Sunteți pe pagina 1din 4

Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya.

Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit.
Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan
tenang.[1]
Dilihat dari kondisi pasien tindakan euthanasia bisa dikategorikan menjadi dua macam
yaitu aktif dan pasif :
1. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, jika kondisi pasien
berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup.
Dengan kata lain tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu
dilakukan.
2. Sedangkan yang dimaksud Euthanasia Pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien atau
penderita dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengalaman maupun
ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup atau tanda-tanda kehidupan tidak terlihat lagi
padanya.

B. Kriteria Mati.
Perbincangan Euthanasia berkaitan erat dengan masalah definisi mati, namun definisi
tentang mati itu sendiri tampaknya mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan semakin
majunya perkembangan ilmu pengatahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran.
Dahulu ukuran kematian dilihat pada nafas kemudian ukuran itu ditanggalkan dan
diganti bahwa kematian itu diukur dengan tidak berfungsinya jantung. Oleh karena itu, di
daerah yang tidak mempunyai pengukur jantung biasanya cukup hanya dengan mengetahui
gerak nadi.
Dan kini diketahui bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang
terletak pada bagian batang otak dikepala. Jadi, kalau hanya terjadi pendarahan pada otak
belum tentu penderita mati. Para ahli kedokteran tampaknya sepakat bahwa yang menjadi
patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak beul-betul mati
maka harapann hidup seseorang sudah terputus.
Untuk menentukan kerusakan otak pada manusia menurut Prof. Mahar Madjono
tidaklah terlalu sulit: Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai alat Electro Enceflograf
(EEG) yakni alat ditektor otak, maka cukup dengan mengetes refleksi kornea mata, apakah
pupil (anak mata) masih memberi reaksi terhadap cahaya. Bisa juga dengan memeriksa
refleks vestibula okular (meneteskan 20cc air es ke telinga kiri dan kanan, kemudian
memeriksa reaksi motoriknya pada mata). Tindakan ini bisa dilakukan oleh setiap dokter,
walaupun dengan peralatan rumah sakit yang sederhana.[2]

C. Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran.


Prinsip umum Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah
jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak hidup secara wajar
sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh,
maka dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Dan juga pasal 388 KUHP
dinyatakan: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena
makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. [3]
Dokter yang melakukan tindakan Euthanasia (aktif khususnya) bisa diberhentikan dari
jabatannya karena melanggar kode etik kedokteran. Di dalam kode etik kedokteran yang
ditetapkan oleh Mentri Kesehatan nomor : 434 / Men.Kes / SK / X / 1983 yang di sebutkan
pasal 10 : Setiap Dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup
makhluk insani.
Berarti bahwa baik menurut Agama dan Undang-undang Negara, maupun menurut etik
kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan :
a) Menggugurkan Kandungan (Abortus Provactus).
b) Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin
ada sembuh lagi (Euthanasia).[4]

D. Euthanasia Dlam Tinjauan Hukum Islam.


1. Kedudukan Jiwa Dalam Islam.
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak ayat-ayat Al-
Quran dan Hadits yang mengharuskan kita untuk memelihara jiwa manusia (hifzhal al-Nafs).
Oleh karena itu, seorang manusia tidak sama sekali berwenang dan tidak boleh
melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Diantara firman Allah yang
menyinggung mengenai jiwa atau nafs ini adalah sebagai berikut :
a. Q.S. al-Hijr ayat 23 :
.............................................................
Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan .[5]
b. Q.S. al-Najm ayat 44 :
...................
Dan bahwasannya Dialah yang mematikan dan menghidupkan.[6]
Tindakan menghilangkan jiwa milik orang lain maupun milik sendiri adalah perbuatan
melawan hokum Allah, tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga
peradilan (Pemerintah Islam) sesuai dengan aturan pidana islam.
Begitu besarnya penghargaan islam terhadap jiwa, sehingga perbuatan yang merusak
atau menghilangkan jiwa manusia akan di ancam dengan hukuman yang setimpal (Qishash
atau Diyat).
2. Bagaimana Islam Menghukumi Euthanasia.
Dari segi Nash, islam secara tegas melarang pembunuhan. Akan tetapi apakah
Euthanasia dengan begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan? Sedangkan aspek tindakan
sebagai unsur kedua sudah jelas ada, karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien
dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungi saraf dalam dosis
tertentu (Neurasthenia). Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien dan
keluarga.
Begitu pula terjadinya Euthanisia aktif itu sendiri tidak terlepas dari alasan-alasan
berikut ini :
Alasan pertama, bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita yang
berkepanjangan, tidak ingin meningggalkan beban ekonomi, atau tidak punya harapan
sembuh, adalah refleksi dari kelemahan iman. Cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien
tersebut salah, maka yang bersangkutan terkena larangan Allah, yaitu sebagai tindakan bunuh
diri dan termasuk mengingkari Rahmat Allah.
Islam menghendaki setiap muslim untuk selalu optimis, islam tidak membenarkan
dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya, bahkan berdoa meminta dimatikanpun
tidak diperbolehkan.
Sedangkan pertimbangan kedua, yaitu dari pihak keluarga yang merasa kasihan kepada
pasien yang masih termasuk bagian dari keluarga mereka, atau karena tidak sanggup
lagi menanggung biaya perawatan, maka apabila diselesaikan dengan euthanasia
berarti perbuatan itu tergolong pembunuhan sengaja, dan Allah mengancam pelakunya
dengan azab neraka, sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S an-Nisa ayat 93
:....................................................
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam,
kekal didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakannya azab yang besar
baginya..
Adapun pertimbangan ketiga, bahwa keluarga atau salah seorang diantara mereka yang
bekerjasama dengan dokter untuk melakukan Euthanasia, dengan harapan agar segera
memperoleh harta warisan dan sebagainya, maka tindakna ini jelas sekali sebagai
penbunuhan sengaja.
K.H. Syukron Makmun berpendapat bahwa kematian itu adlah urusan Allah, manusia
tidak mengetahui kapan kematian dating menyapanya. Jadi, mempercepat kematian tidak
dibenarkan, tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh, kalaupun tidak sanggup
kembalikan kepada keluarga.
Apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu
tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya
tanda-tanda kehidupan, maka islam mengharamkannya.

S-ar putea să vă placă și