagnosa kedua, resiko infeksi, Menurut
Sumarwati (2011).

2. Intervensi Keperawatan
Diagnosa pertama , nyeri akut berhubungan denganagen injuri fisik
: fraktur dan tindakan pembedahan (ORIF). Diagnosa kedua, resiko infeksi
berhubungan dengan alat fiksasi infasif. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi tanda - tanda infeksi.

B. Pelaksanaan Tindakan
Diagnosa yang pertama adalah nyeri berhubungan dengan agen injuri
cidera fisik. Tindakan yang telah dilakukan adalah mengoservasi vital sign,
mengkaji tingkat nyeri, mengajarkan teknik relaksasi. Diagnosa kedua adalah
Diagnosa kedua, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan alat fiksasi invasif.
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah mengkaji TTV, dan keadaan umum
pasien serta keluhanya, menginspeksi kulit terhadap adanya tanda tanda infeksi.
Diagnosa ketiga adalah hambatan mobilisasi berhubungan dengan penurunan.
Tindakan yang dilakukan adalah membantu pasien melakukan ROM (Range Of
Motion ).

C. Evaluasi
Diagnosa pertama, nyeri berhubungan dengan Agen injuri cidera fisik.
Menetapkan bahwa nyeri teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan slama
3x24 jam dengan criteria hasil yang sudah ditetapkan yaitu pasien mengatakan
bahwa nyeri telah berkurang. Diagnosa kedua resiko tinggi infeksi berhubungan
denganalat fiksasi infasiv. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam dengan criteria hasil yang telah ditetapkan mencapai penyembuhan luka
sesuai waktu, tidak terjadi tanda tanda infeksi. Kolaborasi pemberian anti biotik.
Hasil evalaluasi diagnosa ke tiga adalah masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi setelah tindakan keperawatan selama 3x24 jam. Pasien mengatakan tidak
takut lagi menggerakan kakinya. Masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
karena belum memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan, maka penulis
merumuskan masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Lukman. Ns dan Ningsih Nurna. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Taylor .M Cynthia. 2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

S-ar putea să vă placă și