Documente Academic
Documente Profesional
Documente Cultură
ABSTRAK
Pajak yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan utama dalam memenuhi target
penerimaan negara belum mampu melaksanakan kinerjanya dengan maksimal. Salah satu
kendala DJP dalam menghimpun penerimaan pajak adalah akses data Wajib Pajak masih
sangat terbatas. Salah satu sumber data yang dibutuhkan yang juga menunjang aspek keadilan
pemungutan perpajakan adalah akses data perbankan. Di sisi internasional, era keterbukaan
informasi untuk kepentingan perpajakan mulai dicetuskan negara-negara anggota G20 dan
OECD melalui Automatic Exchange of Information. Metode penelitian ini menggunakan
deskriptif kualitatif. Beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah adalah percepatan revisi
Undang-undang Perbankan dan revisi Undang-undang KUP. Untuk DJP sebagai instansi
pelaksana peraturan perpajakan dapat melakukan upaya perbaikan IT dan pembuatan aturan
terkait pengamanan data perbankan yang sudah diterima.
Kata kunci: Akses Data Perbankan, Automatic Exchange of Information, Penerimaan Negara
I. PENDAHULUAN
Defisit anggaran merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
Keuangan Negara telah mengatur bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk
Domestik Bruto. Nota Keuangan 2017 menunjukkan bahwa tren defisit anggaran dalam
periode 2012-2015 mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut juga diikuti kenaikan utang
pemerintah yang cukup tinggi tahun 2014-2015 sebesar 21,3% (year to year) dan
keseimbangan primer di tahun 2015 yang mengalami defisit sebesar Rp136,1 triliun
menunjukan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang tidak sehat
Pajak yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan utama dalam memenuhi target
dengan akhir tahun 2016, penerimaan pajak mencapai Rp1.105 triliun atau 81,54% dari
target. Dalam RAPBN 2017, penerimaan pajak mempunyai porsi sebesar 86% dari target
pendapatan negara atau sebesar Rp1495,9 triliun. Begitu besarnya beban yang dipikul oleh
pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, salah satu kendala DJP dalam
menghimpun penerimaan pajak adalah akses data Wajib Pajak masih sangat terbatas.
Selama ini sumber data utama yang digunakan oleh DJP dalam penggalian potensi
berasal dari Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan, bukti potong, konfirmasi pihak
ketiga, maupun data publikasi lainnya. Sumber data utama tersebut hanya mampu
kemampuan finansial Wajib Pajak yang sesungguhnya. Padahal salah satu prinsip
pemungutan pajak adalah prinsip keadilan (equity), dimana pajak yang dikenakan sebanding
dengan kemampuan finansialnya. Salah satu sumber data eksternal yang dapat menunjang
mengemuka ketika Amerika Serikat mencetuskan Foreign Account Tax Compliance Act
(FACTA) pada tahun 2010. Kemudian diikuti oleh negara-negara anggota G20 dan OECD
Keterbukaan data perbankan ini juga bisa menjadi pintu masuk dalam menindaklanjuti
program tax amnesty sebelumnya, dimana terdapat sanksi administrasi berupa kenaikan
200% atas utang pajak yang belum atau kurang dibayar terhadap Wajib Pajak yang tidak
melaporkannya dalam SPT. Untuk mensukseskan hal tersebut, masih terdapat beberapa hal
yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai regulator dan DJP sebagai eksekutor
Objek yang diteliti adalah langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk
yang dapat dilakukan DJP dalam menghadapi era keterbukaan informasi tersebut. Penulis
melakukan pengumpulan data sekunder dengan cara studi pustaka (literature review)
peraturan dan kebijakan yang berlaku di Indonesia maupun melalui literatur lainnya. Metode
Besarnya kebutuhan DJP untuk memenuhi target penerimaan pajak yang telah
Information yang sudah disepakati oleh negara-negara anggota G20 dan OECD, maka
1992 sebenarnya telah memberi kelonggaran kepada pemerintah untuk dapat mengakses data
perbankan nasabah. Dalam hal perpajakan, aturan itu diatur pada pasal 41. Sedangkan
ketentuan tentang tata cara membuka rahasia bank tertuang pada Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin
Tertulis Membuka Rahasia Bank. Tetapi dalam proses permintaan membuka rahasia bank,
jalur birokrasi yang dilewati sangat panjang yang dimulai dari internal DJP sendiri yaitu
Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah, kemudian Kantor Pusat. Setelah sampai di Kantor
Pusat DJP, permintaan membuka rahasia bank tersebut akan diteruskan kepada Menteri
Keuangan. Jika telah disetujui oleh Menteri Keuangan, surat permintaan tersebut baru
diteruskan ke Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dalam waktu maksimal 14 hari
setelah surat permintaan diterima lengkap, OJK akan memberikan surat perintah kepada bank
yang bersangkutan untuk membuka rahasia bank sesuai dari permintaan dari DJP.
Oleh karena itu, undang-undang perbankan harus segera direvisi terutama dalam tata
cara pemberian izin membuka rahasia yang begitu panjang proses birokrasinya. Hal ini
sangat menyita waktu, apalagi proses dalam OJK saja membutuhkan waktu maksimal 14 hari
untuk satu kali permintaan buka rekening. Proses yang lama ini sangat berpengaruh terhadap
kualitas pemeriksaan yang dilakukan fiscus. Sering kali data tersebut baru didapatkan ketika
proses pemeriksaan WP telah selesai karena jangka waktu pengujian pemeriksaan yang
terhitung cukup singkat yaitu 3 bulan untuk WP Orang Pribadi dan 4 bulan untuk WP Badan
menjalankan tugas DJP dapat meminta keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,
notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai
hubungan dengan Wajib Pajak. Seluruh data tersebut harus diberikan kepada DJP
sehubungan dengan pelaksaaan ketentuan perpajakan bahkan dalam hal terdapat kewajiban
tertulis Menteri Keuangan (UU KUP Pasal 35 ayat 2). Selain itu, KUP hanya mengatur
pemberiaan akses data Wajib Pajak yang dimintakan sehubungan dalam kegiatan
pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Padahal yang dibutuhkan DJP untuk mengejar target penerimaan yang telah dibebankan lebih
dari itu. DJP mengharapkan akses data dapat diberikan dalam arti yang lebih luas yaitu dalam
didapatkan dari proses penggalian potensi. Oleh karena itu, revisi UU KUP harus segera
dilaksanakan.
B. Langkah Direktorat Jenderal Pajak dalam Memanfaatkan Era Keterbukaan Data
Perbankan
pelaksanaan Automatic Exchange of Information negara-negara G20 dan OECD, DJP harus
ikut berbenah dalam menyambut kemudahan akses data perbankan terkait kepentingan
perpajakan. Terdapat beberapa sumber daya di DJP harus segera dipersiapkan. Salah satu
yang paling penting adalah IT. DJP telah memiliki berbagai aplikasi dalam penggalian
potensi seperti Approweb dan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP). Tetapi
masih terdapat kendala seperti tidak sinkronnya data antara aplikasi tersebut. Penggunaan
satu aplikasi saja sebenarnya sudah cukup karena hal terpenting adalah kualitas data. Kualitas
data yang didapat dari SPT selama ini masih sangat diragukan karena dalam sistem
pemungutan pajak self assessment, potensi adanya tax evidence dan tax evasion cukup tinggi.
Padahal data yang valid merupakan senjata DJP dalam menggali potensi perpajakan secara
optimal. Setelah masalah ini dibenahi, DJP bisa mulai melakukan sinkronisasi antara data
internal DJP yang berupa olahan dari Approweb maupun SIDJP dengan data perbankan.
Faktor keamanan dan pengamanan data perbankan juga merupakan hal yang sangat
Kewenangan dalam mengakses data tersebut harus dibatasi, hanya untuk pegawai pajak yang
penyidikan terhadap tindak pidana perpajakan. Sanksi yang tegas juga perlu diberikan
terhadap penyalahgunaan data perbankan tersebut, seperti yang diterapkan pada Undang-
Undang Tax Amnesty yaitu ancaman pidana 5 tahun penjara terhadap pegawai pajak yang
Direktorat Jenderal Pajak. 2016. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016
Tentang Kebijakan Pemeriksaan.
Gie, Kwik Kwan. 2016. Automatic Exchange of Information (AEOI) The End Of Tax
Evasion? http://kwikkiangie.com/v1/2016/09/automatic-exchange-of-information-
aeoi-the-end-of-tax-evasion-key-note/ diakses tanggal 18 Januari 2017.
Mustami, Adinda Ade. 2016. Pajak Jadi Kunci Surplusnya Keseimbangan Primer.
http://nasional.kontan.co.id/news/pajak-jadi-kunci-surplusnya-keseimbangan-primer
diakses tanggal 18 Januari 2017.
Republik Indonesia. 1998. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Saroh, Mutaya. 2017. Penerimaan Negara Sebesar 81,54 Persen Dari Target APBN.
https://tirto.id/penerimaan-negara-sebesar-8154-persen-dari-target-apbn-2016-cdHp
diakses tanggal 18 Januari 2017.