Sunteți pe pagina 1din 6

POLICY MEMO : AKSES DATA PERBANKAN SEBAGAI UPAYA PENGGALIAN

POTENSI PENERIMAAN PAJAK

Muhammad Rico Perdana 1401160062 / 7C Reguler (28)

ABSTRAK

Pajak yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan utama dalam memenuhi target
penerimaan negara belum mampu melaksanakan kinerjanya dengan maksimal. Salah satu
kendala DJP dalam menghimpun penerimaan pajak adalah akses data Wajib Pajak masih
sangat terbatas. Salah satu sumber data yang dibutuhkan yang juga menunjang aspek keadilan
pemungutan perpajakan adalah akses data perbankan. Di sisi internasional, era keterbukaan
informasi untuk kepentingan perpajakan mulai dicetuskan negara-negara anggota G20 dan
OECD melalui Automatic Exchange of Information. Metode penelitian ini menggunakan
deskriptif kualitatif. Beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah adalah percepatan revisi
Undang-undang Perbankan dan revisi Undang-undang KUP. Untuk DJP sebagai instansi
pelaksana peraturan perpajakan dapat melakukan upaya perbaikan IT dan pembuatan aturan
terkait pengamanan data perbankan yang sudah diterima.
Kata kunci: Akses Data Perbankan, Automatic Exchange of Information, Penerimaan Negara

I. PENDAHULUAN

Defisit anggaran merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam

pengelolaan keuangan pemerintah pusat. Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara telah mengatur bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari Produk

Domestik Bruto. Nota Keuangan 2017 menunjukkan bahwa tren defisit anggaran dalam

periode 2012-2015 mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut juga diikuti kenaikan utang

pemerintah yang cukup tinggi tahun 2014-2015 sebesar 21,3% (year to year) dan

keseimbangan primer di tahun 2015 yang mengalami defisit sebesar Rp136,1 triliun

menunjukan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang tidak sehat

dan rawan terjadinya financial distress.

Pajak yang sampai saat ini masih menjadi tumpuan utama dalam memenuhi target

penerimaan negara belum mampu melaksanakan kinerjanya dengan maksimal. Sampai

dengan akhir tahun 2016, penerimaan pajak mencapai Rp1.105 triliun atau 81,54% dari
target. Dalam RAPBN 2017, penerimaan pajak mempunyai porsi sebesar 86% dari target

pendapatan negara atau sebesar Rp1495,9 triliun. Begitu besarnya beban yang dipikul oleh

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menghimpun penerimaan negara mengharuskan

instansi tersebut untuk melakukan banyak pembenahan. Menurut Darussalam (2016),

pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center, salah satu kendala DJP dalam

menghimpun penerimaan pajak adalah akses data Wajib Pajak masih sangat terbatas.

Selama ini sumber data utama yang digunakan oleh DJP dalam penggalian potensi

berasal dari Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan, bukti potong, konfirmasi pihak

ketiga, maupun data publikasi lainnya. Sumber data utama tersebut hanya mampu

memperlihatkan potensi pajak yang minim karena keterbatasan dalam mengungkapkan

kemampuan finansial Wajib Pajak yang sesungguhnya. Padahal salah satu prinsip

pemungutan pajak adalah prinsip keadilan (equity), dimana pajak yang dikenakan sebanding

dengan kemampuan finansialnya. Salah satu sumber data eksternal yang dapat menunjang

aspek keadilan tersebut adalah akses data perbankan.

Di sisi internasional, era keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan mulai

mengemuka ketika Amerika Serikat mencetuskan Foreign Account Tax Compliance Act

(FACTA) pada tahun 2010. Kemudian diikuti oleh negara-negara anggota G20 dan OECD

yang memformulasi kebijakan tersebut melalui Common Reporting Standard (CRS).

Keterbukaan data perbankan ini juga bisa menjadi pintu masuk dalam menindaklanjuti

program tax amnesty sebelumnya, dimana terdapat sanksi administrasi berupa kenaikan

200% atas utang pajak yang belum atau kurang dibayar terhadap Wajib Pajak yang tidak

mengikuti program tersebut, yang ketahuan menyembunyikan asetnya dan tidak

melaporkannya dalam SPT. Untuk mensukseskan hal tersebut, masih terdapat beberapa hal

yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai regulator dan DJP sebagai eksekutor

kepentingan perpajakan mengenai isu hangat tersebut.


II. METODE PENELITIAN

Objek yang diteliti adalah langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk

mendukung keterbukaan data perbankan terkait kepentingan perpajakan serta upaya-upaya

yang dapat dilakukan DJP dalam menghadapi era keterbukaan informasi tersebut. Penulis

melakukan pengumpulan data sekunder dengan cara studi pustaka (literature review)

peraturan dan kebijakan yang berlaku di Indonesia maupun melalui literatur lainnya. Metode

penelitian berdasarkan pada deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Langkah Pemerintah Dalam Menghadapi Era Keterbukan Data Perbankan

Besarnya kebutuhan DJP untuk memenuhi target penerimaan pajak yang telah

dibebankan pada RAPBN 2017 serta dalam mensukseskan Automatic Exchange of

Information yang sudah disepakati oleh negara-negara anggota G20 dan OECD, maka

pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Percepatan Penyelesaian Revisi UU Perbankan

Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No 7 tahun

1992 sebenarnya telah memberi kelonggaran kepada pemerintah untuk dapat mengakses data

perbankan nasabah. Dalam hal perpajakan, aturan itu diatur pada pasal 41. Sedangkan

ketentuan tentang tata cara membuka rahasia bank tertuang pada Peraturan Bank Indonesia

Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin

Tertulis Membuka Rahasia Bank. Tetapi dalam proses permintaan membuka rahasia bank,

jalur birokrasi yang dilewati sangat panjang yang dimulai dari internal DJP sendiri yaitu

Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah, kemudian Kantor Pusat. Setelah sampai di Kantor

Pusat DJP, permintaan membuka rahasia bank tersebut akan diteruskan kepada Menteri

Keuangan. Jika telah disetujui oleh Menteri Keuangan, surat permintaan tersebut baru

diteruskan ke Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dalam waktu maksimal 14 hari
setelah surat permintaan diterima lengkap, OJK akan memberikan surat perintah kepada bank

yang bersangkutan untuk membuka rahasia bank sesuai dari permintaan dari DJP.

Oleh karena itu, undang-undang perbankan harus segera direvisi terutama dalam tata

cara pemberian izin membuka rahasia yang begitu panjang proses birokrasinya. Hal ini

sangat menyita waktu, apalagi proses dalam OJK saja membutuhkan waktu maksimal 14 hari

untuk satu kali permintaan buka rekening. Proses yang lama ini sangat berpengaruh terhadap

kualitas pemeriksaan yang dilakukan fiscus. Sering kali data tersebut baru didapatkan ketika

proses pemeriksaan WP telah selesai karena jangka waktu pengujian pemeriksaan yang

terhitung cukup singkat yaitu 3 bulan untuk WP Orang Pribadi dan 4 bulan untuk WP Badan

(Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016).

2. Percepatan Penyelesaian Revisi UU KUP

Dalam Undang-undang KUP pasal 35 ayat 1 sudah dijelaskan bahwa dalam

menjalankan tugas DJP dapat meminta keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,

notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai

hubungan dengan Wajib Pajak. Seluruh data tersebut harus diberikan kepada DJP

sehubungan dengan pelaksaaan ketentuan perpajakan bahkan dalam hal terdapat kewajiban

merahasiakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan

tertulis Menteri Keuangan (UU KUP Pasal 35 ayat 2). Selain itu, KUP hanya mengatur

pemberiaan akses data Wajib Pajak yang dimintakan sehubungan dalam kegiatan

pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Padahal yang dibutuhkan DJP untuk mengejar target penerimaan yang telah dibebankan lebih

dari itu. DJP mengharapkan akses data dapat diberikan dalam arti yang lebih luas yaitu dalam

tugasnya untuk mengamankan penerimaan negara yang sebagian besar merupakan

didapatkan dari proses penggalian potensi. Oleh karena itu, revisi UU KUP harus segera

dilaksanakan.
B. Langkah Direktorat Jenderal Pajak dalam Memanfaatkan Era Keterbukaan Data

Perbankan

Sehubungan dengan kebutuhan penerimaan negara yang perlu ditingkatkan dan

pelaksanaan Automatic Exchange of Information negara-negara G20 dan OECD, DJP harus

ikut berbenah dalam menyambut kemudahan akses data perbankan terkait kepentingan

perpajakan. Terdapat beberapa sumber daya di DJP harus segera dipersiapkan. Salah satu

yang paling penting adalah IT. DJP telah memiliki berbagai aplikasi dalam penggalian

potensi seperti Approweb dan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP). Tetapi

masih terdapat kendala seperti tidak sinkronnya data antara aplikasi tersebut. Penggunaan

satu aplikasi saja sebenarnya sudah cukup karena hal terpenting adalah kualitas data. Kualitas

data yang didapat dari SPT selama ini masih sangat diragukan karena dalam sistem

pemungutan pajak self assessment, potensi adanya tax evidence dan tax evasion cukup tinggi.

Padahal data yang valid merupakan senjata DJP dalam menggali potensi perpajakan secara

optimal. Setelah masalah ini dibenahi, DJP bisa mulai melakukan sinkronisasi antara data

internal DJP yang berupa olahan dari Approweb maupun SIDJP dengan data perbankan.

Faktor keamanan dan pengamanan data perbankan juga merupakan hal yang sangat

penting untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh oknum pegawai pajak.

Kewenangan dalam mengakses data tersebut harus dibatasi, hanya untuk pegawai pajak yang

berhubungan dengan penggalian potensi, pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan

penyidikan terhadap tindak pidana perpajakan. Sanksi yang tegas juga perlu diberikan

terhadap penyalahgunaan data perbankan tersebut, seperti yang diterapkan pada Undang-

Undang Tax Amnesty yaitu ancaman pidana 5 tahun penjara terhadap pegawai pajak yang

membocorkan data Wajib Pajak yang mengikuti tax amnesty.


DAFTAR REFERENSI

Direktorat Jenderal Pajak. 2016. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016
Tentang Kebijakan Pemeriksaan.

Gie, Kwik Kwan. 2016. Automatic Exchange of Information (AEOI) The End Of Tax
Evasion? http://kwikkiangie.com/v1/2016/09/automatic-exchange-of-information-
aeoi-the-end-of-tax-evasion-key-note/ diakses tanggal 18 Januari 2017.

Hasniawati, Amalia Putri. 2015. Data Perbankan Terbuka Mulai 2017.


http://nasional.kontan.co.id/news/data-perbankan-terbuka-mulai-2017 diakses tanggal
18 Januari 2017.

Mustami, Adinda Ade. 2016. Pajak Jadi Kunci Surplusnya Keseimbangan Primer.
http://nasional.kontan.co.id/news/pajak-jadi-kunci-surplusnya-keseimbangan-primer
diakses tanggal 18 Januari 2017.

Republik Indonesia. 1998. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Saroh, Mutaya. 2017. Penerimaan Negara Sebesar 81,54 Persen Dari Target APBN.
https://tirto.id/penerimaan-negara-sebesar-8154-persen-dari-target-apbn-2016-cdHp
diakses tanggal 18 Januari 2017.

S-ar putea să vă placă și